Disya sudah seperti mayat hidup belakangan ini. Gadis itu kurang makan, kurang tidur, bahkan waktunya selalu di sibukkan di depan laptop, lembaran kertas, juga buku-buku tebal yang bertumpuk. Devan menyuruh Disya untuk mengambil waktu sidang paling dekat, yaitu hari Sabtu, yang seharusnya dilakukan hari Senin.
Disya berjalan lunglai dengan membawa laptop menuju ruang kerja Devan. Disya menangkap sosok Devan yang sedang duduk di kursi kerjanya, dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya. Disya tahu, suaminya itu menyadari jika ia masuk, tapi karena terlalu fokus dengan laptop di depannya lelaki itu seolah tidak peduli.
Ini sudah pukul sebelas lebih lima menit, tapi Devan tidak mengijinkan Disya untuk tidur sebelum ia selesai merevisi skripsinya.
"Pak Devan, benar-benar dosen galak!" Tidak tahu, sudah berapa kali kata-kata seperti itu muncul dari mulut Disya belakangan ini.
Disya melangkah mendekati sofa panjang lalu merebahkan tubuhnya di sana, d
Devan menatap wajah Disya yang masih terpejam. Wajahnya yang bersemu merah—bukan karena sedang tersipu malu, tapi karena demam. Secepat mungkin Devan menyelesaikan kegiatan meeting-nya, dan kembali ke rumah.Memandang wajah Disya seperti ini, membuatnya kembali mengingat obrolannya dengan Diky saat perjalanan ke kantor, tadi pagi."Saya rasa Pak Devan terlalu berlebihan kepada Disya," katanya dengan kedua tangan yang fokus berada di kemudi."Maksud kamu?" tanya Devan menatap Diky dengan kening yang mengernyit bingung."Menurut saya, Pak Devan harusnya bersikap acuh, seolah tidak peduli dengan kehadiran Disya. Buatlah kesan buruk, supaya Disya membenci Pak Devan," kata Diky menatap Devan sekilas, lalu kembali fokus menatap jalanan. "Tidak perlu membuat topeng wajah seolah-olah khawatir dengan keadaan Disya," lanjutnya.Wajah Devan berubah dingin, tangannya mengepal kuat. Ada perasaan tidak terima saat Diky mengatakan jika dirinya memakai topen
"Kai seolah tidak pernah menerima kehadiranku. Saat kita bersama dia selalu membicarakan Disya, itu membuat aku kesal Dev," kata Naisya mengadu.Devan yang sedang duduk di kursi kebesarannya masih terus memperhatikan Naisya yang sedang mengoceh, sudah dari dua puluh menit yang lalu Naisya mengeluarkan keluh kesahnya."Aku harus gimana lagi biar Kai suka sama aku?"Devan menghela napasya kasar. "Kata siapa Kai membenci kamu? Kamu harusnya bisa mengambil hati Kai. Tidak mungkin kan saya terang terarangan mengatakan secara langsung kepada Kai bahwa kamu Ibu kandungnya. Coba perlahan-lahan kamu coba mengambil hati Kai, katanya ikatan seorang anak dan Ibu sangat kuat?"Naisya memicingkan matanya."Kamu lagi nyindir aku, Dev?" tanya Naisya menatap Devan kesal."Fatya, saya sedang tidak mau berdebat!" kata Devan menatap Naisya tidak kalah kesal."Akhir-akhir ini kamu aneh! Kenapa sih?""Saya sibuk dengan pekerjaan saya di kantor
"Jadi kapan Neng Disya mau masakin makanan buat Bapak?" tanya Siti menatap Disya yang sedang menata meja makan.Gadis dengan rambut dicepol asal itu, menatap sebentar asisten rumah tangganya beberapa detik, lalu kembali sibuk dengan kegiatannya."Nanti aja deh setelah Disya wisuda, Disya mau masakin banyak banget makanan buat Pak Devan," katanya.Siti tersenyum. "Lagian Neng Disya kenapa harus sembunyi-sembunyi sih?"Disya terkekeh. "Disya tuh mau masakin Pak Devan kalau keahlian masak Disya udah jago," kata Disya berjalan menghampiri Siti yang berdiri di dekat mini bar. "Menurut Bi Siti, makanan Disya udah enak belum?" Lanjutnya lagi merangkul tangan kanan Siti.Siti mengangguk-anggukkan kepalanya pasti. "Masakan Neng Disya udah enak banget, Bibi juga kayanya kalah deh," kata Siti menatap istri majikannya dengan wajah yang pura-pura sedih. "Nanti kalau Neng Disya sudah masakin makanan buat Pak Devan sama Kai, bisa aja kan bibi dipecat sama Bapak."
"Acara resepsi sudah dekat, harusnya kamu membicarakan tentang ini di depan keluargamu," kata Syiren saat itu. "Apa perlu aku yang mengatakannya?" lanjutnya lagi, menatap Devan dengan tatapan sengit. "Saya akan meninggalkan Fatya!" kata Devan tegas. Syiren menatap manik mata Devan, memperhatikan kesungguhan lelaki itu tentang ucapannya. "Buktikanlah!" tantang Syiren. "Saya akan mengakhiri hubungan saya dengan Fatya. Tapi, saya mohon jangan ceritakan apapun kepada Disya. Jangan sampai Disya mengetahuinya ...." Devan memohon kepada Syiren. Lelaki itu sudah mencintai Disya ... Disya berhasil membuat Devan jatuh cinta. Mungkin, itu adalah alasan kenapa saat Fatya meminta Devan untuk menceraikan Disya, hatinya seolah tidak setuju. Harusnya Devan mengungkapkan perasaannya lebih dulu, tapi Devan terlalu gengsi untuk mengatakan hal itu. Devan belum terlambat! Lelaki itu akan menemui Disya dan mengungkapkan perasaanya. Devan merogoh saku jasnya, mengel
Disya mengusap wajahnya, dari beberapa jam yang lalu gadis itu masih berada di apartemen. Disya melirik jam tangannya yang sudah menunjuk ke angka delapan lebih lima menit.Perlahan kakinya menyentuh lantai, turun dari kursi bar dan berjalan hendak keluar dari apartemen. Saat lift yang di naikinya sudah berada di lantai lobby apartemen, banyak pasang mata yang memperhatikannya. Mungkin orang-orang melihat Disya seperti gadis linglung, kedua matanya menatap ke depan kosong, juga wajahnya yang pucat pasi.Disya mengabaikannya, berjalan keluar dari gedung itu. Kakinya melangkah lunglai menyusuri trotoar, suara dari kendaraan, juga klakson mobil dan motor terdengar saling bersahutan dari beberapa pengendara yang melaju dengan tidak sabaran. Jam lima sore tadi, hujan deras mengguyur kota. Sekarang sudah reda namun tetap menyisakan gerimis. Angin malam, dan gerimis membuat tubuh kedinginan. Tapi ... Disya tidak merasakan itu, mungkin karena hatinya sedang sakit, pikirannya k
Disya menatap dirinya di pantulan cermin, kebaya modern berwarna peach masih melekat di tubuhnya. Tangan Disya bergerak untuk menghapus make-up yang menempel di wajahnya.Tepat hari ini, Disya baru saja melangsungkan wisuda. Setelah mengganti pakaiannya dengan pakaian rumahan, Disya mulai memindah-mindahkan semua pakaian yang ada di lemarinya ke dalam koper. Matanya mengamati setiap sudut kamar, banyak foto-foto Disya dengan ayah dan bundanya yang terpajang di dinding.Disya tersenyum getir, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Kaki Disya berjalan keluar dari kamar, menuruni tangga untuk menuju ke dapur."Bi Siti, Bunda mana?" tanya Disya yang melihat hanya ada Siti yang sedang memasak di dapur.Siti menoleh lalu tersenyum menatap Disya. "Tadi sih bilangnya mau ke kamarnya, Neng," jawab Siti.Disya mengangguk. "Ya sudah, Disya ke kamar Bunda dulu kalau begitu. Bi Siti nggak papa masak sendiri dulu?""Iya ... enggak papa, Ne
Wajah Devan sudah terlihat sangat kacau, pakaiannya juga terlihat kusut dan berantakan. Penampilannya jauh dari penampilan Devan yang selalu terlihat rapih seperti biasanya. "Bang Dev, makan dulu," kata Naya mengusap punggung Abangnya. Mengajak Devan untuk makan, karena dari semalam lelaki itu tidak memasukkan apa-apa ke dalam mulutnya. Devan menyenderkan kepalanya ke bahu Naya. "Nay, Disya keguguran ...," lirih Devan menangis tergugu. Naya mengangguk pelan, melihat Devan seperti ini membuat Naya tidak tega. Naya memeluk tubuh Devan, membiarkan lelaki itu menangis di dalam pelukannya. "Abang sudah kehilangannya ...." Naya tidak bisa menahan tangisnya juga. Naya bisa merasakan kesedihan yang dialami oleh Devan. Gadis itu baru pertama kali melihat Abangnya menangis tergugu seperti ini. Bagaimana Devan tidak menangis, mengetahui jika Disya mengalami keguguran. Bahkan kehadiran janinnya saja, Devan belum mengetahui, tapi Tuhan sudah mengambilnya kembali.
Tepat pukul satu siang Disya terbangun. Dina yang selalu berada di samping Disya, menemani putrinya. Saat siuman, Disya langsung khawatir tentang keberangkatannya ke Yogyakarta yang harus dibatalkan karena Disya berada di rumah sakit sekarang."Hari ini kita harus pergi, Bunda ...," kata Disya lagi.Dina menggeleng. "Kamu harus pulih dulu, sayang," jawab Dina sembari mengelus pucuk kepala Disya lembut."Disya baik-baik aja kok! Disya cuman kecapean aja, enggak perlu dirawat juga," kata Disya.Sebenarnya itu tidak benar. Disya merasakan keram di bagian perutnya. Namun, dia harus berbohong karena gadis itu benar-benar ingin cepat pergi dari kota itu."Kamu harus tetap di sini, sayang."Disya memanyunkan bibirnya."Ayo makan dulu," ucap Dina. Mengambil makanan yang sudah disediakan. Disya menerima suapan yang disodorkan oleh Bundanya. Dina terus memperhatikan gerak-gerik Disya yang selalu menatap pintu yang tertutup rapat, wajah pu