Share

The Sun

"Sudah tidur, Briy??" Sebuah suara lembut mengagetkan Brisya yang sedang serius membaca buku diktatnya.

Brisya akhirnya di terima di Universitas Negeri melalui jalur PMDK di jurusan Akuntansi.

"Belum, Ibuk. Brisya masih belajar," sahut Brisya sambil menutup buku diktatnya dan beranjak menghampiri Bu Shila yang sudah duduk di tempat tidurnya.

"Ibu capek, ya? Mau Brisya pijat?" tanya Brisya melihat Bu Shila yang terlihat lelah.

Bu Shila menggeleng dan menatap salah satu putri Panti yang paling ia sayang.

"Ibu mau ngasih sesuatu sama kamu," ucap Bu Shila lirih, merogoh saku dasternya dan menyodorkan sebuah kalung berliontin inisial huruf "B".

"Ini milikmu, Brisya kecil saat pertama kali tiba di rumah ini memakainya," lanjut Bu Shila lugas, sambil meletakkan kalung itu di telapak tangan Brisya.

"Apa kamu ingat sesuatu??" tanya Bu Shila penasaran saat Brisya hanya tertegun melihat kalung itu.

Brisya mengawasi Bu Shila dan menggeleng. Ia bahkan lupa pernah memakai kalung ini di lehernya.

"Yang Brisya inget, seseorang yang Briy panggil dengan sebutan mami menurunkan Briy di depan Panti, itu saja," sahut Brisya sedih. Ia benci mengingat masa lalunya. Tidak ada yang indah di sana. Tidak ada yang harus Brisya kenang.

Bu Shila memeluk Brisya pelan. "Aku Ibumu, Nak. Siapapun yang mengantarmu ke sini, kamu tetaplah anak kami, " ucap Bu Shila tepat di telinga Brisya. "Anak Bu Shila dan Bu Rahmi yang cantik, yang manis, yang baik hati," lanjut Bu Shila lembut.

Brisya menatap langit-langit kamarnya cepat, ia menahan air matanya agar tak tumpah. Ia benci menangis.

"Kami tidak pernah menawarkanmu pada orang tua manapun, karena bagi kami semua yang ada di sini, kamu adalah matahari. Kamu selalu bersinar di antara kami, kamu membawa keceriaan di sini," terang Bu Shila pelan, mengurai peluknya dan mengusap pipi Brisya lembut.

Brisya tersenyum dan balas mengelus pipi Bu Shila. " Makasih, Ibuk. Briy nggak butuh kalung itu, Ibuk buang aja ke tempat sampah, Brisya kecil yang make kalung itu sudah mati," putus Brisya mantap, ia tidak ingin lagi terkurung di masa lalunya yang suram.

****************

Setiap hari selama berangkat kuliah, Brisya menunggu Aji menjemputnya. Mereka berdua berangkat dan pulang kuliah bersama- sama.

Aji masuk Universitas yang sama melalui jalur khusus. Dengan orang tuanya yang kaya raya, apapun bisa ia lakukan tanpa harus repot-repot ikut tes pendaftaran.

Dan pagi ini, Brisya sudah berdiri di depan Panti dan sudah siap berangkat kuliah. Sekilas ia melirik jam tangan mungilnya, jam 8 pagi. Semalam Aji bilang akan menjemputnya jam 8.

Hembusan semilir angin mengurai rambut Brisya yang panjang. Beruntung hari ini ia memakai sweater, untuk berjaga-jaga semisal hujan agar ia tidak kedinginan karena sepertinya musim hujan sudah mulai datang.  Pandangan Brisya tiba-tiba tertuju pada bangunan lusuh di samping Panti. Sebuah Ruko yang kotor tak berpenghuni. Sekilas Brisya ingat pernah masuk ke dalam Ruko itu saat ia masih kecil.

Brisya berjalan mendekat, hatinya tiba-tiba menghangat. Ada sesuatu yang berusaha ia ingat, akan tetapi tidak bisa. Ruko dua lantai yang terlihat suram, gelap dan tak terawat.

Ddinnn dinnnn!!!

Brisya terlonjak, suara klakson mobil membuyarkan lamunannya. Ia berbalik dan mendapati mobil Aji sudah berada di belakangnya. Ia pun segera berlari mendekat dan membuka pintu mobil.

"Lagi lihat apa sampe serius begitu?" tanya Aji heran saat Brisya sudah duduk di sampingnya dan memasang seatbelt.

"Nggak tahu, aku kaya familiar aja dengan bangunan itu."

"Iyalah familiar, 21 tahun kamu tinggal di sebelahnya!" potong Aji terkekeh.

Brisya menolehi Aji serius. "Aku mencoba mengingat sesuatu tapi nggak bisa, seseorang pernah tinggal di sana, aku manggil dia kakak, tapi dia pergi," ucap Brisya cepat.

"Dia mati?"

"Nggak. Dia pergi, nggak tahu ke mana, tapi dia janji mau kembali lagi ke sini," potong Brisya.

Aji meliriknya tak suka, "Kakak itu cowok apa cewek?" selidiknya cemburu.

Brisya melirik Aji keki. "Cowo," sahutnya lirih.

"Terus? Kamu ngarep dia balik buat apa??"

"Aku nggak ngarep, Ji, aku kan tadi cuma cerita sama kamu."

"Tapi nada bicaramu tadi, kaya ngarep banget buat dia balik ke sini," potong Aji kesal. Sepagi ini suasana hatinya sudah di buat kacau oleh Brisya.

"Yaudahlah, Ji, terserah kamu!" ucap Brisya kesal dengan respon Aji yang tiba-tiba jadi jutek.

Aji menepikan mobilnya perlahan. "Briy, liat aku," perintah Aji kesal.

Brisya tak bergeming, ia memandang lurus ke luar kaca mobil.

Aji menarik tangan Brisya dengan cepat, berharap Brisya menurutinya.

"Awww, sakit, Ji," desis Brisya kesakitan dengan cekalan Aji yang kasar.

"Lihat aku makanya!!" teriak Aji emosi, Brisya menatap Aji cepat.

"Jangan pernah bahas laki-laki manapun di depanku, paham!" perintah Aji serius.

Brisya masih tak bergeming, ia menatap Aji dalam. Aji yang selalu kasar saat ia marah dan tak segan menyakiti Brisya.

"Paham, nggak!?" tanya Aji masih emosi.

Brisya berpaling, akan tetapi dengan sigap Aji menarik dagunya agar menatap pria itu lagi.

"Aku nggak suka kamu kasar gini, Ji!" rutuk Brisya kesal, menepis tangan Aji di dagunya.

Namun, Aji masih menahan kedua tangan mungil itu dengan kasar. Tatapannya masih penuh emosi. Nafasnya berderu menahan amarah. Ia menatap Brisya lekat-lekat, dari ujung rambut sampai bibirnya yang mungil dan tipis. Semua di tubuh Brisya membuat darahnya menghangat. Tiba-tiba Aji mendekat ke bibir itu dan melumatnya tanpa berpikir panjang.

Brisya tak sanggup menghindar karena Aji menahan kedua tangannya. Ia hanya bisa terdiam pasrah saat bibir Aji menghisap bibirnya dengan kasar.

Beberapa saat setelahnya.

Mobil Aji kembali melaju dengan perlahan. Brisya diam membisu. Meski ia menyayangi Aji, bukan berarti pria itu bisa berbuat sesuka hati padanya. Brisya sedih harus mengingat momen firstkissnya di lakukan dengan kasar seperti tadi.

"Maaf, Briy," desis Aji memohon, tangannya menggenggam tangan Brisya yang dingin dan memerah bekas cekalan tangan Aji tadi.

Brisya masih terdiam. Ia tak tahu harus berbuat apa. Sudah terlalu banyak kebaikan Aji yang ia terima. Tak sampai hati Brisya membenci Aji hanya karena kejadian tadi. Ia selalu lemah di hadapan Aji.

"Briy, I'm sorry ..." ulang Aji memelas, kali ini dengan mencium telapak tangan Brisya berkali-kali.

"Aku janji, nggak akan pernah kasar kaya gini lagi sama kamu."

"Jangan janji, kalo kamu nggak bisa tepati."

"Nggak, aku pasti tepatin janjiku. Aku bersumpah!"

"Stop it, aku nggak suka denger kata-kata itu," potong Brisya dingin.

Aji menurut dan kembali serius dengan kemudinya.

"Nanti nggak usah pulang bareng dulu, aku lagi pengin sendiri."

"Briyyyy, plisss, jangan gini, aku minta maaf, Briy. Aku nyesel!!" pinta Aji memohon. Nada suaranya meninggi lagi.

Brisya menolehinya ragu, wajah Aji memerah. Saat Aji menolehinya juga, Brisya mendapati bola mata pria itu juga memerah dan berkaca-kaca, Aji terlihat sangat frustasi.

"Besok kamu bisa jemput aku seperti biasa, aku cuma pengin pulang sendiri dulu nanti."

"Briy, nggak! Kamu nggak boleh pulang sendirian, aku akan ngerasa nggak berguna jadi laki-laki kalo ninggalin kamu sendirian," tukas Aji lagi, suaranya bergetar menahan tangis.

"Nggak usah nangis, lah, kamu itu cowok! Malu, tahu!" perintah Brisya kesal.

Namun, air mata Aji tak terbendung lagi. "Makanya maafin aku, aku salah, aku janji nggak akan ngulangin lagi," ucap Aji memohon. "Jangan tinggalin aku, plis ..." lanjutnya mengiba dengan air mata berlinang.

Brisya membuang nafasnya berat. Ia tak sampai hati melihat Aji memohon seperti itu.

"Yaudah, aku juga minta maaf, ya ..." ucap Brisya pelan, menghapus air mata di pipi Aji dan mengelus bahunya pelan.

Aji menarik tangan Brisya dan menciuminya berkali-kali sebagai ungkapan terima kasih. Sejak dulu Aji selalu kesulitan untuk mengontrol emosi di saat-saat tertentu, sifat temperamennya akan muncul bila ia merasa terancam, diacuhkan, dan cemburu. Dan semakin ia sayang pada seseorang, maka sifat temperamennya akan membuat ia jadi overprotektif dan posesif.

**********

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status