Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati

Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati

last updateLast Updated : 2025-07-14
By:  Fajria AltingUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
11Chapters
169views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Saat kembali dari luar kota setelah diberi libur seminggu, Azkara, seorang kuli bangunan muda, mendapati istrinya Shafira, menghilang, rumahnya yang bobrok dipasangi banner "dijual cepat" dan tabungan umroh mereka hilang dibawa istrinya itu. menurut desas-desus Shafira kabur bersama pria lain yang diduga bernama Angga, yang belakangan diketahui sepupu Satria, sahabat Azkara, membawa tabungan umroh mereka dan menggadaikan sertifikat rumahnya. Bagaimana Azkara membalas perbuatan Shafira dan orang-orang yang mengkhianatinya?

View More

Chapter 1

Bab I Kejutan Tak Terduga

Azkara tertegun menatap bangunan bobrok di depannya. Rasa rindu yang semula membuncah didada bidangnya, langsung tergantikan dengan ekspresi keheranan luar biasa. Sepasang mata teduhnya menajam saat membaca sebuah banner bertuliskan

‘Dijual, hubungi nomor ….’

Tulisan menempel di dinding triplek yang tersambung tembok setinggi pinggang orang dewasa di bagian bawahnya. Dan nomor itu terasa asing baginya. Rasa lelah yang mendera tubuhnya hilang seketika dengan kejutan tak terduga ini.

Sejak kapan rumah ini jadi milik orang lain? Apalagi mau dijual? Azkara sekali lagi mengedarkan pandangan kesal dan bingungnya ke seluruh halaman dan bentuk bangunan di hadapannya.

Apa ia salah rumah?

Bentuk rumah yang reot bercat coklat pudar. Dindingnya bata merah disambung dengan triplek yang sudah banyak lubangnya sebesar jarum. Jendela kayu tersambung oleh engsel karatan. Atap rumah genting yang banyak lumutnya sebagian ditambal dengan terpal untuk menutupi bagian yang bocor. Halaman yang kini ditanami sayuran yang mulai layu itu tampak tak terurus. Penuh dengan sampah dedaunan kering dan ranting pohon jambu air. Tanah kering seperti tak pernah tersiram air. Rumah ini benar-benar seperti tanpa penghuni.

Tidak!

Ini jelas rumahnya!

Tak mungkin salah!

Bahkan rumah tetangga di sebelah kanan dan kirinya masih sama. Untuk memastikan pandangannya benar, sekali lagi ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempatnya berdiri. Di sebelah kiri rumah Mbah Kung alias Pak Sarwo yang bercat biru dengan halaman kecil penuh tanaman singkong yang sangat dikenalnya, karena kebaikan hati pria tua itu serta anak dan cucunya. Di sebelah kanan rumahnya adalah milik Ibu Nurmala, wanita berusia 30an yang doyan bergosip, tapi baik hati dan suka menolong tanpa pamrih.

Benar!

Ini rumahnya!

Lalu kenapa ada benner itu tergantung di depan rumah bobroknya?

Apa Shafira, istrinya yang menempelnya?

Tapi kenapa?

Seingatnya ia tak pernah mengatakan pada wanita muda itu jika rumah mereka akan dijual.

Azkara tetap berdiri di depan pagar kayu yang masih terbuka. Dadanya kembang kempis menahan kesal. Ia ingat betul tak pernah meminta sang istri untuk menjual rumah ini. Ia berusaha mengingat-ingat kembali obrolan terakhir dengan wanita itu.

Tak muncul dalam memorinya bayangan obrolan mereka tentang hal itu. Bahkan ia pernah mengatakan akan merenovasi rumah jika tabungannya sudah melebihi biaya umroh mereka berdua.

Azkara langsung menutup pagar kayu rumahnya dan melangkah tergesa-gesa ke dalam rumah. Rasa rindu yang sejak beberapa bulan terpendam didadanya seketika menguap begitu saja. Berganti rasa cemas dan kecurigaan yang harus segera dituntaskan. Dengan agak buru-buru ia membuka pintu kayu yang warnanya sudah pudar, bahkan tripleknya sudah mulai mengelupas.

Tangannya bergerak membuka handel pintunya, tapi tak mau terbuka. Untung saja ia dan Shafira selalu membawa kunci cadamganci cadangan masing-masing saat keluar rumah. Bau apek dan debu menyerbu penciumannya begitu pintu terbuka.

Sepi.

Kosong.

Tak ada siapapun di dalam rumah. Azkara makin yakin jika Shafira tak ada di rumah. Untung saja ia membawa kunci cadangan. Azkara melangkahkan kaki panjangnya memasuki ruangan depan yang kecil itu. Laba-laba asyik bersarang di beberapa sudut ruangan.

Tangannya yang kokoh membuka jendela kaca yang ditutup jendela kayu di bagian luarnya untuk menghalau bau tak sedap di ruangan berukuran 3 kali 3 meter itu. Udara segar khas pegunungan di kaki gunung tangkuban Perahu menerpa wajah tampannya.

Azkara menatap karpet plastik alas duduk yang biasa dirinya dan Shafira gunakan menutupi lantai semen berwarna abu-abu itu sudah sangat kotor tertutup debu. Batinnya bergejolak penasaran.

Kemana Shafira?

Berapa lama wanita itu pergi dari rumah?

Kenapa rumah ini begitu kotor dan berdebu?

Azkara segera memeriksa dapur kecil di belakang rumah.

Kosong.

Tak ada wanita cantik itu di sana. Peralatan dapur dan piring kotor menumpuk di lantai tempat pencucian piring yang juga berfungsi sebagai tempat mencuci baju dan berwudhu. Tempat itu dibatasi tembok setinggi 10 senti untuk mencegah cipratan air membasahi lantai dapur. Baju-baju kotor masih menumpuk di dalam ember besar. Bau tak sedap dari sampah busuk, piring kotor penuh sisa makanan membuatnya mengernyit mual.

Baju-baju kotor di dalam ember besar menambah semarak suasana. Sepertinya belum dicuci sejak terakhir ia pulang. Sebagian malah terkena tetesan air hingga menimbulkan bau busuk lainnya, menyerbu hidung mancungnya. Azkara berjalan ke arah jendela dapur dan membukanya untuk mengusir debu dan bau yang terperangkap di ruangan sempit itu. Tubuh tinggi tegap itu mematung menatap halaman belakang yang ditumbuhi rumput liar setinggi setengah meter. Pria berkulit kecoklatan itu menggeleng-geleng tak percaya.

Kamar tempat peraduannya dengan sang istri menjadi sasaran berikutnya. Kembali ia mendapati hal serupa. Kosong dan pengap berdebu. Buru-buru pria berusia awal dua puluhan itu membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Sinar matahari siang memancar masuk kedalam kamar hingga membuatnya silau. Tangan Azkara spontan membuat penghalang menutupi pandangannya.

Azkara membenahi gorden transparan yang tampak kotor berdebu untuk menghalangi sinar matahari.

Azkara duduk termenung di tepian kasur lantai yang sudah lepek. Cepat dikeluarkannya seluler sederhana yang sudah ketinggalan mode, memeriksa pesan di aplikasi hijau ataupun daftar riwayat teleponnya. Tak satupun kabar dari istrinya muncul di sana selama tiga bulan terakhi. Bahkan ratusan pesan yang telah dikirimnya tak berbalas sama sekali. Berkali-kali pemuda itu mencoba menelpon istrinya.

Tidak aktif.

Azkara juga sudah berkali-kali memeriksa kuota maupun pulsanya. Tak ada masalah dengan itu semua. Kelelahan karena perjalanan panjang dari lokasi pembangunan rel kereta cepat yang menghubungkan Bandung dan Jakarta, membuat tubuh kekarnya tak bertenaga lagi untuk beraktivitas. Ia menyerah dan berbaring miring di kasurnya.

Namun bau apek dan debu yang menguar dari sprai maupun kasur lepek itu mengganggunya dan membuatnya terbangun kembali. Azkara memutuskan mengeluarkan kasur yang sudah menipis busanya itu ke luar untuk dijemur. Panas matahari semoga bisa membuatnya hangat dan membunuh bakteri di atasnya. Sementara sprainya harus diganti dengan yang baru.

“Shafira udah pulang, ya? Tadi aku liat jendelanya pada kebuka..”.

Suara seorang wanita agak serak, khas wanita paruh baya, tertangkap indera pendengarannya. Azkara tertegun, menoleh ke arah asal suara. Nampaknya ada yang sedang mengobrol di depan rumah Nirmala. Azkara menajamkan pendengarannya penasaran saat nama sang istri disebut-sebut dalam obrolan.

“Kayanya, sih, udah, da soalna tadi teh kedenger ada yang buka pintu juga,” suara lain menyahut dengan logat khas Sundanya, Azkara yakin itu Bu Minah, tetangganya yang lain.

“Emang udah puas, ya, jalan-jalannya,” suara nyiyir yang diketahui Azkara milik Bu Zakira terdengar julid di telinganya medok khas wong Jowo.

“Kok, bisa, ya, suami pergi nyari nafkah, istri malah jalan-jalan sama…”

“Huss!” Potong suara yang diyakini Azkara milik Mbak Lela, tetangganya yang lain, “jangan gosip, ah!”

Krek!

Tanpa sadar Azkara meremas penggebuk kasur di tangannya dengan keras hingga benda berbentuk mirip raket badminton itu patah gagangnya. Ia tak ingin percaya begitu saja dengan omongan mereka. Tapi tak urung rasa curiga menyergap batinnya hingga sesak.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
11 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status