Sudah seminggu aku pindah ke apartemen baru. Dan aku rasa, aku cukup nyaman meskipun aku menemukan satu fakta baru bahwa apartemenku tidak memiliki sistem peredam suara yang cukup memadai. Pria tinggi yang aku temui saat pindah, berisik bukan main apalagi saat akhir pekan.
Selain hal itu, aku sudah mulai terbiasa menemukan Nelson dengan mata setengah terpejam di konternya setiap kali aku pulang larut malam. Aku tidak akan menyalahkannya meskipun ia tertidur di jam jaga. Perampok tidak mungkin memasuki gedung tua ini. Mau mencuri apa?
Kalau dipikir-pikir, apartemen ini cenderung aneh. Pengelola hanya menempatkan penjaga saat malam hari. Itu pun hanya satu penjaga tua. Mungkin pengelola begitu percaya diri dengan keamanan lingkungan di sini sehingga hanya menempatkan Nelson seorang.
Malam ini, lagi-lagi, aku menemukan Nelson di konternya dengan posisi kepala yang merentang jauh ke puncak kursi dan kedua tangannya bertaut satu dengan lainnya di atas perut. Matanya terpejam. Radio kecil di mejanya mengalunkan lagu lawas White Chrismas dari Bring Crosby. Aku hampir menggunakan lagu itu sebagai musik latar video iklan. Nelson tidak menyadari kehadiranku. Saat aku melongok ke dalam konternya, ia tidak bereaksi. Pria tua itu duduk sendiri. Entah kenapa, aku berpikir akan melihat si nenek tua kembali.
Aku tidak mengatakan apa pun sampai Nelson menyadari kehadiranku. Matanya baru terbuka saat lagu selesai kemudian diteruskan lagu lawas yang lain.
“Aku tidak tahu jika ada radio lokal yang memutar lagu lama dalam versi originalnya,” kataku, menyambut kesadaran Nelson yang baru kembali. Aku mendekatkan tubuhku ke meja konter. Lagu dari Doris Day, Que Sera, Sera mengalun meneruskan rentetan suasana sendu.
Ia mengusap wajahnya seraya memperbaiki posisi duduknya sebelum berkata, “Sejak kapan kau berdiri di sana?”
“Lima menit yang lalu,” jawabku. Sekarang jam tanganku sudah menunjukkan pukul 00.10.
“Kamu tidak mungkin menyukai lagu-lagu ini, Mikky. Kalian lebih suka hal-hal yang ritmis yang berteriak-teriak kencang. Seperti kebanyakan dari kalian yang selalu ingin didengarkan.” Nelson pasti merujuk generasiku. Aku tidak menampik musik sekarang lebih menghentak, cepat menaikkan mood, tetapi tidak bisa bertahan lama dalam ingatan.
“Ah, tidak juga. Aku suka lagu lama,” tepisku. “Kau tahu Nelson? Aku rasa pria di sampingku penggemar Manchester United. Aku sering mendengarnya menyanyikan Glory Glory Man United,” kataku mengalihkan pembicaraan.
“Hooligan, heh?”
“Apakah Hooligan di sini sering berbuat onar?” tanyaku penasaran. Di Eropa mereka terkenal tukang buat masalah.
“Kecuali mereka ingin isi kepalanya hancur berantakan. Mereka bukan sedang di Eropa. Membawa pemukul bisbol ke mana-mana. Di sini, orang membawa shutgun,” jawabnya sambil tersenyum. Pria itu memang selalu sinis.
Akan tetapi, berbeda dengan Nelson yang santai saja mengucapkan kalimatnya, aku cukup terkejut dengan ucapannya itu.
“Apakah di sini sering terjadi perang antar geng? Setahuku daerah ini cukup aman.”
“Bukan sering, tetapi pernah. Seorang remaja mati tertembak di depan Rotary Vareaty. Kau tahu bukan? Minimarket yang di dekat sana?” Nelson menunjuk ke selatan. Mata kirinya yang lebih kecil mengerjap-ngerjap. “Tapi, itu cerita lama. Sudah bertahun-tahun aku tidak mendengar suara tembakan lagi. Kecuali di televisi.”
Penjelasan Nelson membuatku lega.
“Aku harap kau tidak berurusan dengan Tod Horgan, Mikky,” kata Nelson kembali.
“Tentu saja, aku tidak punya alasannya.”
“Meskipun kau punya alasannya.”
“Baiklah. Akan aku ingat kata-katamu.”
Tod Horgan seorang Irlandia: tubuhnya tinggi besar, berkepala plontos dengan aksen britania yang kental. Orang-orang seperti Tod gampang ditemukan di sini. Lingkungan di sini sangat Irish. Namun, entah kenapa, aku merasa wajahnya selalu terlihat tegang. Orang Irlandia memang bukan orang-orang yang santai, tetapi tetap saja Tod Horgan terlihat berbeda. Setiap kali bertemu dengannya di lorong, ia akan melirikku dengan pandangan meremehkan. Aku tahu ia membusungakan dadanya dan mengunci semua otot lengannya. Tod mirip seekor husky yang sudah mengincingi teritorialnya. Ia akan menggeram bila melihat hewan lain. Ia pindah seminggu lebih dahulu ke Old Colony. Itu yang dikatakan Nelson.
Tod membuat semuanya tampak normal: lingkungan yang baik, apartemen yang laik, dan seorang pengganggu yang mencari perhatian. Entah aku harus bersyukur atau mengeluh karena hal itu.
“Kalau begitu, aku naik dulu. Tidurlah kembali. Aku yakin tempat ini akan aman-aman saja. Makhluk seperti apa yang mungkin muncul di tempat ini. Kecuali seorang hooligan yang aneh,” kataku sambil terkekeh.
“Meskipun aku sependapat, sebaiknya kau berhati-hati dengan ucapanmu. Kita tidak akan pernah tahu, Mikky,” jawab Nelson tajam. Penjaga tua itu benar-benar susah ditebak.
“Baiklah. Selamat malam, Nelson.” Aku kemudian meninggalkan Nelson menikmati musik-musik lawasnya.
***
Aku susah tidur nyenyak akhir-akhir ini meskipun selalu pulang larut malam. Itulah yang menyebabkan aku bangun pagi sekali. Itu juga yang menjadi alasanku memaksakan diri pergi ke Rotary Variety dengan berjalan kaki. Sedikit berjalan kaki sepertinya baik buat tubuhku. Dugaanku, aku susah tidur karena kurang bergerak dan terlalu banyak duduk. Ototku kaku.
Minimarket itu berada di dekat toko pizza dan bengkel sepatu. Karena kebetulan akhir pekan, aku memutuskan membeli tisu toilet karena persediaanku sudah menipis.
Lonceng di atas pintu bergemerincing saat aku membuka pintu. Pria gemuk pendek di belakang kasir menyapaku. Kalau tidak salah, namanya Watson Blank. Aku membalas sapaannya. Kami berkenalan saat pertama kali aku berbelanja ke tempat ini.
Aku mengambil keranjang hijau lalu segera memutari rak. Mungkin aku akan membeli beberapa barang lain selain tisu toilet. Saat menunduk untuk melihat sebuah merk makanan ringan yang baru, aku merasakan seseorang sedang mengamatiku. Aku menoleh dan menengadah untuk melihat siapa orang itu.
Aku terperanjat kecil karena melihat Tod Horgan berdiri di ujung lorong. Ia membawa keranjang kuning yang masih kosong. Dengan langkah lebar, ia mendekat ke arahku. Siapa pun pasti mengatakan langkah pria itu dibuat-buat. Gerakan tubuhnya yang sedikit bergoyang dengan dada membusung jelas tidak tampak alami. Ia menggunakan kaos tanpa lengan yang memamerkan bisepnya yang besar. Aku pikir pria itu agak terobsesi dengan ototnya.
Aku berdiri untuk menyambutnya. Kupasang senyum “selamat pagi” terbaik yang kumiliki. Namun, pria itu tidak membalasnya. Pandangannya lurus ke arahku. Ia berhenti setelah berjarak selangkah. Aku yakin ia menyadari jika tinggi kami cukup berbeda sehingga caranya menatapku—lagi-lagi—seperti dibuat-buat. Semua hal tentang pria ini tidak ada yang alami sama sekali. Dengan sangat sengaja, ia mengangkat dagunya dan melihatku melewati batang hidungnya. Tod begitu ingin terlihat intimidatif.
Ia cukup berhasil.
“Hei, Kurus! Kau tahu kalau ada seorang gadis pirang yang sangat cantik tinggal di samping apartemenmu?” tanya Tod dengan logat Irlandianya.
Aku terpaku sejenak karena tidak mengerti tentang apa yang Tod bicarakan. Namun, setelah berpikir beberapa lama, aku mulai memahami. Aku langsung mengingat nenek keriput yang berada di balik konter Nelson. Pria itu mengatakan kalau nenek itu tetanggaku. Semuanya mulai jelas. Nenek itu pasti memiliki seorang cucu. Ia yang mendandani neneknya seperti mendandani keponakannya yang berusia sepuluh tahun. Mungkin gadis itulah yang Tod Horgan maksudkan.
“Tidak,” sahutku pendeknya.
“Sekarang kau sudah tahu. Aku hanya ingin mengatakan padamu, Kurus. Gadis itu milikku. Bagimu, ini bukan sekedar informasi, tetapi juga peringatan.”
“Peringatan? Apa maksudmu?” Aku benar-benar bingung dengan apa yang dikatakan Tod Horgan. Kenapa ia harus memberikanku peringatan?
“Gadis itu milikku. Jangan berharap kau bisa mendekatinya. Jauhi dia kalau kau ingin semua organ tubuhmu tetap berada di tempatnya!” Tod mencondongkan wajah ke arahku, mengunci lengan agar semua otot kekarnya terlihat makin menakutkan.
Jantungku tiba-tiba berdegub kencang. Akan sangat menyakitkan jika salah satu lengan itu berayun lalu menghantam wajahku. Buru-buru aku mengatakan, “Rileks, Bro. Aku bahkan tidak pernah melihat gadis yang kamu maksudkan.”
Jari-jari kanan Tod mencengkeram bahuku. Sedikit agak keras sehingga membuatku meringis. Aku bisa mencium keringatnya. Mungkin sebelum ke tempat ini ia menghabiskan waktu di gym.
“Kau akan melihatnya. Dan ketika kau sedang mengaguminya, ingat kata-kataku ini,” sahutnya dengan mata melotot.
“Tentu saja. Dia milikmu. Sepenuhnya,” jawabku tanpa ragu. Aku tidak akan berpikir dua kali untuk menyerah pada pria besar seperti Tod.
Tod mengangguk-angguk. “Bagus. Kau mengerti dengan baik.” Setelah memberikan sebuah senyum—yang lagi-lagi dibuat-buat—ia melemparkan keranjang belanjanya yang kosong dan meninggalkanku.
Aku menghela napas dalam-dalam.
Sebuah perasaan aneh menyelinap di dalam hatiku. Aku seumpama gadis remaja yang baru saja dilecehkan. Agak aneh rasanya mengalami momen seperti tadi ketika usiaku telah dewasa. Tidak ada pria dewasa mana pun membayangkan pengalaman bertemu dengan seseorang seperti Tod Horgan. Pria itu lebih menakutkan dari yang aku pikirkan.
Aku kembali menghirup napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan-pelan sambil menatap tiga rol tisu toilet di dalam keranjang. Aku segera menuju kasir, membayar harga tisu, dan segera ke kembali ke apartemen.
Dalam perjalanan pulang, sebuah gagasan menyelinap di antara rasa ngeri yang ditimbulkan seluruh tubuh Tod Horgan yang seperti akan meledak. Aku berpikir diriku cukup tampan. Catherine sering mengatakannya, tetapi aku tidak pernah mendengar dari mulut orang lain apalagi dari sesama pria. Namun, kekhawatiran Tod padaku menjadi bukti yang lebih dari cukup.
Itu lumayan menghibur.
Di samping itu aku juga berpikir, mungkinkah gadis yang Tod maksudkan itu sangat cantik? Tod seolah begitu yakin jika melihatnya, aku akan langsung menjadi pesaingnya. Aku belum pernah melihat seorang gadis cantik yang bisa membuatku jatuh cinta dalam pandangan pertama. Aku butuh waktu berbulan-bulan mengenal Catherine barulah aku jatuh cinta padanya. Bagiku, jatuh cinta pada pandangan pertama hanya lelucon drama murahan televisi. Hal seperti itu tidak benar-benar bisa terjadi.
“Kau ingat iklan bir yang kita buat di Cheko, David? Bukankah tempat ini mirip?” tanyaku setelah memerhatikan dengan seksama ruang bawah tanah tempat aku disekap. Ruanganku adalah ujung dari sebuah lorong—yang aku yakin cukup panjang—dengan langit-langit berbentuk lonjong. Dindingnya terbuat dari bata merah setinggi tiga meter. Lorong itu cukup lebar untuk bisa dilalui empat orang sekaligus.“Maksudmu Pilsen? Yeah, lorongnya memang mirip. Kalau kau ingat kata-kata Benjamin, tidak seharus kau terkejut. Bangunan ini sama tuanya.”Aku tidak pernah menyangkan akan ada ruangan seperti ini di bawah apartemenku. Selain ruangan tempat aku disekap terdapat dua ruangan lain yang pintunya tertutup. Sepertinya, aku akan menemukan banyak ruangan seperti itu sepanjang perjalanan keluar.Lorong panjang di depanku diterangi oleh lampu-lampu neon yang dipasang di atasnya. Andaikata neon-neon itu dimatikan pastilah tempat ini akan gelap-g
Kematian Wendy membuat Nelson menyerah. Setelah gadis itu lenyap menjadi debu, Nelson langsung berlutut dan mengangkat tangannya.“Semua penyihir di dunia ini akan mengejarku. Dan, karena Wendy telah mati, aku tidak bisa berlindung lagi di balik punggungnya. Lebih lagi, sebenarnya Wendy Orsey telah melanggar hukum yang ditetapkan oleh Hareruha dengan berusaha mengambil persembahan dengan sihir hipnotis. Ini adalah kesempatan besar bagi Nyonya Borden untuk menghabisi seluruh penyihir yang mengikuti Wendy,” kata Nelson panjang lebar. Aku tidak benar-benar mengerti apa yang dikatakannya. “Aku menyerah, lebih baik mati di tangan kalian daripada di tangan mereka.”Setelahnya, pria itu menuruti semua perintah dari Willy dan Benjamin Black. Nelson didudukkan di tempat aku diikat sebelumnya. Namun, tangannya tidak diikat seperti aku. Hanya saja, Willy mengarahkan sebuah pistol tua—seperti pistol milik Van Helsing di film—ke tempurung kepalan
Mataku terbuka dengan pelan bersamaan dengan sayup-sayup nada lembut yang menggelitik indera pendengaranku. Aku seperti bayi yang sedang dibuai agar tertidur dengan lelap. Ditambah lagi desir angin yang sepoi membasuh wajahku, membuat mataku ingin segera kembali terpejam. Namun, entah apa yang mendorongku untuk menahan kantuk itu dan meyakinkan diri untuk terjaga.Aku mencium bau laut. Mendengar debur ombak dan desis pantai yang tergerus. Rasa hangat yang nyaman merayapi sekujur tubuh. Terang mentari yang mencerahkan segalanya memenuhi mataku yang berusaha mengenali di mana aku berada.Dengan pelan, aku bangkit dan terduduk. Pada akhirnya aku bisa mengenali dimana aku saat ini. Sebuah pantai tropis yang sangat indah membentang di depanku.Aku yakin bahwa aku tak pernah sekalipun menginjakkan kaki di tempat ini, tetapi entah kenapa aku merasa mengenali suasananya. Tubuhku tidak bereaksi seperti orang yang pertama kali datang, tetapi laksana orang ya
Saat membuka mata, aku langsung diserang rasa sakit di perut yang menusuk-nusuk. Aku sampai meringis karena berupaya menahan rasa sakitnya. Belum selesai dengan rasa sakit itu, bau busuk menyerangku dengan membabi-buta. Aku menerka bahwa sekamar dengan bangkai anjing.Aku langsung mual. Apa pun yang hendak keluar dari mulutku sudah mencapai ujung tenggorokan. Mati-matian aku menahannya, tetapi sia-sia. Jadi, dengan penglihatan yang masih samar, aku muntah sejadi-jadiya. Semua masakan Benjamin keluar dari perutku, menambah bau busuk di ruangan ini. Lalu, bersama bau busuk sebelumnya, mereka menyerang penciumanku dengan membabi-buta.Sambil terengah-engah, aku menatap muntahanku yang membanjiri lantai. Aku jijik sendiri sehingga muntah kembali. Tampaknya aku tidak mengunyah spagetiku dengan benar karena sebagaian muntahanku masih menunjukkan bentuk asli dari makanan itu. Sialnya, celana dan sepatuku terkena muntahanku sendiri.Setelah isi perutku hampir seluruhnya
Yui melempar ransel ke punggungnya sedangkan aku langsung mengangkat tas tenis sembari menyambar tangannya. Aku berbalik dan melangkah menuju pintu. Namun, aku merasakan Yui menolak tarikan tanganku. Saat menoleh, aku mendapatkan Yui bergeming di tempatnya dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. Jari tangan Yui saling meremas. Aku menatap matanya dan merasakan binarnya meredup.“Kita akan ke mana?” tanya gadis itu. Aku menangkap getar dalam suaranyaAku menjatuhkan tas tenis lalu mendekat pada Yui. Dengan pelan, aku mengelus pipinya. Kulit pipinya terasa lembut di tanganku. “Ke tempat aman sampai semuanya selesai. Setelah semuanya selesai, kita akan mengurus semua masalahmu,” jawabku. “Percayalah padaku. Aku tidak akan meninggalkanmu.”Yui menatapku tajam sebelum mengangguk. Kedua tangannya meraih lenganku lalu menggenggamnya dengan erat. “Aku percaya padamu, Mikky. Aku akan selalu menggenggam tanganmu seerat ini dan ta
Benjamin dan Willy entah berada di mana karena aku tidak melihat mereka di mana-mana: di ruang depan, di ruang televisi, di dapur, kamar mandi, dan ruang-ruang lain yang pernah aku masuki. Aku kembali ke kamar. Di dalam kamar sudah ada David dengan sweater yang agak kebesaran. Karena penghangat rumah ini tidak dinyalakan, hawa dingin sehabis hujan yang menyelinap masuk terasa menusuk.“Benjamin dan Willy tidak ada di ruang depan,” kataku pada David yang sedang duduk di ranjangku. Aku berdiri di depannya sedangkan David melihat arloji di tangannya. Kalau tidak salah, ini sudah pukul sebelas malam. Aku sempat melirik jam dinding di ruang televisi sebelum mendaki tangga ke lantai dua. “Sepertinya pintu depan juga tidak terkunci. Ini saatnya aku pergi,” lanjutku.“Kau benar-benar yakin akan pergi ke sana, Mikky?” tanya David. Aku menangkap rasa khawatir pada suaranya.“Iya. Aku tidak bisa membiarkan Yui sendirian.”