Share

Bab 2. Cinta ditolak

Setelah adegan mari mengangkat koper ala kuli panggul–yang kata si bos berisi salah satu koleksi terbarunya– selesai, kini kami sudah tiba di apartemen milik bos yang letaknya 5 lantai dari kamar milikku.

Ya, kami memang tinggal satu apartemen. Bedanya dia kelas wahid, sedangkan aku masih sama dengan yang lain. Gartama sendiri menempati lantai paling atas, tepatnya penthouse yang kadang membuatku iri setengah mati akan semua harta yang dimilikinya.

“Pak, ini kopernya mau ditaruh di mana?” tanyaku sopan.

Jangan kalian pikir aku akan dengan baik hati menggotong koper ini lagi, big no. Terima kasih. Aku lebih memilih untuk memanggil security untuk membantuku membawanya.

“Taruh situ saja. Udah sana keluar! Aku mau tidur.”

Hatiku pun bersorak senang karena bisa terbebas dari Gartama. Dengan cepat aku membungkukkan badan dan tersenyum begitu lebar, kebebasan ini sudah seperti oase di gurun pasir yang terlihat begitu menggiurkan. “Kalau begitu a–”

“Jangan lupa besok kamu bangunkan saya pukul 6 pagi dan untuk sarapan ... aku mau roti panggang saja dan juga teh.”

“Apa ada lagi, Pak?”

“Kamu tolong tutup pintu itu!”

“Ok.”

“Naina!”

Aku yang sudah membalikkan badan kembali harus memutar tubuhku lagi. Masih dengan senyum yang merekah lebar, aku menatap Gartama. “Apa ada lagi, Pak?” tanyaku masih berusaha menahan kewarasanku.

“Tolong kamu ganti sandal bulu-bulumu! Itu membuatku geli,” ujarnya dengan tatapan yang sungguh membuatku muak.

Bibirku langsung berkedut. Ingin kumaki bos di depanku ini, tetapi ingat cicilan apartemen yang belum lunas membuatku menahan semua rasa jengkelku padanya.

“Ingat, Na! Dia itu adalah bos kamu. Dia yang memberikan kamu uang, pekerjaan, bahkan semua fasilitas yang kamu miliki itu diberikan dari gaji perusahaannya. Ok, keep calm, Girl!” batinku.

“Kamu ngapain masih di sini?”

Tanpa sadar, ternyata aku masih berdiri diam di tempat. Aku pun langsung gelagapan dan segera undur diri sebelum mood pria tua itu menjadi buruk dan mengakibatkan diriku yang tidak akan bisa tidur lagi. “Permisi, Pak.”

Kini, setelah sampai di kamar, kulemparkan tubuh ini ke ranjang. Kutatap langit-langit apartemen yang berwarna putih. Aku kira setelah kembali ke kamar aku bisa melanjutkan istirahat, tetapi kenyataannya rasa kantuk itu sudah hilang bersama dengan emosiku kepada si bos.

“Tak bisakah dia bersikap wajar saja? Ini sudah lebih dari 10 tahun berlalu, tapi kenapa sikapmu masih saja belum berubah.” Aku pun mendesah, "Masa iya dia masih ada rasa sama aku? Tapi, kalo cinta kenapa kejem banget. Masa iya jam segini aku diminta jemput dia."

Aku berbicara sendiri sambil mengingat-ingat akan kejadian beberapa tahun lalu di mana saat itu masih menjadi mahasiswa di salah satu fakultas ternama. Selama aku menempuh pendidikan S1-ku, semua terasa begitu lancar dan damai sebelum kedatangan dia di semester 4.

Gratama Wirasesa yang saat itu menjadi seorang dosen baru yang digilai oleh banyak anak kampus karena ketampanan dan juga kepandaiannya.

Bagaimana tidak dielu-elukan, di usianya yang baru menginjak 27 tahun dia sudah menjadi dosen, bahkan gelar yang ada di belakang namanya sungguh membuatku iri. Dr. Gratama Wirasesa, B.Sc., M.B.A.

Panjang banget bukan namanya?

Katanya pria itu sering mengikuti akselerasi saat masih sekolah sehingga membuatnya sudah bisa menjadi dosen muda seperti sekarang.

Saat itu, aku ditunjuk menjadi asdosnya Gartama, itu pun karena desakan dari mahasiswa lain. Katanya, mereka semua terlalu takut dan juga susah bernapas, kalau sudah berdekatan dengan dosen muda dan tampan itu.

Sungguh menggelikan bukan alasan mereka, tetapi dengan bodohnya aku pun menyanggupi. Seiring berjalannya waktu, kami sering terlibat diskusi bersama di kampus ataupun di tempat lain, bahkan kami sempat berdebat hanya karena perbedaan pendapat.

Sebenarnya aku hampir menangis saat itu, tetapi karena gengsi aku menahannya dan tetap menatap pria itu dengan percaya diri.

Pada hari berikutnya, Gartama memintaku untuk bertemu di cafe dengan berbagai macam alasan yang menurutku tak masuk akal. Namun, aku tetap datang karena mengira jika dia akan memberiku sebuah bahan untuk matkul besok.

Realitanya, pria itu justru mengatakan cinta kepadaku.

Kaget, dong!

Shock hingga membuatku hanya melongo melihatnya.

Ini gila.

Aku bahkan sampai mengorek telingaku sendiri dan memintanya untuk mengulang pernyataan cintanya itu. Bukannya mengulang, melainkan dia justru menyebutku dengan gadis bodoh dan tidak peka.

Bunuh saja tikus di got itu!

Tentu aku terperangah dan juga bingung. Walaupun aku ini jomblo sejati, tetapi aku juga tahu jika pernyataan cinta dari seorang Gartama sungguh sangat tidak romantis, bahkan sangat jauh dari kesan itu.

“Maaf, Pak. Aku gak bisa. Aku masih ingin belajar.” Dengan menahan kesal, kujawab saja seperti itu.

Mungkin karena itu, Gartama masih menyimpan dendam kepadaku. Pernyataan cinta yang sangat tidak romantis dan juga terkesan menyepelekan itu membuatnya menjadi dendam hingga melakukan penyiksaan di saat aku mendaftar menjadi sekretaris di perusahaan Wirasesa.

“Ganteng, sih, ganteng. Tapi, dendaman. Cih! Pantes aja masih jomblo! Eh, tapi aku juga masih jomblo!” Kugaruk rambutku kesal.

Karena sibuk mengejar impianku yang ingin menjadi wanita mandiri dan berpenghasilan tinggi, membuatku menjadi manusia paling sengsara di dunia ini, apalagi ketika malam minggu datang.

Pada saat karyawan lain sibuk mencari tempat untuk kencan bersama pasangan, sedangkan diriku yang seorang jomblo hanya sibuk tidur, paling banter nonton serial drama yang ada di layar plasma besar yang ada di apartemen.

“Hah, menyedihkan banget, sih, hidupku ini. Andai saja, papa masih ada. Pasti Ina gak akan seperti ini,” ucapku berandai-andai.

Terlalu sibuk berandai-andai, aku sampai tidak sadar jika alarmku berbunyi. Pukul 05.20. Embusan napas kasar langsung keluar dari hidung mancungku.

“Ok, Naina. Sekarang waktunya kerja dan gak usah kebanyakan ngeluh karena itu gak akan memperbaiki apa pun dalam hidupmu. Mari kita hadapi kehidupan yang memang kamu cita-citakan selama ini!” Kukobarkan semangatku.

Setelah bersih-bersih, kaki ini melangkah untuk naik ke lantai paling atas menggunakan lift. Ketika menunggu, aku sudah mengorder sarapan pagi untukku dan juga si boss.

Jangan berharap aku akan masak untuk Tama, karena akan sangat percuma. Bukannya pujian yang kudapat, melainkan semburan yang kuperoleh.

Jika disuruh memilih untuk menjadi ibu rumah tangga yang harus sibuk di dapur atau depan laptop? Maka dengan sangat tegas aku memilih untuk duduk di kursi sambil menghadap laptop.

Bunyi lift terbuka membuatku tersadar dari lamunan sesaatku. Sepatu high heel yang kugunakan kini tengah membawaku ke sebuah satu pintu besar yang memang hanya orang-orang tertentu yang bisa mengaksesnya, termasuk diriku.

Satu ruangan dengan orang yang pernah kutolak cintanya dulu sungguh membuat sesak napas. Bukan karena aku merasa menyesal menolaknya, melainkan tatapan menusuk dan juga sikap dingin, serta memerintahnya membuatku ingin mencakar dinding.

Kutempelkan kartu akses itu dan pintu pun terbuka. Aku terus berjalan menuju satu pintu yang masih tertutup rapat dan sebelum ku ketuk pintu itu, aku menyiapkan sarapan kami yang sudah diantar oleh pihak keamanan tadi.

Kini, waktunya membangunkan singa tidur. “Pak Tama, ini sudah pukul 6,” ucapku sambil menempelkan telinga pada pintu.

Hening.

Hingga dalam hitungan ketiga tidak ada jawaban, berarti bisa dipastikan jika si bos masih terlelap maka kuputuskan untuk mendorong pintu itu.

Gelap adalah hal pertama yang aku tangkap ketika memasuki kamar si boss.

“Kebiasaan banget, sih, tidurnya pakai dimatiin lampunya. Apa dia tidak tahu jika setan suka gel– arghh!” teriakku sambil menutup mata.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
betricia
suka bgt sm cerita nya ngalir dan bikin ketawa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status