"Briyyyy, sarapan dulu!" teriak Bu Shila dari ruang makan.
Brisya menarik tasnya cepat dan berlari keluar kamar."Briy udah telat, Buk. Nanti sarapan di sekolah aja!" teriak Brisya tak kalah kencang sambil berhambur keluar dari Panti.Bu Shila mengawasi Brisya yang sudah pergi dengan takjub, hampir setiap hari telat berangkat ke sekolah dan tidak ada perubahan, bahkan hingga detik-detik terakhir anak itu lulus SMA.Beruntung jarak sekolah dan Panti tak begitu jauh, jadi Brisya hanya perlu berlari kencang dengan kecepatan 100 km/jam untuk sampai di sekolah tepat sebelum bel berbunyi.Dan sudah tiga tahun keahliannya itu teruji, ia tak pernah sekalipun telat tiba di Sekolah. Brisya selalu sampai tepat waktu saat bel berbunyi."Hai, Briy, selamat pagi," sapa suara hangat di belakangnya.Aji sudah berdiri dan tersenyum menatap Brisya, saat gadis itu menolehinya."Hai, Ji. Selamat pagi juga!" balas Brisya riang. Melihat wajah ganteng Aji di pagi hari menjadi moodbooster tersendiri untuknya.Aji meletakkan tasnya di meja dan duduk di sebelah Brisya."Jadi kamu melanjutkan kuliah di mana?" tanya Aji menyelidik.Brisya menolehinya dan tersenyum lirih, "Entahlah, aku cuma bisa nunggu hasil PMDK, semoga aja diterima di jurusan yang aku mau," sahutnya sedih.Sejujurnya Brisya ingin kuliah di jurusan seni. Apa daya, Bu Shila dan Bu Rahmi ingin ia menjadi karyawan kantoran. Mereka ingin Brisya menjadi wanita karier, bukan guru seni tari.Aji menepuk pundak Brisya pelan."Semangka, Briy! Bukan Brisya namanya kalo cepet putus asa!" ucap Aji memberi semangat.Brisya tersenyum dan balik menepuk pundak sahabatnya itu. "Lalu kamu sendiri, gimana sama Loli?" tanya Brisya berbisik saat mengucapkan kata terakhir.Aji menarik nafasnya lelah, dan mengangkat kedua bahunya tak tahu menahu."Ahhh, dasar!! Masih ditolak juga??" tanya Brisya heran, Aji mengangguk lesu."Habisnya kamu, sih, nggak mau jadi cewekku! Kan, aku bingung cari yang setara sama kamu, Briy.""Ah, pret! Bilang aja kamu nggak laku!" potong Brisya cepat.Aji terkekeh. "Heran, aku sudah secakep dan sebaik ini masih aja ditolak cewek," desis Aji kesal."Nantiiii kalo udah nggak ada lagi cewek yang mau sama kamu, baru kamu bisa pacarin aku," ucap Brisya menggodanya."Bener?? Awas ya, kalo kamu bohong, aku pegang janji kamu!""Tapi bo'ong!!!Hahahahaa!!" potong Brisya terkekeh sambil mencubiti lengan Aji gemas.******************************************Brisya memperhatikan boneka Barbie yang ia simpan rapi di lemarinya. Ia ingat beberapa memori indah di balik hadirnya boneka itu. Dengan seorang kakak, ia lupa namanya. Kakak yang memiliki senyum dan pelukan yang hangat. Kakak yang berjanji akan kembali ke sini, akan tetapi hingga Brisya akan lulus SMA pun, ia tak kunjung datang.Brisya menutup pintu lemarinya. Ia selalu kesal dengan seseorang yang berjanji dan tak pernah ditepati. Sejak ia paham akan arti sebuah janji, sebisa mungkin Brisya berusaha untuk selalu menepatinya. Ia paham betapa sakitnya bila seseorang ingkar dengan janjinya."Briy, ada Aji tuh di luar." Bu Shila tiba-tiba muncul mengagetkannya.Brisya beranjak dan keluar dari kamarnya pelan. Bu Shila memperhatikan Brisya dari jauh.'Dia pasti teringingat Haris lagi,' batin Bu Shila sedih.Entah di mana sekarang bocah itu. Tak seorang pun tahu keberadaannya. Yang mereka tahu Haris ikut Mamanya tinggal di luar kota, dan itu sudah cukup karena mereka tahu, Haris berada di tangan yang aman dan tepat."Hai, Ji! Ada apa malem-malem ke sini?" sapa Brisya saat melihat Aji duduk dan bermain dengan anak-anak Panti."Kangen sama kamu, lah! Besok ikut jalan-jalan, yuk!""Mau ke mana?""Rahasia, lah! Yang pasti nggak usah pake dress aneh aneh, pake yang casual saja, oke!" tukas Aji riang, Brisya mengangguk paham. Lalu ikut membaur dengan anak-anak Panti yang sedang asyik bermain sebelum jam tidur tiba.**************************Minggu pagi, Aji menjemput Brisya dengan mobil jeepnya. Jeep klasik yang terbuka di bagian atasnya. Aji membawa Brisya jalan-jalan ke danau di sebuah perbukitan.Brisya tak pernah tahu ada tempat seindah ini di kotanya karena memang sejak kecil ia hidup dan besar di Panti. Ia tidak kenal dunia luar selain Panti dan sekolahnya. Dunianya hanya berkutat dengan Panti dan Panti."Kamu pasti belom pernah ke sini," ledek Aji mencibir Brisya yang sedari tadi tak henti berdecak kagum.Brisya meliriknya kesal, "Enak aja!! Kok bener, sih!" rutuknya pura-pura sedih dan mengusap air mata.Aji terkekeh dan melingkarkan tangannya di bahu Brisya."Duduk di sana, yuk!" pinta Brisya sambil menunjuk sebuah dermaga kayu.Aji mengangguk setuju dan mengikuti langkah Brisya yang penuh semangat.Mereka berdua sampai di sebuah dermaga kayu kecil, Brisya cepat-cepat duduk dan melepas sepatunya. Menurunkan kedua kakinya ke air danau yang dingin. Sementara Aji beringsut duduk di samping Brisya yang terlihat bahagia bermain air."Sejak aku kecil, dunia yang aku tahu cuma Panti tempatku tinggal," desis Brisya lirih, melirik Aji yang mengawasinya dengan iba."Jangan sedih begitu, dong! Aku nggak lagi cerita yang sedih sedih.""Tapi ceritamu menyedihkan, tahu!" potong Aji terkekeh.Brisya tersenyum keki, lalu kembali sibuk bermain air. Mengayunkan kakinya naik turun ke dalam air."Apa yang membuatmu masih bertahan di Panti? Bisa saja kamu di adopsi kalo kamu mau, kan?" tanya Aji penasaran.Brisya tertunduk sedih, tapi detik berikutnya ia mendongah menatap langit. Matanya memanas bila mengingat janji seseorang yang akan datang menjemputnya."Nggak tahu, belum ada yang cocok mungkin," sahutnya santai, menolehi Aji dan tersenyum."Di adopsi itu seperti memilih jalan hidup, kamu akan seumur hidup stuck and stick dengan mereka. Jadi kalo nggak sreg buat apa? Toh, aku punya Bu Rahmi dan Bu Shila yang sudah seperti orang tuaku sendiri," lanjut Brisya lugas."Kadang aku iri, sih, apalagi kalo pas momen-momen tertentu. Pas ulang tahun, pas kelulusan, pas lagi sakit, aku iri liat kalian yang mempunyai orang tua," suara Brisya mulai serak.Aji menggenggam tangan sahabatnya itu, mencoba berbagi kekuatan. Yang saat ini di butuhkan oleh Brisya hanyalah pendengar yang baik."Bisa di bayangin nggak, kamu dibuang dan masih berharap akan dijemput oleh siapapun itu, and its hurt! It's really ... really hurt!" desisnya pelan, lalu mendongah lagi. Menahan air matanya yang meringsek ingin keluar."Kalo mau nangis jangan di tahan, kaliii! Keluarin aja biar kamu lega!" perintah Aji risih, melihat Brisya berkali-kali mendongah hanya untuk menahan air matanya.Brisya menolehi Aji cepat dan menggeleng. "Siapa yang mau nangis ih, langitnya tuh indah banget, tahu! Coba itu, lihat!" Brisya balik memerintah Aji agar ikut mendongak.Aji menarik Brisya ke dalam pelukannya, mendekap tubuh mungil dan kurus itu dengan hangat."Berpura-pura kuat nggak akan membuatku berhenti sayang sama kamu, kok, menangislah," ucap Aji lirih, mengusap punggung Brisya dengan lembut.Brisya memeluk Aji dengan erat. Ia seperti dejavu. Tapi wanginya bukan wangi yang ada di jaket Aji. Wanginya berbeda."Ih, siapa yang mau nangis! Nggak ada ceritanya Brisya nangis!!" cecar Brisya kesal. Mencubit pinggang Aji gemas."Aw, sakit, Briy!" teriak Aji menggeliat.Brisya terkekeh dan mengurai pelukan Aji. "Kalo kita sudah kuliah dan beda Universitas, jangan bosen, ya, ajakin aku jalan-jalan!!" desis Brisya di telinga Aji pelan.Aji menangkup wajah Brisya gemas. "Denger ya, mau kuliah di manapun kamu, aku akan selalu ngikutin kamu di manapun itu! Jangan pikir kamu bisa bebas dari aku, ya!" ucapnya serius, Brisya mencibir tak percaya."Kamu tahu sejak dulu aku tergila-gila sama kamu, kan! Jadi jangan coba-coba kamu lepas, ya," lanjut Aji menatap Brisya lekat-lekat."Stop it, kamu mulai lagi, kan!""Briy, kapan kamu bisa percaya kalo aku sayang banget sama kamu.""Aji, please, kita udah bahas ini berkali-kali dan ujung-ujungnya kita selalu berantem, kan!!"Aji diam, ia melepas tangannya yang sedari tadi menangkup wajah mungil Brisya."Kita lebih baik begini, Ji, jangan lebih dari ini. Aku lebih nyaman kita seperti ini, aku nggak mau dan nggak bisa bayangin kalo suatu saat kita harus jauh karena musuhan, pacaran itu nggak asyik, kalo putus pasti musuhan," ucap Brisya lugas, menarik wajah Aji agar menatapnya.Aji membuang nafasnya kesal, pada akhirnya ia harus mengalah lagi."Aku tahu kamu sayang sama aku, kamu juga tahu gimana perasaanku ke kamu, kan. Jadi buatku itu sudah cukup tanpa ada embel-embel pacaran, okey??" sambung Brisya lagi, berusaha tersenyum.Aji berpaling, hatinya masih kesal. Namun, entah mengapa ia selalu setuju dengan keputusan Brisya. Setidaknya meski mereka tak pacaran tapi kedekatan batin itu tak bisa di pungkiri, Brisya hanya milik Aji!"Sudah tidur, Briy??" Sebuah suara lembut mengagetkan Brisya yang sedang serius membaca buku diktatnya.Brisya akhirnya di terima di Universitas Negeri melalui jalur PMDK di jurusan Akuntansi."Belum, Ibuk. Brisya masih belajar," sahut Brisya sambil menutup buku diktatnya dan beranjak menghampiri Bu Shila yang sudah duduk di tempat tidurnya."Ibu capek, ya? Mau Brisya pijat?" tanya Brisya melihat Bu Shila yang terlihat lelah.Bu Shila menggeleng dan menatap salah satu putri Panti yang paling ia sayang."Ibu mau ngasih sesuatu sama kamu," ucap Bu Shila lirih, merogoh saku dasternya dan menyodorkan sebuah kalung berliontin inisial huruf "B"."Ini milikmu, Brisya kecil saat pertama kali tiba di rumah ini memakainya," lanjut Bu Shila lugas, sambil meletakkan kalung itu di telapak tangan Brisya."Apa kamu ingat sesuatu??" tanya Bu Shila penasaran saat Brisya hanya tertegun melihat kalung itu.Brisya mengawasi Bu Shila dan menggeleng. Ia bahkan lupa pernah memakai kalung ini di lehernya."Y
Hari berlalu seperti biasa, tidak ada sehari pun dilalui Brisya tanpa Aji kecuali saat mereka sedang libur kuliah.Sejak kejadian first kiss itu, Aji selalu melakukannya lagi dan lagi dan tak pernah bisa Brisya tolak. Namun di balik sifat Aji yang kasar, ia adalah sosok yang penyayang. Mungkin karena Aji adalah putra tunggal dari keluarga kaya raya maka segala yang ia mau harus ia dapatkan. Ia menjadi egois dan brutal saat keinginannya tak terpenuhi."Aku laper, Briy, kita berhenti makan dulu, yuk!" pinta Aji sambil membelokkan mobilnya ke sebuah restoran.Usai memarkir mobilnya, Aji segera berhambur keluar dan membukakan pintu mobil untuk Brisya."Yukk!" ajaknya halus seraya menggandeng Brisya masuk.Brisya hanya menurut dan mengikuti Aji yang langsung memilih tempat duduk untuk mereka berdua. "Kamu mau makan apa, Briy?" tawar Aji saat waitress membawakan menu."Aku nggak lapar, kamu aja yang makan ya, aku minum aja.""Kan, kamu, kan! Nggak usah diet, kamu sudah sekurus tiang listri
Matahari sudah hampir tinggi. Brisya sedang membereskan sisa piring makan anak-anak Panti yang berantakan, saat tiba-tiba ponselnya berbunyi.Siapa lagi yang menelfonnya kalo bukan Aji. Hanya nomor dia yang ada di ponsel Brisya."Halo?" sapa Brisya cepat."Halo, Briy, hari ini ke mana?"Brisya meletakkan piring yang ia tenteng di meja karena kerepotan membawanya dengan satu tangan. "Hari ini aku bersih bersih Panti. Ada apa, Ji?" tanya Brisya penasaran."Hmm gapapa, sih. Aku pengin ngajak kamu jalan sebenernya, aku mau cari oleh-oleh buat oma. Hari Senin besok aku berangkat.""Yahhh, besok aja gimana?""Besok aku mulai packing, Briy," sahut Aji kecewa. "Aku pengin puas-puasin bareng kamu hari ini, besok aku udah sibuk," lanjutnya tak bersemangat.Brisya mendesah sedih. "Yaudah, 2 jam lagi jemput aku, ya? Aku mau lanjutin bersih-bersih Panti dulu dan nyelesain ini secepatnya.""Asyikkk, okey! Aku jemput kamu jam 10, ya!!"Brisya tersenyum lega mendengar suara itu ceria lagi. "Okey, bye!
"Dia Haris! Kakak yang dulu tinggal di ruko sebelah," lanjut Bu Shila dengan penuh semangat.Jantung Brisya seolah berhenti berdetak, kakak yang tinggal di ruko? Kakak yang dulu pergi dan membuatnya kesepian? Jadi, lelaki yang sedari tadi ia panggil 'Om' itu adalah kakak Haris?!Tanpa rasa canggung, Haris merentangkan kedua tangannya untuk memeluk Brisya. Namun Brisya tak bergeming. Entah kenapa hatinya jadi sakit, seperti teriris-iris. Alih-alih bahagia karena bisa berjumpa dengan kakak yang dulu selalu ada untuknya, kini Brisya malah merasa kesal dan marah. Saat Brisya masih diam tak bergerak, Haris akhirnya memilih untuk mendekat dan memeluk gadisnya dengan erat. Brisya sampai menahan bernafas karena kaget. Pelukan ini, ya, pelukan ini yang selama ini ia rindukan. Pelukan yang berbeda dengan milik Aji. Brisya masih tak bergerak, tubuhnya membeku dalam dekapan Haris. Setelah cukup lama berpelukan, Haris lantas mengurai dekapannya dan menangkup wajah mungil Brisya dengan kedua tang
Pagi itu, tidur nyenyak Brisya terganggu saat ponselnya berdering dengan nyaring. Tak terbiasa mendengar ponselnya berbunyi di pagi hari, Brisya lekas bangkit dan membuka mata. Tangannya meraba ponsel yang semalam ia selipkan di bawah bantal. Aji is calling ..."Halo.""Briy, aku berangkat, ya," ucap suara Aji di ujung sana, sedikit terdengar lemah dan parau.Sambil bersandar di ranjang, Brisya menghembuskan nafasnya sedih dan berujar,"Iya, hati-hati ya kamu, jangan lupa kabari aku kalo udah sampe.""Okey Briy, I love you."Brisya menggigit bibirnya kelu. "Love you too, Ji," desisnya tak bersuara sebelum kemudian sambungan telepon mereka terputus. Brisya memandang ponselnya sedih. Sebulan ke depan ia harus mandiri. Ia juga harus segera mencari perusahaan untuk tempatnya magang. Tak ingin membuang waktu, Brisya lekas beranjak turun dari ranjang dan masuk ke kamar mandi. Hari ini ia harusnya ke kampus untuk menyerahkan data perusahaan tempatnya magang. Namun ia bahkan tidak punya i
Beberapa hari ini, Brisya tidak melihat mobil Haris terparkir di depan ruko. Terakhir kali, ia melihat Haris saat mengantarnya ke kampus.Diam-diam Brisya merasa bersalah, ia menyesal sudah bersikap jahat pada Haris waktu itu. Dia ingin meminta maaf, tapi tak sekalipun ia bertemu lagi dengannya."Ada apa, Briy, dari tadi Ibu lihat kamu melamun terus." Bu Shila tiba-tiba sudah duduk di depan Brisya di tepian ranjang anak asuhnya.Brisya mengawasi wanita, yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri itu, dengan sedih. "Briy jahat nggak sih, Buk?" tanyanya lirih.Bu Shila mengawasi Brisya bingung. "Jahat sama siapa?" Ia malah balik bertanya.Dalam diam, Brisya menarik napasnya dalam, lalu menghembuskan perlahan. Berharap rasa bersalahnya menguap bersama karbondioksida yang ia lepaskan. "Terakhir kali ketemu om Haris, Brisya marah-marah sama dia, sempet ngebentak juga."Bu Shila masih bingung dengan penjelasan Brisya. Ia merenggangkan posisi duduknya agar lebih nyaman. "Tempo hari om Ha
Raut wajah Haris berubah serius, ia menatap Brisya dan duduk bersila agar lebih santai."Kamu mau aku menjawab apa, Briy?" Haris balik bertanya dengan lembut, akan tetapi Brisya hanya mengangkat kedua bahunya dengan santai. "Apa tidak ada yang kamu ingat sedikit pun tentang aku?" tanya Haris lagi, Brisya menggeleng ragu."Yang ada diingatanku cuma rumah ini pernah di tinggali seseorang, yang dulu sering memberiku permen, tapi kemudian dia pergi," ucap Brisya lirih, ia melirik Haris yang masih memandangnya sendu."Apalagi yang kamu ingat?""Barbie! Dia memberiku boneka barbie," tukas Brisya cepat.Barbie??Haris terbelalak surprise namun detik berikutnya ia kembali tenang. "Apa yang membuatmu nggak yakin kalo itu aku?"Brisya terdiam, hanya karena ia tidak ingat wajah Haris semasa kecil dulu, bukan berarti laki-laki yang duduk di depannya ini adalah orang jahat. Haris selalu berbuat baik selama bertemu dengannya."Maaf," ucap Brisya lirih sembari memilin ujung T-shirt-nya dengan keki.
Brisya dan Haris mulai dekat kembali sejak kejadian di hari itu. Seolah hendak menebus kesalahannya yang telah meninggalkan Brisya di masa lalu, saat ini Haris selalu berusaha ada untuknya. Ia mempercepat ijin usaha rukonya untuk dijadikan kantor ketika tahu Brisya sedang kesulitan mencari perusahaan untuk magang.Pagi ini, Haris sudah berpakaian rapi. Ia berencana untuk menginterview beberapa orang yang nantinya akan ia jadikan staf di kantor kecilnya. Meski masih terbilang pemula, namun Haris ingin segala sesuatunya sempurna. Ia ingin pekan depan ia sudah mulai membuka kantor biro Arsitek. Entah laku atau tidak di kota kecil, yang pasti Haris hanya ingin cepat membantu Brisya menyelesaikan program magangnya.Saat hendak turun ke lantai 1, ponsel Haris bergetar di saku celananya.Vega is calling... Haris menghembuskan nafasnya jengah, sepagi ini Vega sudah menerornya."Hallo.""Honey, aku sudah menyelesaikan beberapa urusanku di sini. Besok aku nyusul kamu ke--""Jangan!" sela Haris