Langit di atas mereka tak lagi seperti langit. Kabut kelabu menggantung berat, mengalir seperti tinta yang ditumpahkan ke dalam air. Tanah retak. Udara penuh suara gemuruh tanpa arah. Semuanya terasa seperti... kesalahan. Dunia ini salah.
"Apa ini... masih bagian dari Die wêreld van Nuan Omega?" tanya Aeri dengan suara yang nyaris tenggelam dalam pekatnya kabut.
Luca berdiri diam. Sorot matanya memantul kehampaan di sekitarnya. Tidak ada suara burung. Tidak ada angin. Bahkan Fyren yang biasanya cerewet, kini hanya memelototi batu raksasa yang tergantung melayang di udara seperti ditarik oleh kekuatan tak kasatmata.
"Aku rasa ini bukan tempat yang seharusnya ada," gumam Luca akhirnya. "Seperti ruang yang tercipta karena sesuatu yang... seharusnya tidak terjadi."
Tiba-tiba, tanah di bawah kaki mereka berdenyut. Kabut mencair, seperti keringat yang menguap dari tubuh dunia. Sebuah retakan merah menyembul dari tanah, membelah udara, menggores langit yang sudah hancur.
Fyren melompat mundur. "Oke! Oke! Itu bukan cahaya biasa, kawan-kawan! Itu... itu kayak mulut dunia yang bilang: 'Masuklah kalau berani!'"
Luca mendekat perlahan, merasakan denyut hangat dari cahaya itu. Tapi yang mengejutkannya adalah — tubuhnya bereaksi. Tubuh reinkarnasinya bergetar. Bukan karena takut. Tapi karena cocok. Seolah cahaya ini... mengenalnya.
"Luca?" Aeri menarik lengan bajunya. Suaranya sedikit gentar. "Kamu... merasa aneh juga?"
"Aku merasa... dipanggil," jawab Luca pelan.
Dan tanpa aba-aba, kabut mengisap mereka bertiga ke dalam cahaya itu. Tidak ada jeritan. Tidak ada hentakan. Hanya sekejap—dunia berubah.
Langit di atas lembah yang mereka lewati perlahan memudar dari merah senja menjadi kelam kebiruan. Jejak langkah mereka masih menyisakan bekas di tanah berdebu, namun kini rerumputan perlahan muncul—tanda bahwa mereka mendekati wilayah yang memiliki bentuk peradaban.
"Ini bukan dunia yang kau kenal, Luca," gumam Fyren sambil berdiri di punggung batu besar. "Dan bahkan bukan dunia yang kukenal juga. Tapi... aroma ini... kuat sekali. Seperti darah yang hidup."
"Bau darah?" Aeri mengerutkan dahi. "Maksudmu... mana?"
Fyren melompat turun, mendarat tanpa suara seperti boneka lembut.
"Darah di sini... bukan hanya penopang tubuh. Ia menyimpan informasi. Identitas. Dan... kasta." Ia menunjuk jauh ke depan, ke bangunan tinggi seperti kristal biru gelap yang menyala samar. "Itu menara sensor darah. Jika kau melewatinya, tubuhmu akan dipindai, dan sistem akan mengidentifikasi peringkatmu."
Luca menatap bangunan itu. Ada puluhan orang yang mengantri. Di kejauhan, sebuah gerbang besar dijaga oleh prajurit bersenjata aneh dengan pakaian mirip jubah dokter dan teknologi yang menyala di balik sarung tangan mereka.
"Jadi, jika darah kita tak terdaftar, kita tidak bisa masuk ke kota?" tanya Aeri.
"Lebih buruk dari itu," Fyren menjawab santai. "Jika darahmu dinilai sebagai 'rendah' atau 'asing', sistem bisa mengaktifkan pengusiran otomatis... atau eksekusi."
Aeri refleks menggenggam lengan Luca. "Kita harus... menyamar?"
Tapi Luca hanya menatap lurus, tenang, sedikit malas seperti biasa. "Atau... kita masuk saja dan lihat apa yang terjadi. Aku tak suka pura-pura."
Fyren tertawa kecil. "Aha~ karakter utama banget. Tapi baiklah. Aku akan siapkan sedikit pengalihan kalau terjadi hal tak diinginkan. Kau tahu... backup rencana keempat dari rencana ketiga."
Luca mendekat ke Aeri. "Kalau ada yang terjadi, kau tetap di belakangku. Aku yang urus."
Aeri menunduk sebentar, wajahnya sedikit memerah. "...Jangan bicara seperti itu... tapi iya, aku tahu."
Saat mereka tiba di garis antrian, Fyren melompat ke bahu Luca dan berpura-pura jadi topi berbulu.
"Tetap tenang ya. Jangan panik kalau kalian tiba-tiba mendengar suara-suara dari sistem ini."
Di depan mereka, seseorang dipindai oleh sinar biru dari atas kepala, dan sebuah suara mekanis terdengar:
"Darah Kelas Gamma. Profesi: Petani. Hak Akses: Wilayah Umum."
Orang itu diperbolehkan masuk, wajahnya lega.
Lalu giliran mereka.
Luca melangkah duluan. Saat ia melewati sensor, alat itu berhenti sejenak. Lalu bergetar. Cahaya biru berubah menjadi ungu.
"Peringatan. Darah tidak terdaftar. Struktur molekuler tidak sesuai katalog kerajaan."
Petugas mulai bergerak, menatap layar mereka gugup.
"...Namun... energi primordial stabil... kesesuaian dengan pola dewa kuno: 89%."
Hening. Lalu... lampu sensor berubah menjadi emas.
"Darah Diakui. Kasta: Tidak Ditentukan. Akses: Sementara. Status: Diobservasi."
Petugas menatap Luca sejenak, lalu mengangguk pelan. "Silakan masuk, pengembara."
Aeri tertegun.
"Dia... diakui? Tapi bagaimana?"
Giliran Aeri.
Sensor memindainya, dan—anehnya—responnya lebih cepat.
"Darah stabil. Tipe: Prima Hibrida. Kasta: Tidak Ditentukan. Akses: Wilayah Umum & Akademik."
Petugas bahkan sedikit menunduk padanya. "Selamat datang, Nona."
Aeri: "Hah?! Aku lebih tinggi darimu?"
Luca hanya menjawab dengan anggukan kecil. "Hebat juga kamu."
"Dasar... ekspresimu tetap begitu sih," Aeri cemberut.
Mereka melangkah masuk ke kota pertama: Veloren, kota dengan kubah-kubah tinggi, jembatan melayang, dan pasar bercahaya. Namun segala sesuatu di sana diatur oleh sistem kasta darah. Bangku umum dipisah. Air mancur hanya bisa diminum oleh Kasta Hijau ke atas. Bahkan toilet... memiliki pemindai darah.
Luca tetap tenang, tapi mencatat semuanya.
"Kalau semua diatur dari darah, berarti mereka tidak mengenal hak dasar manusia. Kekuasaan benar-benar mengalir di nadi... secara harfiah."
Aeri mengangguk. "Ini... bisa jadi masalah besar."
Fyren tersenyum. "Atau kesempatan. Tergantung kau mau berdiri di sisi mana."
Mereka bertiga akhirnya menyewa tempat tinggal sederhana dari zona netral: sebuah rumah kecil di antara lorong pasar dan gang-gang belakang. Tempat itu disebut Sektor Lupa—karena hampir tidak diawasi.
Malam itu, saat cahaya lampu darah perlahan meredup, Luca duduk di balkon sempit sambil menatap langit merah muda.
Aeri duduk di sebelahnya, menggenggam secangkir teh hangat.
"Luca," katanya pelan. "Aku tahu kau ingin tahu siapa dirimu di dunia ini... tapi bisakah kau tetap... jadi kamu yang seperti ini saja?"
Luca menoleh padanya. Matanya dingin, tapi lembut.
"Aku tak pernah berubah. Aku hanya lupa."
Mereka saling menatap. Diam. Hangat. Tanpa kata.
Fyren dari dalam rumah:
"YA AMPUN! Siapa yang naruh batere leleh di dapur?!"
Suara itu memecah keheningan. Mereka tertawa bersama.
Dan malam pun berlalu, perlahan membawa dunia yang baru... dan tak sepenuhnya ramah.
Kabut putih yang semula menyelimuti tanah tak bertuan kini perlahan memudar, tergantikan oleh pemandangan luar biasa: sebuah lembah luas yang dijaga oleh pagar-pagar besi berdarah yang berdenyut pelan seakan hidup. Di tengahnya, berdiri megah sebuah bangunan setinggi tujuh lantai, arsitekturnya memadukan gaya gotik dan modern, dipenuhi jalur kristal dan pancaran cahaya merah muda dari tiang-tiang sihir. Di atas gerbang besar, tertulis:AKADEMI DARAH — DI SINI DARAHMU ADALAH JALANMU.Luca menatap gerbang itu. Ia mengenakan kembali jubah abu-hitamnya, dengan rompi putih bersih yang baru ia perbaiki secara insting beberapa waktu lalu. Di sampingnya, Aeri menggenggam tangannya, mengenakan pakaian pelatihan baru berwarna biru langit, sorot matanya setenang embun pagi, tapi dari pelukannya, terlihat jelas: ia waspada.Fyren? Tentu saja tidak ada. Sejak kabut menyerap dan mengarah pada Akademi ini, makhluk mungil itu lenyap entah ke mana—entah tersesat atau sedang asyik menggoda tanaman berb
Ruang pendaftaran tidak semewah yang dibayangkan. Gedung utamanya berbentuk seperti silinder baja hitam, menjulang tinggi seperti menara reaktor. Di dalamnya, ratusan orang dengan jubah berbeda warna duduk di barisan panjang, menunggu giliran.Luca, Aeri, dan Fyren berada di baris yang ditandai dengan simbol darah setengah pudar: Kasta Tidak Terklarifikasi.Seorang gadis dengan rambut ungu kuncir dua menoleh ke Luca sambil mengunyah sesuatu. "Hei, kamu juga dari jalur tak dikenal ya? Wah, makin hari makin banyak calon penyusup." Ia mengedip iseng.Luca menatapnya sekilas. "Bukan penyusup. Pengamat.""Eh? Jawabannya keren banget." Gadis itu tertawa. "Namaku Kierra Van Luthien, dari bekas Wilayah Utara. Kamu?""Luca.""Kakaknya?" tanya Kierra, melirik ke Aeri. "Atau pacarnya?"Aeri tersenyum, nada suaranya ringan tapi menusuk, "Kamu ingin tahu? Tanyakan setelah punggungmu tidak dicakar burung pengawas akademi karena terlalu cerewet."Kierra mendecak pelan. "Uh, cewek garang. Suka, suka.
Veloren malam hari lebih terang dari siang. Lampu langit buatan, lapisan drone mini, dan jaringan kristal pemantau membuat seluruh kota seolah hidup dalam kesadaran kolektif.Namun, satu tempat tampak tak tersentuh: Akademi Darah."Kenapa sekolah ini dijaga lebih ketat dari istana?" tanya Fyren sambil menggigit batang logam aneh yang katanya "permen lokal"."Karena di sini tempat mereka mencetak dewa," jawab Luca singkat.Aeri menyentuh pelat besi yang menempel di dinding luar pagar akademi. "Dindingnya berlapis tiga. Mana, jaringan darah, dan... semacam ilusi organik?"Fyren mengeluarkan kacamata multi-lensa buatannya. "Betul. Sistem keamanan berbasis resonansi darah. Kalau kau bukan murid atau staf resmi, tubuhmu akan ditolak secara literal.""Lalu bagaimana kita masuk?" tanya Aeri.Luca memejamkan mata. Ia mulai merasakan dunia dengan cara berbeda sekarang—lebih halus, lebih dalam. Dunia ini bukan hanya daging dan logam, tapi juga darah, ingatan, dan kehendak."Aku bisa menyalin po
Pagi di Veloren tak terdengar oleh kokok ayam, melainkan denting mekanis dari sistem jam kota yang berbunyi setiap jam keempat. Cahaya matahari masuk dari langit buatan—semacam ilusi holografik di atas kota yang terhubung dengan sistem pusat energi. Di rumah sempit Sektor Lupa, Fyren sudah bangun duluan dan duduk sambil mencongkel panel lantai."Siapa tahu ada senjata kuno di bawah ubin," katanya enteng.Luca mengikat rambutnya ke belakang, menyibakkan jubah gelapnya, dan melirik peta holografik kecil yang muncul dari kristal komunikasi di meja."Kota ini dibagi jadi lima wilayah," katanya. "Pusat administrasi, pasar terbuka, sektor akademik, distrik militer, dan... bagian bawah kota. Tempat buangan, atau penjara sosial."Aeri datang sambil membawa dua roti datar. "Kita mulai dari mana?"Fyren menjawab cepat, "Dari informasi. Kalau kita mau mengerti dunia ini, kita harus tahu siapa yang memegang kekuasaan... dan siapa yang cukup bodoh buat menantangnya."Di pasar, keramaian seperti bi
Langit di atas mereka tak lagi seperti langit. Kabut kelabu menggantung berat, mengalir seperti tinta yang ditumpahkan ke dalam air. Tanah retak. Udara penuh suara gemuruh tanpa arah. Semuanya terasa seperti... kesalahan. Dunia ini salah."Apa ini... masih bagian dari Die wêreld van Nuan Omega?" tanya Aeri dengan suara yang nyaris tenggelam dalam pekatnya kabut.Luca berdiri diam. Sorot matanya memantul kehampaan di sekitarnya. Tidak ada suara burung. Tidak ada angin. Bahkan Fyren yang biasanya cerewet, kini hanya memelototi batu raksasa yang tergantung melayang di udara seperti ditarik oleh kekuatan tak kasatmata."Aku rasa ini bukan tempat yang seharusnya ada," gumam Luca akhirnya. "Seperti ruang yang tercipta karena sesuatu yang... seharusnya tidak terjadi."Tiba-tiba, tanah di bawah kaki mereka berdenyut. Kabut mencair, seperti keringat yang menguap dari tubuh dunia. Sebuah retakan merah menyembul dari tanah, membelah udara, menggores langit yang sudah hancur.Fyren melompat mundu
Di luar gedung, matahari mulai tenggelam. Kabut ungu di langit mulai menyala dengan warna biru kehijauan. Mereka bertiga duduk di tangga depan reruntuhan gedung pusat riset, ditemani cahaya dari lampu portable milik Fyren.Gadis itu menatap langit."Apakah ini... rumah?"Luca menggeleng. "Tidak.""Tempat ini aneh.""Kau juga."Ia tertawa. Kecil, tapi tulus. Suara itu membuat Fyren terdiam sejenak."Kau tahu," kata Fyren, "kalau kau tak punya nama... kenapa tidak kita beri saja?"Gadis itu menoleh. "Aku tidak keberatan."Fyren menatap Luca. "Kau yang kasih nama. Kau yang nemuin."Luca mengerutkan kening. "Aku tak pandai memberi nama.""Coba saja. Satu kata yang terlintas saat kau lihat dia."Luca menatap gadis itu beberapa detik. Lalu matanya sedikit menyipit, memperhatikan rambut biru pucat yang seperti awan tipis, mata keperakan yang memantulkan cahaya, dan ekspresi polos yang seolah kosong, namun menyimpan sesuatu di baliknya."...Aeri."Gadis itu mengulang, pelan, "Aeri..."Ia ters