"Udah pastiin kan makanan bakal sampe jam 2 teng?" Tanya Tama. Pria itu memegang sebuah kertas checklist khasnya di tangan kiri dan pensil di tangan kanan. Sedari tadi Tama sibuk mengecek satu per satu persiapan yang sudah tertulis rapi di kertasnya itu. Raina tidak menjawab, dia hanya mengangguk.
"Udah kasih tahu alamat jelasnya? Kemarin kan kita salah jalan tuh, lu udah pastikan mereka enggak salah pilih jalan kan? Kalau salah jalan, bakal ribet dan lama, ini paling penting, enggak boleh sampe terlambat datang" Lanjut Tama lagi. Raina kembali mengangguk, mengiyakan. Tentu saja dia sudah memastikan para karyawan katering ibu tahu jalan menuju rumah senior mereka itu. Itu hal pertama yang Raina pastikan, setelah memastikan menu yang mereka pesan.
"Udah pastikan juga kan tempat untuk makanan prasmanannya? Meja prasmanan lumayan gede, belum lagi side dish-nya juga lumayan banyak kan? Semuanya udah cocok tempatnya? Jangan sampai malah enggak cukup, lu tahu kan, senior pasti rewel kalau tempatnya enggak cukup" Sambung Tama lagi.
Raina tidak menjawab, dia kembali mengangguk-anggukkan kepalanya, tapi matanya sibuk menatap ke layar ponselnya. Raina sedang sibuk mengirim pesan pada Radit. Gadis itu sedang tersenyum senang karena Radit baru saja membalas pesannya.
"Na!" Bentak Tama. Pria itu mulai merasa kesal melihat kelakuan tidak acuh dari Raina pada semua pertanyaannya. Tama menatap dengan wajah sinis. Kesal sekali karena tidak diacuhkan oleh Raina.
Seperti biasa, bukannya merasa bersalah, Raina malah semakin tidak perduli. Dia hanya melihat sekilas ke arah Tama sambil mengacungkan jempol tangan kanannya. Tandanya dia mendengar dengan baik semua yang Tama katakan sebelumnya.
"Bisa enggak lebih perduli sedikit? Tentang ini? Tentang acara ini?" Tanya Tama lagi dengan ketus. Kalimat dari Tama ini membuat Raina sedikit marah.
"Coba, tunjukkin sama gue, bagian mana dari kerjaan gue yang menunjukkan kalau gue enggak perduli?" Tanya Raina, tidak kalah ketus. Dia menyimpan ponselnya dalam kantong celana, melipat kedua tangannya di depan dada. Amarahnya sudah sampai ke ubun-ubun.
"Gue mau nanya, selain cuman ngoceh dan ngatur sana-sini, apa lagi emangnya faedah elu sih?" Lanjut Raina, semakin ketus. Wajahnya dengan jelas menunjukkan rasa marah dan tidak suka pada Tama.
Tama terdiam, baru kali ini Raina membalas kalimatnya dengan sangat ketus seperti ini. Biasanya gadis ini hanya mengabaikan dirinya saja, atau menjawab sedikit, tapi tidak seperti ini.
"Udah deh, gue lagi males ribut sama elu" balas Raina.
Tanpa memperdulikan Tama lagi, gadis itu beranjak pergi. Padahal hari ini mereka harus pergi lagi ke tempat senior mereka untuk persiapan acara pemilihan CR besok, tapi Raina terlalu muak melihat kelakuan bossy dari Tama, yang baginya kali ini sudah keterlaluan. Apalagi Tama menuduh dirinya tidak perduli dengan acara ini, setelah semua yang yang ia lakukan untuk acara ini.
Tama menatap tubuh Raina yang semakin lama semakin menjauh pergi. Tama tidak berani mengejar atau memanggil Raina untuk kembali lagi. Bukankah hal yang paling baik untuk dilakukan saat menghadapi wanita marah adalah mendiamkan sampai marah mereka reda, pikir Tama dalam hati. Pria itu pun kembali pada rencana semula, pergi ke rumah senior untuk persiapan acara besok, dia mengabaikan Raina.
"Ish, sialan banget. Dasar kanebo kering! Udah bikin sebel sampai ke ubun-ubun, sama sekali enggak ada respon pas gue pergi lagi!" Keluh Raina. Hatinya bertambah kesal karena Tama sama sekali tidak mengejar dirinya tadi.
"Yas, lu dimana?" Tanya Raina, dia langsung menelpon Yasmin. Raina perlu Yasmin untuk meredakan kemarahannya.
"Di percetakan, gue lagi nge print banner" jawab Yasmin dengan santai.
"Gue kesana sekarang" jawab Raina, langsung mematikan sambungan ponselnya.
Yasmin hanya bisa mengernyitkan keningnya, kebingungan.
"Bukannya tadi bilangnya dia sama Tama mau ke rumah senior? Apa mereka berantem lagi?" Tanya Yasmin, bertanya pada dirinya sendiri.
Raina datang sekitar 20 menit kemudian, bertepatan dengan selesainya banner Yasmin.
"Kenapa?" Tanya Yasmin, meneliti raut wajah sahabatnya itu. Hanya sekilas saja, Yasmin tahu Raina sedang kesal.
"Tama lagi?" Tebak Yasmin. Siapa lagi kalau bukan Tama yang paling sering membuat Raina seperti ini, pikir Yasmin dalam hati. Tom and Jerry ini memang sulit sekali untuk akur, walau hanya untuk sehari saja.
"Huh, jangan sebut-sebut si kanebo itu, males gue denger namanya dia" balas Raina, merebahkan badannya ke sandaran kursi di samping Yasmin.
"Kenapa sih kalian berdua ini?" Tanya Yasmin, benar-benar tidak mengerti mengapa kedua manusia ini tidak berbeda dengan Tom dan Jerry. Selalu ada salah paham yang berujung dengan adu pendapat, atau keributan.
"Bukan gue yang mulai ya, dia yang buat gue kesal" balas Raina, membela diri. Yasmin hanya bisa menghela napas, tidak habis pikir. Ternyata benar tebakannya.
"Anyway, laki kaya Tama, emang ada gitu yang demen?" Tanya Raina. Dia penasaran, siapa wanita yang bisa tahan dengan lelaki seperti itu.
"Eits, jangan salah, dia punya pacar lagi. Pacarnya di Amrik, lagi sekolah.. Dokter juga.." cerita Yasmin. Dia pernah mendengar Tama sedang video call dengan pacarnya.
"Oh ya? Salut banget gue sama pacarnya, enggak kebayang jadi pacar itu orang. Ganteng sih... Tapi sifatnya itu, aaarhhhggg!" Ucap Raina, mencibir sambil menarik-narik rambutnya saking kesalnya. Yasmin jadi tertawa mendengar kalimat dan melihat tingkah sahabatnya itu.
"Hati-hati looh, entar kalau naksir, repot lagi" goda Yasmin. Raina langsung melotot kesal, membuat Yasmin semakin tertawa geli.
"Hahh.. Naksir??? Ogah bener!! Tapi by the way, sedih ya.. Ada yang jelas-jelas kelakuannya nyebelin, tapi ada pacarnya. Gue.., udah berusaha jadi orang yang paling baik, tapi tetep aja ujungnya selalu balik lagi jadi jomblo" keluh Raina, kali ini dia menyandarkan kepalanya di bahu Yasmin.
"Mulai deh, Miss mellow bin drama kembali.." balas Yasmin. Raina hanya mencibir.
"Jodoh tuh datangnya, enggak bakal kecepetan, atau telat banget. Tuhan udah atur semuanya. Bakal pas banget datangnya di hidup lu" nasihat Yasmin sambil tersenyum manis, mengingat kekasih hatinya yang paling manis dan baik hati.
"Iya deeh.." balas Raina sambil mencibir. Yasmin punya lelaki paling baik hati yang sekarang menjadi pacarnya, mungkin sebentar lagi mereka juga akan menikah, tentu saja Yasmin bisa mengatakan hal seperti itu, batin Raina, masih mencibir.
"Yuk" ajak Yasmin.
"Kemana? Makan yuk!" Tanya Raina.
"Udah ikut aja" balas Yasmin, menarik lengan Raina, sebuah ide cemerlang terlintas di kepalanya.
"Oke! Yuk!" Balas Raina cepat. Gadis itu segera berdiri dan menyusul langkah Yasmin, tanpa dia sadari Yasmin sudah punya sesuatu yang dia rencanakan dalam pikirannya.
_______________
"Hmmm, pemandangan yang indah, film yang bagus, makanan yang enak dan teman yang menyenangkan. Ini malam minggu terbaik" celetuk Radit, mengalihkan pandangannya kepada Raina."Eh?" Raina bergumam tanpa sadar. Tapi dia segera menutup mulut nakalnya."Ya, rasanya kita bisa malam mingguan lagi kapan-kapan" balas Radit."Malam mingguan lagi?" Tanya Raina ulang. Jantungnya berdetak cepat. Apa ini berarti Radit mengajaknya berkencan lagi? Ingin rasanya Raina menari saking girangnya."Ya, mungkin lain kali kita bisa nonton lagi.." balas Radit, sedikit menggantungkan kalimatnya. Radit menyadari wajah terkejut dari Raina. Apa gadis ini menjadi sedikit salah mengerti mendengar dia menyebutkan kalimat tadi, pikir Radit."Sekalian mengajak Yasmin, Tama dan teman angkatan kita lainnya" Radit cepat-cepat melanjutkan kalimatnya. Khawatir Raina semakin salah sangka.&nbs
"Akhirnya tenang juga" ucap Raina, menarik napas dalam-dalam sambil menutup mata. Mereka saat ini sedang berada di gedung bioskop dan sedang mengantre memesan tiket nonton. Bioskop memang ramai, tapi tidak berdesakan seperti kafe tempat makan mereka sebelumnya. Raina merasa jauh lebih lega. "Kafe tadi terlalu berisik ya?" tanya Radit, dia baru sadar kalau Raina merasa tidak nyaman sebelumnya, sedikit merasa bersalah karena dia yang memaksa untuk makan disana, padahal jelas-jelas kafe tadi padat pengunjung. "Oh, enggak, hanya. Emm, sedikit penuh saja, kita enggak bisa ngobrol enak" balas Raina langsung, khawatir Radit merasa tidak enak hati. Bukan masalah kafe tadi penuh dan sesak oleh pengunjung, tapi letak masalahnya ada pada Rian dan Mischa. "Masih lama waktu nonton, mau minum kopi? Atau makan makanan kecil lain sebelum nonton?" tawar Radit. Rasa bersalah membuat dia menawari Raina untuk ke tempat lain
"Makan disini enggak apa-apa?" Tanya Radit. Mereka saat ini masuk di sebuah kafe yang berada di dalam mall. Kafe itu memang terlihat padat pengunjung. Wajar saja karena kota Bandung di akhir pekan tidak mungkin tidak ramai. Selain itu, kafe ini juga sedang naik daun di media sosial. Raina sedikit mengernyitkan keningnya, sedikit tidak setuju karena terlalu ramai. Raina tidak terlalu penyuka keramaian. Dia lebih suka suasana yang sepi, karena dia bisa makan dan mengobrol dengan tenang. Apalagi ini kali pertama dia bisa berduaan dengan Radit, Raina ingin suasana yang tenang, tidak riuh seperti ini. "Kalau enggak mau juga enggak apa, kita cari lagi tempat lain" balas Radit setelah melihat wajah enggan dari Raina. "Enggak apa-apa, disini aja Dit" tolak Raina cepat. Dia melirik wajah Radit dan melihat kalau lelaki itu sepertinya ingin sekali makan di tempat ini. Walaupun
Akhir pekan akhirnya datang. Kata orang hari-hari di akhir pekan adalah siksaan untuk orang yang baru saja putus. Radit baru tahu rasanya sekarang. Sabtu ini dia tidak punya janji apapun dengan siapapun. "Hah, membosankan sekali" gumam Radit. Sepanjang pagi dia hanya menyetel televisi dan menonton dengan pikiran kosong. Dia mengambil ponselnya dan mulai melihat-lihat film apa yang sedang diputar minggu ini di bioskop. "Apa ajak jalan anak kosan ya?" Radit mulai menemukan ide di kepalanya saat melihat film action yang terlihat cukup seru sudah tayang mulai minggu ini. Radit segera melihat jadwal jaga, baik Yasmin, Tama maupun Raina tidak ada yang jaga hari ini. Lelaki itu segera keluar dari kamar untuk mencari teman kosnya. Saat baru menuruni tangga, Radit bertemu dengan Raina. Gadis itu berjalan ke arah kulkas yang terletak di dapur kos dengan mata setengah terpejam, rambut berantakan dan dia mas
"Apa Kakak enggak kangen sama aku? Setelah putus Kakak sama sekali enggak pernah hubungi aku," keluh Irna. Dia merasa tidak nyaman dengan perubahan sikap Radit padanya setelah putus. Irna pikir Radit akan mengejar-ngejar dirinya setelah dia meminta putus, tapi kenyataannya justru Radit malah mendiamkan dirinya dan sama sekali tidak pernah menghubungi dirinya. "Aku rasa, kita butuh momen untuk sama-sama sendiri, supaya kita bisa pikirkan bagaimana hubungan kita selama ini" balas Radit. Dia masih sangat menyukai Irna, tapi kembali menjadi kekasih Irna masih sedikit sulit bagi Radit. Lelaki itu masih butuh waktu untuk memikirkan hubungan mereka yang dia rasa mulai tidak sehat. "Aku kangen Kakak" ucap Irna tiba-tiba. Dia merasa harus jujur tentang hal ini. "Rindu?" ucap Radit dalam hati, dia cukup terkejut dengan kejujuran Irna. Detak jantung Radit menjadi cepat saat mendengar ucapan mantan kek
Entah Raina harus bahagia atau justru waspada dengan keadaan yang saat ini dia hadapi, yang pasti selama Radit putus dari kekasihnya, lelaki itu selalu menempel pada Raina, dimana pun dan kapan pun. Tidak terasa sudah dua minggu Radit putus dari Irna. Dalam hati Radit merasa sangat nyaman, tidak ada lagi yang mengatur dengan kejam semua kehidupannya. Dia bisa menjalani kehidupan residensi dengan nyaman. Semakin hari keduanya semakin lengket, dimana ada Raina pasti ada Radit disana. "Na, selesai dari rumah sakit, kita makan dulu ya sebelum pulang ke kos" ajak Radit disela-sela acara ilmiah. "Em" balas Raina langsung mengiyakan tanpa pikir panjang, dia bahkan lupa kalau hari ini orang tuanya datang untuk melihat kamar kosnya. Sudah dua minggu Raina belum juga mengizinkan ayah ibunya untuk datang. "Oke!" balas Raina dengan bersemangat sambil mengacungkan jempolnya. Dia selalu senang setiap diajak makan
(3 menit sebelumnya) "Gue jawab telepon dulu ya, agak berisik disini" ucap Radit, beranjak pergi menuju sudut di luar bioskop. "Gue jawab telepon dulu ya, agak berisik disini" ucap Radit berdiri, dia tidak bisa menjawab telepon Irna di tengah suasana gaduh begini. Pasti kekasihnya itu akan bertambah kesal. "Jangan lama-lama, bentar lagi teaternya mau buka" balas Raina, mengingatkan. Radit mengangguj sambil melambaikan tangannya. "Ada yang mau beli minum?" Tanya Yasmin, Raina langsung mengiyakan. "Gue enggak, enggak seru nonton sambil makan minum, terlalu mengganggu" balas Tama, menggeleng. Dia lebih suka menikmati film tanpa gangguan makan dan minum. Sayang sekali kal
"Oke, Raina ikut juga" ucap Radit. "Oh, oke" balas Yasmin, melirik Raina sambil tersenyum geli. Bukan Yasmin namanya kalau tidak bisa menebak isi kepala sahabatnya yang paling drama itu."Oke, Raina ikut juga" ucap Radit. "Oh, oke" balas Yasmin, melirik Raina sambil tersenyum geli. Bukan Yasmin namanya kalau tidak bisa menebak isi kepala sahabatnya yang paling drama itu. Beberapa detik kemudian Tama terlihat menuruni tangga. Raina yang pertama menyadari, dia langsung melirik kesal ke arah Tama. "Buat apa si kanebo kering itu ikut-ikutan?" Batin Raina dalam hati.
"Tadi sih curhat berantem hebat sama pacarnya" balas Yasmin. "Tadi sih curhat berantem hebat sama pacarnya" balas Yasmin. Yasmin teringat cerita Radit beberapa hari terakhir. Radit cukup nyaman untuk berkeluh kesah dengan Yasmin, mungkin karena Radit tahu Yasmin punya hubungan serius dengan kekasih Yasmin dan gaya berpacaran Yasmin dan kekasihnya dewasa sekali. Radit mengagumi itu, berbeda dengan gaya pacaran dirinya dan Irna. Kekasihnya masih manja, seenaknya dan jauh dari kata dewasa. Setiap hari selalu ada saja bahan untuk bertengkar. Radit kadang merasa lelah sendiri menghadapi sikap kekanakan dari Irna.