Share

Jalan Bareng

"Wih, ternyata lo mau ngajak gue ke pasar malem, Daf?" ucap Aira dengan mata berbinar ketika turun dari mobil langsung mendapati keramaian. 

Setelah memarkirkan mobilnya di tempat yang disediakan, Daffa meraih jemari Aira untuk dia genggam, gadis itu tidak menolak, membiarkan Daffa  membawanya masuk ke pasar malam itu. Senyum Aira tidak memudar sedikit pun.

"Gue tau lo paling semangat kalo soal makanan, jadi gue bawa lo ke sini biar nggak bosen ke kafe mulu," jawab Daffa dengan senyum hangat. Sesekali dia menoleh, menatap binar bahagia yang masih terpancar di wajah ayu Aira.

"Ini sih, keren pisan. Daffa, lo bener-bener tau banget sih, kesukaan gue," puji Aira. Kentara jelas dia memang senang malam ini.

Langkah Daffa terhenti, di tengah keramaian dia menatap wajah Aira yang kini menoleh bingung. "Emang apa yang nggak gue tau tentang lo, Ra?"

Aira tampak berpikir lama, kemudian beberapa saat dia terkekeh geli. "Hati gue, jiakhhh!"

Daffa terdiam sebentar, Aira mungkin benar, dia memang tahu semuanya, tapi tidak dengan hati. Meskipun jeda sejenak menghampiri sementara Aira tertawa lalu terhenti, Daffa menyadari jika malam ini adalah waktunya happy. 

"Dasar Kebo, mau beli apa? Mau naik apa? Gue bayarin semuanya, dah." 

Daffa tersenyum di akhir kalimat, setelah menarik hidung Aira hingga membuat gadis itu meringis, Daffa melanjutkan langkahnya kembali. Dia enggan membahas lebih dengan jawaban Aira, meskipun Daffa tahu, ucapan Aira tadi hanya canda belaka.

"Hah, serius lo, Daf? Demi apa, sih? Kenapa lo baik banget, buset." Raut Aira semakin bertambah senang.

"Iyalah, gue serius. Mumpung gue bosen di rumah dari pada nggak ngapa-ngapain, mending ngajak lo ke sini dan beliin semua yang lo mau. Gih, mau apa?" tawar Daffa, melihat sekeliling sekiranya jika Aira ingin membeli sesuatu nantinya.

Namun, Daffa pikir Aira akan berlari menuju salah satu penjual di sana, tetapi gadis itu justru menghentikan langkahnya dan memeluk tubuhnya erat. "Aaa! Daffa, makasih. Lo baik banget!" 

"Yee, suruh beli apa malah meluk gue. Mana udah makasih lagi, orang belum beli juga, Ra."

Aira melepas pelukannya lalu menyengir. Tetapi kemudian dia malah berdecak. Bingung sendiri. "Eum, duh, gue jadi bingung, Daf. Masalahnya gue pengen semuanya."

"Yaelah, lo mau apa aja juga bakal gue beliin, Ra. Duit gue kagak bakal habis," balas Daffa sombong. Aira spontan berdecak malas menanggapinya.

"Dih, sombong amat."

"Emang kenyataannya gitu, kan?"

Aira terbahak sekilas. "Iya, sih. Enaknya gue beli apa dulu ya, Daf? Kasih saran, kek."

"Kalo gue sih, suka yang nggak berbau minyak. Jagung bakar, misalnya."

"Astaga, ide bagus! Kalo gitu gue mau jagung bakar sama, eum ... roti bakar aja, deh. Terus minumannya ...." Mata Aira mencari-cari penjual minuman, siapa tahu ada minuman kesukaannya di sana. 

"Boba? Atau wedang jahe?"

"Gue nggak suka jahe, Tai! Boba ajalah, Daf. Gue nggak bisa move on dari minuman itu soalnya."

"Ck, emang mantan apa peka move on segala."

"Dih, orang gue nggak punya pacar juga."

"Dih, siapa juga yang bilang lo punya pacar," sahut Daffa tersenyum geli.

Aira mendengkus keras. "Cepetan sana beliin, Tai!"

"Iye, Sayang!"

"Daffa, Tai!"

***

Di dekat pasar malam itu ada sebuah taman mini, nuansa yang pas untuk ditempati sembari makan makanan yang dibeli dari pasar malam tadi. 

Lampu-lampu yang menyala, sangat memanjakan kedua matanya. Terlebih, bukan hanya satu warna, tteapi berwarna-warni begitu indahnya.

"Di sini pemandangannya keren banget, sih. Gue sesaat kayak nggak ada beban hidup, bawaannya seneng mulu dari tadi."

Daffa menoleh, senyumnya mengembang. "Jadi, lo suka?"

"Dari dulu lo juga paling tau kesukaan gue apa. Makanya gue nggak pernah nggak suka sama ala yang lo kasih." Aira balas menoleh, mengulas senyum geli.

"Bagus, deh," jawab Daffa. Raut lega menunjukkan dia juga ikut bahagia.

"Apa? Apanya yang bagus?"

"Ck, lemot, Kebo."

Aira terkekeh pelan, melihat Daffa menatap ke depan, dia ikut melakukannya. Betapa indahnya gemerlap lampu di sana, ditambah  dengan bintang-bintang di langit malam. Lalu keramaian di pasar itu membuat Aira tersenyum lagi dan menatapnya senang.

"Tapi suer, sih. Gue lebih seneng di tempat kayak gini dari pada di mall atau semacamnya."

"Gue seneng kalo lo suka. Ternyata lo nggak berubah dari dulu, Ra. Lo yang tetep sederhana walau semua orang juga tahu keadaan keluarga lo kayak gimana." 

Daffa masih dengan senyumannya, sifat sederhana Aira yang membuatnya menyukai gadis itu. Dia kaya, Aira anak orang berada, tetapi tidak pernah satu kali pun Daffa melihat kejijikan dari raut Aira ketika dia ajak ke tempat sederhana, bahkan sampai lingkungan kumuh pun.

"Semua cuma titipan, Daf. Nggak ada gunanya juga gue foya-foya, toh, kalo gue mati pun, cuma amal yang bisa gue bawa buat bekal. Harta mah, nggak gunanya di akhirat nanti." Benar, hal itu yang membuat Aira enggan menggila pada dunia. 

"Jujur aja, gue dari dulu salut sama lo, Ra. Gue merasa beruntung bisa punya sahabat kayak lo, ya, walau agak gila sedikit, sih."

Mendengar kalimat menyebalkan Daffa di akhir, Aira mendengkus geli. "Yee, Tai. Gue udah mau terbang juga, malah lo jatuhin lagi. Ngeselin, sumpah."

"Udah, itu diabisin rotinya, biar badan lo nggak kerempeng mulu," balas Daffa terkekeh pelan sembari merangkul kedua bahu Aira. 

"Bisa nggak sih, Daf. Bilangnya dengan kata yang lebih bagus? Lo pikir gue apaan?" sahut Aira sebelum melahap habis roti di tangannya.

"Lo? Cewek lah, ya, kali lo cowok."

"Halah, mbohlah, Daf. Dari dulu lo emang hobi banget bikin gue kesel."

"Ya kan, lo Kebo, Ra," ejek Daffa terbahak dan kebiasaannya yang menarik hidung Aira gemas. Si pemilik mendengkus, kemudian tertawa.

"Oh, jadi dia yang buat kamu pergi malem-malem nggak izin sama orang tua? Beraninya kamu memengaruhi anak saya."

Namun, keseruan dua remaja bersahabat itu seketika terhenti saat sebuah suara terdengar berat mendekat. Lalu, sedetik kemudian Aira dan Daffa spontan menoleh. Mata mereka sesaat melebar, terkejut.

"Papa? Ngapain di sini? Pasti Serin yang bilang, kan?" Aira dan Daffa langsung berdiri, alis Aira menaut kesal menatap sang papa.

"Papa justru senang dia jujur, bukan seperti kamu yang hobinya membohongi papa. Pasti gara-gara cowok ini, kan, penyebabnya?" Andi, sang papa menarik lengan Aira dengan kadar dan tatapannya yang marah.

"Tenang, Om. Kita ke sini cuma jalan-jalan dan saya nggak ada niatan buruk ke Aira, Om." Daffa berusaha menengahi, meraih jemari tangan Aira dengan pelan dan sekilas menatapnya khawatir.

Sementara Aira mengangguk cepat, menyetujui ucapan Daffa yang memang benar. "Iya, Pa. Yang dia omongin bener, lagian Aira juga males di rumah mulu, bosen, Pa. Aira stress, butuh refreshing." 

"Jangan membohongi saya lagi, Aira. Dan kamu, jangan coba-coba memengaruhi anak saya, ya! Ini sudah malam, dan kamu seorang cowok justru mengajaknya ke tempat seperti ini. Kamu harus punya modal kalau mau mengencani anak saya!" sentak Andi dengan menggeram, dia menepis tangan Daffa dari tangan Aira dan menatapnya tajam.

"Pa! Ini Aira yang setuju, kok. Jangan marahin dia juga, dong. Dan papa harus tau, dia itu sahabat kecil Aira. Dia nggak kayak cowok-cowok di luar sana, Pa."

"Jangan menyela pembicaraan saya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status