Di luar gedung, matahari mulai tenggelam. Kabut ungu di langit mulai menyala dengan warna biru kehijauan. Mereka bertiga duduk di tangga depan reruntuhan gedung pusat riset, ditemani cahaya dari lampu portable milik Fyren.
Gadis itu menatap langit.
"Apakah ini... rumah?"
Luca menggeleng. "Tidak."
"Tempat ini aneh."
"Kau juga."
Ia tertawa. Kecil, tapi tulus. Suara itu membuat Fyren terdiam sejenak.
"Kau tahu," kata Fyren, "kalau kau tak punya nama... kenapa tidak kita beri saja?"
Gadis itu menoleh. "Aku tidak keberatan."
Fyren menatap Luca. "Kau yang kasih nama. Kau yang nemuin."
Luca mengerutkan kening. "Aku tak pandai memberi nama."
"Coba saja. Satu kata yang terlintas saat kau lihat dia."
Luca menatap gadis itu beberapa detik. Lalu matanya sedikit menyipit, memperhatikan rambut biru pucat yang seperti awan tipis, mata keperakan yang memantulkan cahaya, dan ekspresi polos yang seolah kosong, namun menyimpan sesuatu di baliknya.
"...Aeri."
Gadis itu mengulang, pelan, "Aeri..."
Ia tersenyum.
"Aku suka."
Fyren menepuk-nepuk tangan. "Dengar itu! Nah, Aeri, selamat datang kembali ke dunia... meskipun dunia ini sedang kacau."
Namun di kejauhan, di salah satu menara roboh yang separuh mengambang karena gravitasi lokal, sebuah sosok berdiri diam. Tubuhnya diselimuti kain gelap, wajahnya tersembunyi di balik topeng perunggu tua dengan simbol retak di dahi.
Ia menatap Luca dan Aeri.
Sebuah suara berderak pelan dalam alat komunikasi di tangannya.
"Subjek Nuan Omega Alpha telah memasuki zona inti. Interaksi dengan subjek dormant: berhasil. Tahap satu selesai."
Sosok itu tak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, lalu melompat ke balik bayangan. Dan hilang.
"Kita... balik ke tempat awal tadi?" tanya Fyren, mengambang lemas seperti balon yang kehabisan gas.
"Tempat itu masih lebih aman daripada tidur di reruntuhan dengan dinding berisik," jawab Luca, tetap dengan wajah datar sambil menapaki jalan setapak yang dipenuhi debu logam dan bekas tumbuhan menjalar.
Aeri berjalan pelan di belakang mereka, masih menyesuaikan diri dengan tubuhnya yang lemah. Ia memeluk dirinya sendiri, rambut birunya berkibar tertiup angin senja yang mulai dingin.
"Tempat itu... hangat. Dan ada aroma makanan basi yang cukup... menghibur," gumamnya, mencoba bercanda.
Fyren tertawa. "Nah! Itu tandanya kau sudah bagian dari kita. Kalau bisa tertawa soal makanan basi, kamu udah siap mental buat hidup bareng Luca."
"Kenapa begitu?"
"Karena dia tidak bisa masak."
Luca menoleh pelan. "Aku tak butuh makanan. Jadi kenapa harus belajar?"
"Logika robot!" teriak Fyren. "Tolong seseorang update sistem emosional pria ini!"
Namun langkah mereka terhenti ketika angin mendadak berubah.
Sebuah aroma menyengat mengambang di udara—bukan darah, bukan besi, tapi... sesuatu yang seperti asap terbakar dan bau bunga busuk.
Luca mendadak berhenti. Matanya menyipit.
"Fyren," katanya pendek. "Di atas jam dua."
Fyren segera naik ke udara, dan bola matanya melebar.
"...Aduh."
Dari balik reruntuhan, makhluk berkaki enam muncul. Tingginya dua meter, dengan kulit hitam kelam dan permukaan tubuhnya ditutupi pecahan kristal berpendar. Wajahnya tak memiliki mata, hanya mulut besar berisi gigi bengkok seperti taring beling.
Aeri mundur satu langkah. "Apa itu...?!"
"Predator wilayah inti," jawab Fyren. "Makhluk ini hidup dari sisa energi dunia lama. Dan... sepertinya mereka mencium sesuatu dari kamu, Aeri."
"Dari aku?!"
Luca mengangkat satu tangan ke arah makhluk itu, dan udara di sekelilingnya bergelombang—seolah panas menyelimuti lengannya.
Tapi...
"Hah... tidak keluar?" gumamnya.
Fyren menoleh. "Lho? Kenapa gelang apimu nggak nyala?"
"Aku belum sepenuhnya menyinkronkan teknikku dengan tubuh ini. Kekuatan bisa keluar... kadang tidak."
"Luca," seru Aeri gugup. "Apa yang akan kita—"
GRAAAARGHHHH!
Makhluk itu melompat ke arah mereka.
Tapi bahkan tanpa kekuatan penuh, refleks Luca tetap milik monster.
Ia bergerak. Lompatan pendek ke samping, lalu tendangan berputar mengenai sisi makhluk itu, melemparkannya ke dinding puing dengan suara BRUGHH!
Aeri terpana. "Kau..."
"Masih bisa menendang, setidaknya," gumam Luca sambil menggoyangkan kakinya yang terasa ngilu.
Makhluk itu bangkit—terluka, tapi tidak menyerah.
Fyren panik. "Kita gak bisa lawan terus-terusan, ada dua lagi di belakangnya!"
Luca menatap sekeliling. Ia melihat reruntuhan berbentuk setengah lingkaran, dengan tangga spiral menuju bawah tanah yang tertutup tanaman.
"Fyren, ada akses ke ruang bawah?"
Fyren cepat-cepat mengecek peta holografiknya. "Ada! Jalur ventilasi ke ruang cadangan!"
"Aeri, ikut aku."
Mereka bertiga berlari ke arah tangga, sementara makhluk-makhluk itu mulai mengeluarkan suara mengganggu.
"Cepat! Tutup pintunya!" teriak Fyren.
Begitu mereka masuk ke ruang bawah yang lembab dan gelap, Luca menarik tuas mekanik, dan pintu baja kuno menutup dengan bunyi berat. Udara menjadi lembap, tapi setidaknya sunyi.
Fyren jatuh terhempas ke lantai. "Oke... aku butuh charger emosi."
Aeri duduk bersandar. "Aku... tidak menyangka akan bertemu monster dalam satu jam sejak bangun..."
Luca berdiri di tengah ruangan, menatap lorong panjang yang gelap di depan.
"Aku rasa... tempat ini tidak hanya menyimpan puing."
Fyren menatap Luca dengan tatapan aneh. "Kau tersenyum, ya barusan?"
Luca mengangkat alis. "Aku? Tidak."
"...Aneh. Tapi ya udahlah. Ayo jelajahi tempat ini sebelum monster itu cari jalan lain masuk."
"tidak perlu menatapnnya terus aeri, sifatnya memang begitu" Fyren tersenyum saat ia menepuk pundak Luca
"Ayoo kita cari jalan...? sebuah sinar putih berdetak disekitar mereka saat mereka bertiga memasuki lorong itu.
"HAH"
retakan besar terkoyak di atas kepala masing-masing dari aeri,luca, dan fyren, gravitasi tak beraturan di sekitarnya.
“Semuanya, pegang tanganku!” teriak Luca, tepat saat tubuhnya tertarik ke atas. Secara refleks, Aeri dan Fyren pun memegang tangan Luca, hingga mereka ikut tertarik.
Oke, jadi... baru aja kasih nama ke cewek misterius, eh langsung disambut sama monster yang kayak kristal pecah jalan pakai enam kaki. Dunia Nuansa Omega emang gak pernah kasih waktu tenang ya, apalagi buat Luca yang bahkan belum sempat ngopi atau upgrade jurus. Tapi ya begitulah hidup—kadang kita nemu teman baru, kadang kita nemu predator haus energi. Kadang kita cuma pengin pulang, eh malah kehisap gravitasi aneh dari langit-langit. Cinta? Tenang, belum sampai situ. Tapi chemistry antara mereka bertiga? Udah mulai kebentuk lho. Yuk, lanjutkan ke bab selanjutnya. Siapa tahu... rahasia dunia ini mulai terbuka. Atau minimal, Luca bisa membuat makanan yang tidak meledak dulu.
Malam di Pulau Nuhawan turun dengan kelembutan yang asing. bulan—satu perak besar dan dua adiknya yang berwarna biru dan hijau—memancarkan cahaya magis ke atas lautan yang tenang, menciptakan jalur-jalur cahaya yang menari-nari di atas ombak. Udara dipenuhi oleh aroma garam dan bunga-bunga malam yang mekar.Namun, di dalam kamar tamunya yang mewah, Luca tidak bisa merasakan kedamaian itu. Ia berdiri di balkon, menatap keheningan pulau, tetapi pikirannya berada ribuan kilometer jauhnya, terperangkap di dalam gua es yang dingin dan di tengah badai jiwa yang baru saja mereka lalui.Sebuah ketukan pelan terdengar di pintunya.“Masuk,” kata Luca tanpa menoleh.Pintu terbuka, dan Nyxel melangkah masuk. Ia tidak lagi mengenakan pakaian tempurnya yang robek, tetapi sebuah gaun sederhana berwarna kuning pucat yang dipinjamkan oleh Aveline. Wajahnya masih sedikit pucat, tetapi keceriaan di matanya telah kembali, meskipun sedikit lebih redup, lebih dewasa.Ia berjalan dan berdiri di samping Luca
Keheningan yang mengikuti teriakan frustrasi Lian terasa berat dan canggung. Udara di arena latihan yang tadinya dipenuhi oleh aroma buah busuk dan teh yang tumpah, kini dipenuhi oleh aura kasar yang terasa seperti amplas di kulit. Semua mata tertuju pada sosok pemuda berambut hitam yang baru saja muncul dari kabut misterius, senyum miring yang penuh tantangan terukir di bibirnya.Tetua Hu tidak terlihat marah. Ia tidak terlihat terkejut. Ia hanya terlihat sangat, sangat lelah, seperti seorang kakek yang melihat cucunya yang paling merepotkan pulang setelah kabur dari rumah selama setahun dengan membawa seekor naga peliharaan. Ia menghela napas panjang, sebuah helaan yang seolah membawa beban dari puluhan tahun sakit kepala.“Zane,” kata Tetua Hu, suaranya datar dan tanpa emosi. “Kukira aku sudah bilang jangan kembali sampai kau bisa menyeduh teh dengan benar.”Pemuda itu, Zane, tertawa terbahak-bahak. Sebuah tawa yang liar, bebas, dan sama sekali tidak menghormati suasana. “Aku kemba
Pagi berikutnya, Lian datang ke paviliun tamu dengan ekspresi yang sangat formal dan kaku. Ia membungkuk sedikit pada Luca dan Nyxel, yang sedang mencoba sarapan aneh yang terdiri dari buah-buahan bercahaya dan roti yang terlalu empuk.“Tuan Luca, Nona Nyxel,” katanya, suaranya datar. “Tetua Hu meminta kehadiran kalian di arena latihan utama. Beliau ingin memulai penilaian awal.”Nyxel, yang sejak kemarin merasa gatal untuk bertarung, langsung bersemangat. Matanya berbinar. “Akhirnya! Sedikit aksi!” serunya, meninju telapak tangannya sendiri.Luca, di sisi lain, tetap waspada. Ia tahu ini bukan sekadar latihan. Ini adalah sebuah interogasi melalui pertarungan, sebuah cara bagi faksi misterius ini untuk mengukur kekuatannya.Mereka tiba di arena latihan yang megah, sebuah panggung batu pualam raksasa yang dikelilingi oleh taman-taman gantung dan air terjun kecil. Namun, pemandangan di sana jauh dari ekspektasi mereka.Tidak ada persiapan pertarungan. Tidak ada senjata. Tetua Hu hanya d
Pagi pertama Luca di Pulau Nuhawan terasa seperti sebuah mimpi demam yang aneh. Ia terbangun di atas ranjang yang begitu empuk hingga ia merasa seolah tenggelam di dalamnya, di dalam sebuah kamar yang luas dengan jendela-jendela besar yang terbuka, membiarkan angin laut yang sejuk dan aroma bunga-bunga eksotis masuk. Setelah berminggu-minggu tidur di atas tanah yang keras dan dingin, kenyamanan ini terasa begitu asing hingga nyaris tidak nyata.Tubuhnya terasa lebih baik. Mata Air Suci itu benar-benar ajaib. Rasa sakit yang tadinya menusuk kini telah mereda menjadi nyeri tumpul, dan ia bisa merasakan sisa-sisa energi mulai mengalir kembali di dalam sirkuit darahnya yang rusak. Namun, pikirannya masih kacau, dipenuhi oleh pikiran dari dunia lama dan ketidakpastian dari dunia baru.Saat ia sedang mencoba untuk duduk, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dengan keras tanpa diketuk sama sekali.Aveline, adik Seraphina yang ceria, melesat masuk seperti angin puyuh kecil, membawa sebuah nampan
Kesadaran kembali pada Luca bukan seperti fajar yang menyingsing, melainkan seperti ditarik paksa dari kedalaman lautan yang gelap. Hal pertama yang ia rasakan adalah kelembutan. Sesuatu yang empuk di bawah punggungnya, kain linen yang halus menyentuh kulitnya. Lalu, kehangatan. Sebuah selimut tebal yang nyaman menyelimuti tubuhnya.Ia membuka mata perlahan. Pandangannya yang kabur perlahan menjadi jelas. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit gua yang berkilauan seperti galaksi bawah tanah, memancarkan cahaya biru dan hijau yang lembut. Udara di sekitarnya beraroma herbal yang menenangkan dan uap mineral yang menyegarkan. Ia bisa mendengar suara gemericik air yang damai.Tempat ini… bukan gurun.Dengan ingatan terakhir tentang gas tidur dan kegelapan, instingnya langsung mengambil alih. Ia mencoba untuk duduk, tetapi rasa sakit yang tumpul di seluruh tubuhnya menahannya. Ia melirik ke sekeliling dengan cepat, otaknya yang analitis memindai setiap detail dalam sepersekian deti
Perahu cahaya itu meluncur tanpa suara ke dalam pelabuhan rahasia Pulau Nuhawan, sebuah gua laut raksasa yang diterangi oleh kristal-kristal alami yang tumbuh di langit-langitnya, memancarkan cahaya biru dan hijau yang lembut ke atas air yang tenang. Tetua Hu dan Lian sudah menunggu di dermaga batu pualam, wajah mereka dipenuhi oleh campuran kelegaan yang luar biasa dan seribu pertanyaan yang tak terucap.“Evangeline, Aveline,” sapa Tetua Hu, suaranya yang tenang menggema di dalam gua. “Selamat datang kembali.”“Kami kembali, Tetua,” jawab Evangeline, suaranya yang agung terdengar sedikit lelah. Ia dan Aveline dengan hati-hati menurunkan tiga sosok tak sadarkan diri dari perahu, membaringkan mereka di atas dermaga yang sejuk.Lian menatap ketiga tamu tak diundang itu dengan kaget. Satu gadis berambut merah yang tampak seperti baru saja melewati neraka, satu pemuda berambut putih dengan luka-luka aneh yang seolah memancarkan sisa-sisa energi liar, dan… “Seraphina?” bisiknya, matanya me