Aria sudah berdiri di depan pintu rumah Daffa, ketika tangan Daffa menarik gagang pintu, Aira melangkah masuk. Diikuti pula dengan Daffa di belakangnya. Begitu masuk, Aira sudah menerima pelukan antusias dari sang mama Daffa.
"Wah, Aira? Astaga kamu cantik sekali, Nak!" puji Fatma—sang mama Daffa, setelah melepas pelukannya dan menangkup kedua pipi Aira dengan mata berbinar.
"Makasih, Tante. Aira juga pangling banget liat wajah Tante yang makin cantik," balas Aira balik memuji, dia juga sedikit pangling dengan wajah seroang wanita di depannya itu.
Fatma tertawa kecil, lalu menggiring Aira untuk duduk sebentar. "Bisa aja kamu, oh ya, mau Tante ajarin masak nggak? Katanya kamu suka, ya, sama masakan Tante?"
"Duh, jadi malu, Tan." Aira merutuki dirinya, dia menebak pasti ini semua ulah Daffa yang memberi tahu mamanya.
"Anggep aja Tante mama kamu sendiri, nggak perlu sungkan-sungkan. Ayo ke dapur, Tante mumpung semangat hari ini." Fatma mengajak
"Laper nggak, Ra?" tanya Daffa sembari mengenakan jaket hitam miliknya. Kini, mereka sedang berada di luar rumah Daffa.Aira menyengir, sembari menggarukkan kepalanya. "Tau aja lo, Daf.""Makan di tempat biasa aja, gimana? Mau, kan?" tanya Daffa lagi setelah terkekeh kecil. Begitu Aira selesai memakai helm, Daffa merapikan rambut gadis itu yang sedikit berantakan.Aira tidak berontak, kepalanya mengangguk semangat. "Gue oke-oke aja, Daf. Yang penting perut gue nggak koar-koar mulu."Setelah mereka siap, Daffa naik ke atas motornya disusul Aira yang duduk di belakangnya. Hari sudah malam, Daffa tentu tidak tega membiarkan Aira pulang sendirian. Bahkan sang mama sendiri yang menyuruhnya.Setelah melewati jalanan kota malam ini yang cukup ramai, dua remaja itu akhirnya sampai di depan sebuah warung makan. Aira turun, melepas helmnya kemudian merapikan rambutnya yang cukup berantakan lagi.Daffa tiba-tiba bersuara ketika netranya menangkap sosok
"Astaga, Ra. Kenapa setiap pagi gue dateng muka lo ketekuk mulu, sih? Seneng dikit, kek, gue udah sepagi ini rela jemput lo tau."Daffa menggerutu ketika sampai di depan gerbang rumah Leta, gadis itu tidak meyambutnya dengan binar mata bahagia. Yang ada, setiap kali Daffa datang, hanya tekukan raut malas dan tidak semangat yang dia dapat."Bodo amat, Daf."Daffa berdecak. Membukakan pintu mobil untuk gadis itu. "Ck, untung stok sabar gue masih banyak buat lo, Ra.""Terserah," balas Aira yang langsung masuk tanpa berucap terima kasih."Gimana tadi malem? Aman, kan?"Aira membuang napas panjang mendengar pertanyaan itu. "Gue masuk, mereka lagi makan malam.""Terus papa lo? Diem aja?" Daffa masih penasaran, menunggu, sembari menyalakan mesin mobilnya."Aneh, sih. Tapi gue kesel karena nggak ada yang tau gue udah pulang. Padahal jelas-jelas gue naik ke atas tangga lewat depan mereka," jelas Aira disusul dengan decakan sebal.
"Ra, lo beneran nggak papa? Muka lo pucet gini," ucap Daffa begitu turun dari dalam mobil, sendiri hanya tersenyum tipis menyadarinya."Yaelah, Daf. Gue emang nggak pake make up, jadi wajarlah kalo muka gue pucet."Daffa memegang kedua pundak Aira. Memastikan jika gadis itu benar-benar tidak sakit. "Jangan bohongi gue, Ra. Gue tau.""Tau apa? Gue nggak kenapa-napa, Daffa. Udah, deh. Mending kita cepetan pergi ke supermarket beli es krim buat anak-anak panti."Daffa membuang napas pelan. "Gue tanya, lo tadi pagi udah sarapan belum?""Gue nggak laper, puas?" sahut Daffa ketus, Aira yang mendengarnya langsung mendengkus keras."Lagi? Kemarin lo udah nggak sarapan, dan tadi pagi lo ngulangi hal nggak baik itu sekali lagi? Gue udah bilang, Ra. Kesehatan lo lebih penting dari apapun.""Gue males, Daf. Lagian gue juga sehat-sehat aja, nih. Udah, ah. Buruan, keburu adzan Jum'at nanti, lo juga harus ke masjid, kan?""Tapi nanti si
Di sebuah danau dengan pemandangan yang sangat indah, dua orang remaja tengah duduk di salah satu kursi yang berada di tepi. Pandangan mereka sama-sama menatap ke depan, tepatnya ke arah matahari yang hampir akan tenggelam sore ini."Akhirnya setelah sekian lama gue bisa liat senja lagi. Gue inget banget terakhir kali ke sini pas almarhum papa meninggal," ucap Aira sembari tersenyum. Pandangannya tidak lepas menatap cahaya indah di depan sana.Daffa sempat terkekeh geli membalasnya. "Dulu lo nangis kejer di sini, Ra. Gue yang nggak tau harus apa, cuma bisa beliin lo es krim."Siapa sangka Aira tidak mengira Daffa akan mengingatnya. Dia menoleh seketika, dengan raut antusias. "Eh, tapi setelah lo beliin, gue tetep aja nangis sambil makan es krimnya. Gue inget waktu itu, lo akhirnya beliin gue boba setelah es krimnya abis dan gue nangis lagi. Duh, ngakak banget, sih.""Anehnya gue kok mau-mau aja, ya? Padahal harusnya waktu itu gue belajar buat olimpiade be
Esok yang buruk, Aira tidak menginginkannya. Tetapi, tetap saja terjadi. Karena tidak ingin menerima itu semua, Aira berlari menuju belakang sekolah. Setelah sampai dan menemukan Rehan di sana, Aira langsung menggeram marah ke depannya."Batalin perjodohan itu!"Rehan yang terkejut, tersentak melihat kedatangan Aira yang tiba-tiba. "Maksud lo apa, sih? Perjodohan?""Jangan munafik! Gue tau ini semua pasti ulah lo, kan? Jawab gue, Re!" teriak Aira yang sudah sangat marah. Namun, tangannya dia tahan sekuat mungkin agar tidak menyakiti siapa pun.Rehan pura-pura syok, bahkan sembari menutup mulut seolah benar terkejut. Ada kekehan geli setelahnya. "Wih, jadi lo udah tau, ya? Gimana? Suka sama kejutannya nggak?""Berengsek lo! Batalin perjodohan itu! Gue nggak suka sama lo! Gue benci!" bentak Aira, langkah maju satu langkah dan menatap Rehan nyalang."Benci bisa jadi cinta, Ra. Jalanin aja kenaoa, sih?" balas Rehan sembari tersenyum geli, tangan
Realita hidup memang sekejam itu, semua yang seolah sudah terjadi dan terjalani dengan baik, tetapi tidak ada yang mengira jika di masa depan takdir kejam ternyata benar-benar ada. Sungguh, Aira tidak bisa menahan air matanya saat ini."Daf, gimana, dong? Soal perjodohan itu, gue beneran nggak mau," lirih Aira dengan kepala menunduk. Berkali-kali helaan napas panjang terdengar."Gua juga bisa apa, Ra? Tawaran gue tadi konyol, kan?" Daffa ikut membuang napas berat, kepalanya sedang pening saat ini."Tapi, tapi itu juga nggak buruk, sih. Cuma ... cuma gue belum siap aja, Daf," jawab Aira, sejujurnya memang alasan itu yang membuat Aira enggan melakukan ide gila dari Daffa tadi.Daffa menatap ke atas, ke langit siang ini. "Kalo ngomongin siap nggak–nya, lo tunangan sana Rehan pun, nggak siap juga, kan? Gue rasa nggak ada jalan lain selain itu.""Tapi percuma juga kalo papa gue nggak setuju, Daf," jawab Aira mengingatkan, pandangannya ikut menatap
Jika saja bukan karena perjodohan yang dibuat papa tirinya itu, Aira juga enggan berbaik hati dengan Serin, kakak tirinya yang paling tidak suka dengan dirinya. Pula, jika bukan karena Serin menyukai Rehan dan akhirnya rencana pertama tercipta, Aira juga tidak sudi menginjakkan kaki di depan pintu kamar Serin malam ini."Kak!"Aira mengetuk pintu di depannya itu, sesaat setelah seseorang di dalam memanggilnya masuk, Aira melangkah setelah sejenak membuang napas panjang. Rautnya harus dia buat sehangat mungkin. Dia akhirnya masuk, melihat Serin menyambutnya dengan raut penuh kejut."What? Lo bilang apa? Coba ulangi, deh. Kuping gue radha konslet." Serin melebarkan telinganya, setidaknya meski kesal, Aira dengan sabar kembali mengulangi panggilannya tadi."Kak."Serin mengerjap, ternyata dia tidak salah mendengar. "Lo kerasukan apa, ha?""Gue mau ngomong sesuatu sama lo, Kak. Please, kali ini gue serius," jawab Aira, tanpa izin duduk di
Kini, dengan pagi yang cukup redup sebab awan hitam tampak menghiasi langit, di kelas, Aira dan Daffa membahas soal tadi malam. Mengenai rencana pertama mereka untuk membujuk dan mengajak Serin bekerja sama membatalkan perjodohan Aira dengan Rehan."Gimana, lo udah coba?" tanya Daffa, dia duduk di depan bangku Aira."Lumayanlah, Daf. Seenggaknya dia udah tau rencana yang gue maksud kayak gimana," jawab Aira, mengatakan yang sebenarnya."Dia setuju?"Aira membuang napas untuk kali ini, kemarin Serin memang belum mengatakan 'setuju' terhadapnya. "Gue belum tau kalo itu.""Terus? Kemarin lo dapet jawaban apa dari dia? Lo nggak harus ngemis-ngemis, kan? Lo nggak—"Aira tersenyum dan cepat-cepat memotong. "Nggak, kok, Daf. Gue cuma sedikit kasih kata-kata persuasif, sih. Tau, kan?""Dan?""Dan, dia bilang kalo ucapan gue ada benernya juga. Itu artinya ada tanda-tanda kalo dia setuju, kan?"Tepat sekali, Daffa mengulas s