***
Braakk.Bella menggebrak meja, mencengkeram kuat-kuat kain yang melapisi meja itu dan tak lama kemudian jari-jarinya bergerak, merenggut serta merampas kain itu ke samping hingga berhamburan semua yang berada di atas meja.
Semua terasa gelap di pandangan matanya, ia tak menyangka jika orang ketiga dalam rumah tangganya adalah gadis muda yang pantas ia panggil adik dan terlalu polos untuk melakukan hal bejat seperti itu.Kesal, kesal dan kesal.
Tak ada yang bisa diungkapkan seorang Bella Damington untuk mengusir kekecewaannya selain marah dan marah."KAU TAHU KENAPA VARREL TIDAK MENYUKAIMU? KARENA KAU WANITA LEMAH, KAU HANYA BISA MENGALAH DAN MENGALAH. KAU KIRA KAU SUDAH JADI ISTRI YANG SEMPURNA? BENARKAH KAU ISTRI SEMPURNA? HAH?? JAWAB AKU!!!"
Entah, jika mengingat kejadian tadi hatinya mendadak terbakar dan tersulut kobaran api. Bagaimana bisa gadis yang terlihat begitu polos, berpendidikan tinggi, memiliki prestasi bagus justru menodai moralnya menjadi seorang perebut suami orang?
Kenapa? Kenapa gadis sebelia Lea harus melakukan hal buruk seperti itu? Ia sangat cantik, pria single manapun akan mau memacarinya tapi kenapa harus Varrel Damington? Kenapa harus suaminya?"Aarrgh...." teriak Bella frustasi lalu kembali memukul meja guna mengekspresikan bagaimana perasaannya kali ini.
Sedangkan di luar kediaman mewah Bella, suara deru mobil yang halus dan lembut nampak berhenti. Bella menoleh sesaat, ia yakin dia pasti Varrel. Apakah mungkin gadis berbisa itu mengirim Varrel kepadanya hanya untuk balas menyumpahi dan memakinya?
Bella tak beranjak sedikitpun, ia masih mengepalkan tangannya di meja dan berusaha mati-matian untuk menahan amarahnya agar tidak meledak-ledak. Bagaimanapun Varrel adalah suaminya, sesalah apapun dia Bella harus menanggapinya dengan kepala dingin. Jangan sampai hanya karena amarah yang berbicara membuat Varrel harus pergi lagi dari hadapannya.
Suara pintu dibuka, berderit kecil dan menampakkan sosok tampan Varrel Damington yang tertegun di depan pintu tanpa berusaha untuk melangkah masuk lebih dalam lagi.
"Apa yang sudah kau lakukan pada Lea?" tanya Varrel dingin.
Sungguh sapaan pahit yang langsung menyambar gendang telinga Bella Damington, wanita itu mengetatkan rahangnya meskipun suara amarahnya seakan menggempur dadanya dan ingin membuatnya berteriak seketika.
"Kau sangat memalukan, Bella. Kau datang dan mengamuk padanya, apa yang sebenarnya kau mau?" telisik Varrel dengan tatapan kesal.
Bella menoleh, ia menyorot mata Varrel dengan tajam seolah ingin membakar pria itu dengan api kemarahannya. Sungguh, pria ini sama sekali tak berpihak kepadanya. Bagaimana bisa Varrel bisa berpaling begitu saja darinya dan lebih memilih Lea yang jelas-jelas berada di posisi yang salah.
"Jadi menurutmu aku yang salah, Varrel? Jadi menurutmu, merebut suami orang itu diperbolehkan? Aku tidak akan seperti ini jika dia bisa menjaga sikapnya. Kau tahu, aku adalah wanita yang dirugikan. Dan kenapa kau justru membelanya? Kenapa Varrel?" sembur Bella tak kuasa menahan amarahnya lagi.
"Aku tidak membela dirinya, Bella. Aku juga tidak menyalahkan dirinya. Jika ada orang yang perlu dipersalahkan maka salahkan saja aku. Jika kau menganggapnya tidak bisa menjaga sikap maka orang yang patut kau marahi adalah aku. Aku, Bella. Aku mencintainya, aku menyayanginya, apakah kau sudah jelas dengan penjelasanku Bella? Aku yang memiliki perasaan padanya, aku yang tak bisa menjaga sikap dan akulah orang yang mengejar-ngejar dia. Bella, aku mengatakan jujur padamu. AKU MENCINTAINYA. Aku harap kau tak perlu lagi menyalahkan dirinya." ungkap Varrel dengan emosi ikut meluap-luap.
Bella terbungkam, seperti dipukul palu besar sesaat otaknya kosong dan terasa remuk. Haruskah ia menerima pernyataan suaminya yang begitu mengejutkan?
Semua pertanyaan itu tersimpan di hatinya, berjejer rapi seakan meminta jawaban satu per satu dari bibir seksi Varrel Damington."Tapi kenapa? Kenapa kau menghianatiku, Varrel?" hanya tangisan dan sebaris ucapan itu yang mampu dikatakan oleh seorang Bella Damington dihadapan sang suami.
"Maaf, tapi inilah yang aku rasakan. Jangan pernah usik hidup Lea lagi, dia gadis yang aku cintai. Setidaknya jika kau tak ingin aku pulangkan ataupun aku ceraikan maka sebaiknya kau diam dan pura-pura tak melihat kami. Jika kau tak mengusik kehidupan pribadiku maka aku berjanji takkan mengusikmu apalagi mengusirmu." ucap Varrel serius.
Pernyataan itu bagaikan bom waktu bagi Bella, ia tak berkutik sama sekali apalagi jika Varrel mulai membahas perceraian di depan matanya. Sanggupkah ia menjadi janda disaat usia pernikahannya baru menginjak dua bulan?
Bella terdiam, hanya tangisan yang kini mewakili perasaannya. Ia hanya melihat pria itu berbalik ingin meninggalkannya namun sebelum pria itu benar-benar pergi Bella berusaha menahannya.
"Apakah gadis itu lebih baik dariku, Varrel? Apakah dia begitu hebat hingga akhirnya kau berpaling dariku dengan begitu cepat? Jika memang kau mencintainya kenapa kau menikahiku? Kenapa semua ini kau lakukan padaku? Aku orang baik-baik tapi kenapa kau justru memperlakukanku seperti ini? Varrel apakah gadis itu cukup mampu membuatmu sudah tak betah tinggal denganku? Apakah kau tidak ingin menyelamatkan pernikahan kita? Varrel bisakah kau tinggal lebih lama dan kita bicara?" ucap Bella lirih dan hampir tak terdengar.
Varrel berhenti sejenak, ia menghela nafas lalu berbalik badan dan melangkah menghampiri Bella yang menangis tak berdaya. Perlahan jemari Varrel menghapus airmata Bella yang mengurai.
"Maaf jika aku sudah membuatmu menangis tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku pada Lea. Maaf jika aku menusuk hatimu, aku tak tahu harus bagaimana menunjukkan perasaanku. Jika kehadiranku mampu membuatmu tenang maka aku akan melakukannya untukmu namun jika itu berlaku sebaliknya maka...."
"Tidak Varrel, tetaplah di sini." ucap Bella lalu merangsek ke dalam pelukan hangat suaminya.
"Kita lupakan masalah ini sejenak, aku mohon. Aku tidak ingin kau pergi, tinggallah bersamaku meskipun semalam saja. Varrel aku mohon."
***
Hujan mengguyur apartemen mewah malam itu, hanya Lea seorang diri berdiri di jendela kaca kamarnya dengan secangkir kopi susu yang sedari tadi ia pegang dan ia bawa berdiri. Tanpa bosan matanya yang indah menatapi pemandangan kota malam hari di bawah guyuran hujan yang sangat lebat.
Sendiri.
Ia sudah terbiasa hidup sendiri, meskipun ada adik-adiknya ia jarang sekali bertemu kecuali memberikannya uang jajan dan uang sekolah untuk adiknya. Bagi Lea, ia tahu bagaimana rasanya jika menderita rasa malu. Ia sengaja menjauh, menarik diri dari adiknya agar kelak adiknya tak merasa malu dengan tingkah kakaknya yang begitu memalukan.
Sruup.
Lea menyeruput kopi susunya dengan pelan tanpa melepaskan tatapannya ke arah kaca dimana hujan mengguyur tanpa ampun. Dia menarik nafas ke sekian kalinya, sejenak ia melirik ke arah meja belajar. Masih banyak tugas, ia harus menyelesaikannya meskipun terasa begitu lelah.
Rasanya ia ingin lari, menyelesaikan kuliahnya, mengejar cita-citanya dan bekerja keras sekeras mungkin hingga akhirnya ia bisa hidup normal, hidup sebaik-baiknya bersama adiknya."Hujan begitu lebat mungkin Arrel tidak akan kemari." gumam Lea pada dirinya sendiri.
Gadis itu mulai jenuh, kaki jenjangnya ia langkahkan menuju ke meja belajar. Ia meletakkan cangkirnya dan mulai belajar kembali. Matanya yang menelusuri setiap paragraf dalam bukunya mendadak melirik sejenak pada foto di sebelah meja. Ya, foto dirinya dengan adik-adiknya.
Gadis itu menggigit bibir bawahnya dengan terpaksa, tangan mungilnya meraih foto itu dan kembali menatap ketiga wajah adiknya yang begitu ia rindukan. Jika dihitung-hitung sudah hampir dua bulan mereka tak bertemu.
"Kakak merindukanmu, dik." rintihnya lirih lalu kembali meletakkan foto itu di tempatnya semula.
Untuk sesaat Lea kembali teringat akan ucapan adik perempuannya yang tertua, adiknya yang masih duduk di bangsu SMU yang begitu teramat membencinya.
"Kau ini apa? Kau hanyalah tak lebih dari seorang pelacur murahan. Kau sungguh membuat kami malu, kau jual harga dirimu dan itu sungguh menjijikkan. Kami malu memiliki kakak sepertimu, seorang pelacur perebut suami orang. Jika bukan karena terpaksa, kami juga tak mau menikmati uang panasmu. Kelak jika aku sudah lulus jangan pernah lagi datang membantuku, aku tak perlu kuliah memakai uangmu. Biarkan aku bekerja sendiri dan biarkan adik berada di pihakku. Jika kau masih saja membuatku malu sebaiknya kau pergi menjauh dari kami, kami tidak ingin dicemooh ataupun dikucilkan orang lain hanya gara-gara dirimu!"
Tes... Tes..
Airmata itu mendadak menetes dari bola mata Lea Kalilea. Seandainya adik-adiknya tahu bahwa pengorbanannya yang buruk ini hanyalah untuk membahagiakan mereka, hanya untuk menopang kehidupan mereka supaya lebih baik. Seandainya mereka tahu bagaimana deritanya menjadi si sulung ketika kedua orangtua sudah tiada. Andaikan saja.....
Clekk.
Daun pintu dibuka membuat bola mata sayu itu mengalihkan pandangannya. Sosok Varrel muncul di sana dengan jas yang sedikit basah karena hujan yang sedikit mengguyur tubuhnya.
"Arrel...." desisnya lirih lalu berdiri dari duduknya. Gadis itu cepat-cepat menghapus airmatanya dan berpura-pura mengambil handuk untuk mengeringkan rambut serta tubuh Varrel yang sedikit basah.
"Kau kenapa? Sepertinya kau menangis?" tanya Varrel heran sembari mendekati Lea yang mencoba menghindari tatapan mata dengannya.
"Aku tidak apa-apa Arrel. Kenapa kau datang saat hujan? Bukankah lebih baik jika kau tinggal dengan Bella sementara waktu? Jika kau kehujanan seperti ini kau bisa terkena flu." ucap Lea seraya menawarkan handuk tanpa menatap mata Varrel.
"Aku ingin menikmati hujan ini bersamamu, akan terasa lebih hangat jika aku memelukmu di sini. Apa kau keberatan?" ucap Varrel sambil menerima handuk itu dan mengusap-usapkannya di wajah dan rambutnya yang hitam kelam.
"Tidak, aku tidak keberatan sama sekali. Akan kubuatkan secangkir susu untukmu." ucap Lea sok sibuk seraya melangkah menuju ke dapur kecil di seberang.
Melihat gelagat mencurigakan, Varrel bertanya-tanya dalam hati. Perlahan ia membuka setelan jasnya dan menghampiri Lea yang sibuk menyiapkan susu untuknya.
Pria itu merengkuh tubuh mungil Lea dari belakang dengan penuh sayang, hawa dingin dari tubuh Varrel begitu lekat di tubuh Lea. Dengan manja Varrel mencium ceruk leher Lea dan mulai berbisik mesra.
"Aku tidak butuh secangkir susu, aku hanya butuh tubuhmu untuk menghangatkanku. Sebelumnya aku ingin bertanya padamu, kenapa kau menangis? Apa ada sesuatu yang menyinggung hatimu? Apa Bella mengganggumu lagi?" tanya Varrel berbisik di telinga Lea.
Gadis itu mengulas senyum, ia hanya menggeleng sebagai jawabannya namun Varrel sama sekali tak percaya. Pria tampan itu melepas pelukannya, membalikkan tubuh mungil itu ke hadapannya dan mengapit tubuh Lea dengan kedua tangannya yang kokoh.
"Kau terlihat sedih meskipun kau menyamarkannya dengan sebuah senyuman. Lea katakan padaku ada apa? Apakah kau butuh uang lagi? Apa kau mendapatkan sebuah ancaman? Ayo Lea ceritakanlah!" bujuk Varrel secara halus.
Lea menatap mata indah itu sejenak lalu tertunduk sedih. Ia ingin menangis tapi itu sangat memalukan baginya, selama ini ia berusaha kuat melawan semua orang yang menyakitinya, mengabaikan setiap orang yang meneriakinya sampah. Ia juga manusia, yang punya sisi rapuh. Semua ini ia lakukan hanya karena ingin menyambung hidupnya, mengantarkan adik-adiknya ke sekolah yang lebih tinggi tanpa ada kesenjangan sedikitpun. Harapan-harapan kecil seorang kakak yang justru mengantarkannya pada pekerjaan nista dan dianggap sampah oleh masyarakat.
"Ayo katakan!" suara Varrel membujuk seraya menyibakkan anak rambut Lea yang sedikit menutupi sebagian wajah Lea.
"Arrel kelak jika aku sudah lulus kuliah, aku ingin berhenti mengganggumu." ucap Lea dengan nada berat.
"Maksudmu?" tanya Varrel kurang mengerti sambil mengernyitkan dahinya.
"Aku tahu mengganggu rumah tangga orang itu tidak baik jadi sepertinya aku memutuskan untuk tidak melakukannya lagi setelah aku benar-benar lulus nanti."
"Aku senang kau bisa memutuskan hal itu tapi aku tidak senang jika hal itu kau jadikan alasan untuk menjauhiku, Lea." ucap Varrel sambil menangkup kedua pipi Lea.
"Arrel...."
"Aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Aku mendukung penuh jika kau berhenti melakukan hal ini dan akhirnya memutuskan untuk menikah denganku. Lea, aku rela menceraikan Bella hanya untuk hidup denganmu."
"Arrel ini tidak semudah yang kau bayangkan. Sebaiknya kau tidak usah menceraikan Bella." ucap Lea lirih lalu menunduk sedih.
"Kenapa? Apa kau tak senang menjadi Nyonya Lea Damington?" tanyanya menelisik sembari mengangkat dagu Lea dengan lembut.
"Aku hanyalah pelacur, aku hanya membutuhkan uangmu bukan cintamu. Apa kau tak sadar hal itu? Kenapa kau menyia-nyiakan wanita setulus Bella?"
"Dengar Lea, aku tidak buta ataupun tuli aku juga mengerti siapa dirimu. Jika orang menganggapmu begitu biarkan saja, bagiku kamu tidaklah begitu. Jika kau hanya membutuhkan uangku, jika kau hanya memanfaatkanku bagiku itu tidaklah masalah. Yang penting bagiku adalah kebahagiaanku bersamamu. Apa kau mengerti? Jika Ya maka berhentilah bersedih, aku tidak ingin bidadariku murung. Lea, kelak jika dunia benar-benar menudingmu dan tidak memberikan tempat untukmu, jangan khawatir masih ada aku. Aku yang akan mengangkatmu ke tempat yang layak, yang orang akan balik bungkam dan mulai menghargaimu. Lea, apapun akan kuberikan asal kau tak meninggalkanku. Jangan.... Jangan pernah berniat seperti itu. Lea, kau hidupku yang sebenarnya."
******
****Hujan awal bulan itu belum juga mereda, Lea Kalilea masih meringkuk di kasur empuknya dengan dipeluk kekasihnya. Semakin dingin, semakin erat Varrel memeluknya seolah pria tampan itu tak ingin beranjak walau sebentar saja. Pagi itu Lea membuka matanya, ia masih merasakan bagaimana hidung Varrel beberapa kali diusapkan di punggungnya. Perlahan jemari Lea menyambut tangan Varrel yang masih melengkung manis di atas perutnya. "Jangan pergi, aku masih ingin memelukmu." ucap Varrel di sela-sela tidurnya. "Kau tak ingin bekerja? Kartu kreditku sudah berteriak-teriak ingin diisi." jawab Lea lirih lalu berbalik badan dan menatap wajah tampan Varrel. Pria itu tersenyum kendati kedua matanya masih terpejam erat."Kau nakal! Kau selalu menyuruhku mencari uang sedangkan dirimu selalu ogah-ogahan jika bersamaku lebih lama. Kau sungguh tak adil." jawab Varrel tenang lalu membuka kedua matanya perlahan.
****"Lihat Lea! Ini adalah calon suamimu di masa depan," suara ibu dengan bangga seraya menunjukkan sebuah foto pria remaja yang tengah tersenyum dengan gantengnya.Lea mau tak mau harus melihatnya, melihat foto yang ditunjukkan oleh sang Ibu. Dengan wajah polos, Lea kembali menatap ibunya tak mengerti. Wanita di hadapannya tersenyum lalu menangkup wajah Lea, "Namanya Varrel Damington, tidak ada alasan untuk tidak mendekatinya. Seminggu lagi ia akan datang kemari untuk mengikuti pertemuan keluarga. Kau bisa mengenalnya dengan baik nanti."Seperti biasa Lea hanya terdiam, guna menyenangkan ibunya ia terpaksa mengangguk dengan patuh. Tapi sayang belum seminggu seperti yang dijanjikan Ibunya, sebuah kecelakaan maut merenggut kedua orangtuanya. Naasnya lagi belum sebulan Ayah dan Ibunya pergi, perusahaan ayahnya diambil alih oleh Dammington Inc. Salah satu sebab kenapa Lea Kaliea harus mengejar Varrel Damington sampai ke lubang semut sekalipun.Bayangan buram ma
WARNING 21+****Lea tak pernah menyangka jika Kevin akan menciumnya di depan umum seperti tadi. Jantungnya sempat bergetar karena sebelumnya ia belum pernah menerima ciuman dari siapapun selain ciuman dari Varell. Hari ini benar-benar hari yang tak terduga bagi Lea Khalilea.Berjalan sedikit cepat menuju ke apartemen, Lea berusaha melupakan bayangan Kevin yang tiba-tiba menaut bibirnya. Jika diingat kembali, pria tersebut memang tengah mencuri kesempatan pada dirinya. Sungguh, pria dimanapun tetap sama saja.Lea mempercepat langkah, dengan tergesa ia memasuki kediaman mewah persembahan dari Varell Damington. Belum sempat melihat siapa yang ada di dalam kamarnya, tangan Lea segera ditarik oleh seseorang. Gadis tersebut terkesiap menyadari ada seseorang yang kini begitu posesif terhadapnya."Varell ... Sejak kapan kau ada di sini?" Lea bergumam tak mengerti ketika Varell berusaha memonopoli dirinya.Varell tak menjawab, pria tersebut mendorong tubu
***Setibanya di istana megah milik keluarga Varell Damington, pria bersurai kelam memasuki halaman rumahnya dengan langkah tenang. Pria itu tahu jika lambat laun perselingkuhannya dengan Lea akan tercium juga apalagi oleh keluarga Bella.Ketika pria berjas hitam tampak memasuki rumah, seluruh tatapan penghuni rumah teralihkan ke arahnya. Ruang tamu yang biasanya sepi kini mendadak menjadi ruangan penuh lautan manusia dari keluarga Bella.Varrell terus melangkah menghampiri keluarga besarnya, ia tersenyum seolah tak terjadi apa-apa."Apa kabar semuanya? Bagaimana kabarmu Ayah? Ibu? Kakak ipar?" sapa Varell dengan nada santai sembari menghempaskan bokongnya di sofa mewah, dimana keluarga besarnya tengah berkumpul.Tak ada jawaban. Keluarga Bella terlihat masam ketika melihat kehadiran Varell Damington, apalagi ditambah dengan sikapnya yang seolah-olah tak terjadi apa-apa."Varrell, kataka
****Ruang tengah milik keluarga Varrell Damington kini kembali sepi. Setelah Varell pergi, kini rumah itu hanyalah tinggal keluarga Bella yang masih terduduk dengan amarah yang meluap-luap di dada. Wajah Louis tidak dapat disembunyikan, rasa marah bercampur kecewa kini tercetak jelas di wajahnya yang tegas."Bella, apapun demi dirimu, Ayahmu ini tidak akan menyerah. Jika Varell tidak bisa meninggalkan wanita itu maka akan kubuat wanita itulah yang akan meninggalkan Varell," ujar Louis Brandon dengan tangan mengepal sangat erat.Bella yang menangis sesenggukan mulai menenangkan tangisnya. Ada harapan baru yang muncul dari pelupuk matanya yang basah. "Dengan apa? Sedangkan aku sudah mencobanya namun selalu gagal."Luois Brandon terdiam, tatap matanya masih lurus ke depan. Sebagai ayah, ia tetap tidak bisa menerima segala alasan yang Varell lontarkan padanya."Kau tidak cukup mengerti lawanmu, Nak. Biarkan a
****Lea menggeliat ketika sinar matahari menebus jendela kaca yang tepat berada di dalam kamarnya. Sinarnya yang keemasan begitu menyilaukan, membuat tubuh sang wanita bereaksi dan segera bangun dari mimpi-mimpi indah.Menoleh ke samping, Lea tersenyum tipis ketika menyadari bahwa Varrell Damington memilih untuk tidur di sini semalaman hanya untuk menemaninya. Lea mengembuskan napas, ia merebahkan diri lagi di samping Varell.Wanita bermata indah itu menatap wajah Varell yang teramat tampan. Ia kembali tersenyum seraya mengelus wajah sang kekasih dengan lembut."Varell, maafkan aku. Aku telah memanfaatkan dirimu selama ini. Aku ingin segera mengakhiri tapi, semua sudah terlalu dalam untuk diakhiri. Varell, sekali lagi maafkan aku yang telah menggunakan dirimu untuk kepentinganku." Lea berbisik lirih.Varell perlahan membuka mata, membuat mata Lea terbelalak kaget. Mungkinkah pria yang tidur disampingnya i
***Seperti biasa Varrel menyempatkan waktunya untuk mengantar sang pujaan hati untuk pergi ke tempat kuliah. Pagi menjelang siang yang sedikit terik lengkap dengan riuhnya lalu lalang kendaraan tidak menyurutkan keinginan Varrel Damington untuk tetap pergi menemani Lea Khalilea untuk berangkat kuliah hari itu."Jam berapa kau akan pulang?" tanya Varrel pada Lea tanpa sekalipun pria itu menatap wajah ayu sang pujaan hati.Lea tersenyum tipis, menatap jalanan yang ramai pikirannya pun mengembara tepatnya pada sore hari nanti. Pria itu bahkan bertanya sesuatu yang jelas-jelas belum ia lakoni sedikitpun. Tak ada jawaban dari bibir Lea, membuat Varell menoleh sejenak ke arah Lea Khalilea."Kenapa hanya diam? Kau tidak ingin aku menjemputmu?" tanya Varrell dengan nada sedikit emosional. Sekali lagi Lea tersenyum, ia bahkan tidak tahu bagaimana dengan jalan pikiran pria itu."Sayang, ini masih
Wajah Lea Khalilea ditekuk, ia berjalan dengan wajah bersungut. Mimpi apa semalam hingga ia harus menemui masalah pelik sepagi ini. Bella bukanlah lawannya kendati wanita itu mencoba memperlakukannya dengan lembut ia tetap saja tidak bisa memperlakukan Bella sebagaimana mesti wanita itu telah memperlakukannya.Sebenarnya sebagai seorang wanita, Lea juga memiliki perasaan yang sama seperti yang Bella rasakan. Ia juga tidak ingin terancam apalagi dengan keberadaan wanita lain di sebelah suaminya namun lagi-lagi masa lalu yang membayang membuat wanita berkemeja ungu itu harus dan harus melakukan hal yang salah berulang-ulang kali.Lamunan Lea tersadar ketika seorang dosen menegur dan menghampirinya. Wajah pria paruh baya itu tampak ditekuk, ada sebuah berita yang hendak ia sampaikan pada salah satu murid tercerdas di kampusnya."Lea ...," panggilnya pelan namun terdengar sangat darurat. Lea menghentikan langkah tepat di hadap