"Nathan, dia Victor," ucap Dominic. "Kalau Olso, kamu pasti masih ingat siapa dia," tambahnya pelan.
Dengan senyum ramah, Nathan mengulurkan tangan kanannya ke arah Victor, mengajak pria itu untuk bersalaman. "Senang berkenalan denganmu." ucapnya dengan nada ramah.
Victor membalas dengan mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Nathan. Ia menatap dalam mata Nathan.
"Terima kasih," balasnya singkat, dengan suara dingin yang jauh dari kata ramah seperti yang ditunjukkan oleh Nathan. Namun, hal itu tidak mengejutkan yang lain, karena mereka tahu bahwa begitulah karakter Victor.
"Baiklah, kebetulan sekali aku sangat lapar," ucap Dominic setelah Victor dan Nathan melepaskan jabat tangan mereka. Ia melirik pada Hannah. "Apakah makan siang kita sudah siap, sayang?" tanyanya pada sang istri.
"Ya, sudah siap. Kalau begitu, mari kita ke meja makan langsung," ajak Hannah kepada mereka, lalu wanita paruh baya itu meraih lembut tangan Mary. "Ayo, sayang, kita ke meja makan."
Mary mengangguk pelan, mencoba mengulas senyum di wajahnya yang terasa kaku. Ia melangkah lebih dulu bersama Hannah, sementara para pria menyusul di belakang mereka. Di dalam langkahnya, Victor terus menatap tajam punggung Mary.
'Bumi ini sungguh sempit,' batin Victor, penuh makna.
Tiba di meja makan, Nathan sigap menarik salah satu kursi, mempersilakan Mary untuk duduk terlebih dahulu.
Sementara itu, Victor mengambil posisi yang berseberangan dengan mereka, tepat berhadapan dengan Mary. Pria itu memperhatikan sikap manis dan lembut Nathan ketika memperlakukan Mary.
Pria itu membalas senyuman Mary dengan mengecup lembut atas kepalanya, tanpa menghiraukan kehadiran yang lain di sana.
Bagi Dominic dan Hannah, perlakuan tersebut adalah hal yang biasa. Namun, masalahnya, di meja makan itu ada dua orang asing, yaitu Victor dan Olso.
‘Hem, si brengsek Victor pasti panas hatinya,’ pikir Olso, menyunggingkan senyum puas ketika melihat Victor menyaksikan langsung bagaimana Mary diperlakukan lembut oleh kekasihnya.
"Silakan, Victor, jangan sungkan," ucap Hannah, mempersilakan kedua pria itu untuk mengambil makanan.
"Terima kasih, Nyonya Hilton," balas Victor dengan suara berat.
Dengan refleks, Mary mengangkat wajahnya dan menatap ke arah Victor, merasakan debaran jantungnya yang semakin cepat.
Suara berat pria itu seolah mengingatkannya pada kejadian kemarin. Ia menelan ludah dengan susah payah, berusaha cepat-cepat mengalihkan pandangannya ketika Victor menatapnya dengan tajam.
"Makan sayur?" Nathan melirik pada Mary, dan wanita itu mengangguk. Ia pun sigap mengambil beberapa potong sayur untuk kekasihnya itu. "Mau ayam panggang atau yang bakar?"
"Yang... yang bakar saja, s-sayang," jawab Mary dengan suara yang terbata-bata. Tanpa sengaja, ia melirik ke arah Victor dan menemukan pria itu melirik tajam padanya dengan rahang yang mengetat. Entahlah, Mary tidak mengerti mengapa Victor berekspresi seperti itu.
Dengan penuh perhatian, Nathan mendekatkan menu-menu yang diinginkan oleh Mary. Ia terus memperhatikan wanita itu dan menanyakan apa yang diinginkannya.
Perlakuan Nathan itu sontak membuat Dominic dan Hannah terheran-heran, karena biasanya Mary yang memperhatikan Nathan di meja makan, bukan sebaliknya.
Namun, mereka pun memaklumi, mungkin karena ada Victor dan Olso, Mary terlihat canggung, sehingga Nathan berinisiatif untuk melayani kekasihnya itu.
"Oh iya..." Hannah jeda sejenak, menatap ke arah Victor dan Olso. "Nanti kalian bisa datang ‘kan ke pernikahan mereka?" ucap Hannah, menetapkan pandangannya kepada mereka berdua.
"Tentu saja, Nyonya. Dengan senang hati. Suatu kebanggaan bagi kami bisa hadir di pesta pernikahan salah satu keluarga Hilton," jawab Olso, tanpa memperdulikan tatapan tajam dari Victor.
Hannah tersenyum puas mendengar jawaban pria itu. "Ah, terima kasih, Olso," ucapnya. Olso mengangguk pelan dan melempar senyum sebagai tanda hormat.
"Jangan lupa ya, sayang... Mereka ini ‘kan tidak tinggal di sini, jadi kamu harus ingat agar mereka tetap bisa hadir di pernikahan Mary dan Nathan nanti," ucap Hannah kepada Dominic.
Pria itu mengangguk pelan, melirik pada istrinya sambil melemparkan senyum.
'Rasakan itu, Victor. Si cantik Mary akan menikah dengan si tampan Tuan Nathan. Kau akan hidup selamanya dengan jalang-jalangmu,' batin Olso, terbahak puas dalam hati.
Setelah makan siang selesai, Dominic dan yang lainnya menuju ruang tengah, sementara Hannah dan Mary berada di dapur.
"Jadi Aunty bikin kue lagi?" tanya Mary, sembari memperhatikan Hannah yang menyiapkan beberapa toples cookies coklat untuknya.
"Iya, sayang," jawab Hannah, melirik sebentar pada Mary dengan senyum lebar sebelum kembali fokus pada kegiatannya.
"Tadi pagi, Aunty membuatnya. Sekalian dengan punya Jihan. Yang kemarin itu kita buat bersama sudah Aunty antarkan kemarin ke rumah Jihan. Ternyata dia sangat suka, dan katanya tidak membuatnya mual. Lalu tadi pagi dia telepon, bilang kuenya sudah mau habis, padahal itu banyak sekali, sayang," cerita Hannah, diikuti dengan tawa bersama Mary.
"Aku rasa berat badannya semakin naik, Aunty," ucap Mary, lalu tertawa.
"Sepertinya begitu, pipinya juga berisi," sahut Hannah sambil mengedikkan bahu. "Ya, meskipun kenaikan berat badan itu adalah hal yang normal dan umum bagi Ibu hamil."
"Michael pasti semakin gemas padanya," sambung Mary, dan keduanya kembali tertawa. Di saat-saat seperti ini, Mary merasa sedikit terlupakan dari permasalahan yang sedang menimpanya.
"Ini buat kamu. Boleh juga dibawa ke tempat kerja sebagai cemilan di sela-sela kesibukan," ucap Hannah sambil menyerahkan paper bag yang berisi beberapa toples kue di dalamnya.
Mary menyambut dengan senyum. "Terima kasih, Aunty, tapi ini sangat banyak. Apa sebaiknya untuk Jihan saja? Untukku satu atau dua toples saja."
"Nggak kok, sayang. Punya Jihan juga sudah banyak. Ini sudah Aunty buat khusus untuk kamu."
"Terima kasih, Aunty."
"Sama-sama, sayang," balas Hannah dengan senyum yang terlihat sangat tulus. "Ya sudah, ayo kita ke ruang tengah bergabung dengan mereka," ajak Hannah setelah mereka selesai dengan kegiatan di dapur.
"Aunty duluan saja ya. Aku mau ke toilet sebentar. Paper bag-nya biarkan disini dulu," ucap Mary. Hannah mengangguk pelan sebagai respon dan membiarkannya pergi ke toilet.
Beberapa menit berlalu, Mary tiba di toilet khusus tamu. Ia membuka pintu dan masuk. Namun, begitu pintu toilet tertutup, ia tiba-tiba menyadari kehadiran orang lain di sana.
"K-Kamu...?" mata Mary sontak terbelalak ketika bertemu tatap dengan Victor yang juga berada di toilet yang sama.
Mary menelan ludah dengan susah payah, lalu mundur dan memutar tubuhnya, siap keluar dari tempat tersebut. Namun sialnya, lengan kekar pria itu dengan sigap meraih pinggang rampingnya, menarik tubuhnya kembali, lalu menutup pintu dan menguncinya.
"Silakan berteriak kalau kamu mau kekasihmu tahu, Mary."
*** Hari itu penuh dengan aktivitas seru. Mereka menjelajahi jalur hiking pendek yang mudah untuk anak-anak, melewati hutan mangrove yang teduh. Zack bersama Calvin dan Valentin tampak kagum melihat kepiting kecil di sela-sela akar pohon, sementara Katty dan Cassandra sibuk mengumpulkan daun-daun u
*** Setibanya di lokasi camping, keluarga Victor dan Mary langsung terpukau oleh keindahan alam yang terbentang di hadapan mereka. Taman itu memiliki pemandangan yang memanjakan mata: pepohonan mangrove yang rimbun, udara segar dengan aroma laut yang khas, dan suara burung-burung yang berkicau merd
*** "Katty sudah dibantu oleh Daddy, Mom," jawab Zack sambil menunjuk ke arah luar rumah. Mary hanya mengangguk pelan, merasa lega mendengar semua sudah terkendali. Sementara itu, di halaman depan, Katty yang berusia tiga tahun tampak bersemangat membantu Victor memuat barang-barang ke dalam mobil
*** Empat Tahun Kemudian… Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Sudah lima tahun usia pernikahan Mary dan Victor. Kehidupan mereka dipenuhi kebahagiaan, berkat cinta yang terus tumbuh dan keluarga kecil yang mereka bina bersama. Dari pernikahan mereka, Tuhan menganugerahi dua buah hati yang menj
*** Victor kemudian menegakkan tubuh, berdiri menjulang di hadapan Mary yang tengah terengah-engah. Kedua tangannya bergerak menurunkan celana serta boxer, kemudian berlanjut dengan kaos hitam yang melapisi tubuh atletisnya. Hingga kini, Victor berdiri dengan tubuh polos tanpa sehelai benang yang m
*** "Victor!" pekik Mary terkejut, tubuhnya memantul ringan saat ditempatkan di permukaan kayu yang dingin. Refleks, tangannya mencengkeram bahu kokoh suaminya, mencari keseimbangan. Victor menatapnya lekat, wajahnya begitu dekat hingga Mary bisa merasakan hangat napasnya. Ada intensitas di matany
*** Mary mengalihkan pandangannya ke dinding kamar, memperhatikan jam besar di sana. Jarum jam menunjukkan waktu yang sudah cukup larut. Ia menghela napas, menyadari suaminya masih saja sibuk di ruang kerja. "Sudah jam segini, tapi dia masih bekerja," gumamnya pelan, nada suaranya seperti protes ke
*** Langit Miami, Florida, kini telah diselimuti kegelapan malam. Mary, baru saja menyelesaikan ritual malamnya setelah menidurkan putra kecilnya, Zack. Anak lelaki itu telah lelap di kamarnya, meninggalkan keheningan di rumah mereka. Mary melangkah masuk ke dalam kamar mandi, membasuh wajahnya d
Dominic menghela napas panjang, seolah beban berat terangkat dari pundaknya. “Syukurlah,” gumamnya, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. Namun, matanya melirik sekilas ke arah Michael, seolah ingin memastikan reaksi menantunya. Michael, yang sedari tadi memperhatikan dengan seksama, memicing