Share

02 | Durango

Setelah melalui gerbang Sateunik untuk mencapai Durango, akhirnya Elena dan Galen telah sampai di dunia tempat Saram atau manusia biasa tinggal.

Elena menatap datar ke arah orang-orang dan juga bangunan-bangunan yang berdiri tegak tepat di depan matanya. Durango tidak jauh berbeda dengan Purpura. Dua dunia yang sangat berbeda itu memiliki kehidupan yang hampir sama, hanya saja Purpura lebih unggul dalam segalanya.

Purpura memiliki kekuatan yang tak dimiliki oleh manusia biasa di Durango yang lemah.

"Tuan putri, kita ada di mana?" tanya Galen kebingungan. Fokus dan sadarnya masih belum kembali setelah sebelumnya ia di hipnotis Elena saat berada di Purpura. Galen juga merasakan pusing luar biasa, kepalanya serasa ingin pecah.

"Galen, tataplah mataku," kata Elena seraya menangkup wajah pemuda Thistle itu. Galen langsung menurutinya dan menatap mata Elena dengan tenang, namun napasnya tersenggal-senggal.

Seperti biasa, Elena hanya membutuhkan satu kedipan mata untuk menghipnotis dan menyadarkan seseorang di bawah pengaruh kekuatannya.

Galen akhirnya sadar. Matanya menatap tajam ke seluruh tempat yang berada tepat di depan matanya dan terperanjat, lalu mendorong Elena hingga tersungkur.

Dunia tempatnya berpijak sekarang sangat terlihat mirip seperti Purpura. Bangunan tinggi berjejer beraturan, orang-orang berlalu lalang dengan aktivitasnya. Bedanya, Purpura sangat sejuk tidak seperti di sini yang penuh dengan debu halus hingga membuatnya batuk dan sesak napas.

"Elena? Jangan bilang kita-" Galen terlihat ragu kemudian menoleh ke arah Elena yang menyeringai kepadanya dengan wajah angkuhnya yang khas.

Jika saja Elena bukan orang yang berarti untuknya, Galen sudah membunuhnya sejak dulu. Sejak ia pertama kali bertemu Elena di istana paling luar tempatnya terasing. Selalu saja Elena melakukan hal nekat tanpa memikirkan akibat yang akan menantinya.

"Kita berada di Durango, tepatnya di kota Jakarta," kata Elena.

Galen menatap tajam Elena. Kedua bola matanya hampir menampakkan sinar keunguan yang persis dengan darah yang mengalir padanya, yaitu Thistle. Galen terlihat marah pada Elena.

Seandainya Galen bisa menyamai kekuatan Elena, ia pasti tak akan terbuai dengan hipnotisnya dan tetap berada di Purpura. Tempat yang aman untuk manusia berdarah ungu sepertinya.

Pemuda itu kemudian melihat gerbang Sateunik masih terbuka lebar. Tanpa basa-basi, dia menarik tangan Elena dan menerobos masuk ke dalam cahaya putih besar, namun tubuhnya malah terpental. Dan Elena, ia hanya menertawakannya.

"Kamu harus memiliki kemampuan menari spirit untuk menembus gerbang Sateunik yang agung, Yang Mulia," ujar Elena.

"Kalau begitu kamu menarilah sebelum bulan sabit be-" Galen memberi jeda, kemudian menatap ke arah langit. "Sial! Bulan sabit sudah hilang!"

Elena tersenyum, kemudian merangkul sang raja bangsa Purpura yang merupakan boneka dan temannya yang paling dekat itu. "Tak ada salahnya kita berada di dunia yang berbeda dan menjalani kehidupan yang berbeda. Sudah duapuluh tahun kita terkurung di Purpura."

Galen menghela napas kasar dan mengerang frustasi. "Elena, apa yang sebenarnya kamu pikirkan? Kita tidak terkurung di sana, kita lahir dan tinggal di sana! Purpura adalah tempat dimana kita berpijak!" tukas Galen.

“Apa kamu mempercayainya, tuan Byakta?” tanya Elena. Kemudian gadis bersurai keunguan itu menyeringai. "Kamu pasti pernah mendengar cerita bahwa Laviosa sebenarnya adalah seorang Saram yang menemukan dunia tak kasat mata yang tak masuk akal bernama Purpura."

Ibuku adalah seorang Laviosa yang kejam. Meninggalkanku dalam keputusasaan di Purpura. Batin Elena.

“Kamu mempercayai itu, Elena? Kita, bangsa Purpura bahkan tak pernah melihat secara langsung keturunan asli bernama Laviosa!” Galen memekik kesal.

"Kamu pikir kenapa kita tak pernah bertemu dengan seseorang keturunan Laviosa? Karena mereka adalah Saram yang menguasai dunia Purpura!" tukas Elena.

Galen menatap Elena sinis. "Terserah! Aku lelah berdebat denganmu! Hanya orang bodoh sepertimu yang mempercayai hal gila seperti itu."

Elena berdecak sebal. Kemudian tanpa mengatakan apapun, ia berjalan meninggalkan Galen tanpa tujuan yang jelas.

"Yah! Kamu mau kemana lagi Elena An?" teriak Galen yang kemudian berlari menghampirinya.

"Menyamar menjadi Saram," katanya datar sambil terus berjalan. Rambut panjangnya yang ia biarkan terkepang seperti bangsanya, perlahan mulai tergerai dengan sendirinya.

Elena mulai menyamar menjadi Saram. Begitupun Galen.

***

"Kakek, kakek harus menjelaskannya kepadaku. Apa yang terjadi?" tanya Han kepada sang kakek.

Kakeknya hanya diam sambil terus menatap kalung bulan sabit ungu yang melingkar di leher cucu laki-lakinya. Banyak hal yang melintas di kepalanya saat melihat kalung itu. Termasuk fakta bahwa Han ternyata bukan manusia sembarangan.

Ada rahasia di balik kehadiran Han di dunia ini dan kalung misterius yang melingkar di lehernya.

"Kakek! Kenapa hanya diam?" tanya Han bingung. Tak hanya bingung, pemuda itu juga nampak panik karena tak mengerti dengan hal tak masuk akal yang terjadi padanya.

Sang kakek hanya menatap cucu laki-lakinya. Kemudian, ia melihat cucu perempuannya Aruna yang baru saja tiba dan berdiri tepat di belakang Han tanpa mengatakan apapun.

Mata gadis itu berwarna ungu Orchid. Lagi-lagi ia hanya diam, tak terkejut sama sekali saat melihat keanehan yang terjadi malam ini. Hanya saja, hatinya tiba-tiba menjadi gusar.

Apakah sudah dimulai? Batinnya. Ia yakin, sesuatu akan segera terjadi. Sesuatu mengerikan dari pengulangan kisah masa lalu yang tak pernah berakhir.

"Kakek!" pekik Han kesal yang membuat kakeknya sedikit tersentak dan bangun dari lamunannya.

Kakeknya mendesah pelan kemudian menatap Han dan Aruna dengan serius. "Dunia yang kalian tinggali kini menjadi Durango,” lirih sang kakek.

Han dan Aruna terdiam, tak mengerti. Namun, sesaat kemudian mata Aruna membelalak. Seperti mengetahui sesuatu, gadis itu langsung menghampiri kakeknya membuat Han terkejut bukan main. Karena ia tak menyadari kehadiran gadis itu sebelumnya.

"Durango, tempat di mana semua keturunan terakhir Purpura akan bertemu? Lalu, akan terjadi pertumpahan darah berwarna ungu yang saling bercampur menciptakan warna merah atau hitam yang pekat. Dan, tempat di mana Orchid terdahulu yang pernah melarikan diri menampakkan diri kembali," kata Aruna.

“Aruna! Kenapa kamu bicara asal?! Hentikan membaca buku dongeng itu! Kamu bisa gila! Belajar saja yang benar!” tukas Han kesal. Hanya ia yang tak mempercayai hal seperti itu.

Aydin, sang kakek kemudian menatap Han dengan tatapan yang sulit dijelaskan.

“Aruna benar,” katanya. "Bahkan jika saat ini kamu tak percaya, dunia yang kamu sebut dongeng itu benar adanya terlepas dari apa yang kamu pikirkan. Mereka akan selalu ada dan menunggu untuk hancur."

Han berdecak sebal dan mengerang frustasi. Rambutnya kini berantakan. Ia benar-benar tak bisa menerima kenyataan bahwa sang kakek dan adiknya mempercayai dunia itu benar nyata. Ia masih memiliki akal sehat dan memikirkan semuanya dengan rasional. Tak mungkin dunia peri itu ada.

"Han..." kakek Aydin menghampirinya dan menepuk pundak pemuda berusia duapuluh tahun itu. "Kamu akan bertemu dengan Orchid. Bersiaplah,” ujarnya.

"Apa maksudnya? Kenapa aku harus bertemu dengannya?" tanya Han ketus.

"Karena kamu memiliki kalung bulan sabit berwarna ungu yang telah hilang dari Laviosa,” jawab kakeknya.

Han menatap kakeknya datar. Ini benar-benar tak masuk akal. Tapi entah kenapa dia begitu excited mendengar penuturan sang kakek, sama seperti Aruna yang antusias mendengar dongen kesukaannya menjadi nyata.

"Kakek, apa nanti kak Han akan mati saat bertemu Orchid?" tanya Aruna tanpa perasaan. Membuat Han kesal. Memang Aruna bagaimana pun tak pernah mempedulikannya, meski Han mati sekali pun. Aruna hidup untuk fantasinya sendiri.

Kakek Aydin tersenyum. “Tidak akan. Jika dia mengikuti apa yang sudah ditakdirkan dan diramalkan ratusan tahun lalu. Pemilik kalung itu harus membunuhnya.”

Mulut Aruna terbuka lebar, dia benar-benar senang mendengarkan apa yang dikatakan kakeknya. Namun Han, ia terlihat sangat frustasi sehingga kehilangan gairah untuk mendengarkan. 

"Kenapa aku harus membunuhnya?" tanya Han.

"Karena kalung itu,” jawab kakek Aydin sambil menunjuk ke arah dada Han.

Han kemudian menatap kalungnya dan terdiam. Banyak sekali hal yang melintas di kepalanya. Purpura benar-benar menjadi dunia di mana tempat akal sehat tak berlaku. Han tak bisa membayangkan apa yang baru saja dikatakan kakeknya. Membunuh seseorang? Itu hal gila. Batinnya.

"Saat semua warna Purpura terkumpul di kalung itu, kamu memiliki dua keputusan. Menyelamatkan Orchid  dan mati sia-sia atau membunuhnya untuk membebaskan Orchid da-"

"Aku tidak mau dengar!" Han menutup telinganya kemudian berlalu meninggalkan kakek dan adiknya.

Kakek Aydin menatap Han dan menyeringai. Kamu akan percaya saat kamu melihat sendiri gadis Orchid menghampirimu dan membuatmu jatuh cinta. Batin kakeknya.

"Kakek…” panggil Aruna.

Sang kakek menoleh ke arah Aruna dan tersenyum kemudian mengusap pucuk kepala gadis itu.

"Beristirahatlah, kamu pasti lelah,” lirihnya.

Aruna menatap bingung. Ia tidak lelah sama sekali. Apa yang dimaksud kakeknya?

Hubungan Orchid itu terhubung kembali. Kamu akan menjadi manusia paling lemah di Durango, sama seperti kakak perempuanmu yang melarikan diri, tuan putri Celena An.

***

Elena dan Galen baru saja keluar dari toko pakaian. Kini, mereka sudah mirip seperti Saram dengan pakaian yang baru saja mereka beli dan pakai. Setelah sebelumnya mereka berdua memakai baju kerajaan Purpura yang aneh dan berkeliling kota Jakarta, hingga menjadi sorotan.

"Yah, sekarang kita harus mencari tempat tinggal,” kata Galen seraya menarik tangan Elena, namun segera ditepis oleh si gadis Orchid itu.

Elena tak mendengarkannya. Ia hanya fokus pada sebuah benda persegi panjang kecil yang dapat membantunya terhubung dengan dunia Saram, benda itu adalah ponsel pintar.

"Limaratus meter dari sini ada salon rambut yang bagus dan masih buka duapuluh empat jam,” ijar Elena dengan wajah sumringah.

"Elena! Kamu sudah banyak menghabiskan uang yang kamu miliki! Kita belum menemukan tempat tinggal untuk lima tahun ke depan. Jangan habiskan sekarang!” tukas Galen kesal.

Elena benar-benar tak dapat dipercaya. Ia sama seperti gadis kebanyakan meskipun banyak menghabiskan waktu sendirian seumur hidupnya. Gaya hidupnya benar-benar mewah dan membuat Galen sakit kepala. Elena menghabiskan banyak uangnya tanpa berpikir.

"Aku memilikimu, tuan Byakta. Uangmu masih banyak, bukan? Jika kita kehabisan uang, kamu bisa bekerja untukku. Kudengar di Durango kau bisa bekerja paruh waktu dan mendapatkan uang," ujar Elena.

"Aku bukan babumu, Elena!" pekik Galen.

Pemuda itu kemudian menatap Elena sinis. "Kamu melupakan tujuan utamamu datang ke dunia ini, tuan putri? Kita tak memiliki waktu banyak untuk menghabiskan uang lalu mendapatkannya kembali. Fokusmu hanya satu, mencari adikmu dan Balsaegi Lavender!" Galen bersikap ketus.

Demi Purpura bersatu dengan Durango dan dunia menjadi hancur, Galen benci berada di sini. Ia ingin pulang dan bertemu dengan Bunda Permaisuri yang pasti mengkhawatirkan ketiadaannya.

Sementara itu, Elena mendesah kesal dan menatap Galen dengan tatapan tajam, sehingga membuat laki-laki itu kesakitan di bagian dadanya. Ya, Elena sedang menggunakan kekuatannya untuk membuat Galen terluka.

"Argghhh! Hei! Jangan terlalu sering memakai kekuatanmu! Kamu tidak akan tahu kapan Violeta akan menyerangmu!" tukas Galen sambil memegangi dadanya yang kesakitan.

"Berisik sekali!" tukas Elena kesal, lalu ia meninggalkan Galen yang masih meringis kesakitan.

"Elena tunggu aku!" teriak Galen. Dalam waktu sekejap, Galen sudah berada di samping Elena. Galen juga memakai kekuatan berteleportasinya, membuat Elena berdecak sebal.

"Kamu juga memakai kekuatanmu!" tukas Elena kesal.

"Aku Thistle! Aku tidak akan kehilangan kekuatanku meskipun aku mencobanya berkali-kali, tuan putri,” ujar Hangyul.

"Kamu curang!" Elena terlihat kesal. Hal itu justru membuat Galen gemas. Sepertinya seumur hidupnya, selain menjaga Elena ia juga terus-terusan membuat gadis itu kesal.

Elena lagi-lagi berjalan meninggalkan Galen. Galen kali ini mencoba untuk mengikutinya dari belakang, menatap gadis yang sangat ia cintai itu dari belakang. Meskipun ia merasa kesal dengan keputusan gadis itu melarikan diri, di sisi lain ia merasa bersyukur bisa berada di Durango. Setidaknya, ia dan Elena mendapatkan kebebasan selama lima tahun sampai gerbang Sateunik terbuka kembali.

Langkah Elena tiba-tiba terhenti. Ia merasakan sesuatu yang begitu hebat mempengaruhi dirinya. Membuat keringat dingin pada tubuhnya bercucuran begitu saja, juga ia merasakan pening di kepalanya. Tubuhnya terasa lemas, sehingga ia kehilangan fokusnya dan terhuyung.

Galen yang melihat itu langsung beteleportasi kepada Elena, sebelum gadis itu tersungkur jatuh ke tanah.

"Elena, apa yang terjadi padamu?" tanya Galen khawatir.

Elena meremas baju Galen tanpa mengatakan sepatah katapun. Matanya lagi-lagi mengeluarkan sinar berwarna Orchid. Elena juga tak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya begitu saja. Sebelumnya, ia tak pernah sesakit seperti ini.

"Elena! Kamu tidak boleh kehilangan kesadaranmu! Elena!" Galen terus mengguncang tubuh gadis Orchid itu dan memandangi ke sekelilingnya, takut jika seorang Violeta yang melakukan hal ini. Tapi tak ada siapapun yang mencurigakan.

Pada akhirnya, gadis itu sudah kehilangan kesadarannya. Galen masih berusaha membuat gadis itu sadar, namun Elena bergeming.

"Elena! Elena!" pekik Galen frustasi.

Galen mendesah pelan. Mau tak mau ia harus menggunakan kekuatannya kembali untuk memulihkan kesadaran Elena. Namun apa yang terjadi, Galen justru merasakan lemas di sekujur tubuhnya dan pening di kepala. Ia tidak bisa menggunakan kekuatannya. Ada apa ini? Batinnya.

"Apakah ada yang bisa kubantu?" tiba-tiba seorang pria menghampiri mereka berdua, Galen dan Elena.

Galen yang masih sadar kemudian menengadahkan kepalanya dan menatap pria yang kini sedang menatapnya. Entah kenapa ia justru merasakan sakit di dadanya, juga matanya seolah mengeluarkan sinar Thistle yang menembak ke arah dada pria itu.

"Mari kubantu,” kata pria itu yang kemudian mengangkat tubuh Elena dari pangkuan Galen.

Galen masih kehilangan fokusnya dan merasakan sakit yang luar biasa. Siapa pria ini? Apa yang terjadi? Batinnya.

"Kenapa tubuhnya sangat dingin?" tanya Han bingung. Kemudian ia melepaskan jaket yang dipakainya untuk dikenakan pada Elena yang suhu tubuhnya terus menurun, seperti mayat. Gadis itu sangat dingin.

Han kemudian menoleh ke arah Galen dan terlihat khawatir. "Apa kamu baik-baik saja? Kamu terlihat pucat,” kata Han.

Galen tak menjawab. Ia berusaha meredam rasa sakitnya dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki. Namun, sepertinya Galen akan menyerah, sama seperti Elena yang terlebih dulu tak sadarkan diri.

Han menepuk pundaknya. "Apa kamu bisa berjalan? Biar kubawa kalian ke rumahku,” ujar Seungwoo khawatir.

"Kenapa Durango sangat aneh," lirih Galen.

Han mendengar itu dan tersentak kaget. Ia masih tak habis pikir bahwa ada orang-orang aneh di luar sini yang berpikiran sempit seperti kakek dan adiknya.

"Hei! Durango itu tidak ada. Ini adalah Jakarta, pusat kehidupan warga Indonesia. Sepertinya kamu terlalu banyak membaca dongeng!" tukas Han kesal.

Galen tak bisa mendengar apa yang dikatakan laki-laki di dekatnya. Perlahan, ia juga kehilangan fokus seperti Elena dan pingsan yang membuat Han panik seketika.

"Woy! Kenapa kalian berdua malah pingsan!! Sadarlah!" Han mulai panik.

***

"Apakah sudah waktunya?" seorang pemuda berujar lirih seraya menatap jauh ke arah bulan sabit yang perlahan memudar.

Arganta Chand Japa, nama pemuda itu. Ia tak bisa tersenyum melihat halimun tipis menyelimuti kota Jakarta malam ini. Meskipun itu karena ulahnya. Firasatnya buruk. Seolah tragedi besar akan terjadi, padahal pencariannya di Durango selama ini belum usai. 

"Siapa yang berani menembus pintu waktu kali ini?" gumamnya pelan seraya menggigit jari-jarinya, kebiasaan yang bisa membantunya berpikir.

Tragedi dimulai saat Jeslyn menembus pintu waktu- Sateunik yang tak sengaja terbuka saat bulan sabit berwarna keunguan. Jika dia tidak jatuh cinta saat menembus waktu, akankah semuanya berubah? Jika bayi Orchid tidak pernah lahir, akankah semuanya berbeda?

Kalimat itu terngiang di kepala Arga bagaikan melodi masa lalu yang terus-menerus berulang, mengingatkannya pada seorang gadis tak biasa yang tak sengaja ia temui saat menerobos masuk ke dalam istana terluar Purpura.

"Sepertinya kamu tahu sesuatu tentang tragedi itu, Elena," kata Arga seraya membayangkan wajah cantik Elena memerah terkena terpaan sinar matahari, lalu ia berlari di padang rumput dan tertawa seperti gadis polos yang belum pernah mengenal dunia. 

Arga merindukan Elena. Gadis misterius yang dulu tak pernah Arga tahu identitas sebenarnya. Gadis yang membuat Arga jatuh cinta dan akhirnya memberanikan diri untuk mencari cara pergi ke Durango, menemukan kepingan-kepingan masa lalu yang telah diramalkan dalam Bukit Garis Takdir.

"Perempuan itu sudah kembali," Arga tersadar dari lamunannya saat samar-samar mendengar suara langkah kaki yang perlahan begitu jelas.

Pemuda itu kemudian menatap nanar pada pantulan cermin di mana seorang gadis tersenyum licik, seolah telah menggenggam dunia.

Arga meredupkan cahaya lampu, lalu bersembunyi saat suara langkah kaki itu nyaring terdengar di kamarnya bersama halimun tipis yang membuatnya menghilang, tak kasat mata.

Lampu kamar seketika menyala. Seorang wanita bersurai ungu panjang baru saja tiba, lalu duduk di atas meja seraya membuka seluruh bajunya. Menyisakan pakaian dalam yang memperlihatkan bentuk tubuhnya yang bagus, serta putih dan mulus.

"Arga? Apa kamu di sini?" wanita itu berkata seraya sibuk menyapu seisi kamar tempatnya berada. Seolah merasakan ada seseorang memperhatikannya begitu lekat.

Arga ada di sana. Namun, pemuda itu enggan menampakkan diri untuk saat ini dan ingin memata-matai wanita itu. Liliana Moon, garis keturunan terakhir bangsa Violeta.

"Well, sepertinya Arga tidak kesini selama aku pergi," katanya seraya mengambil sebotol wine, lalu meneguknya begitu saja.

Liliana lalu berdiri di dekat jendela, menyipitkan matanya dan menatap kota Jakarta dari ketinggian. Arga menghampirinya tanpa ketahuan, lalu berdiri di sampingnya.

"Lihatlah, Jakarta tak pernah menjadi indah seperti ini sejak aku pertama kali tiba di Durango," Liliana bermonolog, dengan senyuman tipis di wajahnya yang penuh dengan amarah dan kebencian.

"Saat aku menemukannya, Jakarta akan menjadi kenangan. Seperti Laviosa... dia akan lenyap di tanganku bukan?" katanya seraya mengepalkan tangan mungilnya, mengeluarkan sebuah cahaya berwarna ungu berkilau dari balik kukunya. Kekuatan Purpura berada dalam genggaman tangannya.

Arga yang berada di sampingnya dapat melihat dengan jelas kemarahan terlukis di wajah Liliana. Arga juga dapat melihat, jika sesuatu akan segera terjadi karena ulah Liliana yang tamak dan pendendam.

Wanita licik ini harus binasa sebelum semuanya hancur. Batin Arga.

"Wanita itu, si Orchid sialan... kamu sudah menempuh perjalanan panjang menuju kehancuran, sayang," gumam Liliana.

Arga menoleh, tersentak dengan apa yang baru saja dikatakan Liliana.

Orchid? Apa dia ada di sini? Batin Arga. Pemuda itu kemudian menyisir kota Jakarta dari ketinggian dengan sorot mata elangnya. Mencoba mencari setitik cahaya yang akan menjadi petunjuk di mana Orchid berada.

Sebenarnya, Arga tak peduli dengan semua yang telah digariskan. Ia juga tak peduli dengan pengulangan kisah masa lalu yang menyakitkan. Toh, dia tidak terlalu dirugikan meski perang pecah karena Violeta. Tapi, tetap saja, Arga harus melakukan sesuatu demi bertemu lagi dengan Elena yang dia rindukan sebelum pintu waktu benar-benar hancur karena kebencian Violeta yang telah mendarah daging.

"Orchid, kau akan celaka! Lalu, aku akan menguasai dua dunia yang indah tanpamu," Liliana tertawa begitu keras, memekik telinga.

Aku harus menemukan yang Mulia Laviosa dan Orchid itu terlebih dulu. Arga menghilang bersama dengan halimun tipis yang membuat Liliana terbatuk-batuk dan terkejut.

"Apa ada yang memata-mataiku?" gumam Liliana bingung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status