Pagi di pos pengamatan itu dibuka dengan... suara dentuman keras.
"KAU MENUMPUK BAHAN KIMIA DENGAN BUMBU KARI?!" teriak Fyren panik sambil menari-nari di udara, ekornya membentuk tanda silang.
Luca berdiri dengan tenang di dapur kecil itu, satu tangan memegang panci, tangan lainnya menahan tutup yang nyaris terlempar karena ledakan kecil dari dalam.
"Aku kira itu semacam penguat rasa," katanya kalem.
"Itu penguat rasa untuk zat antigravitasi, bukan buat sup kentang!" balas Fyren. "Kalau kita meledak karena makan siang, aku akan menghantuimu selamanya, tahu?!"
Luca menatap isi panci yang sekarang... berubah warna menjadi ungu neon. Ia mendorongnya ke sudut.
"Baik. Aku menyerah untuk hari ini."
Fyren mendesah, kalau robot bisa melakukannya. Ia melayang turun dan meletakkan sesuatu di atas meja.
"Sementara kau mencoba membunuhku dengan masakanmu, aku menemukan ini," katanya sambil menyodorkan selembar hologram biru.
"Peta?"
"Bukan sembarang peta. Ini adalah peta Wilayah Inti. Sebuah kawasan yang dulu jadi pusat kota sebelum kehancuran. Tapi yang menarik, ada satu titik merah yang aktif... dan terhubung dengan sistem pemantau lama."
Luca menatapnya serius. "Artinya seseorang... atau sesuatu... masih hidup di sana."
Fyren mengangguk. "Dan tempat itu mungkin menyimpan jawaban soal kenapa kau bisa muncul di sini, dalam tubuh baru, dengan kekuatan yang belum stabil."
Luca menggenggam pinggiran meja. Tubuhnya masih belum seimbang sepenuhnya, tapi rasa dorongan untuk bergerak sudah mulai menguat.
"Aku akan pergi ke sana."
"Kau butuh waktu delapan jam jalan kaki. Atau..." Fyren menekan tombol, dan lantai ruangan terbuka perlahan, memperlihatkan... sebuah sepeda roda satu berdesain steampunk dengan sayap kecil di sampingnya.
Luca memandangi benda itu.
"...aku jalan kaki saja."
Perjalanan menuju Wilayah Inti tak semudah yang dibayangkan. Luca melewati reruntuhan yang ditumbuhi tanaman aneh, robot pemburu yang mati setengah hidup, dan sesekali... benda mirip burung yang bicara dalam bahasa iklan.
Namun ia tetap diam, berjalan dengan langkah mantap.
Saat matahari sore mulai menyorot dari sisi barat, Luca akhirnya tiba di pinggir Wilayah Inti.
Di sana berdiri sisa-sisa bangunan tinggi yang sebagian terpelintir seperti dilipat paksa. Puing-puing berserakan, dan langit di atasnya memiliki semburat biru yang berbeda—lebih padat, lebih pekat.
Fyren muncul di sebelahnya. "Zona ini memiliki medan gravitasi sendiri. Karena itu dinamai 'Inti'. Dan menurut data, titik merah itu... ada di dalam gedung pusat riset tua itu."
Luca menatap gedung tinggi yang hampir roboh di tengah area. Dindingnya berlubang besar, dan ada semacam kabut tipis di sekitarnya.
Tanpa bicara, ia berjalan mendekat.
Namun, saat kakinya menginjak lantai retak di depan pintu masuk—klik.
Fyren menjerit, "Itu jebaka—!"
Sebuah ranjau mini aktif. Tapi sebelum sempat meledak, Luca menghentakkan kaki. Energi dari tubuhnya membentuk gelombang datar yang menyerap ledakan kecil itu, memadamkannya.
Fyren terpaku.
"...Oke. Aku tarik kata-kataku. Kau mulai terlihat keren."
"Terima kasih."
Luca masuk ke dalam gedung. Di dalamnya, segala sesuatu seolah membeku dalam waktu. Peralatan berkarat, layar mati, dokumen elektronik membeku dalam panel transparan.
Dan di tengahnya... ada sebuah tabung besar, dengan seseorang di dalamnya.
Seorang gadis.
Rambutnya biru pucat, tubuhnya seperti tertidur. Di sekitar tabung, alat-alat menyala perlahan.
Fyren terdiam. "Itu... sistem pembekuan generasi ketujuh. Tapi ini mustahil. Teknologi ini seharusnya—"
"—punah seribu tahun lalu," potong Luca pelan.
Ia menyentuh permukaan tabung.
Gadis itu membuka mata.
Luca menatap mata gadis itu yang terbuka perlahan. Mereka berwarna keperakan—bukan abu-abu biasa, melainkan seperti kaca yang merefleksikan langit. Pandangannya kosong, tapi tubuhnya mulai bergerak pelan, seolah menyadari keberadaan Luca.
Fyren melayang gugup di atas bahu Luca. "Kita... harusnya kabur. Maksudku, entah dia alien, eksperimen gagal, atau monster level kota!"
Tapi Luca tetap diam. Hanya satu alisnya yang terangkat sedikit, cukup sebagai reaksi.
Tabung pembeku itu berbunyi beep, dan kaca pelindungnya bergeser perlahan, mengeluarkan embusan udara dingin. Gadis itu terduduk, satu tangan menyentuh pelipis.
"A-aku...," suaranya lirih, serak. "...masih hidup?"
Luca menatapnya tanpa ekspresi. "Itu tergantung. Siapa kau?"
Gadis itu tampak kebingungan. Ia menatap sekeliling, lalu ke tubuhnya sendiri. Ia mengenakan pakaian putih lusuh, seperti seragam laboratorium yang kebesaran. Di dadanya, ada sebuah emblem buram—tertulis: UNIT N-O....
Sisa hurufnya hilang.
"Aku tidak tahu..." katanya akhirnya. "Aku bahkan... tak tahu namaku."
Fyren menyeringai kecil. "Wah, klasik. Gadis misterius, tabung eksperimen, hilang ingatan. Ini kayak novel tua."
Luca mengabaikan komentar itu. Ia jongkok di depan gadis itu, menatap lurus ke arah matanya. "Kau tahu di mana ini?"
Gadis itu menggeleng.
"Kau tahu apa pun tentang tempat ini?"
Gelengan lagi.
"...Apa kau bisa jalan?"
Gadis itu menatap kaki telanjangnya, lalu mencoba berdiri. Lututnya gemetar, tapi dengan cepat Luca menopangnya—dengan refleks sehalus seorang penjaga istana.
"Tidak usah sok kuat," katanya. "Tubuhmu baru keluar dari pembekuan. Kau bisa pingsan hanya karena nafas terlalu dalam."
Gadis itu tersenyum tipis. "Kau... baik juga."
"Aku hanya tak ingin membawamu sambil digendong. Berat."
Fyren melayang dan mencolek bahu Luca. "Jujur, aku ragu itu alasanmu."
“Bagaimanapun,” kata Aeri sambil menatap Luca, “aku telah ditolong olehmu, jadi maaf jika itu merepotkanmu.”
Yah... niatnya cuma mau nyari jawaban hidup, eh malah nemu cewek misterius dari tabung es. Dunia Nuansa Omega emang gak pernah kehabisan kejutan ya? Luca udah mulai terlihat kayak MC anime yang keren tapi sebenernya dalam hati bingung mau ngapain. Dan cewek ini? Belum tahu nama, belum tahu tujuan... tapi senyumnya manis, jadi kayaknya boleh dibawa pulang (eh—maksudnya diselamatkan). Kira-kira gadis ini siapa ya? Raksasa? Malaikat? Atau cuma manusia biasa yang nasibnya kurang beruntung karena ketemu Luca duluan? Yuk, lanjut bab selanjutnya. Soalnya... makin ke depan, ceritanya makin rame. Percaya deh.
Malam di Pulau Nuhawan turun dengan kelembutan yang asing. bulan—satu perak besar dan dua adiknya yang berwarna biru dan hijau—memancarkan cahaya magis ke atas lautan yang tenang, menciptakan jalur-jalur cahaya yang menari-nari di atas ombak. Udara dipenuhi oleh aroma garam dan bunga-bunga malam yang mekar.Namun, di dalam kamar tamunya yang mewah, Luca tidak bisa merasakan kedamaian itu. Ia berdiri di balkon, menatap keheningan pulau, tetapi pikirannya berada ribuan kilometer jauhnya, terperangkap di dalam gua es yang dingin dan di tengah badai jiwa yang baru saja mereka lalui.Sebuah ketukan pelan terdengar di pintunya.“Masuk,” kata Luca tanpa menoleh.Pintu terbuka, dan Nyxel melangkah masuk. Ia tidak lagi mengenakan pakaian tempurnya yang robek, tetapi sebuah gaun sederhana berwarna kuning pucat yang dipinjamkan oleh Aveline. Wajahnya masih sedikit pucat, tetapi keceriaan di matanya telah kembali, meskipun sedikit lebih redup, lebih dewasa.Ia berjalan dan berdiri di samping Luca
Keheningan yang mengikuti teriakan frustrasi Lian terasa berat dan canggung. Udara di arena latihan yang tadinya dipenuhi oleh aroma buah busuk dan teh yang tumpah, kini dipenuhi oleh aura kasar yang terasa seperti amplas di kulit. Semua mata tertuju pada sosok pemuda berambut hitam yang baru saja muncul dari kabut misterius, senyum miring yang penuh tantangan terukir di bibirnya.Tetua Hu tidak terlihat marah. Ia tidak terlihat terkejut. Ia hanya terlihat sangat, sangat lelah, seperti seorang kakek yang melihat cucunya yang paling merepotkan pulang setelah kabur dari rumah selama setahun dengan membawa seekor naga peliharaan. Ia menghela napas panjang, sebuah helaan yang seolah membawa beban dari puluhan tahun sakit kepala.“Zane,” kata Tetua Hu, suaranya datar dan tanpa emosi. “Kukira aku sudah bilang jangan kembali sampai kau bisa menyeduh teh dengan benar.”Pemuda itu, Zane, tertawa terbahak-bahak. Sebuah tawa yang liar, bebas, dan sama sekali tidak menghormati suasana. “Aku kemba
Pagi berikutnya, Lian datang ke paviliun tamu dengan ekspresi yang sangat formal dan kaku. Ia membungkuk sedikit pada Luca dan Nyxel, yang sedang mencoba sarapan aneh yang terdiri dari buah-buahan bercahaya dan roti yang terlalu empuk.“Tuan Luca, Nona Nyxel,” katanya, suaranya datar. “Tetua Hu meminta kehadiran kalian di arena latihan utama. Beliau ingin memulai penilaian awal.”Nyxel, yang sejak kemarin merasa gatal untuk bertarung, langsung bersemangat. Matanya berbinar. “Akhirnya! Sedikit aksi!” serunya, meninju telapak tangannya sendiri.Luca, di sisi lain, tetap waspada. Ia tahu ini bukan sekadar latihan. Ini adalah sebuah interogasi melalui pertarungan, sebuah cara bagi faksi misterius ini untuk mengukur kekuatannya.Mereka tiba di arena latihan yang megah, sebuah panggung batu pualam raksasa yang dikelilingi oleh taman-taman gantung dan air terjun kecil. Namun, pemandangan di sana jauh dari ekspektasi mereka.Tidak ada persiapan pertarungan. Tidak ada senjata. Tetua Hu hanya d
Pagi pertama Luca di Pulau Nuhawan terasa seperti sebuah mimpi demam yang aneh. Ia terbangun di atas ranjang yang begitu empuk hingga ia merasa seolah tenggelam di dalamnya, di dalam sebuah kamar yang luas dengan jendela-jendela besar yang terbuka, membiarkan angin laut yang sejuk dan aroma bunga-bunga eksotis masuk. Setelah berminggu-minggu tidur di atas tanah yang keras dan dingin, kenyamanan ini terasa begitu asing hingga nyaris tidak nyata.Tubuhnya terasa lebih baik. Mata Air Suci itu benar-benar ajaib. Rasa sakit yang tadinya menusuk kini telah mereda menjadi nyeri tumpul, dan ia bisa merasakan sisa-sisa energi mulai mengalir kembali di dalam sirkuit darahnya yang rusak. Namun, pikirannya masih kacau, dipenuhi oleh pikiran dari dunia lama dan ketidakpastian dari dunia baru.Saat ia sedang mencoba untuk duduk, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dengan keras tanpa diketuk sama sekali.Aveline, adik Seraphina yang ceria, melesat masuk seperti angin puyuh kecil, membawa sebuah nampan
Kesadaran kembali pada Luca bukan seperti fajar yang menyingsing, melainkan seperti ditarik paksa dari kedalaman lautan yang gelap. Hal pertama yang ia rasakan adalah kelembutan. Sesuatu yang empuk di bawah punggungnya, kain linen yang halus menyentuh kulitnya. Lalu, kehangatan. Sebuah selimut tebal yang nyaman menyelimuti tubuhnya.Ia membuka mata perlahan. Pandangannya yang kabur perlahan menjadi jelas. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit gua yang berkilauan seperti galaksi bawah tanah, memancarkan cahaya biru dan hijau yang lembut. Udara di sekitarnya beraroma herbal yang menenangkan dan uap mineral yang menyegarkan. Ia bisa mendengar suara gemericik air yang damai.Tempat ini… bukan gurun.Dengan ingatan terakhir tentang gas tidur dan kegelapan, instingnya langsung mengambil alih. Ia mencoba untuk duduk, tetapi rasa sakit yang tumpul di seluruh tubuhnya menahannya. Ia melirik ke sekeliling dengan cepat, otaknya yang analitis memindai setiap detail dalam sepersekian deti
Perahu cahaya itu meluncur tanpa suara ke dalam pelabuhan rahasia Pulau Nuhawan, sebuah gua laut raksasa yang diterangi oleh kristal-kristal alami yang tumbuh di langit-langitnya, memancarkan cahaya biru dan hijau yang lembut ke atas air yang tenang. Tetua Hu dan Lian sudah menunggu di dermaga batu pualam, wajah mereka dipenuhi oleh campuran kelegaan yang luar biasa dan seribu pertanyaan yang tak terucap.“Evangeline, Aveline,” sapa Tetua Hu, suaranya yang tenang menggema di dalam gua. “Selamat datang kembali.”“Kami kembali, Tetua,” jawab Evangeline, suaranya yang agung terdengar sedikit lelah. Ia dan Aveline dengan hati-hati menurunkan tiga sosok tak sadarkan diri dari perahu, membaringkan mereka di atas dermaga yang sejuk.Lian menatap ketiga tamu tak diundang itu dengan kaget. Satu gadis berambut merah yang tampak seperti baru saja melewati neraka, satu pemuda berambut putih dengan luka-luka aneh yang seolah memancarkan sisa-sisa energi liar, dan… “Seraphina?” bisiknya, matanya me