Home / Fantasi / Omega keeper Of Crystalon / Bab 5 : Aroma Asing di Udara Lama

Share

Bab 5 : Aroma Asing di Udara Lama

Author: FIKRI
last update Huling Na-update: 2025-06-01 00:31:45

Di luar gedung, matahari mulai tenggelam. Kabut ungu di langit mulai menyala dengan warna biru kehijauan. Mereka bertiga duduk di tangga depan reruntuhan gedung pusat riset, ditemani cahaya dari lampu portable milik Fyren.

Gadis itu menatap langit.

"Apakah ini... rumah?"

Luca menggeleng. "Tidak."

"Tempat ini aneh."

"Kau juga."

Ia tertawa. Kecil, tapi tulus. Suara itu membuat Fyren terdiam sejenak.

"Kau tahu," kata Fyren, "kalau kau tak punya nama... kenapa tidak kita beri saja?"

Gadis itu menoleh. "Aku tidak keberatan."

Fyren menatap Luca. "Kau yang kasih nama. Kau yang nemuin."

Luca mengerutkan kening. "Aku tak pandai memberi nama."

"Coba saja. Satu kata yang terlintas saat kau lihat dia."

Luca menatap gadis itu beberapa detik. Lalu matanya sedikit menyipit, memperhatikan rambut biru pucat yang seperti awan tipis, mata keperakan yang memantulkan cahaya, dan ekspresi polos yang seolah kosong, namun menyimpan sesuatu di baliknya.

"...Aeri."

Gadis itu mengulang, pelan, "Aeri..."

Ia tersenyum.

"Aku suka."

Fyren menepuk-nepuk tangan. "Dengar itu! Nah, Aeri, selamat datang kembali ke dunia... meskipun dunia ini sedang kacau."

Namun di kejauhan, di salah satu menara roboh yang separuh mengambang karena gravitasi lokal, sebuah sosok berdiri diam. Tubuhnya diselimuti kain gelap, wajahnya tersembunyi di balik topeng perunggu tua dengan simbol retak di dahi.

Ia menatap Luca dan Aeri.

Sebuah suara berderak pelan dalam alat komunikasi di tangannya.

"Subjek Nuan Omega Alpha telah memasuki zona inti. Interaksi dengan subjek dormant: berhasil. Tahap satu selesai."

Sosok itu tak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, lalu melompat ke balik bayangan. Dan hilang.

"Kita... balik ke tempat awal tadi?" tanya Fyren, mengambang lemas seperti balon yang kehabisan gas.

"Tempat itu masih lebih aman daripada tidur di reruntuhan dengan dinding berisik," jawab Luca, tetap dengan wajah datar sambil menapaki jalan setapak yang dipenuhi debu logam dan bekas tumbuhan menjalar.

Aeri berjalan pelan di belakang mereka, masih menyesuaikan diri dengan tubuhnya yang lemah. Ia memeluk dirinya sendiri, rambut birunya berkibar tertiup angin senja yang mulai dingin.

"Tempat itu... hangat. Dan ada aroma makanan basi yang cukup... menghibur," gumamnya, mencoba bercanda.

Fyren tertawa. "Nah! Itu tandanya kau sudah bagian dari kita. Kalau bisa tertawa soal makanan basi, kamu udah siap mental buat hidup bareng Luca."

"Kenapa begitu?"

"Karena dia tidak bisa masak."

Luca menoleh pelan. "Aku tak butuh makanan. Jadi kenapa harus belajar?"

"Logika robot!" teriak Fyren. "Tolong seseorang update sistem emosional pria ini!"

Namun langkah mereka terhenti ketika angin mendadak berubah.

Sebuah aroma menyengat mengambang di udara—bukan darah, bukan besi, tapi... sesuatu yang seperti asap terbakar dan bau bunga busuk.

Luca mendadak berhenti. Matanya menyipit.

"Fyren," katanya pendek. "Di atas jam dua."

Fyren segera naik ke udara, dan bola matanya melebar.

"...Aduh."

Dari balik reruntuhan, makhluk berkaki enam muncul. Tingginya dua meter, dengan kulit hitam kelam dan permukaan tubuhnya ditutupi pecahan kristal berpendar. Wajahnya tak memiliki mata, hanya mulut besar berisi gigi bengkok seperti taring beling.

Aeri mundur satu langkah. "Apa itu...?!"

"Predator wilayah inti," jawab Fyren. "Makhluk ini hidup dari sisa energi dunia lama. Dan... sepertinya mereka mencium sesuatu dari kamu, Aeri."

"Dari aku?!"

Luca mengangkat satu tangan ke arah makhluk itu, dan udara di sekelilingnya bergelombang—seolah panas menyelimuti lengannya.

Tapi...

"Hah... tidak keluar?" gumamnya.

Fyren menoleh. "Lho? Kenapa gelang apimu nggak nyala?"

"Aku belum sepenuhnya menyinkronkan teknikku dengan tubuh ini. Kekuatan bisa keluar... kadang tidak."

"Luca," seru Aeri gugup. "Apa yang akan kita—"

GRAAAARGHHHH!

Makhluk itu melompat ke arah mereka.

Tapi bahkan tanpa kekuatan penuh, refleks Luca tetap milik monster.

Ia bergerak. Lompatan pendek ke samping, lalu tendangan berputar mengenai sisi makhluk itu, melemparkannya ke dinding puing dengan suara BRUGHH!

Aeri terpana. "Kau..."

"Masih bisa menendang, setidaknya," gumam Luca sambil menggoyangkan kakinya yang terasa ngilu.

Makhluk itu bangkit—terluka, tapi tidak menyerah.

Fyren panik. "Kita gak bisa lawan terus-terusan, ada dua lagi di belakangnya!"

Luca menatap sekeliling. Ia melihat reruntuhan berbentuk setengah lingkaran, dengan tangga spiral menuju bawah tanah yang tertutup tanaman.

"Fyren, ada akses ke ruang bawah?"

Fyren cepat-cepat mengecek peta holografiknya. "Ada! Jalur ventilasi ke ruang cadangan!"

"Aeri, ikut aku."

Mereka bertiga berlari ke arah tangga, sementara makhluk-makhluk itu mulai mengeluarkan suara mengganggu.

"Cepat! Tutup pintunya!" teriak Fyren.

Begitu mereka masuk ke ruang bawah yang lembab dan gelap, Luca menarik tuas mekanik, dan pintu baja kuno menutup dengan bunyi berat. Udara menjadi lembap, tapi setidaknya sunyi.

Fyren jatuh terhempas ke lantai. "Oke... aku butuh charger emosi."

Aeri duduk bersandar. "Aku... tidak menyangka akan bertemu monster dalam satu jam sejak bangun..."

Luca berdiri di tengah ruangan, menatap lorong panjang yang gelap di depan.

"Aku rasa... tempat ini tidak hanya menyimpan puing."

Fyren menatap Luca dengan tatapan aneh. "Kau tersenyum, ya barusan?"

Luca mengangkat alis. "Aku? Tidak."

"...Aneh. Tapi ya udahlah. Ayo jelajahi tempat ini sebelum monster itu cari jalan lain masuk."

"tidak perlu menatapnnya terus aeri, sifatnya memang begitu" Fyren tersenyum saat ia menepuk pundak Luca

"Ayoo kita cari jalan...? sebuah sinar putih berdetak disekitar mereka saat mereka bertiga memasuki lorong itu.

"HAH" 

retakan besar terkoyak di atas kepala masing-masing dari aeri,luca, dan fyren, gravitasi tak beraturan di sekitarnya.

“Semuanya, pegang tanganku!” teriak Luca, tepat saat tubuhnya tertarik ke atas. Secara refleks, Aeri dan Fyren pun memegang tangan Luca, hingga mereka ikut tertarik.

FIKRI

Oke, jadi... baru aja kasih nama ke cewek misterius, eh langsung disambut sama monster yang kayak kristal pecah jalan pakai enam kaki. Dunia Nuansa Omega emang gak pernah kasih waktu tenang ya, apalagi buat Luca yang bahkan belum sempat ngopi atau upgrade jurus. Tapi ya begitulah hidup—kadang kita nemu teman baru, kadang kita nemu predator haus energi. Kadang kita cuma pengin pulang, eh malah kehisap gravitasi aneh dari langit-langit. Cinta? Tenang, belum sampai situ. Tapi chemistry antara mereka bertiga? Udah mulai kebentuk lho. Yuk, lanjutkan ke bab selanjutnya. Siapa tahu... rahasia dunia ini mulai terbuka. Atau minimal, Luca bisa membuat makanan yang tidak meledak dulu.

| Like
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Omega keeper Of Crystalon    Bab 66 : Bunga Air Mata Kristal

    Fajar di desa Kaum Buangan terasa berbeda. Cahayanya yang pucat seolah membawa beban dari nasib tujuh orang yang terbaring di antara hidup dan mati. Di dalam pondok penyembuhan, Selvine berdiri, tekadnya telah mengeras menjadi baja. Ia mengenakan pakaian latihan yang lebih praktis, rambutnya diikat erat, dan di pinggangnya terselip sebuah belati perak tipis.Tetua Elara memberinya sebuah kantung kulit yang diawetkan secara khusus. “Bunga itu akan layu jika terkena udara biasa terlalu lama. Masukkan segera setelah kau memetiknya,” katanya, matanya yang bijaksana menatap Selvine dengan campuran kekaguman dan kekhawatiran. “Hati-hati, anak muda. Kematian sebuah entitas besar akan selalu menarik perhatian mereka yang lapar.”Selvine mengangguk. Ia menatap teman-temannya yang terbaring tak berdaya untuk terakhir ka

  • Omega keeper Of Crystalon    Bab 65 : Tekad Selvine

    Keheningan yang mengikuti badai adalah jenis keheningan yang paling menakutkan. Di dalam kawah yang baru terbentuk, di bawah lubang di langit yang perlahan mulai menutup, Selvine adalah yang pertama kali membuka mata. Kepalanya terasa seperti akan pecah, dan setiap sel di tubuhnya menjerit karena kelelahan.Ia memaksa dirinya untuk duduk. Pemandangan di sekelilingnya adalah sebuah lukisan keputusasaan.Di dekatnya, terbaring teman-teman dari Tim Kunci. Trint dan Fyren tak sadarkan diri, tubuh mereka penuh luka goresan dan memar. Di sampingnya, Aeri terbaring pucat seperti mayat, sisa-sisa energi kehidupannya nyaris tak terasa setelah melakukan ritual nekatnya.Lalu, pandangan Selvine beralih ke anggota timnya yang lain, Tim Umpan. Hatinya mencelos.

  • Omega keeper Of Crystalon    Bab 64 : Keadaan Setelah Badai

    Waktu seolah berhenti di dalam kawah kehancuran itu. Di bawah lubang di langit yang menatap turun seperti mata dewa yang kosong, Luca berdiri sebagai pusat dari badai. Ia telah memojokkan mereka. Pertarungan ini sudah berakhir.Kedua Penghukum elit terkapar di tanah, armor mereka hancur, senjata mereka tak lebih dari serpihan logam. Mereka menatap sosok di hadapan mereka dengan horor murni, menyadari bahwa mereka tidak sedang menghadapi seorang murid, melainkan sebuah bencana alam yang memiliki wujud manusia.Luca berjalan perlahan mendekati mereka. Setiap langkahnya membuat tanah bergetar, bukan karena berat, tetapi karena kepadatan energi yang ia pancarkan. Badai lima elemen—api, es, angin, tanah, dan petir—berputar ganas di sekelilingnya, sebuah simfoni kehancuran yang siap dilepaskan.

  • Omega keeper Of Crystalon    Bab 63 : Lima Elemen Dewa

    Di tengah kawah yang baru terbentuk, di bawah lubang di langit yang memperlihatkan bintang-bintang asing yang dingin, Luca berdiri perlahan. Keheningan yang mengikuti ledakan energi itu lebih menakutkan daripada suara apa pun. Tubuhnya tidak lagi memancarkan aura elemen yang terpisah. Kini, ia diselimuti oleh badai energi lima warna yang berputar liar, sebuah neraka pelangi yang mentah, kacau, dan tak terkendali. Api, air, angin, tanah, dan petir tidak lagi menjadi alat, tetapi bagian dari dirinya, mengalir keluar dari pori-pori kulitnya seperti napas sebuah bintang yang baru lahir.Matanya, yang tadinya penuh dengan keraguan dan kehangatan, kini adalah dua lubang kosong yang bersinar dengan cahaya putih keperakan yang murni dan menakutkan. Tidak ada kesadaran di sana. Tidak ada Luca. Hanya ada insting murni. Sebuah kekuatan alam yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya.Sang Pemecah dan Sang Penenun, dua Penghukum elit dari Selatan, berhasil menstabilkan diri me

  • Omega keeper Of Crystalon    Bab 62 : Perjuangan Tim Kunci Dan Lahirnya Keajaiban

    Pertarungan itu bahkan tidak bisa disebut pertarungan. Itu adalah pembantaian.Tim Kunci, yang kelelahan dan tidak memiliki kekuatan tempur utama, dihancurkan oleh efisiensi brutal dari dua Penghukum elit.“Trint, Fyren, ganggu gerakan mereka!” teriak Selvine, mengambil komando dalam keputusasaan. Ia berdiri paling depan, darah murninya menyala seperti suar pucat, menjadi perisai terakhir bagi Aeri yang masih panik mencoba menyembuhkan teman-teman mereka yang terkapar.Trint mencoba. Ia menggunakan Null Pulse pada Sang Pemecah, tetapi kekuatan fisik murni dari pedang raksasa itu tidak bisa dihilangkan sepenuhnya, hanya sedikit diperlambat. Dengan satu ayunan horizontal yang malas, Sang Pemecah menciptakan gelombang kejut yang melemparkan Trint hingga menabrak dinding batu dengan keras. Ia jatuh, tak sadarkan diri.

  • Omega keeper Of Crystalon    Bab 61 : Perjuangan Tim Kunci (1)

    Di tengah jalur tersembunyi yang sunyi, Tim Kunci bergerak seperti empat bayangan yang menyatu dengan kegelapan. Di bawah panduan Trint, setiap langkah mereka terukur, setiap napas terkendali. Misi mereka adalah keheningan, dan sejauh ini, mereka berhasil.Namun, di tengah keheningan itu, sebuah jeritan tanpa suara meledak di dalam jiwa Aeri.Ia berhenti begitu tiba-tiba hingga Fyren, yang berjalan di belakangnya, nyaris menabraknya. Aeri mencengkeram dadanya, matanya membelalak ngeri. Di dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang lebih buruk dari serangan fisik mana pun. Ikatan Vital—benang emas yang menghubungkan esensi hidupnya dengan Luca—yang biasanya terasa hangat dan stabil, kini meredup dengan cepat. Benang itu menjadi dingin, rapuh, dan seolah akan putus kapan saja.Rasa sakit dan kepanikan yang l

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status