Home / Young Adult / Our Story / Jalan Bareng

Share

Jalan Bareng

Author: Shinta R
last update Last Updated: 2022-02-14 16:34:43

"Wih, ternyata lo mau ngajak gue ke pasar malem, Daf?" ucap Aira dengan mata berbinar ketika turun dari mobil langsung mendapati keramaian. 

Setelah memarkirkan mobilnya di tempat yang disediakan, Daffa meraih jemari Aira untuk dia genggam, gadis itu tidak menolak, membiarkan Daffa  membawanya masuk ke pasar malam itu. Senyum Aira tidak memudar sedikit pun.

"Gue tau lo paling semangat kalo soal makanan, jadi gue bawa lo ke sini biar nggak bosen ke kafe mulu," jawab Daffa dengan senyum hangat. Sesekali dia menoleh, menatap binar bahagia yang masih terpancar di wajah ayu Aira.

"Ini sih, keren pisan. Daffa, lo bener-bener tau banget sih, kesukaan gue," puji Aira. Kentara jelas dia memang senang malam ini.

Langkah Daffa terhenti, di tengah keramaian dia menatap wajah Aira yang kini menoleh bingung. "Emang apa yang nggak gue tau tentang lo, Ra?"

Aira tampak berpikir lama, kemudian beberapa saat dia terkekeh geli. "Hati gue, jiakhhh!"

Daffa terdiam sebentar, Aira mungkin benar, dia memang tahu semuanya, tapi tidak dengan hati. Meskipun jeda sejenak menghampiri sementara Aira tertawa lalu terhenti, Daffa menyadari jika malam ini adalah waktunya happy. 

"Dasar Kebo, mau beli apa? Mau naik apa? Gue bayarin semuanya, dah." 

Daffa tersenyum di akhir kalimat, setelah menarik hidung Aira hingga membuat gadis itu meringis, Daffa melanjutkan langkahnya kembali. Dia enggan membahas lebih dengan jawaban Aira, meskipun Daffa tahu, ucapan Aira tadi hanya canda belaka.

"Hah, serius lo, Daf? Demi apa, sih? Kenapa lo baik banget, buset." Raut Aira semakin bertambah senang.

"Iyalah, gue serius. Mumpung gue bosen di rumah dari pada nggak ngapa-ngapain, mending ngajak lo ke sini dan beliin semua yang lo mau. Gih, mau apa?" tawar Daffa, melihat sekeliling sekiranya jika Aira ingin membeli sesuatu nantinya.

Namun, Daffa pikir Aira akan berlari menuju salah satu penjual di sana, tetapi gadis itu justru menghentikan langkahnya dan memeluk tubuhnya erat. "Aaa! Daffa, makasih. Lo baik banget!" 

"Yee, suruh beli apa malah meluk gue. Mana udah makasih lagi, orang belum beli juga, Ra."

Aira melepas pelukannya lalu menyengir. Tetapi kemudian dia malah berdecak. Bingung sendiri. "Eum, duh, gue jadi bingung, Daf. Masalahnya gue pengen semuanya."

"Yaelah, lo mau apa aja juga bakal gue beliin, Ra. Duit gue kagak bakal habis," balas Daffa sombong. Aira spontan berdecak malas menanggapinya.

"Dih, sombong amat."

"Emang kenyataannya gitu, kan?"

Aira terbahak sekilas. "Iya, sih. Enaknya gue beli apa dulu ya, Daf? Kasih saran, kek."

"Kalo gue sih, suka yang nggak berbau minyak. Jagung bakar, misalnya."

"Astaga, ide bagus! Kalo gitu gue mau jagung bakar sama, eum ... roti bakar aja, deh. Terus minumannya ...." Mata Aira mencari-cari penjual minuman, siapa tahu ada minuman kesukaannya di sana. 

"Boba? Atau wedang jahe?"

"Gue nggak suka jahe, Tai! Boba ajalah, Daf. Gue nggak bisa move on dari minuman itu soalnya."

"Ck, emang mantan apa peka move on segala."

"Dih, orang gue nggak punya pacar juga."

"Dih, siapa juga yang bilang lo punya pacar," sahut Daffa tersenyum geli.

Aira mendengkus keras. "Cepetan sana beliin, Tai!"

"Iye, Sayang!"

"Daffa, Tai!"

***

Di dekat pasar malam itu ada sebuah taman mini, nuansa yang pas untuk ditempati sembari makan makanan yang dibeli dari pasar malam tadi. 

Lampu-lampu yang menyala, sangat memanjakan kedua matanya. Terlebih, bukan hanya satu warna, tteapi berwarna-warni begitu indahnya.

"Di sini pemandangannya keren banget, sih. Gue sesaat kayak nggak ada beban hidup, bawaannya seneng mulu dari tadi."

Daffa menoleh, senyumnya mengembang. "Jadi, lo suka?"

"Dari dulu lo juga paling tau kesukaan gue apa. Makanya gue nggak pernah nggak suka sama ala yang lo kasih." Aira balas menoleh, mengulas senyum geli.

"Bagus, deh," jawab Daffa. Raut lega menunjukkan dia juga ikut bahagia.

"Apa? Apanya yang bagus?"

"Ck, lemot, Kebo."

Aira terkekeh pelan, melihat Daffa menatap ke depan, dia ikut melakukannya. Betapa indahnya gemerlap lampu di sana, ditambah  dengan bintang-bintang di langit malam. Lalu keramaian di pasar itu membuat Aira tersenyum lagi dan menatapnya senang.

"Tapi suer, sih. Gue lebih seneng di tempat kayak gini dari pada di mall atau semacamnya."

"Gue seneng kalo lo suka. Ternyata lo nggak berubah dari dulu, Ra. Lo yang tetep sederhana walau semua orang juga tahu keadaan keluarga lo kayak gimana." 

Daffa masih dengan senyumannya, sifat sederhana Aira yang membuatnya menyukai gadis itu. Dia kaya, Aira anak orang berada, tetapi tidak pernah satu kali pun Daffa melihat kejijikan dari raut Aira ketika dia ajak ke tempat sederhana, bahkan sampai lingkungan kumuh pun.

"Semua cuma titipan, Daf. Nggak ada gunanya juga gue foya-foya, toh, kalo gue mati pun, cuma amal yang bisa gue bawa buat bekal. Harta mah, nggak gunanya di akhirat nanti." Benar, hal itu yang membuat Aira enggan menggila pada dunia. 

"Jujur aja, gue dari dulu salut sama lo, Ra. Gue merasa beruntung bisa punya sahabat kayak lo, ya, walau agak gila sedikit, sih."

Mendengar kalimat menyebalkan Daffa di akhir, Aira mendengkus geli. "Yee, Tai. Gue udah mau terbang juga, malah lo jatuhin lagi. Ngeselin, sumpah."

"Udah, itu diabisin rotinya, biar badan lo nggak kerempeng mulu," balas Daffa terkekeh pelan sembari merangkul kedua bahu Aira. 

"Bisa nggak sih, Daf. Bilangnya dengan kata yang lebih bagus? Lo pikir gue apaan?" sahut Aira sebelum melahap habis roti di tangannya.

"Lo? Cewek lah, ya, kali lo cowok."

"Halah, mbohlah, Daf. Dari dulu lo emang hobi banget bikin gue kesel."

"Ya kan, lo Kebo, Ra," ejek Daffa terbahak dan kebiasaannya yang menarik hidung Aira gemas. Si pemilik mendengkus, kemudian tertawa.

"Oh, jadi dia yang buat kamu pergi malem-malem nggak izin sama orang tua? Beraninya kamu memengaruhi anak saya."

Namun, keseruan dua remaja bersahabat itu seketika terhenti saat sebuah suara terdengar berat mendekat. Lalu, sedetik kemudian Aira dan Daffa spontan menoleh. Mata mereka sesaat melebar, terkejut.

"Papa? Ngapain di sini? Pasti Serin yang bilang, kan?" Aira dan Daffa langsung berdiri, alis Aira menaut kesal menatap sang papa.

"Papa justru senang dia jujur, bukan seperti kamu yang hobinya membohongi papa. Pasti gara-gara cowok ini, kan, penyebabnya?" Andi, sang papa menarik lengan Aira dengan kadar dan tatapannya yang marah.

"Tenang, Om. Kita ke sini cuma jalan-jalan dan saya nggak ada niatan buruk ke Aira, Om." Daffa berusaha menengahi, meraih jemari tangan Aira dengan pelan dan sekilas menatapnya khawatir.

Sementara Aira mengangguk cepat, menyetujui ucapan Daffa yang memang benar. "Iya, Pa. Yang dia omongin bener, lagian Aira juga males di rumah mulu, bosen, Pa. Aira stress, butuh refreshing." 

"Jangan membohongi saya lagi, Aira. Dan kamu, jangan coba-coba memengaruhi anak saya, ya! Ini sudah malam, dan kamu seorang cowok justru mengajaknya ke tempat seperti ini. Kamu harus punya modal kalau mau mengencani anak saya!" sentak Andi dengan menggeram, dia menepis tangan Daffa dari tangan Aira dan menatapnya tajam.

"Pa! Ini Aira yang setuju, kok. Jangan marahin dia juga, dong. Dan papa harus tau, dia itu sahabat kecil Aira. Dia nggak kayak cowok-cowok di luar sana, Pa."

"Jangan menyela pembicaraan saya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Our Story   Part Dihapus

    Ruangan bernuansa putih itu hanya diisi oleh keheningan. Di dalam tampak sepi. Hanya suara denting jarum jam yang berputar tanpa henti. Serta merta AC yang menyala memberikan kesejukan di sekelilingnya, alih-alih, menambah suasana mencekam tengah terjadi di sana.Ada Aira menggeleng lemah, hatinya kembali sakit mengingat masa-masa kemarin. "Belum. Dari kemarin gue ke sini, sampai tadi pagi, dia belum siuman."Serin mengangguk, kemudian membuang napas sembari menyentuh sebelah pundak Aira. Berusaha menenangkan suasana hati gadis itu. "Lo tenang aja, dia pasti bakal sadar. Lo tau, kan, dia bukan cowok lemah. Gue yakin, dia pasti juga kangen liat wajah lo.""Ah, lo malah bikin gue tambah sesek, Kak." Aira mendengkus dengan senyum, meskipun matanya sempat berkaca-kaca.

  • Our Story   Part Dihapus

    Degup jantung Aira berdetak lebih kencang dari biasanya, langkah kakinya berlari cepat setelah membuka pintu rumah sakit. Tangis mengharu, bibir Aira terisak bahkan saat baru saja sampai—di depan pintu berwarna coklat itu. Kepalanya menunduk, tubuhnya ikut meluruh di depan pintu."Kenapa harus lo, sih, Daf? Kenapa harus hari ini? Bukannya lo udah bilang mau ngelamar gue, Daf?" yang beda."Isak tangis Aira semakin pecah, air mata tidak enggan berhenti. Sesak semakin pula menekan dadanya. Aria tidak menyangka. Semuanya terjadi begitu saja—seolah takdirnya sekejam itu untuk bisa menerima semuanya. Aira tidak pernah mengakui dirinya lemah, tapi tidak untuk dari balik kaca dengan tatapan khawatir. Sekaligus merasa bersalah. Padahal nyatanya, dia cukup kesal."Ah, sial. Kenapa dia bikin gue kesel, sih? Harusnya dia bilang ke gue kalo mau jemput!"Aira berdecak, mendengkus, meski dengan Aira mata yang masih meluruh. Aira memutuskan untuk duduk di kursi penunggu dan berdoa untuk keselamatan Da

  • Our Story   Part Dihapus

    Pagi ini menjadi pagi yang paling Aira tunggu. Seperti janji Daffa kemarin yang mengatakan ingin ke rumah untuk melamarnya. Sungguh, Aira berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal itu, tetapi tetap saja kemarin malam dia tidak bisa tidur. Bayang-bayang wajah Daffa yang tersenyum memenuhi isi kepalanya—bahkan sampai pagi ini.Aira reflek menepuk kepalanya sendiri. "Udah gila lo, Ra. Bener-bener gila."Seragam hari ini sesuai jadwal sudah dia kenakan dan sempurna melekat di tubuhnya. Aira sesaat menatap pantulan dirinya di cermin sebelum mengulas senyum dan memutuskan untuk segera keluar dari kamar. Menuruni anak tangga dengan raut sumringah. Sangat kentara jika Aira sudah tidak sabar menantikan malam nanti."Duh, padahal masih nanti malem, kok, gue sekarang udah deg-degan, ya?" batin Aira sembari memegang dadanya yang sudah memanas. Degup jantungnya berdetak kencang.Aira menggeleng, tersenyum geli. "Otak gue nggak bener, nih."Akhirnya karena tidak mau terlambat sekolah, Aira langsun

  • Our Story   Part Dihapus

    "Daf," panggil Aira dengan nada pelan dan malas. Seolah tak bertenaga padahal di depannya sudah ada beberapa makanan serta minuman penghilang dahaga."Heum? Kenapa? Lo laper?" balas Daffa ngawur. Padahal sudah jelas-jelas Aira selesai makan. Dan di atas meja sudah tersaji beberapa camilan untuk gadis itu dan dirinya sendiri.Aira berdecak, menghela napas panjang. "Gue butuh semangat buat balikin mood. Gue makin stres karena Serin nggak pulang dari kemarin."Pergerakan jemari Daffa yang semula mengetik sesuatu di ponsel, spontan terhenti kala mendengar berita itu. "Why? Kok bisa? Gimana ceritanya?"Aira mengangkat bahu. Jika dia tahu, mungkin dia tidak akan bertanya. "Gue juga nggak tau ada apa di rumah selama gue sekolah. Dia kemarin emang nitip surat ke gue karena dia nggak masuk sakit. Eh, pas gue pulang dia malah kabur."Daffa meletakkan ponselnya. Punggungnya dia tegakkan dan menghadap Aira. Kepalanya menggeleng. "Nggak, pasti ini ada yang aneh. Buat apa dia kabur pas sakit dan buk

  • Our Story   Part Dihapus

    Aira sedang berjalan-jalan menuju belakang sekolah, niatnya hanya ingin mencari udara segar sebab di kelas sudah sangat pengap. Lagi pula, hari ini guru-guru sedang rapat. Aira yang bosan dengan suasana halaman belakang lantas berjalan menaiki anak tangga menuju roof top.Sampai di sana, dia bisa menghela napas panjang. Udara sungguh sejuk disertai dengan semilir angin yang berembus dan menerpa wajah serta beberapa helai rambutnya. Bibir Aira tersenyum, setidaknya keadaan yang semula tenang sebelum sebuah cekalan di lengannya membuat Aira tersentak."Lo? Ngapain ke sini? Lepasin gue nggak?!" teriak Aira ketika melihat Rehan berdiri di depannya dengan tangan yang mencekal kuat pergelangan tangannya.Tatapannya tersorot tajam dan dingin. Rahangnya mengeras sebelum Rehan membentak Aira. "Nggak akan sebelum lo minta maaf ke gue!"Aira reflek tersentak, degup jantungnya ikut berdegup kencang. "Apa-apaan, sih! Gue nggak ada salah apapun sama lo! Jangan ngarep gue bakal minta maaf, Re!""Gue

  • Our Story   Part Dihapus

    Kerap kali masalah yang menimpa hidup selalu menjengkelkan. Setiap manusia, nyatanya memang punya masalah. Tetapi, banyak dari mereka yang menghindar dari masalah itu. Padahal, semakin lama dibiarkan, masalah justru semakin banyak dan tentunya—jauh lebih menjengkelkan.Aira sangat berharap masalahnya segera berakhir, dia hanya ingin hidup tenang, tanpa beban, dan bebas dari segala ancaman. Namun, lagi-lagi semesta seolah tidak membiarkan. Masalah satu baru saja selesai, tapi masalah yang lain justru menghampiri. Sungguh, Aira selalu mempunya keinginan untuk menyerah."Daf, gue capek. Gue pengen nyerah. Boleh nggak, sih?"Pertanyaan langka yang baru pertama kali Daffa dengar dari mulut Aira setelah beberapa tahun bersahabat. Aira yang selalu tampak kuat dan semangat, kini tampak lesu dan tidak berdaya. Datang dari dapur, sudah mendapat ekspresi serta keluhan demikian. Lantas, karena tidak setuju, kepala Daffa menggeleng."Nggak, lo nggak bisa lakuin itu. Kenapa, sih? Lo jangan gampang n

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status