Share

Close To You

Sejak kejadian hujan bersama Haris, Brisya kecil tak lagi menutup diri. Ia mulai bicara pada siapapun dan membuka diri pada semua orang yang berada di Panti.

Bu Rahmi dan Bu Shila heran dengan perubahan Brisya yang tiba-tiba, namun mereka bersyukur karena pada akhirnya Brisya mau membaur dengan anak- anak yang lain.

Haris pun hampir tiap hari datang ke Panti dan bermain dengan anak-anak yang lain. Meski sudah kelas 8 namun Haris masih sedikit kekanakan. Setiap sepulang sekolah saat tidak ada les, Haris selalu menyempatkan bermain di Panti dan menemui Brisya, meski hanya sekedar untuk memberinya permen coklat atau mengajaknya bermain.

"Kakak, mana Barbie?" tanya Brisya saat Haris sedang asyik bermain puzzle.

Haris terbelalak dan menepuk keningnya keki, ia ingat dulu pernah menjanjikan boneka barbie pada Brisya.

"Maaf, kakak lupa. Besok ya, sepulang Kakak dari sekolah," sahut Haris tak enak hati

Brisya tersenyum dan mengangguk, lalu kembali sibuk dengan mainannya.

Esoknya.

Haris sengaja tidak ikut mobil antar jemput sekolah karena akan mampir ke Toko mainan. Ia sudah berjanji pada Brisya untuk membelikannya boneka Barbie.

Sesampainya di Toko mainan, Haris mencari boneka Barbie yang ternyata mempunyai banyak karakter. Dalam satu lorong, ia menemukan banyak sekali boneka Barbie dengan berbagai karakter. Ia bingung harus membeli karakter apa. Ia bahkan tidak tahu, Brisya menyukai karakter apa.

Ragu, Haris meraih Barbie princess yang mencuri perhatiannya. Rambut Barbie itu berwarna coklat, sama persis dengan rambut Brisya. Melihat Barbie itu mengingatkan Haris pada adik kecilnya di Panti. Ia tersenyum lega dan membawa boneka itu ke kasir.

Di dalam bis yang membawanya pulang, Haris tak hentinya tersenyum mengawasi boneka Barbie yang ia peluk erat di dalam paper bag. Ia membayangkan wajah Brisya tersenyum senang mendapat boneka yang mirip dengannya. Beginikah rasanya mempunyai seorang adik kecil?? Rasa senang dan berbunga-bunga memenuhi dadanya, ia tak sabar ingin bertemu dan bermain dengan Brisya hari ini.

30 menit terasa lama bagi Haris, begitu bis sampai di halte dekat rumahnya, segera ia berhambur keluar dan berlari.

Jarak halte ke rumahnya lumayan dekat, akan tetapi dari kejauhan Haris melihat rumahnya dikerumuni oleh banyak orang. Firasatnya tak enak. Sebuah mobil ambulans juga terparkir di sana. Apakah terjadi sesuatu dengan ayahnya??

Haris mempercepat larinya, ia bahkan tidak memperhatikan Brisya yang berdiri di pagar Panti Asuhan menantinya. Haris ingin segera sampai di rumah, perasaannya buruk. Pasti telah terjadi sesuatu pada ayahnya di rumah karena semalam ia mendengar suara barang-barang pecah dari kamar.

Begitu sampai, Haris meringsek masuk ke dalam dengan sedikit memaksa. Ia menerobos beberapa orang yang berdiri memenuhi rumahnya. Matanya memanas, jantungnya berdegup kencang.

Saat sampai di depan kamar ayahnya yang dijaga oleh polisi dan dipasangi polisi line, Haris merasakan kedua kakinya lemas seketika. Benar dugaannya, pasti terjadi sesuatu dengan ayahnya.

"Apakah kamu putra Pak Brata?" tanya seorang polisi menghampirinya.

Haris mengangguk cepat. "Kenapa dengan Ayah saya, Pak? Ayah saya kenapa?" tanya Haris mulai menangis.

Bu Rahmi tiba-tiba muncul di belakang Haris dan memeluknya dengan erat.

"Yang sabar ya, Nak, Ayahmu telah berpulang," lirih suara Bu Rahmi di telinga Haris, akan tetapi seperti petir yang menyambar tubuhnya.

Haris lemas, perlahan tubuhnya luruh ke lantai, kedua kakinya seolah tak lagi bertenaga. Air matanya menetes deras, hatinya hancur, sakit sekali. Mengapa harus dia? Mengapa Haris selalu ditinggal oleh orang orang yang ia sayangi?? Mengapa semua orang harus pergi meninggalkannya??

"Ayahhhhh!!!" teriak Haris serak, ia ingin ikut.

***************

Usai pemakaman, Haris diberitahu bahwa ia akan tinggal bersama mamanya. Secara mengejutkan, mama dan kakaknya datang di acara pemakaman. Namun, hati Haris sudah terlalu hancur untuk merasa bahagia atas kedatangan mereka. Ia bahkan tak berkata sepatah katapun. Ia benci pada mamanya yang sudah membuat ayahnya mati bunuh diri. Haris membencinya. Sangat.

"Yuk, Nak, kita berangkat?"

"Haris mau di sini, Mama pergi aja sama Kakak," sahut Haris cepat, air matanya masih berlinang.

Mamanya, Rosa, menghampiri Haris dan duduk di samping tempat tidurnya.

"Mama tahu, kamu masih syok dengan kejadian hari ini, Mama juga! Mama sedih melihat ayah harus pergi dengan cara seperti ini," ucapan Rosa terhenti saat Haris menoleh dan menatapnya tajam.

"Kalo begitu tinggalkan Haris sendirian, Haris nggak butuh kalian."

"Haris, hidupmu masih panjang, kalo kamu sayang sama ayah, tolong, jangan keras kepala seperti ini, ini hanya akan membuat ayahmu semakin sedih," potong Rosa cepat, Haris diam.

"Buktikan sama ayah, kalo kamu bisa jadi anak yang sukses, kamu bukan Haris yang terpuruk, sedihmu hanya membuat jalan ayahmu semakin berat, Nak!" lanjut Rosa halus.

Haris diam, tatapannya tiba-tiba tertuju pada paper bag yang teronggok di meja belajarnya. Barbie milik Brisya yang belum sempat ia berikan.

"Mama tunggu di bawah, ya!" ucap Rosa sambil beranjak.

Haris mengawasi mamanya yang keluar dari kamar. Hatinya sakit melihat wanita itu, wanita yang secara tidak langsung sudah membunuh ayahnya. Air mata Haris menetes lagi, cepat-cepat ia mengusapnya. Ia tidak boleh menangis, ia harus kuat.

Ragu Haris berdiri, menarik paper bag itu dan beranjak keluar.

Di bawah, mama dan kakaknya sudah menunggu. Mereka tersenyum senang melihat Haris turun.

"Aku mau pamitan dulu dengan Bu Rahmi dan Bu Shila, kalian tunggu di mobil saja," cetus Haris sedih lalu berjalan melewati mama dan kakaknya.

Sepanjang jalan menuju Panti yang hanya terpisah oleh pagar, hati Haris terasa teriris-iris sedih. Langkahnya terasa amat berat. Banyak kenangan yang akan ia tinggalkan di rumah dan Panti ini.

"Haris??" sapa Bu Rahmi heran melihat Haris nyelonong masuk ke dalam Panti tanpa permisi, ia terus melangkah mencari Brisya, adik kecilnya.

Beberapa anak yang sedang bermain memperhatikan Haris yang terlihat muram. Wajahnya basah oleh air mata.

Brisya yang saat itu sedang asyik bermain ayunan, langsung melompat turun begitu melihat Haris menghampirinya. Brisya rindu bermain dengan Haris.

Saat Brisya mendongak hendak menggandeng Haris untuk bermain, ia melihat air mata kakaknya menetes. Brisya urung mengulurkan tangannya dan menatap sedih. Tapi melihat Haris semakin tersedu-sedu, Brisya kemudian menarik tangan Haris dan mengelusnya pelan, ia tak bisa mengelus kepala Haris karena kakaknya itu lebih tinggi dari Brisya.

Haris tersenyum sedih dan berjongkok, ia memeluk Brisya dan menangis. Mereka harus berpisah mulai hari ini. Brisya yang lucu dan selalu menghiburnya tak akan lagi bisa ia temui.

"Maaf, Kakak," desis Brisya sedih mendengar raungan tangis Haris di telinganya.

Beberapa anak-anak lain memperhatikan Haris dengan takut. Brisya menepuk-nepuk punggung Haris pelan, lalu mengelus rambut kakaknya untuk menenangkannya. Namun, tangis Haris semakin menjadi-jadi, membuat Brisya semakin bingung.

Cukup lama Haris memeluk adik kecilnya, sebelum kemudian sebuah sentuhan menepuk pundaknya. Bu Shila.

"Take care ya, Haris. Kami akan merindukanmu," ucap Bu Shila sedih.

Haris mengusap air matanya, ia mengurai peluknya dan mengawasi Bu Shila yang sudah berdiri di belakangnya.

"Saya juga pasti akan merindukan kalian," desis Haris lesu. Ia menolehi Brisya yang berdiri di sampingnya dan berusaha tersenyum.

"Ini Barbie yang Kakak janjikan tempo hari, maaf ya, Kakak baru menepati janji," ucap Haris sambil menyodorkan paper bag yang sedari tadi ia bawa.

Brisya tersenyum kecil dan meraih paper bag itu dengan riang.

"Thankyou, Kakak!!" sahut Brisya senang, ia tak paham bahwa Barbie ini adalah kenang-kenangan terakhir Haris untuknya.

Haris berjongkok di hadapan Brisya dan menatapnya dalam.

"Kakak akan pergi, jauuuh dan lama. Tapi suatu saat nanti, Kakak akan kembali ke sini mencarimu," ucap Haris berjanji.

Brisya terdiam, ia pernah mendengar kalimat janji seperti itu.

"Kalo Briy sedih, kalo Briy rindu sama Kakak, Briy punya Barbie ini, ya, kan??" lanjut Haris tak sanggup melihat tatapan sedih Brisya. Ia paham Brisya benci dengan perpisahan.

Brisya menunduk, memperhatikan hadiah Barbie yang Haris beri.

"Briy nggak mau, Briy mau main aja sama Kakak di sini, kembalikan barbienya, Kak. Maafin Brisya," desis Brisya sedih, matanya mulai berkaca-kaca.

Bu Shila mendekat dan ikut berjongkok di samping Brisya. "Briy, Kakak Haris mau sekolah, kalo Kakak nggak sekolah nanti Kakak sedih, dan kalo Kakak sedih nanti Kakak akan nangis kaya tadi. Emangnya Briy mau kakak sedih terus??"

Brisya menggeleng cepat, ia mengawasi Haris dalam. Air mata Haris jatuh lagi. Brisya mengusap air mata itu dan memeluk Haris cepat.

"Maaf, Kakak, jangan sedih ya, jangan nangis," desis Briy pelan.

Haris mengangguk dan memeluk Brisya yang sudah seperti adiknya sendiri dengan erat. "Brisya juga jangan sedih, ya?" pinta Haris sepenuh hati dan direspon dengan anggukan pelan oleh adik kecilnya.

Hati Haris sangat sedih menjalani perpisahan ini. Ia harus kehilangan ayah dan kehilangan orang-orang yang ia sayangi dalam waktu satu hari. Sungguh berat.

"Kakak pergi ya, Briy," pamit Haris saat ia sudah berdiri di halaman depan Panti Asuhan.

Brisya mengangguk dan tersenyum, lalu pelan melambaikan tangan pada Haris. Bu Shila dan Bu Rahmi juga ikut melambaikan tangan sedih.

Untuk terakhir kali Haris mengamati semua pemandangan di hadapannya. Pemandangan yang tiap hari ia lihat, yang selama 14 tahun ia hidup dan tumbuh di sana.

Haris berbalik, ia melangkah pelan keluar dari Panti. Entah kapan ia akan kembali lagi ke tempat ini. Mungkin nanti, saat ia sudah dewasa ... mungkin saja ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status