Tania berteriak kegirangan saat membuka pintu. Wajah Ovi yang cantik muncul di depan rumah mereka. Di tangannya terdapat banyak oleh-oleh yang dibawa dari Malaysia.
"Tante!" Tania mengambur ke dalam pelukan wanita itu.
"Sayang!" Ovi membalasnya dengan penuh kerinduan. Bibirnya mencium pipi kiri dan kanan Tania dengan gemas.
"Kok tante enggak bilang mau datang? Kan bisa aku jemput," tanya Tania.
"Jangan, Sayang. Nanti kamu capek. Lagi program hamil jangan banyak keluar. Di rumah aja," bisik Ovi sembari mengedipkan mata.
Tania tertegun saat mendengar itu. Siapa yang dimaksud Ovi sedang program hamil. Gadis itu mengabaikannya dan mengajak tantenya masuk.
"Ayo masuk, Tante. Bik Ijah habis masak. Kita makan dulu."
Mereka masuk ke rumah sembari bercerita. Segala macam barang bawaan Ovi diletakkan di ruang tamu.
"Wah, k
Di antara rasa takut dan ragu Tania mengetuk pintu kamar Nero. Berharapa suaminy akan berbaik hati membukakan. Setelah mendengarkan nasehat Ovi tadi, pikirannya sedikit terbuka. Ada yang berdenyut di dalam hati Tania jika membayangkan Nero berduaan dengan dengan wanita lain. Rasanya dia tidak rela dan tidak ikhlas. Jadi, siap ataupun belum, malam ini dia akan mencoba, menjadi istri yang taat dengan memberikan hak suaminya. Sudah terlalu lama Nero menunggu, Tania merasa bersalah telah mengabaikan suaminya. "Om! Om Nero!" Dia mengetuk sekali lagi karena yang pertama tidak mendapatkan respons. Terdengar derit pintu yang membuat Tania kaget. Saking gugupnya, gadis itu sampai tersental dan menutup mulut. "Apa?" tanya lelaki itu dingin. Nero b
Tania berjalan terjingkat-jingkat menuju dapur. Ada bagian tubuhnya yang terasa perih. Nero memang nakal, dia sudah menyerah, tapi suaminya itu malah mengulangi sekali lagi. Bahkan sebelum tidur, Nero masih menciumnya mesra, seperti tidak puas saja. Ovi dan Ijah hanya tersenyum geli melihatnya. Mereka berbisik-bisik berdua karena merasa lucu melihat kelakuan Tania. "Hayoo kakinya kenapa?" tanya Ovi menggoda, saat Tania mendekati mereka. "Kaki-ku sa-kit ..." Dia membuang muka. Wajahnya merona. Sungguh memalukan, kenapa mereka malah melakukannya di saat banyak orang di rumah? Jadinya dia diledek terus. Ini gara-gara perbuatan Nero. Eh, tapi bukannya kemarin malam dia yang masuk ke kamar lelaki itu duluan dan menawarkan diri? Aduh, malunya. "Kaki mana yang sakit?" Ovi menggoda. Ijah memilih untuk diam dan menyiapkan sarapan. "Tanteee ..." rengeknya manja. Untung saja Nero tidak membuat tanda apa pun y
Tania menggeliat di atas kasur, rasanya nyaman sekali tertidur. Sampai dia merasa sesuatu yang berat menindih tubuhnya dan diserang dengan berbagai cumbuan. Siapa ini? "Bangun anak manja. Sudah sore." Nero menangkup pipi istrinya dengan kuat, sehingga bibir Tania terlihat mengerucut ke depan. Lucu, membuatnya tertawa geli. Apalagi matanya masih terpejam, antar sadar dan tidak. Nero kembali menghadiahkan sebuah kecupan lembut, membuat Tania akhirnya membuka mata. Dia tertunduk malu, saat mendapati wajah suaminya sedang menatap mesra. "Aku nggak tau kalau kamu udah pulang?" Dia mengerjapkan mata berkali-kali. "Kamu enak banget tidurnya. Kaya' kebo." Nero mencubit hidungnya gemas. Tangannya mengusap helaian rambut yang terjuntai di pelipis. Aroma harum tubuh istrinya membuatnya menginginkan kemesraan lagi. "Tante mana?" "Di rumah papa. Nginap di sana." "Katanya mau jalan sama aku sore ini." Dia bergerak menyandarkan tubuhnya di head board ranjang. Kepalanya pusing, berdenyut sej
Seharian di rumah sakit membuat mereka kelelahan. Akhirnya, ketika jarum jam menunjukkan angka tiga sore, mereka memutuskan untuk pulang. Bram belum boleh dikunjungi siapapun termasuk keluarganya, sehingga menunggu di sana seperti melakukan sesuatu hal yang sia-sia. Hilir mudik karyawan kantor dan relasi yang berdatangan ke rumah sakit ingin membesuk, membuat mereka benar-benar kewalahan. Bram sendiri masih dalam koma walaupun masa kritisnya sudah lewat. Berbagai macam selang dan alat-alat medis menempel di tubuhnya. "Tolong jelaskan semuanya." Tania menatap Nero dan Ovi bergantian. Saat ini mereka berkumpul di kamar setelah tiba di rumah. Wajahnya tampak lemah dan lelah. Ovi sedari tadi membantu memijit pundaknya yang pegal. Dia sudah kehilangan rasa, semua bercampur aduk jadi satu. Melihat kondisi papanya yang lemah, tangisan tak berujung henti sejak pagi hingga air matanya kering. "Tania, sebenarnya ini berat kalau kita sampaikan ke kamu. Ini permintaan papamu sendiri agar ka
Ovi melanjutkan kisahnya. Harusnya Tania mendengar semua ini langsung dari mulut suaminya. Hanya saja, ada banyak hal yang akhirnya dia campuri karena salah paham di antara dua orang itu. Bukan maksudnya mendahului Nero. Hanya saja, sikap Tania yang menurutnya sudah keterlaluan, membuatnya harus turun tangan. Dia tidak ingin, rumah tangga yang baru seumur jagung ini retak. Perbedaan usia yang terpaut cukup jauh, memang kadang menimbulkan banyak prasangka. Apalagi Nero tipe lelaki pengalah, yang memilih untuk menerima semua tuduhan daripada menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. "Nero mengikhlaskan Andrea menikah. Dia merasa berhutang budi sama papa kamu karena udah ngasih kerjaan. Apalagi setelah dia lulus kuliah, Mas Bram ngangkat dia jadi staf khusus." Beberapa kali Ovi menarik napas sebelum melanjutkan cerita. "Nero orangnya jujur. Dia cerdas dan pintar. Cuma nasibnya yang kurang beruntung." "Mas belum pernah cerita apa-apa. Aku enggak tau masa lalunya, cuma tau dia rekan k
Nero menarik kain yang menutup tubuhnya. Dingin. Lantai rumah sakit ini benar-benar seperti es yang membuatnya menggigil. Ada selembar kasur tipis sebagai alas tapi tetap saja masih terasa dinginnya. Setelah pulang dari klubnya Raka, dia bergegas ke rumah sakit. Melihat kondisi Bram yang belum ada perubahan sama sekali akhirnya dia memutuskan menginap di sini. Gila! Dia tidur bersama dengan yang lainnya di ruang tunggu khusus untuk keluarga pasien yang dirawat intensif. Di rumah sakit ini, ada disediakan satu ruangan seperti itu. Nero sempat berkenalan dengan seorang ibu yang kemudian berbaik hati meminjamkannya bantal dan kain sarung. Dan di sinilah dia, bercampur baur dengan yang lain. Entah kenapa rasanya malas mau pulang ke rumah. Melihat Tania yang selalu marah membuat hatinya sakit. Sebenarnya dia bisa menginap saja di hotel atau di apartemen, tapi Nero lebih mengkhawatirkan kesehatan Bram, walaupun sebenarnya sudah ditangani dengan cukup baik. Seorang owner sebuah perusa
Nero baru selesai mandi saat melihat istrinya memasuki rumah. Jarum jam dinding menunjukkan angka tujuh dan ini sudah malam. "Mas baru pulang? Kemaren tidur di mana?" Tania bertanya. Melihat gelagat sang suami yang tidak seperti biasanya, dia mulai mencurigai sesuatu. Lelaki itu tidak pulang semalaman bahkan tidak memberikan kabar sama sekali.Nero memandang istrinya dengan lekat, berharap dia tidak marah lagi. Bukannya takut, hanya saja memang rasanya tidak nyaman jika selalu bertengkar dengan pasangan."Dari rumah sakit ngeliat papa kamu," jawabnya pendek, tapi matanya mencuri pandang. Menerka dalam hati, apa istrinya masih marah atau tidak.Tania berjalan menuju kamarnya, tak menghiraukan suaminya sama sekali. Melihat wajah istrinya yang cemberut, Nero menahannya."Kamu masih marah?""Tanya aja diri sendiri!" jawabnya kesal. Siapa juga yang tidak akan marah jika diperlakukan suaminya seperti ini.Tung
Dengan langkah pasti Nero berjalan memasuki ruangannya. Sapaan dari para karyawan yang lewat hanya dijawabnya dengan anggukan."Selamat pagi, Pak." Nisa menyambut kedatangan bosnya dengan senyum merekah."Pagi." jawabnya cuek, kemudian membuka pintu.Ruang kerja kerja berukuran lima kali enam meter itu terlihat apik dengan sentuhan interior yang berkelas. Simple tapi nyaman dan sejuk dipandang. Ada sebuah meja kerja lengkap, juga satu set sofa serta buffet yang menyediakan berbagai macam snack untuk para tamu. Tak lupa sebuah kulkas yang berisi berbagai macam minuman dingin.Dulu ada foto Saskia di ruangan itu, tapi setelah kematiannya, Nero tak lagi menyimpannya. Kenangan indah bersama sang almarhumah istri kini tersimpan apik di dalam hati. Tak akan terganti oleh kehadiran Tania, karena mereka mempunyai tempat tersendiri yang tidak bisa dicampur adukkan.Melihat sikap Nero yang dingin, Nisa segera membuka tas. Menyemprotkan sedi