Sejak satu jam yang lalu, Aji berdiri dengan gelisah di pintu menuju altar yang akan menjadi tempatnya mengucapkan sumpah pada Tuhan. Pernikahan yang tak terencana dan dipersiapkan dalam tempo waktu singkat membuat acara itu tak semewah seharusnya. Tak apa, Aji tak lagi menginginkan pernikahan mewah namun berakhir di tengah jalan seperti pernikahannya yang terdahulu. Stevany pun demikian, ia bukan tipe wanita ribet yang terlalu mementingkan detail. Baginya, inti dari pernikahan adalah janji yang diucapkan pada Tuhan, bukan gaun, dekorasi, catering dan lain-lain. Ia hanya membeli gaun seadanya di desainer langganan Mama Aji, bukan gaun custom seperti milik Brisya dulu. Semua keluarga di Sydney dan Melbourne datang untuk menyaksikan pernikahan sederhana itu. Pun Bu Shila dan orang tua Brisya tak luput dari undangan Aji. Ia ingin momen indahnya kali ini disaksikan oleh semua orang yang berharga dihidupnya. Lantunan musik terdengar saat Stevany datang digandeng oleh Thomas. Aji yang men
2 Januari 2008Langit masih saja menumpahkan seluruh isinya. Hujan, angin dan petir yang tak berhenti sejak sore. Jalanan sepi, basah oleh air hujan yang menggenang di beberapa bagian jalan yang berlubang.Sebuah mobil berhenti tepat di sebuah bangunan bertingkat. Seseorang membuka pintu mobil di kursi penumpang, melebarkan payungnya dan turun. Usai memastikan di sekelilingnya sepi, ia mengulurkan tangan pada seseorang di dalam mobil. Lama tangannya terulur sebelum kemudian sebuah tangan kecil meraihnya, mendekat dan turun juga dari mobil hitam itu."Tunggu di sini, ya, Mami akan segera kembali," ucap wanita itu sambil tetap memayungi gadis kecil tadi.Gadis kecil itu mengangguk, wanita paruh baya tadi melepas genggamannya dan memberikan payungnya pada gadis itu.Buru-buru ia masuk kembali ke dalam mobil. Meninggalkan gadis mungil berjaket biru itu sendiri di tengah hujan yang masih turun dengan deras. Gadis itu tak paham mengapa ditinggalkan di tempat ini, yang ia tahu sekarang ia m
Dwiharis Bibrata, 14 tahun. Hidup berdua dengan ayahnya di sebuah ruko berlantai dua. Orang tuanya bercerai sejak Haris masih kelas 3 Sekolah Dasar, mama dan kakaknya pergi meninggalkan Haris dan ayahnya berdua di ruko. Selama bertahun-tahun Haris hidup tanpa sosok seorang ibu, ia belajar untuk mandiri dan kuat. Terlebih rumahnya berdampingan dengan Panti Asuhan, sehingga setiap hari ia bertemu dengan anak-anak yang hidupnya lebih menyedihkan darinya.Haris mengidap Ombrophobia atau phobia pada hujan. Mungkin karena trauma yang ia alami saat itu. Ayah dan mamanya bertengkar hebat tepat saat hujan dan petir bersahutan. Esok paginya, ia tak lagi menemui mama dan kakaknya di rumah. Ada luka yang ia simpan sendiri dan tidak bisa ia bagi dengan siapapun. Haris terlihat kuat, terlihat selalu ceria. Namun, saat turun hujan, ia selalu menangis sendirian di dalam kamarnya, berkeringat dingin dan ketakutan. Hujan selalu membuatnya takut kehilangan. Bertahun-tahun Haris mencoba untuk menghadapi
Sejak kejadian hujan bersama Haris, Brisya kecil tak lagi menutup diri. Ia mulai bicara pada siapapun dan membuka diri pada semua orang yang berada di Panti.Bu Rahmi dan Bu Shila heran dengan perubahan Brisya yang tiba-tiba, namun mereka bersyukur karena pada akhirnya Brisya mau membaur dengan anak- anak yang lain.Haris pun hampir tiap hari datang ke Panti dan bermain dengan anak-anak yang lain. Meski sudah kelas 8 namun Haris masih sedikit kekanakan. Setiap sepulang sekolah saat tidak ada les, Haris selalu menyempatkan bermain di Panti dan menemui Brisya, meski hanya sekedar untuk memberinya permen coklat atau mengajaknya bermain."Kakak, mana Barbie?" tanya Brisya saat Haris sedang asyik bermain puzzle.Haris terbelalak dan menepuk keningnya keki, ia ingat dulu pernah menjanjikan boneka barbie pada Brisya."Maaf, kakak lupa. Besok ya, sepulang Kakak dari sekolah," sahut Haris tak enak hatiBrisya tersenyum dan mengangguk, lalu kembali sibuk dengan mainannya.Esoknya.Haris sengaja
"Briyyyy, sarapan dulu!" teriak Bu Shila dari ruang makan.Brisya menarik tasnya cepat dan berlari keluar kamar."Briy udah telat, Buk. Nanti sarapan di sekolah aja!" teriak Brisya tak kalah kencang sambil berhambur keluar dari Panti.Bu Shila mengawasi Brisya yang sudah pergi dengan takjub, hampir setiap hari telat berangkat ke sekolah dan tidak ada perubahan, bahkan hingga detik-detik terakhir anak itu lulus SMA.Beruntung jarak sekolah dan Panti tak begitu jauh, jadi Brisya hanya perlu berlari kencang dengan kecepatan 100 km/jam untuk sampai di sekolah tepat sebelum bel berbunyi.Dan sudah tiga tahun keahliannya itu teruji, ia tak pernah sekalipun telat tiba di Sekolah. Brisya selalu sampai tepat waktu saat bel berbunyi."Hai, Briy, selamat pagi," sapa suara hangat di belakangnya.Aji sudah berdiri dan tersenyum menatap Brisya, saat gadis itu menolehinya."Hai, Ji. Selamat pagi juga!" balas Brisya riang. Melihat wajah ganteng Aji di pagi hari menjadi moodbooster tersendiri untuknya
"Sudah tidur, Briy??" Sebuah suara lembut mengagetkan Brisya yang sedang serius membaca buku diktatnya.Brisya akhirnya di terima di Universitas Negeri melalui jalur PMDK di jurusan Akuntansi."Belum, Ibuk. Brisya masih belajar," sahut Brisya sambil menutup buku diktatnya dan beranjak menghampiri Bu Shila yang sudah duduk di tempat tidurnya."Ibu capek, ya? Mau Brisya pijat?" tanya Brisya melihat Bu Shila yang terlihat lelah.Bu Shila menggeleng dan menatap salah satu putri Panti yang paling ia sayang."Ibu mau ngasih sesuatu sama kamu," ucap Bu Shila lirih, merogoh saku dasternya dan menyodorkan sebuah kalung berliontin inisial huruf "B"."Ini milikmu, Brisya kecil saat pertama kali tiba di rumah ini memakainya," lanjut Bu Shila lugas, sambil meletakkan kalung itu di telapak tangan Brisya."Apa kamu ingat sesuatu??" tanya Bu Shila penasaran saat Brisya hanya tertegun melihat kalung itu.Brisya mengawasi Bu Shila dan menggeleng. Ia bahkan lupa pernah memakai kalung ini di lehernya."Y
Hari berlalu seperti biasa, tidak ada sehari pun dilalui Brisya tanpa Aji kecuali saat mereka sedang libur kuliah.Sejak kejadian first kiss itu, Aji selalu melakukannya lagi dan lagi dan tak pernah bisa Brisya tolak. Namun di balik sifat Aji yang kasar, ia adalah sosok yang penyayang. Mungkin karena Aji adalah putra tunggal dari keluarga kaya raya maka segala yang ia mau harus ia dapatkan. Ia menjadi egois dan brutal saat keinginannya tak terpenuhi."Aku laper, Briy, kita berhenti makan dulu, yuk!" pinta Aji sambil membelokkan mobilnya ke sebuah restoran.Usai memarkir mobilnya, Aji segera berhambur keluar dan membukakan pintu mobil untuk Brisya."Yukk!" ajaknya halus seraya menggandeng Brisya masuk.Brisya hanya menurut dan mengikuti Aji yang langsung memilih tempat duduk untuk mereka berdua. "Kamu mau makan apa, Briy?" tawar Aji saat waitress membawakan menu."Aku nggak lapar, kamu aja yang makan ya, aku minum aja.""Kan, kamu, kan! Nggak usah diet, kamu sudah sekurus tiang listri
Matahari sudah hampir tinggi. Brisya sedang membereskan sisa piring makan anak-anak Panti yang berantakan, saat tiba-tiba ponselnya berbunyi.Siapa lagi yang menelfonnya kalo bukan Aji. Hanya nomor dia yang ada di ponsel Brisya."Halo?" sapa Brisya cepat."Halo, Briy, hari ini ke mana?"Brisya meletakkan piring yang ia tenteng di meja karena kerepotan membawanya dengan satu tangan. "Hari ini aku bersih bersih Panti. Ada apa, Ji?" tanya Brisya penasaran."Hmm gapapa, sih. Aku pengin ngajak kamu jalan sebenernya, aku mau cari oleh-oleh buat oma. Hari Senin besok aku berangkat.""Yahhh, besok aja gimana?""Besok aku mulai packing, Briy," sahut Aji kecewa. "Aku pengin puas-puasin bareng kamu hari ini, besok aku udah sibuk," lanjutnya tak bersemangat.Brisya mendesah sedih. "Yaudah, 2 jam lagi jemput aku, ya? Aku mau lanjutin bersih-bersih Panti dulu dan nyelesain ini secepatnya.""Asyikkk, okey! Aku jemput kamu jam 10, ya!!"Brisya tersenyum lega mendengar suara itu ceria lagi. "Okey, bye!