Kedatangan Bram pagi-pagi di ruangannya sungguh mengagetkan Nero. Mereka biasanya suka berdiskusi tentang banyak hal, terutama tentang pekerjaan. Kadang bisa menghabiskan waktu seharian di ruangan ini, jika memang ada proyek penting yang harus diselesaikan. Kali ini tidak seperti biasanya, maksud kedatangan masnya itu berbeda.
"Mas mohon, Nero. Nikahi Tania. Mas lagi sekarat. Cuma sama kamu, mas percayakan dia." Bram menggengam tangan Nero. Matanya berkaca-kaca.
Nero tak dapat menduga, apa maksud dari ucapan Bram tadi. Ada apa ini? Sungguh dia tidak menyangka Bram menyampaikan semuanya, dan ini sangat sulit untuk diterima.
"Mas, jangan kayak gini." Dia memegang lengan Bram. Beberapa tahun terakhir ini, lelaki itu terlihat semakin menua dan tampak lelah. Padahal usia mereka tidak terpaut jauh. Hanya selisih beberapa tahun. Bram lebih tua darinya.
"Umur mas mungkin gak lama lagi. Mas, gak bisa biarkan Tania sendirian. Nanti siapa yang bakal jagain dia. Ovi jauh." Lelaki itu menangis. Air matanya tumpah ruah membasahi baju.
"Maksudnya apa?" Nero tersentak. Dia tidak mengerti. Bram tidak pernah serapuh ini. Bahkan dulu ketika istrinya meninggal, dia sempat terpukul tapi bisa bangkit lagi.
"Tolong aku, Nero. Nikahi Tania." Bram memohon.
Apa? Menikahi keponakannya? Impossible! "Mas sadar bilang apa tadi?" tanya Nero.
Bram menggangguk pasti. Meyakinkan Nero bahwa apa yang dia ucapkan memang sungguh-sungguh.
"Mas, aku baru kehilangan Saskia," tolak Nero.
Sudah dua tahun ini, Saskia pergi meninggalkannya, berpulang untuk selama-lamanya. Selama itu pula Nero masih saja berkabung atas kematian istrinya. Hingga saat ini, menutup rapat-rapat ruang hatinya untuk siapapun. Memilih hidup sendiri entah sampai kapan. Hatinya mati, terkubur bersama jasad istrinya di makam.
"Ini beda, Nero," sanggah Bram.
"Mas dulu pernah ngalamin kan waktu Andrea pergi? Mas pasti ngerti perasaaanku sekarang gimana." Nero menjelaskan. Wajahnya tertunduk. Tatapan matanya dalam.
"Mas tau. Kehilangan istri itu sama aja seperti kehilangan separuh nyawa. Apalagi kita sangat mencintainya." Matanya menerawang, mengingat almarhumah Andrea, istrinya.
"Aku belum bisa ngelupain Saskia. Aku masih mencintainya walaupun dia udah gak ada. Sorry, aku gak bisa." Kali ini Nero yang menitikkan airmata. Perasaan laki-laki memang halus jika berkaitan dengan wanita yang dicintai.
Dua tahun ini dia harus bersusah payah menata hatinya. Berusaha dengan tertatih-tatih. Saskia pergi meninggalkannya, leukimia merenggut nyawanya. Enam tahun pernikahan mereka sungguh berarti bagi Nero, walaupun tidak dikarunia anak. Dia bahagia, mendapatkan pendamping hidup yang bisa saling mendukung dalam segala hal.
Hatinya yang dulu pernah patah karena seorang wanita, kembali menghangat sejak Saskia masuk ke dalam hidupnya. Walaupun dia harus menerima bahwa istrinya mengidap penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Nero dengan sabar dan setia merawat. Namun, Tuhan berkehendak lain kepada pernikahan mereka. Dia mengambil Saskia dari sisinya. Rasanya baru saja istrinya pergi. Sekarang Bram datang dan meminta untuk menikahi putrinya? Menikahi Tania? Menikahi gadis kecilnya?
Dia memang berhutang banyak kepada lelaki itu. Saat dia terpuruk Bram yang berada disisinya. Menguatkan dan mengajaknya bangkit. Sahabatnya itu memberikan pertolongan untuk yang kedua kali.
Pertama saat dia kehilangan orang tua. Bram memberikannya pekerjaan sehingga dia bisa menyelesaikan kuliahnya yang sempat tertunda. Lalu, membantu dia bangkit, setelah terpuruk sejak kepergian sang istri.
Mereka tak sedarah, tapi Bram mengangkatnya sebagai adik. Memberikan pekerjaan yang layak. Malah sekarang, lelaki itu mempercayakan perusahaan yang dimilikinya untuk Nero kelola. Sampai kemudian nanti Tania siap untuk mengambil alih.
Bram hanya mengambil wewenang sebagai direksi. Dia sudah seperti saudara kandung,tempat berbagi suka dan duka. Kini dia meminta tolong, untuk sesuatu yang berat Nero tolak, tapi tak sanggup juga dipenuhi.
"Mas sakit, Nero." Bram menunjukkan sebuah map berisi hasil laboratorium rumah sakit, yang sedari tadi dibawanya.
Nero membukanya. Membaca perlahan hasil diagnosa seorang dokter terkenal di kota ini. Melihat ini, dia teringat kembali kepada mendiang istrinya.
Kanker. Penyakit yang merenggut istri tercintanya. Haruskah kini merengut sahabatnya juga?
"Mas, sejak kapan ini?" Mata Nero terbelalak.
"Sudah lama. Memang selama ini dirahasiakan. Gak ada yang tau. Mas gak mau orang lain khawatir. Ini penyakit berbahaya, kemungkinan untuk bisa bertahan hidup juga kecil," jawab Bram.
"Kenapa gak berobat? Malah dibiarkan saja. Mas ikhtiar, dong. Jangan diam."
"Sudah. Setiap kali keluar negeri, sebenarnya mas berobat, bukan meeting." Bram tertunduk lemah. Tangannya meremas rambut. Tampak beberapa helai yang rontok di balik jemari.
Nero terdiam saat melihat hal itu. "Tania apa sudah tau?" Di matanya tersirat sejuta tanya.
Bram menggeleng. "Baru kamu saja yang mas kabari. Ovi pun belum. Mas bingung mau ngomong apa sama keluarga. Takut mereka sedih pas tau semuanya."
Nero menghela napas. Berat. Permintaannya sungguh berat. Dia bingung harus memutuskan apa. Jika menerima, ada banyak hati yang akan terluka. Jika menolak, maka Bram akan kecewa. Apalagi kondisinya yang sedang sakit.
"Aku gak pernah meminta apa pun dari kamu Nero. Kali ini saja." Lelaki itu mengiba. Mencoba bernegosiasi. Memohon dengan merendahkan harga dirinya. Semua demi anaknya.
"Dia baru lulus sekolah, Mas. Masih kecil sekali. Apa bisa menerima? Anak usia segitu masih suka main, menikmati masa muda. Dia juga pasti mau kuliah."
"Aku ngerti Nero. Aku juga pernah muda."
"Tapi, apa Tania mau? Mas sudah bilang?" tanya Nero.
"Mas nanti yang akan ngomong sama dia setelah ini. Pastikan dulu sama kamu." Bram menatap Nero dengan penuh harap.
"Kalau Tania nolak gimana?"
"Harus mau. Dia gak boleh bantah papanya." Bram berkata tegas.
"Mas, jangan dipaksakan. Tania bisa benci sama kita."
"Nanti dia pasti bakalan ngerti. Mas akan jelaskan secara pelan-pelan. Sampai nanti waktunya pergi, semoga dia bisa nerima," ucap Bram pasrah.
"Mas, aku berhutang banyak sama kamu. Aku rela mengabdikan diri. Tapi, untuk yang satu ini, aku ..."
"Nero!" Suara Bram mulai meninggi. Ada nada amarah dalam kata-katanya. Ada juga rasa kecewa jika permintaannya ditolak.
"Aku gak bisa nikahin Tania, Mas. Dia sudah kayak keponakan sendiri. Masih kecil, baru lulus sekolah." Nero meremas rambutnya. Pikirannya kacau. Menikahi Tania itu sesuatu yang tidak mungkin dia lakukan.
Sejak kecil dialah yang mengasuh putri kecil Bram. Melihat gadis itu bertumbuh. Menemaninya kemana pun. Menjaganya dengan sepenuh hati.
Gadis itu kehilangan ibu sejak usia lima tahun. Kehilangan kasih sayang yang semestinya dia rasakan. Mereka berdua menjaganya, memberikan semua kasih sayang yang mereka punya.
Walaupun tidak sempurna, tapi gadis itu tumbuh dengan baik. Menjadi gadis ceria yang terbuka pada semua orang. Hanya saja mungkin mereka agak berlebihan, sehingga membuat gadis itu menjadi sedikit manja.
"Kamu dekat dengan Tania. Kamu bisa kasih penjelasan sama dia."
"Tapi, Mas. Ini beda. Ini ..."
"Nero! Nikahi Tania. Cuma itu satu-satunya cara buat jagain dia. Kamu nanti yang akan bimbing dia jadi istri yang baik. Juga jadi pewaris perusahaanku."
"Aku gak ..."
"Mas percaya sama kamu. Selalu bisa diandalkan. Mas mohon. Ini permintaan terakhir sebelum mas pergi." Bram bersujud di kaki Nero.
Nero memejamkan mata. Kembali menarik napas panjang, kemudian mengangguk pelan.
"Baiklah. Kalau itu memang keinginan mas, aku bersedia. Mungkin ini memang yang terbaik buat kita semua."
"Makasih." Air mata Bram tumpah ruah.
"Anggap aja, aku balas budi atas kebaikan mas selama ini," bisik Nero pelan.
Bram mengangguk. Mengucap syukur. Sekarang dia hanya memikirkan bagimana cara bicara kepada Tania, putri kesayangannya.
Mereka berdiskusi lama. Merancang semua rencana pernikahan. Terutama bagimana cara menyampaikan berita ini kepada Tania, agar gadis itu mau menerima semuanya.
Itu membuat kepala Nero semakin sakit. Sampai matahari terbenam mereka masih belum tahu. Dengan lesu dia melangkahkan kaki keluar dari kantor. Sudah sepi, semua karyawan sudah pulang sejak sore. Hanya dia dan Bram yang masih bertahan sampai malam hari ini.
Nero memilih pulang setelah menyelesaikan semua laporan. Melajukan mobil dengan pelan menuju apartemen. Dia butuh istirahat setelah hari yang panjang dan melelahkan. Dibenaknya hanyalah satu. Apapun alasannya, demi kebaikan atau apalah, sikap gadis itu pasti akan berubah. Tania pasti akan membencinya.
Nero harus menerima. Semua yang akan terjadi nanti harus dia hadapi. Bukankah yang lebih berat dari ini sebelumnya sudah pernah dia alami. Dia tau dia sanggup, dia mampu. Walau pun tidak akan mudah ke depannya.
"Tania sayang. Gadis kecilku. Maafkan aku. Maafkan om."
Ovi menyodorkan sesendok nasi ke mulut keponakannya. Sejak pagi Tania tidak mau makan. Padahal acara padat. Bisa batal kalau sampai dia sakit. "Ayo, Sayang. Makan dulu," bujuk Ovi. "Tania gak lapar, Tante," tolaknya. "Nanti kamu lemes, loh. Nanti malam mau lanjut acara lagi. Masa' pengantin baru sakit habis nikahan," bujuk Ovi lembut. Membuat Tania menerima keadaan memang sulit. Ovi menunggu cukup lama hingga akhirnya gadis itu menurut, menghabiskan sesuap demi sesuap makanan yang ada. Dia sama sekali tidak berselera melihat menu apa pun. Tania merasa hampa. Semua rasa bercampur menjadi satu di dadanya. Sedih, marah, kecewa, juga benci. Kecewa kepada semua orang. Kepada papa dan keluarganya. Dengan Nero apalagi. Rasa sayangnya kini berubah menjadi benci. "Habis makan kamu istirahat bentar. Tadi tante udah bilang sama yang lain, kamu gak boleh digangguin dulu."
Ketukan di pintu membuat Tania tersadar dari tidurnya. Dia menggeliat malas. "Taniaaaa ... ini Tante." Ovi mengetuk pintu pelan. Sedari tadi dia menunggu di luar tapi belum ada jawaban. Padahal mereka sudah ditunggu untuk dirias untuk acara resepsi. Mendengar suara ketukan, Tania membuka mata. Dia terbangun dengan kepala yang terasa berat. Wanita itu tiba-tiba tersadar kalau ada yang memeluknya dari belakang, padahal rasanya tadi tidur sendirian. Tania membalikkan badan dan terkejut setengah mati. "Om Nero!!" Nero tersentak. Di
Suara piring pecah dan teriakan membuat Nero terbangun. Lelaki itu langsung berlari ke bawah untuk melihat apa yang terjadi. Satu per satu ruangan dia datangi tetapi tidak ada apa-apa. Ketika suara isakan terdengar dari dapur, Nero bergegas ke belakang. Tangan Tania berlumuran darah. Tampak pisau yang jatuh, juga piring dan gelas yang pecah. Ada sayuran yang berserakan di lantai. "Kamu kenapa?" Nero menarik tangan Tania dan membersihkannya di wastafel. Namun, darahnya tetap saja mengucur dan tidak mau berhenti. Lukanya harus segera ditutup, jika tidak cairan merah itu tetap saja mengucur. "Luka," jawabnya sesegukan. "Bentar, om ambilin plester." Nero berlari menuju kotak obat. Mengambil perban dan plester. Membalut luka itu. Tidak terlalu dalam sebenarnya. Luka gores biasa, tetapi yang terluka ini anak manja. Jadi panjang ceritanya. "Sakit," isak Tania dengan bibir cemberut tak karuan. Dia persis seperti bocah
Suara piring pecah dan teriakan membuat Nero terbangun. Lelaki itu langsung berlari ke bawah untuk melihat apa yang terjadi. Satu per satu ruangan dia datangi tetapi tidak ada apa-apa. Ketika suara isakan terdengar dari dapur, Nero bergegas ke belakang. Tangan Tania berlumuran darah. Tampak pisau yang jatuh, juga piring dan gelas yang pecah. Ada sayuran yang berserakan di lantai. "Kamu kenapa?" Nero menarik tangan Tania dan membersihkannya di wastafel. Namun, darahnya tetap saja mengucur dan tidak mau berhenti. Lukanya harus segera ditutup, jika tidak cairan merah itu tetap saja mengucur. "Luka," jawabnya sesegukan. "Bentar, om ambilin plester." Nero berlari menuju kotak obat. Mengambil perban dan plester. Membalut luka itu. Tidak terlalu dalam sebenarnya. Luka gores biasa, tetapi yang terluka ini anak manja. Jadi panjang ceritanya. "Sakit," isak Tania dengan bibir cemberut tak karuan. Dia persis seperti bocah
Tania tampak ragu-ragu. Sedari tadi dia bolak-balik, ingin mendekati suaminya tetapi sungkan. Gadis itu mengusap telapak tangan berulang kali karena gugup. Nero nampak serius sekali mengerjakan laporan. Entah kenapa kali ini dia membawa semua alat kerja di ruang keluarga. Biasanya juga di dalam kamar. "Om." Tania mendekati Nero yang sedari tadi sibuk dengan laptopnya. "Apa?" Nero menaikkan kacamata tetapi masih fokus menatap layar. Jika sudah banyak kerjaan begini, dia bisa lupa waktu. "Om," rengeknya lagi. Merasa diabaikan, Tania berkali-kali mencolek bahu bahu suaminya untuk meminta perhatian. "Apa?! Ngomong aja, gak usah manja." Nero masih mengetik sesuatu di keyboard. Dia sebenarnya tidak suka diganggu saat bekerja karena bisa hilang konsentrasi. Apalagi kalau pengganggunya cantik begini, bisa buyar semuanya.
"Pagi, Om." Tania tersenyum manis menyambut Nero yang sedang berjalan menuju dapur. Dia tampil berbeda kali ini, memakai dress selutut dan mengurai rambutnya. Pastinya cantik dan harum menggoda. Nero menatap meja makan dengan penuh takjub. Berbagai macam makanan tersedia. Pas sekali dengan perutnya yang memang sudah kelaparan. "Kamu yang masak?" Lelaki itu menunjuk satu per satu menu yang tersaji. "Bukan. Ini masakan Bibik," jawab Tania malu-malu. Memang dia tidak bisa memasak. Sejak ada Ijah urusan dapur menjadi lebih ringan. "Oh. Bik Ijah ke mana?" tanya Nero mencari sosok wanita paruh baya yang sedari tadi tak nampak. "Ke pasar. Belanja. Bahan makanan habis," jawab Tania santai. "Ayo, makan. Om pasti lapar, kan? Aku temenin." Tania duduk di sebelah Nero, lalu mengambilkan piring dan menyendok nasi goreng beserta lauknya.
Semenjak akur, mereka sering menghabiskan waktu bersama di saat senggang, juga di hari libur. Tania sudah tidak sungkan lagi bermanja atau meminta sesuatu kepada suaminya. Hubungan mereka sudah kembali normal seperti dulu, sekali pun belum dekat layaknya pasangan suami istri yang lain. Nero juga menuruti apa saja kemauan Tania asalkan dia sanggup. "Papa ke mana ya, Om? Kok hampir tiap bulan keluar negeri. Dulu-dulu gak gitu, deh." Tania bersandar di bahu Nero. Mereka berdua sedang menonton film di ruang keluarga. Lengan Nero melingkar di pinggangnya. Kalau orang lain yang melihat, pasti berpikir bahwa pasangan ini romantis sekali. "Ke Singapura," jawab Nero. "Masa?" "Kenapa, kangen sama papa ya?" Nero mengambil snack. Sedari tadi mulutnya tak berhenti mengunyah makanan. Gerah kalau Tania menempel terus. Dia tidak tahan sebenarnya, hanya berpur
Tania berjalan mondar-mandir sejak tadi. Entah apa yang dia bicarakan di telepon. "Halo Clara. Suara kamu gak jelas. Apaan?" bisiknya, mengecilkan suara karena mendengar langkah Nero yang memasuki rumah. "Tania, kamu gimana sama om Nero? Udah apa belum?" tanya suara di seberang sana. "Belum. Katanya kalau mau ngelakuin itu harus karena cinta, bukan terpaksa," jawabnya polos. Benarkan Nero bilang begitu? "Hah! Emang kamu cinta sama dia?" "Ya gak, lah. Masa aku cinta sama om-om." "Ih, tapi gak apa-apa juga kali. Om Nero kan ganteng. Pasti enak dipeluk sama dia." Clara meyakinkan. "Yeee ... kalau itu sih aku udah biasa. Tapi gak ada rasa apa-apa. Beda kalau waktu deket sama Rizal." Tanpa Tania sadari, ternyata Nero mencuri dengar pembicaraan mereka. Lelaki itu