Accueil / Romansa / Om Bule Kekasihku / Sunyi Yang Tidak Bersuara

Share

Sunyi Yang Tidak Bersuara

Auteur: Sabrina dewi
last update Dernière mise à jour: 2025-12-22 17:10:01

Hamburg tidak pernah benar-benar tidur, tapi ia juga tidak pernah benar-benar terjaga untuk Nadia.

Hari-hari pertama berlalu dalam pola yang hampir sama. Daniel berangkat pagi dengan mantel panjang dan wajah fokus. Nadia berdiri di depan jendela apartemen, menyaksikan punggung lelaki itu menjauh bukan dengan rasa ditinggalkan, melainkan dengan kesadaran bahwa dunia mereka kini bergerak dalam kecepatan yang berbeda.

Ia mencoba mengisi waktunya.

Pagi hari, Nadia berjalan menyusuri kanal. Air mengalir pelan, nyaris tanpa riak. Orang-orang berlalu dengan langkah cepat, mata lurus ke depan. Tidak ada senyum basa-basi. Tidak ada sapaan tanpa tujuan. Kota ini efisien dan Nadia merasa seperti titik kecil yang belum terdaftar.

Ia masuk ke cafe kecil di sudut jalan. Kopinya pahit, disajikan tanpa kata. Ia duduk lama, membuka buku sketsa yang ia bawa dari Ubud. Tangannya mencoba bergerak, tapi garis-garisnya kaku. Warna-warna di kepalanya seolah membeku.

“Tenang,” bisiknya pada diri sendiri.
Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Chapitre verrouillé

Latest chapter

  • Om Bule Kekasihku   Kehangatan Datang Tanpa Peringatan

    Pagi itu dimulai seperti hari-hari lain di Hamburg abu-abu, dingin, dan teratur. Nadia sedang menyeduh teh di dapur ketika ponsel Daniel bergetar. Ia melirik layar sekilas, lalu terdiam. Wajahnya berubah bukan tegang, bukan panik, melainkan terkejut dengan cara yang nyaris lucu. “Ada apa?” tanya Nadia. Daniel mengangkat wajahnya perlahan. “Orang tuaku… mereka di Hamburg.” Nadia membeku. “Sekarang?” Daniel mengangguk. “Mereka baru mendarat dari London. Katanya… ingin bertemu.” Kata ingin bertemu menggantung di udara. Tidak disebutkan siapa yang ingin mereka temui, tapi keduanya tahu jawabannya. “Aku minta maaf,” kata Daniel cepat. “Aku tidak tahu mereka akan datang mendadak.” Nadia meletakkan cangkirnya. Jantungnya berdegup, tapi anehnya tidak liar. “Kenapa mereka datang?” Daniel menghela napas pendek. “Ayahku selalu datang kalau dia merasa aku sedang berada di persimpangan.” Mereka tiba di apartemen menjelang siang. Bel pintu berbunyi dengan tegas, sekali. Daniel mem

  • Om Bule Kekasihku   Malam Tanpa Jalan Mundur

    Malam turun perlahan di Hamburg, membawa dingin yang lebih sunyi dari biasanya. Apartemen itu hanya diterangi lampu meja. Nadia masih duduk di lantai, buku sketsanya terbuka, pensil tergeletak di sampingnya. Daniel berdiri di dekat jendela, menatap kanal yang hitam dan tenang. Tidak ada musik. Tidak ada televisi. Hanya dua orang dewasa yang sama-sama tahu: percakapan ini tidak bisa ditunda lagi. Daniel memecah keheningan. “Ada banyak hal tentang hidupku yang belum aku ceritakan sepenuhnya,” kata Daniel pelan. “Bukan karena aku ingin menyembunyikan… tapi karena aku terbiasa memisahkan.” Nadia menutup buku sketsanya, lalu berdiri. “Aku tidak meminta semuanya,” kata Nadia jujur. “Aku hanya ingin tahu bagian yang menentukan hidup kita.” Daniel mengangguk. “Dan bagian itu… adalah perusahaanku.” Ia duduk di sofa, menepuk tempat di sampingnya. Nadia duduk, menjaga jarak tapi bukan karena menjauh, melainkan karena ia ingin mendengar dengan kepala jernih. “Fotografi adalah caraku be

  • Om Bule Kekasihku   Kanvas, Cahaya Dan Pilihan Yang Tidak Bisa Ditunda

    Undangan itu akhirnya Nadia terima.Bukan karena Rebecca. Bukan pula karena ingin membuktikan apa pun. Ia menerimanya karena ada bagian dari dirinya yang rindu bernapas di ruang yang memahami bahasa warna dan keheningan. Galeri itu terletak di distrik tua Hamburg dengan bangunan bata merah dengan jendela tinggi. Di dalamnya, cahaya putih jatuh lembut pada kanvas-kanvas besar. Ruangan terasa hening namun hidup, seperti detak jantung yang tertahan. Rebecca sudah menunggu di dekat pintu masuk. “Kamu datang,” kata Rebecca, tersenyum tipis. Nadia mengangguk. “ya, I need.” Rebecca menatapnya sejenak bukan dengan sikap merendahkan, melainkan penasaran. “Mari,” kata Rebecca, lalu berjalan di samping Nadia. Tidak mendahului, tidak tertinggal. Mereka menyusuri lukisan demi lukisan. Rebecca memberi komentar singkat tentang komposisi, tentang seniman, tentang konteks. Nadia mendengarkan, tapi lebih banyak diam. Ia sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Di sebuah sudut, Nadia berhenti

  • Om Bule Kekasihku   Sunyi Yang Tidak Bersuara

    Hamburg tidak pernah benar-benar tidur, tapi ia juga tidak pernah benar-benar terjaga untuk Nadia. Hari-hari pertama berlalu dalam pola yang hampir sama. Daniel berangkat pagi dengan mantel panjang dan wajah fokus. Nadia berdiri di depan jendela apartemen, menyaksikan punggung lelaki itu menjauh bukan dengan rasa ditinggalkan, melainkan dengan kesadaran bahwa dunia mereka kini bergerak dalam kecepatan yang berbeda. Ia mencoba mengisi waktunya. Pagi hari, Nadia berjalan menyusuri kanal. Air mengalir pelan, nyaris tanpa riak. Orang-orang berlalu dengan langkah cepat, mata lurus ke depan. Tidak ada senyum basa-basi. Tidak ada sapaan tanpa tujuan. Kota ini efisien dan Nadia merasa seperti titik kecil yang belum terdaftar. Ia masuk ke cafe kecil di sudut jalan. Kopinya pahit, disajikan tanpa kata. Ia duduk lama, membuka buku sketsa yang ia bawa dari Ubud. Tangannya mencoba bergerak, tapi garis-garisnya kaku. Warna-warna di kepalanya seolah membeku.“Tenang,” bisiknya pada diri sendiri.

  • Om Bule Kekasihku   Kota Asing Wajah Lama

    Hamburg menyambut Nadia dengan dingin yang tidak ia kenal. Udara menusuk kulit begitu pintu bandara terbuka. Nafasnya mengepul tipis, seolah tubuhnya belum siap menerima kenyataan bahwa ia kini benar-benar berada jauh dari Ubud. Tidak ada aroma tanah basah, tidak ada suara serangga malam. Yang ada hanyalah langkah-langkah cepat, roda koper di lantai, dan bahasa yang terdengar tegas, nyaris tanpa emosi. Daniel bergerak lincah di antara keramaian. Posturnya berubah. Bahunya lebih tegak, langkahnya pasti. Ia bukan lagi fotografer santai yang duduk berjam-jam di cafe kecil Ubud. Di sini, ia adalah seseorang yang pulang ke medan tanggung jawab. Nadia memperhatikannya dari sisi lain koper. “Aku baik-baik saja,” kata Nadia, meski Daniel belum bertanya. Daniel menoleh, senyum kecil muncul di wajahnya. “Aku tahu. Tapi aku tetap ingin memastikan.” Di luar bandara, kota terbentang dalam warna-warna dingin: abu-abu, biru gelap, putih lampu jalan. Bangunan tinggi berdiri rapi, seperti orang

  • Om Bule Kekasihku   Pesan Yang Dikirimkan Dengan Tangan Gemetar

    Keputusan itu diambil terlalu cepat untuk disebut rencana, dan terlalu penting untuk disebut kebetulan. Pagi itu, Ubud masih basah oleh embun ketika Daniel menerima panggilan terakhir dari Hamburg. Nada bicaranya singkat, tegas, dan tidak memberi ruang tawar-menawar. Ia harus berangkat malam itu juga. Nadia mendengarnya dari ambang pintu. Tidak ada drama. Tidak ada kepanikan. Hanya keheningan yang terasa berat. “Maaf,” kata Daniel pelan setelah menutup telepon. “Aku tidak menyangka mereka akan mempercepat semuanya.” Nadia mengangguk. Anehnya, ia tidak menangis. Keputusan sudah diambil. Yang tersisa hanyalah keberanian untuk menjalaninya. “Aku ikut,” kata Nadia singkat. “Kita berangkat bersama.” Waktu bergerak aneh setelah itu, terasa cepat dan lambat sekaligus. Nadia berjalan mengelilingi cafe seperti orang yang sedang menghafal kenangan. Ia menyentuh meja kasir, rak kopi, dinding tempat lukisan kecilnya tergantung. Lukas sudah datang lebih awal, membawa map dan rencana ke

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status