“Me-Meninggal? Jadi Annaya sudah meninggal?”
“Sudah, dua hari yang lalu. Bunda sakit kanker lambung.”
“Innalillahi wainnailaihi rojiuun ... Ya Allah ...”
Dirga mengusap wajahnya sendiri dengan tangan dan tercenung cukup lama. Terbayang wajah cantik Annaya di benaknya. Gadis cerdas yang cantik dan baik itu seolah hidup kembali di dalam kepala Dirga. Mau tidak mau rasa sedih menyelinap di hati Dirga sampai ia terdiam dan tak sadar kalau Dinaya ada di depannya.
“Nah, itu Om tau Bundaku namanya Annaya. Tadi aku juga sudah kasih tau nama lengkapku. Aku dikasih nama Dinaya Aga Nisrina. Kata Bunda, Dinaya itu perpaduan Dirga dan Annaya. Kalau Aga juga sama, singkatan dari Annaya dan Dirga. Jadi benar Om ini ayah kandungku kan?”
Mendengar penjelasan sekaligus pertanyaan itu, Dirga bagai tersambar petir. Cerdas juga anak ini. Rasa sedih yang tadinya muncul di benak Dirga karena kepergian Annaya, seketika berubah jadi panik.
“Sebentar, aku nggak bisa langsung mengiyakan kalau kamu anakku. Kamu anak Annaya, bukan berarti kamu anakku kan?” sangkal Dirga.
“Loh? Kok gitu? Memangnya aku anak siapa lagi? Bundaku nggak pernah menikah loh Om!” Dinaya tampak tersinggung mendengar kalimat Dirga.
“Iya, memang Bundamu tidak pernah menikah. Tapi bukan berarti aku ini pasti ayahmu loh.” Dirga bersikap defensif. Bukan tanpa alasan Dirga mati-matian menyangkal. Ia tak yakin kalau Dinaya ini memang anaknya. Oke, Dinaya memang mirip sekali dengan Annaya, ibunya. Tapi Dirga tak melihat kemiripan Dinaya dengan dirinya. Itu sebabnya Dirga berpikir cepat. Anak Annaya belum tentu anakku kan?
“Maksud Om apa? Om pikir bundaku sembarangan bobo cantik dengan laki-laki manapun gitu? Om pikir bundaku semacam reksadana yang bisa menerima investasi dari siapa saja?” bentak Dinaya.
Dirga yang tadinya siap adu argumen mendadak menahan tawa. Ada ada saja istilah gadis cerdas ini. Malah menganalogikan rahim ibunya sebagai reksadana dan benih lelaki sebagai investasi.
“Maksudku bukan begitu. Tapi kan bisa saja tanpa sepengetahuanmu, bundamu menjalin hubungan dengan seseorang tanpa menikah, lalu kamu dititipkan ke perut ibumu, dan kamu lahir. Bisa begitu loh.” Dirga menjelaskan dengan hati hati. Ia benar-benar tak yakin kalau Dinaya anaknya.
Oke, Dirga memang pernah khilaf berbuat itu dengan Annaya satu kali ketika dia masih SMA dan Annaya sudah hampir lulus kuliah. Annaya memang usianya lima tahun di atas Dirga. Saat itu mereka tergoda bisikan setan dan melakukan hal itu sekali. Hanya sekali. Benar benar sekali saja. Apa mungkin hanya dalam sekali percobaan bisa menjadikan seorang Dinaya lahir ke dunia?
“MAKSUD OM APA?” Tiba tiba saja Dinaya berdiri dari sofa dan berteriak sambil menatap Dirga tajam. Wajah gadis itu merah padam.
“JADI OM NGGAK NGERASA MENGHAMILI BUNDA DAN MALAH NUDUH BUNDA HAMIL DI LUAR NIKAH SAMA LAKI LAKI LAIN GITU??”
“Ssst ... Ssstt ... Pelankan suaramu!” Dirga seketika terlonjak dan langsung menenangkan Dinaya. Dia buru buru melihat ke luar, memeriksa kalau kalau ada tetangganya lewat dan mencuri dengar pembicaraan mereka berdua karena suara Dinaya tadi keras sekali. Bisa gawat kalau ada yang lewat. Apalagi kalau yang dengar Bu Siswoyo, emak emak yang menduduki kasta tertinggi di dunia perghibahan di perumahan ini. Apalagi kalau dia berkolaborasi dengan Teh Lilis, pemilik warung yang biasa dijadikan base camp emak emak berghibah. Bisa bisa dalam setengah menit Dirga sudah jadi topik utama pembicaraan para emak emak di sini. Padahal citranya sebagai dokter religius yang tampan dan sopan sudah tersohor ke seantero kompleks.
“Tenang dulu Dinaya. Kan kita mau bicara baik baik, jangan teriak teriak. Minum dulu, minum dulu ya,” bujuk Dirga sambil menggeser botol air mineral agar semakin dekat ke jangkauan tangan Dinaya.
“Aku udah bicara baik baik. Tapi omongan Om yang nggak baik baik. Masa Om bilang bundaku hamil tanpa menikah dengan laki laki lain!”
“Eh, bukan. Aku nggak bilang gitu kok. Maksudnya gini, kan belum tentu aku ayahmu. Apalagi terakhir kali kami ketemu, perut bundamu masih rata, nggak ada tanda tanda kehamilan.”
“Bunda bilang ayahku itu bernama Dirgantara Pradikta, seorang dokter forensik yang kerja di rumah sakit kepolisian di Jakarta. Bunda ngasih data pribadi semua tentang Om. Ciri fisik, nama keluarga, asal sekolah, sampai kebiasaan kecil dan makanan yang Om suka dan Om nggak suka. Sedetail itu. Bunda juga ngasih handphone lamanya ke aku. Ada banyak SMS gombal Om ke Bunda. Aku baca semua, nih.” Dinaya mengeluarkan sebuah ponsel merk Nokia dari tasnya, membuat wajah Dirga merah padam. Dia sudah sangat terpojok dan tak bisa menyangkal.
“Oke, tapi aku dan bundamu nggak ada hubungan apa apa, bahkan pacaran pun nggak. Dan kami berdua hanya ... mmm ... sekali melakukan itu. Aduh gimana bilangnya ya? Kamu tau kan proses reproduksi?” tanya Dirga canggung. Dinaya mengangguk dengan santai.
“Aku sudah kelas 11, Om. Sudah kelas 2 SMA. Aku belajar biologi tentang proses reproduksi itu sejak SMP. Bahkan waktu SD, sebelum mengenal biologi, Bunda sudah ngajarin aku sex education. Kata Bunda biar aku tau tentang seks, jadinya ketika dewasa nggak berakhir kayak dia yang hamil tanpa suami.” Dinaya menjawab tanpa basa basi. Dirga semakin salah tingkah dibuatnya.
“Oke, jadi kamu tau kan gimana proses reproduksi? Nah sel sperm itu untuk membuahi sel telur bukan perkara mudah kan Dinaya? Rasanya aku masih kurang yakin kalau kamu terbentuk hanya dalam sekali percobaan. Benar benar sekali. Dan durasinya ... Oh, oke kita nggak usah bahas durasi. Pokoknya begitu lah.”
“Aduh Om ribet! Ini aja deh, Om kan dokter forensik? Mau patologi forensik ataupun forensik klinik kan tetap aja pasti sering berhubungan dengan DNA. Ya udah, kita tes DNA aja. Aku nggak mau adu argumen lagi sama Om. Ayo kita tes DNA!” tantang Dinaya ketus dengan raut wajah kesal.
Seketika titik titik keringat dingin sebesar biji jagung mulai muncul di dahi Dirga. Jujur, Dirga tak siap ditantang seperti ini. Bagaimana kalau tes DNA menunjukkan hasil akurat bahwa Dinaya memang benar anaknya?
Apa aku siap jadi bapak? Gimana dengan Cindy? Apa dia siap menikah dengan bapak satu anak? Aaaahh!!
“Ya ampuuun! Kok bisa gini sih! Ini kantong mata apa kantong kresek? Gede banget!” Dinaya terkejut melihat wajahnya di cermin. Matanya terlihat merah, wajahnya kusam, dan lingkaran hitam di bawah matanya terlihat jelas.Ini semua gara gara Dinaya tak bisa tidur dua malam berturut turut. Semua karena satu nama : Lintang Lazuardi!Malam kemarin, Dinaya terjaga sepanjang malam karena serba salah bertemu dengan Lintang. Perpaduan bingung, takut, kesal, tapi penasaran membuat Dinaya sulit memejamkan matanya sampai dini hari. Dan semalam, lagi lagi Dinaya terjaga semalaman karena berita tak terduga dari Shelly. Membayangkan dia harus bekerja di kantor yang sama dengan Lintang membuat Dinaya gelisah dan gugup luar biasa. Akibatnya, pagi ini Dinaya bangun dengan mata merah, wajah kusam, dan kantong mata yang membuatnya terlihat seperti zombie.Akhirnya, Dinaya menyiasati penampilannya dengan concealer dan memulas make up agar wajahnya terlihat lebih fresh. Dinaya juga sengaja datang lebih pag
“Dia itu anak tirinya adik Mami.”“Hah? Gimana gimana?” tanya Aufa. Dia memang paling benci mengurai silsilah keluarga. Apalagi kalau sudah keluarga jauh yang rumit.“Jadi sebenarnya si Lala itu bukan sepupu langsung. Dia itu anak tirinya adik Mamiku. Jadi, Om Karel itu menikah dengan janda beranak satu. Anak janda itu ya si Lala. Salah satu bisnis Om Karel kan dealer mobil, nah si Tante ini dulu kerja jadi SPG di sana. Entah gimana, Om Karel malah nikahin dia. Hampir seluruh keluarga besar Mami nggak setuju. Bukan karena statusnya yang janda atau profesinya yang SPG, tapi karena kelakuannya ya ampuuun! Nggak banget! Belum apa apa udah keliatan banget matrenya. Oma yang paling nggak setuju. Masa dia ke acara keluarga bajunya kayak LC mau open BO? Nggak punya otak!” cibir Shelly.“Oooh, jadi bukan sepupu kandung. Cuma sepupu karena ikatan pernikahan aja. Syukurlah,” sahut Aufa sambil menghela nafas lega. Tak terbayang kalau Shelly ternyata benar benar sepupu kandung perempuan mengerikan
“Hei! Bangun pemalaaaass!”Dinaya masih meringkuk di balik selimutnya yang nyaman dan hangat saat suara melengking nyaring dan sama sekali tak merdu itu tiba tiba merusak suasana. Aufa mendadak muncul dan menarik selimut Dinaya sampai gadis itu mengerang kesal.“Aaaah! Aku masih ngantuk, Fa,” protes Dinaya. Semalam dia tak bisa tidur, dan sehabis sholat subuh, Dinaya memutuskan untuk tidur sebentar dan minta bangunkan Bi Asih jam 9 pagi. Tapi bukannya Bi Asih yang membangunkannya dengan lembut, malah Aufa yang datang dengan teriakan tarzannya.“Anak gadis kok bangunnya siang, ntar jodohnya Om Om loh!” seru Aufa sambil menyibak selimut Dinaya sampai gadis itu terjaga sepenuhnya dan memelototi Aufa.“Sebentar lagi tahun 2025, kamu masih aja percaya mitos nggak masuk akal itu. Nggak ada relevansinya antara kebiasaan bangun siang dengan jodoh, Aufa! Terus kalau aku bangunnya sore jodohnya kakek kakek gitu? Gimana kalau aku bangun jam 3 pagi? Apa jodohku bocah SMP?” bantah Dinaya mematahkan
Kalau ditanya kapan saat paling memalukan yang dialami Dinaya, dalam dua detik tanpa pikir panjang, dia pasti akan menjawab : tiga tahun yang lalu!Tiga tahun yang lalu, tepatnya tanggal 12 Desember adalah hari yang ingin sekali dihapus Dinaya dari ingatannya. Kalau bisa selama lamanya. Sayangnya itu mustahil. Manusia punya amygdala, dan fungsi bagian otak yang satu itu adalah mengingat dan menyimpan memory yang berkaitan dengan emosi dan itu tentu saja dalam dalam jangka waktu yang lama. Itu sebabnya Dinaya tak pernah bisa melupakan peristiwa memalukan itu walaupun setengah mati ia mengusirnya.Dan sekarang, manusia yang punya andil paling besar membentuk kejadian memalukan itu ada di hadapannya entah darimana datangnya. Baru beberapa menit Dinaya menginjak bumi setelah terbang 15 jam dari London – Singapore – Jakarta sejauh lebih dari 11.000 km, tiba tiba saja makhluk paling menyebalkan itu berdiri di depannya dengan senyum memuakkannya. Argh!“Baru landing dari pesawat?” tanya lelak
“Sayang? Udah tidur?” Dirga memanggil Reisha yang berbaring memunggunginya. Mata Dirga menatap langit langit kamar yang diterangi cahaya redup dari lampu tidur di sisi meja. Reisha yang belum tidur berbalik menghadap Dirga.“Baru mau tidur Mas. Kenapa? Mas nggak bisa tidur ya? Mas kepikiran sesuatu? Soal Naya ya?” tanya Reisha sambil berbalik menghadap Dirga. Ia kebetulan memang belum tidur.Dirga menghela nafas seolah menyimpan beban pikiran yang benar benar menghimpit dan membuat dadanya sesak. Tebakan Reisha benar, yang memenuhi beban pikiran Dirga memang Dinaya.“Rei, besok Naya pulang ke Jakarta, dan aku entah kenapa takut banget melepas dia,” ujar Dirga jujur.“Yang kamu takutkan apa, Mas?” tanya Reisha meskipun sedikit banyak ia sudah tau jawabannya.“Aku takut Naya ketemu lelaki yang salah. Di Jakarta dia sendirian, Rei. Nggak ada kita yang bisa jagain dan ngawasin dia. Apalagi kondisinya yang sering sakit setelah kecelakaan waktu itu. Tadi aja aku hampir ikut beli tiket ke Jak
Jangan jangan Papa tau sehari sebelum aku berangkat ke sini, aku menginap di apartemen Ghazi hanya ... berdua? Batin Dinaya panik.“Nay?” Dirga memanggil nama Dinaya karena putrinya itu tak merespon.“Eh i-iya, Pa,” jawab Dinaya gugup.“Kamu kenapa bengong?” tanya Dirga dengan tatapan curiga. Dinaya tau Dirga punya insting tajam. Dan biasanya apapun yang disembunyikan Dinaya, Dirga pasti tau.“Nggak kok Pa. Cuma aku udah ngantuk banget, Pa,” kilah Dinaya cepat. Tapi justru kebohongannya itu makin menambah kecurigaan Dirga.“Nay? Kamu nggak lagi nyembunyiin sesuatu sama Papa kan?” tanya Dirga membuat Dinaya mengerang dalam hati.Aahh! Kan? Detektor kebohongannya menyala? Pasti Papa langsung tau aku bohong. Keluh Dinaya dalam hati. Sekarang dia pasrah seandainya Dirga pada akhirnya tau apa yang dilakukannya malam itu.“Nggak, Pa. Nyembunyiin apaan sih?” Dinaya masih mencoba mengelak.“Kamu jangan bikin Papa makin khawatir, Nay. Papa tau kamu nyembunyiin sesuatu. Nay, kamu sekarang jauh d