Home / Fantasi / Omega keeper Of Crystalon / Bab 3: Aroma Asing di Udara Lama

Share

Bab 3: Aroma Asing di Udara Lama

Author: FIKRI
last update Huling Na-update: 2025-06-01 00:31:35

Di luar gedung, matahari mulai tenggelam. Kabut ungu di langit mulai menyala dengan warna biru kehijauan. Mereka bertiga duduk di tangga depan reruntuhan gedung pusat riset, ditemani cahaya dari lampu portable milik Fyren.

Gadis itu menatap langit.

"Apakah ini... rumah?"

Luca menggeleng. "Tidak."

"Tempat ini aneh."

"Kau juga."

Ia tertawa. Kecil, tapi tulus. Suara itu membuat Fyren terdiam sejenak.

"Kau tahu," kata Fyren, "kalau kau tak punya nama... kenapa tidak kita beri saja?"

Gadis itu menoleh. "Aku tidak keberatan."

Fyren menatap Luca. "Kau yang kasih nama. Kau yang nemuin."

Luca mengerutkan kening. "Aku tak pandai memberi nama."

"Coba saja. Satu kata yang terlintas saat kau lihat dia."

Luca menatap gadis itu beberapa detik. Lalu matanya sedikit menyipit, memperhatikan rambut biru pucat yang seperti awan tipis, mata keperakan yang memantulkan cahaya, dan ekspresi polos yang seolah kosong, namun menyimpan sesuatu di baliknya.

"...Aeri."

Gadis itu mengulang, pelan, "Aeri..."

Ia tersenyum.

"Aku suka."

Fyren menepuk-nepuk tangan. "Dengar itu! Nah, Aeri, selamat datang kembali ke dunia... meskipun dunia ini sedang kacau."

Namun di kejauhan, di salah satu menara roboh yang separuh mengambang karena gravitasi lokal, sebuah sosok berdiri diam. Tubuhnya diselimuti kain gelap, wajahnya tersembunyi di balik topeng perunggu tua dengan simbol retak di dahi.

Ia menatap Luca dan Aeri.

Sebuah suara berderak pelan dalam alat komunikasi di tangannya.

"Subjek Nuan Omega Alpha telah memasuki zona inti. Interaksi dengan subjek dormant: berhasil. Tahap satu selesai."

Sosok itu tak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, lalu melompat ke balik bayangan. Dan hilang.

"Kita... balik ke tempat awal tadi?" tanya Fyren, mengambang lemas seperti balon yang kehabisan gas.

"Tempat itu masih lebih aman daripada tidur di reruntuhan dengan dinding berisik," jawab Luca, tetap dengan wajah datar sambil menapaki jalan setapak yang dipenuhi debu logam dan bekas tumbuhan menjalar.

Aeri berjalan pelan di belakang mereka, masih menyesuaikan diri dengan tubuhnya yang lemah. Ia memeluk dirinya sendiri, rambut birunya berkibar tertiup angin senja yang mulai dingin.

"Tempat itu... hangat. Dan ada aroma makanan basi yang cukup... menghibur," gumamnya, mencoba bercanda.

Fyren tertawa. "Nah! Itu tandanya kau sudah bagian dari kita. Kalau bisa tertawa soal makanan basi, kamu udah siap mental buat hidup bareng Luca."

"Kenapa begitu?"

"Karena dia tidak bisa masak."

Luca menoleh pelan. "Aku tak butuh makanan. Jadi kenapa harus belajar?"

"Logika robot!" teriak Fyren. "Tolong seseorang update sistem emosional pria ini!"

Namun langkah mereka terhenti ketika angin mendadak berubah.

Sebuah aroma menyengat mengambang di udara—bukan darah, bukan besi, tapi... sesuatu yang seperti asap terbakar dan bau bunga busuk.

Luca mendadak berhenti. Matanya menyipit.

"Fyren," katanya pendek. "Di atas jam dua."

Fyren segera naik ke udara, dan bola matanya melebar.

"...Aduh."

Dari balik reruntuhan, makhluk berkaki enam muncul. Tingginya dua meter, dengan kulit hitam kelam dan permukaan tubuhnya ditutupi pecahan kristal berpendar. Wajahnya tak memiliki mata, hanya mulut besar berisi gigi bengkok seperti taring beling.

Aeri mundur satu langkah. "Apa itu...?!"

"Predator wilayah inti," jawab Fyren. "Makhluk ini hidup dari sisa energi dunia lama. Dan... sepertinya mereka mencium sesuatu dari kamu, Aeri."

"Dari aku?!"

Luca mengangkat satu tangan ke arah makhluk itu, dan udara di sekelilingnya bergelombang—seolah panas menyelimuti lengannya.

Tapi...

"Hah... tidak keluar?" gumamnya.

Fyren menoleh. "Lho? Kenapa gelang apimu nggak nyala?"

"Aku belum sepenuhnya menyinkronkan teknikku dengan tubuh ini. Kekuatan bisa keluar... kadang tidak."

"Luca," seru Aeri gugup. "Apa yang akan kita—"

GRAAAARGHHHH!

Makhluk itu melompat ke arah mereka.

Tapi bahkan tanpa kekuatan penuh, refleks Luca tetap milik monster.

Ia bergerak. Lompatan pendek ke samping, lalu tendangan berputar mengenai sisi makhluk itu, melemparkannya ke dinding puing dengan suara BRUGHH!

Aeri terpana. "Kau..."

"Masih bisa menendang, setidaknya," gumam Luca sambil menggoyangkan kakinya yang terasa ngilu.

Makhluk itu bangkit—terluka, tapi tidak menyerah.

Fyren panik. "Kita gak bisa lawan terus-terusan, ada dua lagi di belakangnya!"

Luca menatap sekeliling. Ia melihat reruntuhan berbentuk setengah lingkaran, dengan tangga spiral menuju bawah tanah yang tertutup tanaman.

"Fyren, ada akses ke ruang bawah?"

Fyren cepat-cepat mengecek peta holografiknya. "Ada! Jalur ventilasi ke ruang cadangan!"

"Aeri, ikut aku."

Mereka bertiga berlari ke arah tangga, sementara makhluk-makhluk itu mulai mengeluarkan suara mengganggu.

"Cepat! Tutup pintunya!" teriak Fyren.

Begitu mereka masuk ke ruang bawah yang lembab dan gelap, Luca menarik tuas mekanik, dan pintu baja kuno menutup dengan bunyi berat. Udara menjadi lembap, tapi setidaknya sunyi.

Fyren jatuh terhempas ke lantai. "Oke... aku butuh charger emosi."

Aeri duduk bersandar. "Aku... tidak menyangka akan bertemu monster dalam satu jam sejak bangun..."

Luca berdiri di tengah ruangan, menatap lorong panjang yang gelap di depan.

"Aku rasa... tempat ini tidak hanya menyimpan puing."

Fyren menatap Luca dengan tatapan aneh. "Kau tersenyum, ya barusan?"

Luca mengangkat alis. "Aku? Tidak."

"...Aneh. Tapi ya udahlah. Ayo jelajahi tempat ini sebelum monster itu cari jalan lain masuk."

"tidak perlu menatapnnya terus aeri, sifatnya memang begitu" Fyren tersenyum saat ia menepuk pundak Luca

"Ayoo kita cari jalan...? sebuah sinar putih berdetak disekitar mereka saat mereka bertiga memasuki lorong itu.

"HAH" 

retakan besar terkoyak di atas kepala masing-masing dari aeri,luca, dan fyren, gravitasi tak beraturan di sekitarnya.

"semuanya pegang tanganku!" luca berteriak pada saat tubuhnya tertarik ke atas dan secara refleks Aeri dan Fyren memagang Tangan Luca sehingga mereka juga tertarik

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Omega keeper Of Crystalon   Bab 8 : Akademi Darah

    Kabut putih yang semula menyelimuti tanah tak bertuan kini perlahan memudar, tergantikan oleh pemandangan luar biasa: sebuah lembah luas yang dijaga oleh pagar-pagar besi berdarah yang berdenyut pelan seakan hidup. Di tengahnya, berdiri megah sebuah bangunan setinggi tujuh lantai, arsitekturnya memadukan gaya gotik dan modern, dipenuhi jalur kristal dan pancaran cahaya merah muda dari tiang-tiang sihir. Di atas gerbang besar, tertulis:AKADEMI DARAH — DI SINI DARAHMU ADALAH JALANMU.Luca menatap gerbang itu. Ia mengenakan kembali jubah abu-hitamnya, dengan rompi putih bersih yang baru ia perbaiki secara insting beberapa waktu lalu. Di sampingnya, Aeri menggenggam tangannya, mengenakan pakaian pelatihan baru berwarna biru langit, sorot matanya setenang embun pagi, tapi dari pelukannya, terlihat jelas: ia waspada.Fyren? Tentu saja tidak ada. Sejak kabut menyerap dan mengarah pada Akademi ini, makhluk mungil itu lenyap entah ke mana—entah tersesat atau sedang asyik menggoda tanaman berb

  • Omega keeper Of Crystalon   Bab 7 : Pendaftaran Akademi Darah

    Ruang pendaftaran tidak semewah yang dibayangkan. Gedung utamanya berbentuk seperti silinder baja hitam, menjulang tinggi seperti menara reaktor. Di dalamnya, ratusan orang dengan jubah berbeda warna duduk di barisan panjang, menunggu giliran.Luca, Aeri, dan Fyren berada di baris yang ditandai dengan simbol darah setengah pudar: Kasta Tidak Terklarifikasi.Seorang gadis dengan rambut ungu kuncir dua menoleh ke Luca sambil mengunyah sesuatu. "Hei, kamu juga dari jalur tak dikenal ya? Wah, makin hari makin banyak calon penyusup." Ia mengedip iseng.Luca menatapnya sekilas. "Bukan penyusup. Pengamat.""Eh? Jawabannya keren banget." Gadis itu tertawa. "Namaku Kierra Van Luthien, dari bekas Wilayah Utara. Kamu?""Luca.""Kakaknya?" tanya Kierra, melirik ke Aeri. "Atau pacarnya?"Aeri tersenyum, nada suaranya ringan tapi menusuk, "Kamu ingin tahu? Tanyakan setelah punggungmu tidak dicakar burung pengawas akademi karena terlalu cerewet."Kierra mendecak pelan. "Uh, cewek garang. Suka, suka.

  • Omega keeper Of Crystalon   Bab 6: Akademi Darah dan Jebakan Tak Terlihat

    Veloren malam hari lebih terang dari siang. Lampu langit buatan, lapisan drone mini, dan jaringan kristal pemantau membuat seluruh kota seolah hidup dalam kesadaran kolektif.Namun, satu tempat tampak tak tersentuh: Akademi Darah."Kenapa sekolah ini dijaga lebih ketat dari istana?" tanya Fyren sambil menggigit batang logam aneh yang katanya "permen lokal"."Karena di sini tempat mereka mencetak dewa," jawab Luca singkat.Aeri menyentuh pelat besi yang menempel di dinding luar pagar akademi. "Dindingnya berlapis tiga. Mana, jaringan darah, dan... semacam ilusi organik?"Fyren mengeluarkan kacamata multi-lensa buatannya. "Betul. Sistem keamanan berbasis resonansi darah. Kalau kau bukan murid atau staf resmi, tubuhmu akan ditolak secara literal.""Lalu bagaimana kita masuk?" tanya Aeri.Luca memejamkan mata. Ia mulai merasakan dunia dengan cara berbeda sekarang—lebih halus, lebih dalam. Dunia ini bukan hanya daging dan logam, tapi juga darah, ingatan, dan kehendak."Aku bisa menyalin po

  • Omega keeper Of Crystalon   Bab 5 : Kasta yang Mewarnai Luka

    Pagi di Veloren tak terdengar oleh kokok ayam, melainkan denting mekanis dari sistem jam kota yang berbunyi setiap jam keempat. Cahaya matahari masuk dari langit buatan—semacam ilusi holografik di atas kota yang terhubung dengan sistem pusat energi. Di rumah sempit Sektor Lupa, Fyren sudah bangun duluan dan duduk sambil mencongkel panel lantai."Siapa tahu ada senjata kuno di bawah ubin," katanya enteng.Luca mengikat rambutnya ke belakang, menyibakkan jubah gelapnya, dan melirik peta holografik kecil yang muncul dari kristal komunikasi di meja."Kota ini dibagi jadi lima wilayah," katanya. "Pusat administrasi, pasar terbuka, sektor akademik, distrik militer, dan... bagian bawah kota. Tempat buangan, atau penjara sosial."Aeri datang sambil membawa dua roti datar. "Kita mulai dari mana?"Fyren menjawab cepat, "Dari informasi. Kalau kita mau mengerti dunia ini, kita harus tahu siapa yang memegang kekuasaan... dan siapa yang cukup bodoh buat menantangnya."Di pasar, keramaian seperti bi

  • Omega keeper Of Crystalon   Bab 4 : Sensor Darah dan Kota Pertama

    Langit di atas mereka tak lagi seperti langit. Kabut kelabu menggantung berat, mengalir seperti tinta yang ditumpahkan ke dalam air. Tanah retak. Udara penuh suara gemuruh tanpa arah. Semuanya terasa seperti... kesalahan. Dunia ini salah."Apa ini... masih bagian dari Die wêreld van Nuan Omega?" tanya Aeri dengan suara yang nyaris tenggelam dalam pekatnya kabut.Luca berdiri diam. Sorot matanya memantul kehampaan di sekitarnya. Tidak ada suara burung. Tidak ada angin. Bahkan Fyren yang biasanya cerewet, kini hanya memelototi batu raksasa yang tergantung melayang di udara seperti ditarik oleh kekuatan tak kasatmata."Aku rasa ini bukan tempat yang seharusnya ada," gumam Luca akhirnya. "Seperti ruang yang tercipta karena sesuatu yang... seharusnya tidak terjadi."Tiba-tiba, tanah di bawah kaki mereka berdenyut. Kabut mencair, seperti keringat yang menguap dari tubuh dunia. Sebuah retakan merah menyembul dari tanah, membelah udara, menggores langit yang sudah hancur.Fyren melompat mundu

  • Omega keeper Of Crystalon   Bab 3: Aroma Asing di Udara Lama

    Di luar gedung, matahari mulai tenggelam. Kabut ungu di langit mulai menyala dengan warna biru kehijauan. Mereka bertiga duduk di tangga depan reruntuhan gedung pusat riset, ditemani cahaya dari lampu portable milik Fyren.Gadis itu menatap langit."Apakah ini... rumah?"Luca menggeleng. "Tidak.""Tempat ini aneh.""Kau juga."Ia tertawa. Kecil, tapi tulus. Suara itu membuat Fyren terdiam sejenak."Kau tahu," kata Fyren, "kalau kau tak punya nama... kenapa tidak kita beri saja?"Gadis itu menoleh. "Aku tidak keberatan."Fyren menatap Luca. "Kau yang kasih nama. Kau yang nemuin."Luca mengerutkan kening. "Aku tak pandai memberi nama.""Coba saja. Satu kata yang terlintas saat kau lihat dia."Luca menatap gadis itu beberapa detik. Lalu matanya sedikit menyipit, memperhatikan rambut biru pucat yang seperti awan tipis, mata keperakan yang memantulkan cahaya, dan ekspresi polos yang seolah kosong, namun menyimpan sesuatu di baliknya."...Aeri."Gadis itu mengulang, pelan, "Aeri..."Ia ters

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status