Setelah melihat Daffa melajukan motornya, Aira melangkah masuk ke dalam rumsh. Begitu dia menarik gagang pintu, lalu menutupnya, Aira tersentak ketika mendapati Serin yang sudah berada di depannya dengan bersedekap dada.
"Sok alim banget lo," sindir Serin melirik Aira dengan tatapan sinis.
"Lo yang Islam KTP, " jawab Aira santai. Lagi pula selama ini dia memang belum pernah melihat Serin melaksanakan sholat di rumahnya.
Sementara Serin justru tertawa geli. "Ngomongin agama kayak lo udah nggak punya dosa aja, jangan ngelawak, Ra."
"Dari pada lo, udah tau dosa, nggak mau tobat. Sholat aja nggak." Aira balas tertawa, kenyataannya memang begitu benar adanya.
"Urus aja hidup lo, nggak usah bawa-bawa sholat di depan gue," geram Serin tersulit emosi. Padahal niatnya tadi menghadang Aria karena ingin mengadukan gadis ke sang papa karena pulang cukup malam.
"Gue tau lo emang pinter, tapi seenggaknya jangan sampe lo lupain agama. Gue cuma ngasih tau aja, sih. Mau lo lakuin atau nggak, terserah lo," balas Aira menasihati Serin Jika gadis itu selama ini salah.
Serin memang pandai, tetapi hal itu menjadi buruk karena Serin tidak pernah berdoa dan beribadah kepada Tuhan. Aira malas menegur dan mengajaknya lagi karena gadis itu justru mengadukan kejelekan tentang dirinya kepada sang papa. Lalu, Serin juga pernah memfitnah dirinya kala itu.
"Ngaku aja lo lakuin cuma mau dapetin perhatian dari mama. Jangan ngarep, karena mama nggak ada di rumah."
Sekarang, Aira enggan menegur lagi. Percuma saja pikirnya. Bahkan ketika balasan Serin barusan terrdengar, Aira tersenyum geli karena gadis itu masih sama. Selalu saja mengatakan yang tidak fakta tentang dirinya. Juga, masih sama enggan untuk belajar agama dan menganggap Tuhan adalah segalanya.
"Dih, gue nggak riya'. Gue tiap hari juga sholat jamaah ke mesjid tanpa sepengetahuan mama papa kali, makanya jangan sok tau." Langkah Aira yang hendak kembali berjalan spontan urung karena Serin masih saja berceloteh tidak jelas.
"Halah, alesan aja lo," sahut Serin disusul dengan decihan mengejek.
"Terserah, gue males debat sama lo. Mending lo pergi wudhu terus sholat, dah, dari pada joget-joget nggak jelas di depan HP," jawab Aira memeringati.
Memiliki kakak tiri seperti Serin hanya akan membuat dirinya sesat jika saja Aira mau mengakui status gadis itu di rumah ini. Yaitu sebagai anak dari sang papa. Suami sang mama. Pasangan keluarga harmonis yang tidak pernah memuji kelebihan Aira.
"Nggak ada hak lo ngatur gue. Suka-suka gue mau ngapain, bukan urusan lo." Serin menggeram lalu mendengkus keras. Jemarinya tampak mengepal di sisi roknya.
"Sak karepmu, yang penting gue udah ngingetin kalo semua orang bakal mati."
Yah, Aira tidak lagi menanggapi meski Serin berteriak lagi. Setidaknya, jika benci pun, Aira tidak masalah jika harus mengingatkan Serin tentang agama. Walau respon kasar yang diterima, Aira tetap berusaha menyadarkan kakak tirinya.
***
"Pa, Serin boleh minta mobil nggak? Kemarin kan, Serin udah dapet juara satu olimpiade. Boleh kan, Pa?"
Serin mendatangi sang papa yang tengah duduk di ruang tamu. Dengan kepala yang sedikit menunduk, Serin mengambil duduk di samping papanya dengan raut memohon dan senyum malu-malu. Mungkin, jika Aira melihatnya, dia akan muntah karena akting gadis itu benar-benar sudah berkualitas.
"Boleh, dong. Apapun yang kamu minta, pasti bakal papa kasih. Lagi pula, tidak ada alasan lain yang buat papa nolak permintaan kamu." Andi tersenyum, mengusap pucuk kepala Serin dengan sayang. Tidak ada satu pun raut ragu untuk mengabulkan permintaan sang putri.
Yang semula menunduk malu, mendengar jawaban itu membuat Serin mendongak dengan mata berbinar senang. "Wah, papa emang the best, deh. Makasih banyak, Pa. Serin janji, bulan depan di Olimpiade Fisika bakal dapetin juara satu dan bawa pulang piala emas lagi buat papa sama mama."
"Anak kesayangan papa, pasti bakal bisa dapetin juara satu lagi. Papa percaya sama kamu, Serin," puji Andi lalu membawa Serin ke dalam pelukannya. Mengusap punggung gadis itu dengan penuh kasih.
"Assalamualaikum? Permisi? Eh, Aira ganggu, ya? Kalo gitu—"
Ketika baru membuka pintu rumah, Aira sedikit tersentak mendapati pemandangan itu. Alhasil dia terpaksa tersenyum canggung dan hendak cepat-cepat pergi. Namun belum sempat melangkah sang papa memanggilnya.
"Tunggu Aira, papa mau bicara sama kamu. Serin, kamu ke kamar dan belajar lagi, jangan lupa kalo laper bisa panggil bibi buat anterin makanan."
"Siap, Pa!" Serin berucap semangat. Tampak pula dia melirik Aira dengan sinis sebelum berlalu pergi.
"Cuih," decih Aira kesal. Lalu tersentak saat tiba-tiba sang papa memanggilnya sekali lagi.
"Aira!" Andi yang sempat berdiri lantas mendudukkan dirinya kembali. Aira ikut melakukan hal yang sama.
"Iya, Pa? Papa mau bicara apa sama Aira?" tanya Aira yang sudah siap mendengar pertanyaan sang papa.
"Dari mana saja kamu?"
Kening Aira sempat mengerut. "Tadi? Dari masjid, Pa. Emang papa nggak liat ini Aira pake mukena?"
"Kenapa harus ke masjid? Papa mau kamu beribadah di rumah, Aira," balas Andi tidak suka.
Aira yang tidak menduga, seketika menegakkan tubuhnya dengan alis menaut tidak terima. "Kok, papa ngomong gitu? Emang kenapa Aira sholat jamaah di masjid? Harusnya papa bangga, dong, punya anak yang masih inget sama agama."
"Papa nggak mau kamu bertemu dengan laki-laki di sana. Papa pusing kalo kamu berbuat ulah lagi, tetangga akan mengira papa tidak bisa mendidik kamu dengan benar."
Andi mengusap wajahnya kasar sebelum memijat pelipisnya yang terasa pening. Dia tahu semua perbuatan Aira di luar rumah, bahkan tanpa dia cari tahu pun, sang tetangga banyak yang sudah mengadu terhadapnya.
"Aira nggak nyangka papa punya pikiran sejauh itu, emang papa pernah liat Aira jalan berdua sama cowok? Papa kenapa tiba-tiba gini, sih?" Aira menggeleng tidak percaya, perkataan sang papa yang seolah menyepelekan ibadah membuat Aira benar-benar kesal.
"Setiap hari saya melihat kamu bersama cowok, orang yang sama dengan kamu beberapa hari yang lalu di pasar malam. Papa mau kamu jahuin dia." Jemari pria itu tampak mengepal di sisi celana. Entah kenapa, dia sangat tidak suka dengan lelaki yang setiap hari bersama Aira.
Embusan napas panjang terdengar, Aira berusaha untuk tetap bersikap sopan. "Pa, dia sahabat kecil Aira. Almarhum papa juga nggak ngelarang Aira sahabatan sama dia, justru dia cowok yang selama ini ngelindungi Aira, Pa. Kita udah kenal sejak bayi. Papa nggak bisa semudah itu pisahin kita."
"Mau itu sahabat atau teman kamu, papa tetep mau kamu jauhin dia. Papa tidak memisahkan hubungan kalian, papa hanya mau kamu membatasi jarak untuk bertemu dengan cowok itu, Aira," jawab Andi disusul dengan dengkusan keras. Dia tidak mengerti apa yang bisa dibanggakan dari cowok yang Aira maksud itu.
"Cuma dia yang selama ini jadi sandaran dan penyemangat buat Aira, cuma dia yang bisa bikin Aira bertahan sejauh ini. Aira nggak mau kalo jaga jarak dengan dia, Pa. Lagi pula dia bukan cowok berengsek seperti yang papa pikirkan."
Aira menatap sang papa dengan sabar, juga tanpa sadar matanya mulai berkaca-kaca, Meksi demikian dia enggan mengeluarkan. Aira memilih menatap ke langit-langit atap rumahnya guna menahan air matanya agar tidak luruh di depan sang papa.
"Sudah banyak perintah dari papa yang tidak kamu jalani, lalu dengan apa lagi kamu buat papa bangga? Semua anggota keluarga ini harus punya prestasi, Aira. Kalo kamu sering bertemu dengan laki-laki itu, sekolah kamu bisa tidak fokus. Dan papa nggak mau itu terjadi, papa mau kamu fokus belajar dan dapetin prestasi, Aira."
Nasehat sang papa cukup panjang, tapi Aira tidak menyetujuinya. Dia menggeleng pelan setelahnya. "Maaf, Pa. Aira bisa buat papa bangga dengan cara Aira sendiri. Keluarga ini bukan cuma butuh manusia yang pintar dengan dunia, tapi juga agama, Pa. Dan rumah ini kekurangan orang yang tau tentang agama, Aira bisa buat keluarga ini dikenal baik dengan cara lain. Dan papa, jangan halangi Aira."
Ruangan bernuansa putih itu hanya diisi oleh keheningan. Di dalam tampak sepi. Hanya suara denting jarum jam yang berputar tanpa henti. Serta merta AC yang menyala memberikan kesejukan di sekelilingnya, alih-alih, menambah suasana mencekam tengah terjadi di sana.Ada Aira menggeleng lemah, hatinya kembali sakit mengingat masa-masa kemarin. "Belum. Dari kemarin gue ke sini, sampai tadi pagi, dia belum siuman."Serin mengangguk, kemudian membuang napas sembari menyentuh sebelah pundak Aira. Berusaha menenangkan suasana hati gadis itu. "Lo tenang aja, dia pasti bakal sadar. Lo tau, kan, dia bukan cowok lemah. Gue yakin, dia pasti juga kangen liat wajah lo.""Ah, lo malah bikin gue tambah sesek, Kak." Aira mendengkus dengan senyum, meskipun matanya sempat berkaca-kaca.
Degup jantung Aira berdetak lebih kencang dari biasanya, langkah kakinya berlari cepat setelah membuka pintu rumah sakit. Tangis mengharu, bibir Aira terisak bahkan saat baru saja sampai—di depan pintu berwarna coklat itu. Kepalanya menunduk, tubuhnya ikut meluruh di depan pintu."Kenapa harus lo, sih, Daf? Kenapa harus hari ini? Bukannya lo udah bilang mau ngelamar gue, Daf?" yang beda."Isak tangis Aira semakin pecah, air mata tidak enggan berhenti. Sesak semakin pula menekan dadanya. Aria tidak menyangka. Semuanya terjadi begitu saja—seolah takdirnya sekejam itu untuk bisa menerima semuanya. Aira tidak pernah mengakui dirinya lemah, tapi tidak untuk dari balik kaca dengan tatapan khawatir. Sekaligus merasa bersalah. Padahal nyatanya, dia cukup kesal."Ah, sial. Kenapa dia bikin gue kesel, sih? Harusnya dia bilang ke gue kalo mau jemput!"Aira berdecak, mendengkus, meski dengan Aira mata yang masih meluruh. Aira memutuskan untuk duduk di kursi penunggu dan berdoa untuk keselamatan Da
Pagi ini menjadi pagi yang paling Aira tunggu. Seperti janji Daffa kemarin yang mengatakan ingin ke rumah untuk melamarnya. Sungguh, Aira berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal itu, tetapi tetap saja kemarin malam dia tidak bisa tidur. Bayang-bayang wajah Daffa yang tersenyum memenuhi isi kepalanya—bahkan sampai pagi ini.Aira reflek menepuk kepalanya sendiri. "Udah gila lo, Ra. Bener-bener gila."Seragam hari ini sesuai jadwal sudah dia kenakan dan sempurna melekat di tubuhnya. Aira sesaat menatap pantulan dirinya di cermin sebelum mengulas senyum dan memutuskan untuk segera keluar dari kamar. Menuruni anak tangga dengan raut sumringah. Sangat kentara jika Aira sudah tidak sabar menantikan malam nanti."Duh, padahal masih nanti malem, kok, gue sekarang udah deg-degan, ya?" batin Aira sembari memegang dadanya yang sudah memanas. Degup jantungnya berdetak kencang.Aira menggeleng, tersenyum geli. "Otak gue nggak bener, nih."Akhirnya karena tidak mau terlambat sekolah, Aira langsun
"Daf," panggil Aira dengan nada pelan dan malas. Seolah tak bertenaga padahal di depannya sudah ada beberapa makanan serta minuman penghilang dahaga."Heum? Kenapa? Lo laper?" balas Daffa ngawur. Padahal sudah jelas-jelas Aira selesai makan. Dan di atas meja sudah tersaji beberapa camilan untuk gadis itu dan dirinya sendiri.Aira berdecak, menghela napas panjang. "Gue butuh semangat buat balikin mood. Gue makin stres karena Serin nggak pulang dari kemarin."Pergerakan jemari Daffa yang semula mengetik sesuatu di ponsel, spontan terhenti kala mendengar berita itu. "Why? Kok bisa? Gimana ceritanya?"Aira mengangkat bahu. Jika dia tahu, mungkin dia tidak akan bertanya. "Gue juga nggak tau ada apa di rumah selama gue sekolah. Dia kemarin emang nitip surat ke gue karena dia nggak masuk sakit. Eh, pas gue pulang dia malah kabur."Daffa meletakkan ponselnya. Punggungnya dia tegakkan dan menghadap Aira. Kepalanya menggeleng. "Nggak, pasti ini ada yang aneh. Buat apa dia kabur pas sakit dan buk
Aira sedang berjalan-jalan menuju belakang sekolah, niatnya hanya ingin mencari udara segar sebab di kelas sudah sangat pengap. Lagi pula, hari ini guru-guru sedang rapat. Aira yang bosan dengan suasana halaman belakang lantas berjalan menaiki anak tangga menuju roof top.Sampai di sana, dia bisa menghela napas panjang. Udara sungguh sejuk disertai dengan semilir angin yang berembus dan menerpa wajah serta beberapa helai rambutnya. Bibir Aira tersenyum, setidaknya keadaan yang semula tenang sebelum sebuah cekalan di lengannya membuat Aira tersentak."Lo? Ngapain ke sini? Lepasin gue nggak?!" teriak Aira ketika melihat Rehan berdiri di depannya dengan tangan yang mencekal kuat pergelangan tangannya.Tatapannya tersorot tajam dan dingin. Rahangnya mengeras sebelum Rehan membentak Aira. "Nggak akan sebelum lo minta maaf ke gue!"Aira reflek tersentak, degup jantungnya ikut berdegup kencang. "Apa-apaan, sih! Gue nggak ada salah apapun sama lo! Jangan ngarep gue bakal minta maaf, Re!""Gue
Kerap kali masalah yang menimpa hidup selalu menjengkelkan. Setiap manusia, nyatanya memang punya masalah. Tetapi, banyak dari mereka yang menghindar dari masalah itu. Padahal, semakin lama dibiarkan, masalah justru semakin banyak dan tentunya—jauh lebih menjengkelkan.Aira sangat berharap masalahnya segera berakhir, dia hanya ingin hidup tenang, tanpa beban, dan bebas dari segala ancaman. Namun, lagi-lagi semesta seolah tidak membiarkan. Masalah satu baru saja selesai, tapi masalah yang lain justru menghampiri. Sungguh, Aira selalu mempunya keinginan untuk menyerah."Daf, gue capek. Gue pengen nyerah. Boleh nggak, sih?"Pertanyaan langka yang baru pertama kali Daffa dengar dari mulut Aira setelah beberapa tahun bersahabat. Aira yang selalu tampak kuat dan semangat, kini tampak lesu dan tidak berdaya. Datang dari dapur, sudah mendapat ekspresi serta keluhan demikian. Lantas, karena tidak setuju, kepala Daffa menggeleng."Nggak, lo nggak bisa lakuin itu. Kenapa, sih? Lo jangan gampang n