Keesokan harinya, Fyren bangun lebih dulu. Tepatnya, makhluk itu tak pernah tidur. Ia sibuk bersih-bersih ruang pos pengamatan dengan sinar laser kecil yang keluar dari ekornya. Sementara itu, Luca masih duduk di kursi yang sama, matanya terbuka setengah. Ia tak sepenuhnya tidur, tapi lebih seperti meditasi. Tubuh barunya memang butuh waktu untuk beradaptasi, dan ini... adalah cara terbaik yang ia tahu.
"Selamat pagi dunia asing yang penuh misteri!" teriak Fyren sambil meluncur ke langit-langit dan menyalakan semua lampu ruangan.
Luca memicingkan mata. "Kalau kau tidak bisa diam lima menit saja, mungkin dunia ini akan sedikit lebih tenang."
"Maaf!" kata Fyren, meski tidak terdengar menyesal sama sekali. "Tapi aku punya kabar baik! Simulasi Awal sudah aktif!"
Luca berdiri perlahan. Gerakannya masih terasa kaku, tapi sudah jauh lebih stabil dari kemarin.
"Bawa aku ke sana."
Fyren memandu ke sebuah ruangan kecil di ujung lorong. Dinding logam bergaris-garis seperti ruang kapsul, dan di tengahnya terdapat lingkaran dengan cahaya biru berputar lambat.
"Masuk ke dalam. Sistem akan membaca tubuh barumu, lalu memindahkan kesadaranmu ke ruang simulasi."
Luca melangkah masuk. Begitu ia berdiri di tengah lingkaran, dinding berpendar dan suara mekanis terdengar:
"Inisialisasi Simulasi Awal... Menganalisis tubuh pengguna... Menyesuaikan kestabilan energi internal... Menyesuaikan tekanan atmosfer virtual... Harap tenang."
Luca tidak bereaksi, bahkan ketika cahaya mulai menyelimuti tubuhnya dan segalanya berubah jadi putih.
...
Saat ia membuka mata, Luca berdiri di sebuah padang rumput luas. Langitnya cerah, angin bertiup lembut. Tempat ini terasa terlalu damai untuk dunia yang baru saja hancur.
"Aneh," gumamnya. "Kenapa tempat latihannya seperti surga kecil?"
Tiba-tiba, tanah di depannya meledak. Seekor makhluk mirip anjing dengan tanduk merah muncul dari tanah, melolong ganas, dan langsung melompat ke arah Luca.
Luca tak bergerak. Ia menunggu... merasakan gerakan, kecepatan, dan arah tekanan.
Detik berikutnya, ia menunduk sedikit—hanya sedikit. Makhluk itu meleset dan mendarat keras di belakangnya.
"Masih lambat," gumamnya lagi.
Makhluk itu berbalik, hendak menyerang lagi, namun Luca sudah bergerak. Ia meluncur ke depan, tangan kosong menghantam udara, dan menciptakan gelombang energi yang menghancurkan tanah di bawahnya.
Makhluk itu terpental, menghilang jadi serpihan cahaya.
Fyren muncul sebagai hologram kecil. "Waaah! Itu keren! Kau bahkan belum pakai senjata!"
Luca menatap tangannya. Energi dalam tubuh ini... memang kuat. Tapi tak semurni saat di Bumi. Tubuh ini menampung kekuatan besar, tapi tidak bisa mengalirkannya secara efisien.
Ia memejamkan mata, mencoba mengingat. Di Bumi, teknik Gelang Api bisa ia bentuk hanya dengan satu gerakan. Kini, meski kekuatannya tak kalah besar, teknik itu... terasa kabur.
Dan saat itulah, kenangan menyeruak.
Kilatan bayangan: sebuah ruangan penuh cahaya. Sorot mata ayahnya. Suara decak kagum orang-orang. Bocah berambut hitam yang mengangkat pedang dengan satu tangan.
Kilasan itu menghilang secepat datangnya. Luca membuka mata, ekspresinya kembali datar.
"Memori itu masih ada," katanya pelan.
Fyren menatapnya. "Kau ingat sesuatu?"
"Sedikit, Tapi cukup untuk tahu bahwa aku pernah menjadi seseorang yang jauh lebih kuat dari ini."
Fyren tersenyum. "Maka kau bisa mencapainya lagi."
Luca memutar tubuhnya. "Ini hanya simulasi. Aku belum benar-benar tahu kekuatan sebenarnya dari dunia ini."
"Benar juga!" sahut Fyren. "Tapi hey, ada tantangan berikutnya kalau kau mau—level dua dari simulasi ini akan mengeluarkan lawan yang bisa berpikir!"
"Lawan yang bisa berpikir?" Luca menarik napas, lalu mengangguk. "Baik. Ayo mulai."
Simulasi berubah. Langit menggelap sedikit. Di ujung padang rumput, muncul sosok manusia. Atau... hampir manusia. Matanya bersinar merah, tubuhnya berselimut armor biru gelap.
Fyren memberi keterangan, "Itu adalah rekaan dari pengguna sebelumnya yang menjadi korup. Ia bernama Evan. Dulu... dia adalah pelindung dunia ini. Tapi sistem tak mampu lagi menampung egonya."
Luca menatap musuh itu tanpa ekspresi. "Menarik."
Mereka saling diam selama beberapa detik.
Lalu Evan menyerang duluan.
Pertarungan itu cepat, penuh benturan energi. Luca menghindar, menangkis, dan sesekali menyerang balik. Tapi ia masih mencoba—bukan untuk menang, melainkan untuk memahami.
Untuk mengingat.
Dan di tengah benturan terakhir, ketika tangan Luca menyentuh bahu lawannya dan meledakkan energi di titik tekanan... ia tersenyum kecil.
"Tubuh ini... mulai menyesuaikan."
Serangan Beruntun dilancarkan lagi sesaat luca menoleh.
“Sepertinya bahan simulasi seperti ini akan sedikit merepotkan mulai sekarang” Luca menunduk dengan cepat segera menggunakan betis untuk mengantamkan serangan fisik ke Evan.
Pertukaran serangan cukup lama terjadi di dalam simulasi tersebut, luca dengan serius menggerakan setengah dari pergelangan tangannya dan titik merah mulai mencuat serta dengan kilat mengancurkan Evan.
Evan menghilang dalam cahaya.
Simulasi berakhir.
Luca kembali ke pos pengamatan. Fyren mengikutinya dengan gembira.
"Kau hebat! Tapi... sedikit muram. Bisa kau coba tersenyum tanpa membunuh atmosfer ruangan?"
Luca tidak menjawab.
Fyren menghela napas palsu. "Baiklah. Tapi setidaknya... kau mulai cocok dengan dunia ini."
Luca menatap langit dari jendela pos pengamatan. Angin masih membawa debu reruntuhan, tapi juga... harapan samar.
"Die wêreld van Nuan Omega... aku belum tahu kenapa aku di sini. Tapi kalau tubuh ini bisa jadi lebih kuat, maka... aku akan mencari jawabannya."
Kadang-kadang, hidup menempatkan kita di dunia yang asing, dalam tubuh yang belum kita kenali, dengan kekuatan yang belum bisa kita kendalikan. Tapi bukan berarti kita harus mengerti semuanya sekaligus. Seperti Luca, mungkin kita hanya perlu satu langkah pertama—dan keberanian untuk menghadapinya. Sampai jumpa di bab selanjutnya. Siapkan dirimu, karena dunia ini baru mulai bicara.
Fajar di desa Kaum Buangan terasa berbeda. Cahayanya yang pucat seolah membawa beban dari nasib tujuh orang yang terbaring di antara hidup dan mati. Di dalam pondok penyembuhan, Selvine berdiri, tekadnya telah mengeras menjadi baja. Ia mengenakan pakaian latihan yang lebih praktis, rambutnya diikat erat, dan di pinggangnya terselip sebuah belati perak tipis.Tetua Elara memberinya sebuah kantung kulit yang diawetkan secara khusus. “Bunga itu akan layu jika terkena udara biasa terlalu lama. Masukkan segera setelah kau memetiknya,” katanya, matanya yang bijaksana menatap Selvine dengan campuran kekaguman dan kekhawatiran. “Hati-hati, anak muda. Kematian sebuah entitas besar akan selalu menarik perhatian mereka yang lapar.”Selvine mengangguk. Ia menatap teman-temannya yang terbaring tak berdaya untuk terakhir ka
Keheningan yang mengikuti badai adalah jenis keheningan yang paling menakutkan. Di dalam kawah yang baru terbentuk, di bawah lubang di langit yang perlahan mulai menutup, Selvine adalah yang pertama kali membuka mata. Kepalanya terasa seperti akan pecah, dan setiap sel di tubuhnya menjerit karena kelelahan.Ia memaksa dirinya untuk duduk. Pemandangan di sekelilingnya adalah sebuah lukisan keputusasaan.Di dekatnya, terbaring teman-teman dari Tim Kunci. Trint dan Fyren tak sadarkan diri, tubuh mereka penuh luka goresan dan memar. Di sampingnya, Aeri terbaring pucat seperti mayat, sisa-sisa energi kehidupannya nyaris tak terasa setelah melakukan ritual nekatnya.Lalu, pandangan Selvine beralih ke anggota timnya yang lain, Tim Umpan. Hatinya mencelos.
Waktu seolah berhenti di dalam kawah kehancuran itu. Di bawah lubang di langit yang menatap turun seperti mata dewa yang kosong, Luca berdiri sebagai pusat dari badai. Ia telah memojokkan mereka. Pertarungan ini sudah berakhir.Kedua Penghukum elit terkapar di tanah, armor mereka hancur, senjata mereka tak lebih dari serpihan logam. Mereka menatap sosok di hadapan mereka dengan horor murni, menyadari bahwa mereka tidak sedang menghadapi seorang murid, melainkan sebuah bencana alam yang memiliki wujud manusia.Luca berjalan perlahan mendekati mereka. Setiap langkahnya membuat tanah bergetar, bukan karena berat, tetapi karena kepadatan energi yang ia pancarkan. Badai lima elemen—api, es, angin, tanah, dan petir—berputar ganas di sekelilingnya, sebuah simfoni kehancuran yang siap dilepaskan.
Di tengah kawah yang baru terbentuk, di bawah lubang di langit yang memperlihatkan bintang-bintang asing yang dingin, Luca berdiri perlahan. Keheningan yang mengikuti ledakan energi itu lebih menakutkan daripada suara apa pun. Tubuhnya tidak lagi memancarkan aura elemen yang terpisah. Kini, ia diselimuti oleh badai energi lima warna yang berputar liar, sebuah neraka pelangi yang mentah, kacau, dan tak terkendali. Api, air, angin, tanah, dan petir tidak lagi menjadi alat, tetapi bagian dari dirinya, mengalir keluar dari pori-pori kulitnya seperti napas sebuah bintang yang baru lahir.Matanya, yang tadinya penuh dengan keraguan dan kehangatan, kini adalah dua lubang kosong yang bersinar dengan cahaya putih keperakan yang murni dan menakutkan. Tidak ada kesadaran di sana. Tidak ada Luca. Hanya ada insting murni. Sebuah kekuatan alam yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya.Sang Pemecah dan Sang Penenun, dua Penghukum elit dari Selatan, berhasil menstabilkan diri me
Pertarungan itu bahkan tidak bisa disebut pertarungan. Itu adalah pembantaian.Tim Kunci, yang kelelahan dan tidak memiliki kekuatan tempur utama, dihancurkan oleh efisiensi brutal dari dua Penghukum elit.“Trint, Fyren, ganggu gerakan mereka!” teriak Selvine, mengambil komando dalam keputusasaan. Ia berdiri paling depan, darah murninya menyala seperti suar pucat, menjadi perisai terakhir bagi Aeri yang masih panik mencoba menyembuhkan teman-teman mereka yang terkapar.Trint mencoba. Ia menggunakan Null Pulse pada Sang Pemecah, tetapi kekuatan fisik murni dari pedang raksasa itu tidak bisa dihilangkan sepenuhnya, hanya sedikit diperlambat. Dengan satu ayunan horizontal yang malas, Sang Pemecah menciptakan gelombang kejut yang melemparkan Trint hingga menabrak dinding batu dengan keras. Ia jatuh, tak sadarkan diri.
Di tengah jalur tersembunyi yang sunyi, Tim Kunci bergerak seperti empat bayangan yang menyatu dengan kegelapan. Di bawah panduan Trint, setiap langkah mereka terukur, setiap napas terkendali. Misi mereka adalah keheningan, dan sejauh ini, mereka berhasil.Namun, di tengah keheningan itu, sebuah jeritan tanpa suara meledak di dalam jiwa Aeri.Ia berhenti begitu tiba-tiba hingga Fyren, yang berjalan di belakangnya, nyaris menabraknya. Aeri mencengkeram dadanya, matanya membelalak ngeri. Di dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang lebih buruk dari serangan fisik mana pun. Ikatan Vital—benang emas yang menghubungkan esensi hidupnya dengan Luca—yang biasanya terasa hangat dan stabil, kini meredup dengan cepat. Benang itu menjadi dingin, rapuh, dan seolah akan putus kapan saja.Rasa sakit dan kepanikan yang l