Share

Bab 4. Tahan Napas

“Yakin kamu masih nanya?” Kuabaikan tatapan mengintimidasinya.

“Bilang iya doang aja pelit,” gerutuku. Aku langsung melengos dan segera berjalan menjauhi sang bos, tetapi pria itu justru menarikku hingga mata kami saling bertemu tatap.

Mataku menyipit saat tidak melihat tatapan dingin, ataupun menyebalkan yang biasa diperlihatkan Gartama. Namun, aku justru menemukan sebuah tatapan memohon. Seriously?

“Naina, aku dengar!”

“Bapak ini sebenarnya ada masalah apa dengan saya, sih? Kenapa setiap saya ingin cuti, atau bahkan libur saja selalu dipersulit? Saya juga manusia, Pak. Saya juga butuh istirahat. Otak saya ini bisa meledak jika terus-terusan digempur oleh kerjaan!” ungkapku pada akhirnya.

Deru napasku memburu, kubuang wajahku saat manik hitam legam milik Gartama–yang selalu membuatku luluh– kini tertuju padaku. Akan tetapi, kali ini aku tekadkan hati untuk tidak mudah gentar, apalagi goyah hanya karena sebuah iming-iming bonus, atau kenaikan gaji.

Naina Kayla Putri harus mendapat cuti, bagaimanapun caranya!

“Aku naikkan gaji kamu?”

“No!”

“Bonus 2 kali lipat!”

Aku menggeleng angkuh.

“3 kali lipat!”

Aku kembali menggeleng. Namun, sebelum Gartama kembali bicara aku sudah lebih dulu meletakkan jari telunjukku tepat di depan bibirnya. Akan tetapi, bukannya diam, Gartama justru sengaja menggerakkan bibirnya hingga tanpa sadar mengenai jariku.

Kutarik tanganku dan menghindar dari sengatan kecil yang kembali aku rasakan, setelah kejadian beberapa tahun lalu di mana bibir kami tidak sengaja berciuman, tetapi hanya saling menempel, bukan lumatan, atau French Kiss yang pastinya tidak akan pernah kami lakukan.

Pada saat itu, aku yang gugup langsung mendorong tubuhnya yang menimpaku. Pikiranku langsung blank hingga tidak tahu harus berbuat apa sampai ketika Gartama menyentil keningku.

Hal yang paling tidak bisa kulupakan adalah saat dengan seenaknya dia berkata, "apa kamu baru saja makan jengkol? Soalnya napasmu bau jengkol."

Saat itu juga aku langsung menginjak kakinya yang berbalut sepatu mahal dan setelah itu pergi meninggalkannya yang tengah mengaduh kesakitan.

Kini, perasaan itu kembali datang, bukan ingin menginjak kakinya, melainkan desiran hangat dan juga rasa perut melilit di mana ada banyak kupu-kupu berterbangan di dalam perutku.

Sungguh aneh, tetapi nyata. Tanpa sadar, aku meremas remote tv yang berada dalam genggamanku.

Tubuhku terasa kaku dan sulit untuk digerakkan, apalagi saat pria itu memajukan wajahnya. Refleks, aku mundur. Namun, sebuah tangan sudah lebih dulu menahan pinggang rampingku agar tidak menjauh.

Siapa lagi pelakunya jika bukan Gartama.

“Aku tak bisa jika tanpamu, Naina.” Suara bernada lembut dan juga frustasi itu membuat bulu kudukku merinding, bahkan aku semakin mengeratkan cengkraman tanganku yang entah sejak kapan berada di punggung Gartama.

Oh, Tuhan. Tolong sadarkan diriku ini! Jangan biarkan aku terbuai oleh mulut manisnya!

“T-tapi ‘kan, a-ada G-gilang, P-Pak,” kilahku tergagap.

Sebenarnya ke mana semua keberanianku? Kenapa aku sudah seperti orang gagu dan jadi panas dingin di depannya?

Gartama terus menatap wajahku, bahkan tangannya kini dengan begitu berani menelusuri wajahku yang terlihat mungil di tangan besarnya.

“Gilang tidak bisa seperti kamu, Naina. Lagian,” jeda pria itu yang membuatku menelan ludah kasar saat tatapan pria itu kini tengah melihat bagian bibirku. “Yang aku butuhkan itu kamu,” lanjutnya.

Aku langsung melipat bibirku kala bibir kissable itu berada tepat di depanku dan aku semakin frustasi saat melihatnya tak bergerak sedikit pun.

"Kalau mau cium, ya, cium aja, Pak! Kenapa harus bikin anak orang panas dingin begini?” batinku meraung.

“Bernapas, Naina!”

Tanpa sadar aku mengikuti perintahnya dan setelah itu yang terjadi membuatku shock. “Kok, bapak malah nyentil kening saya, sih?” Aku langsung mengusap keningku. Bibirku kembali cemberut dan menatap pria itu dengan mata menyipit kesal.

Pria tua yang begitu menyebalkan karena sudah membuatku terbang ke langit ke tujuh, kemudian dibanting ke dasar bumi hingga membuatku nyungsep. Lebih menyebalkan lagi saat melihat seringai pria tua itu yang sialnya semakin membuat Gartama semakin tampan.

“Emang bos kuampret! Maunya apa coba? Nyebelin banget, sih. Kalau mau nyari sensasi jangan sama saya! Seenaknya aja bikin hati dugun-dugun, tapi setelah itu dihempaskan begitu saja,” ujarku lirih dengan suara tertahan.

Pria itu mendengkus dan kembali menoyor kepalaku, tetapi tidak keras. Pelan, tetapi tetap menyebalkan. “Otakmu yang kotor itu sepertinya perlu dibersihkan. Lagian pengajuan cutimu gak bakalan aku acc. Kalaupun kamu mau cuti, aku akan memberikan kamu dua hari, itu pun di hari weekend. Selain itu, No!”

“Apa? Bapak, gak bisa begitu, dong.” Kedua mataku langsung membelalak. Aku langsung mengejar Gartama yang kini mulai berjalan menuju pintu. Langkahku sudah begitu lebar, tetapi karena rok span selutut ini membuatku kesulitan.

Lain kali akan aku ingatkan diri sendiri untuk membuang rok ini dari lemari, sungguh menyusahakan.

“Kalau kamu lupa, aku ini adalah bos kamu. Jadi, terserah saya, dong!”

“Tapi, saya sebagai pekerja juga punya hak untuk libur, bahkan selama saya bekerja di perusahaan ini, saya belum pernah mengambil cuti itu!”

“Kalau kamu lupa, kamu juga sudah mengambil bonus cuti kamu, kan? Jadi, tidak ada lagi alasan buat kamu menuduhku tidak pernah memberimu cuti.”

Arghh.

Aku benar-benar frustasi sekarang. Setiap perkataan yang keluar dari mulutku pasti akan bisa di balikkan dengan begiu mudah olehnya. Kini, aku harus bagaimana? Belum apa-apa masa aku harus menyerah dan membatalkan tiket pesawat dan juga booking hotel yang sudah beberapa minggu lalu aku pesan.

“Naina!”

Aku langsung menatap pria itu dengan tatapan sinis. “Apa?” tanyaku ketus.

“Kamu mau ikut turun apa gak?” tanyanya lembut. Akan tetapi, ada sedikit tatapan mengejek dan hal itu membuatku ingin sekali melemparinya dengan berbagai macam umpatan binatang yang ada di kebun binatang. Namun, sekali lagi yang kulakukan hanyalah mengalah dan melangkah mendekatinya.

“Gak usah manyun begitu. Gak bakalan mempan juga!”

“Siapa juga yang manyun?” Bodo amatlah dengan ketidaksopanannku. Aku sudah terlanjur kesal dan juga sakit hati dengan tingkah Gartama yang menyebalkan dan pelit.

“Aku akan memberikanmu bonus dua kali lipat, Naina.”

“Aku gak butuh, Tama!” jeritku dalam hati.

“Gak usah ngambek kayak gitu. Apa kamu tidak tahu jika ada orang yang meninggal karena diambekin sama temannya.”

Aku menyeringai. “Tapi, kita bukan teman, Pak. Jadi, bapak bisa tenang dan tetaplah hidup bahagia selamanya,” doaku menahan geram.

“Aamin. Makasih doanya.”

“Cih, siapa juga yang mendoakan situ. Ogah, gak penting banget!” gumamku malas.

“Kamu ngomong apa, Naina?”

“Gak ada, Pak.” Aku mencoba tersenyum, walau dalam hati tak ikhlas.

Denting lift sampai pada tempat yang kami tuju membuat kami segera bersiap keluar untuk menuju lobi apartemen di mana Pak Gunadi sudah menunggu. “Selamat pagi, Tuan. Selamat pagi, Nona Naina,” sapanya kepada kami.

“Pagi, Pak. Tolong hari ini bawa mobilnya sedikit dipercepat yah, Pak. Soalnya Bapak ada rapart hari ini,” beritahuku pada supir pribadi Gartama. Mengabaikan tatapan si bos yang terus melihat langkahku yang membuka pintu depan.

“Baik, Non.”

Aku pun kemudian masuk ke mobil, sedangkan Gartama duduk di belakang dengan tablet dan juga beberapa dokumen lain yang tentunya sangat penting. Namun, saat mobil kami hendak meninggalkan lobi, tiba-tiba seseorang menghadang dan berdiri tepat di depan mobil kami hingga Pak Gunadi refleks menginjak pedal rem secara mendadak.

“Auw.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status