Share

BAB 3: Waktu Kritis.

Sesudah keluar dari gang yang panjang dan berlika-liku, akhirnya aku dan Bu Widya selamat dari kejaran monster tersebut, yeah untung saja tadi aku menemukan sebuah gang sempit, kalau waktu itu aku tidak melihatnya sudah pasti bakal tamat riwayat kami dengan ending dijadikan santapan monster besar itu. Kami berhenti sejenak untuk menstabilkan nafasku. Aku yang sudah mulai hampir kehabisan tenaga karena menggendong Bu Widya pun celinguk ke kanan dan ke kiri dengan waspada untuk melihat situasi.

 "Ughh... semoga saja monster tersebut tidak mengejar kita," ucapku sembari memegangi dadaku yang ngos-ngos an. 

"Umm, Nak. Lebih baik kita bergegas dari sini ke tempat perlindungan. Firasatku tidak enak, takutnya monster tersebut berhasil menemukan kita," usul Bu Widya dengan raut wajah khawatir.

Aku yang mendengar hal tersebut pun setuju dengan usulan Bu Widya. "Baiklah, lebih baik kita cari bangunan untuk berlindung terlebih dahulu."

Tidak lama setelah kami berjalan, muncul sepucuk atap bangunan di atas pepohonan. "Hey Bu, lihat! Sepertinya di sana ada bangunan yang tidak terpakai." Aku menunjuk atap bangunan yang ada di depannya.

"Ayo kita ke sana untuk istirahat terlebih dahulu, Bu," lanjutku.

"Tapi, Nak. Apa kamu yakin di situ adalah tempat yang aman?" tanya Bu Widya dengan ragu ragu.

"Aman atau tidak, sebenarnya saya kurang tau. Tapi, kalau kita disini terus yang ada monster tersebut akan menemukan kita cepat atau lambat," balasku dengan percaya diri. Yeah, sebenarnya ini lebih baik daripada harus mencari bangunan kesana kemari. Lagian jarang jarang nemu bangunan di tempat mirip hutan kayak gini. 

 "Hmm, baiklah. Kamu yang pimpin jalannya," ucap Bu Widya tersenyum sambil menepuk punggungku. ‘Ugh kenapa ibu itu mempunyai kebiasaan yang aneh sih, bikin salah paham saja,’ ujarku dalam hati. 

Sesaat kemudian kami sampai ke tempat yang ditunjuk oleh Bu Widya. Tempat itu masih bagus dan layak dipakai, mirip hotel. Luar bangunannya banyak kerusakan dan retakan tanah dimana-mana ditambah lagi banyaknya serpihan kaca di depan bangunan tersebut. Aku curiga itu pasti disebabkan oleh ledakan barusan. Melihat di sepanjang jalan banyak bangunan yang sudah menjadi puing-puing.

"Hati-hati Nak, ada banyak sekali pecahan kaca disini," Bu Widya terkejut melihat banyaknya pecahan kaca dimana-mana.

"Tenang saja Bu, saya pakai sepatu kok. Jadi tidak akan terinjak," sahutku sembari melangkahkan kaki ke dalam bangunan tersebut dengan penuh hati-hati.

"Benarkah? Tapi keliatannya yang kamu kenakan itu bukan sepatu," celetuk Bu Widya sambil menatapku dengan penuh selidik. Aku yang merasa ditatap pun hanya tersenyum canggung sembari meneruskan jalannya. 

[Di dalam bangunan]

"Uhh… berantakan sekali disini," keluhku sambil berjingkat-jingkat setelah aku melangkahkan kaki ke dalam bangunan yang mirip hotel tersebut. Aku melihat sekeliling untuk mencari tempat yang cocok untuk beristirahat.

“Hey, Nak! Kamu mau kemana?" Bu Widya menatap bingung ke arahku, memang apalagi? tentu saja mencari tempat yang nyaman untuk beristirahat sebentar. Apakah ibu itu tidak lelah? Hebat juga di usia yang kupikir sudah menyentuh kepala 4−bukannya aku meremehkannya ya, tapi jarang banget ada orang tua yang mampu lari secepat itu dari kejaran monster dan itu selamat pula. 

"Ke depan sebentar, Bu. Mau membersihkan tempat supaya kita bisa beristirahat," balasku sembari menyingkirkan beberapa kayu dan sampah-sampah yang berserakan. 

Setelah tempat itu bersih, Aku menurunkan Bu Widya di belakang tiang bangunan. Yah, walaupun ada sedikit retakan di bagian tengahnya tapi itu cukup untuk mereka beristirahat selama sepuluh menit. 

"Huft, akhirnya kita bisa beristirahat juga, Bu." Aku mengelap keringatku yang mengucur deras seperti orang yang habis mandi. Hah, sudah berapa lama aku tidak berkeringat seperti ini. 

"Ini tidak masuk akal!" Aku menatap Bu Widya dengan penuh tanda tanya.

"Kalau saja tidak ada monster itu, sudah pasti kita akan sampai di tempat perlindungan sejak tadi. Lagian, apakah ini masuk akal, Nak? Kenapa bisa di dunia ini ada monster dan makhluk aneh lainnya? Dan apa pula gempa yang tadi itu? Bukannya ini semua tidak masuk akal?" lanjut Bu Widya dengan nada ketus dan juga kebingungan.

"Saya juga sama herannya, Bu. Apakah ini benar benar dunia nyata? Atau ini hanya sekedar mimpi buruk, saya juga tidak tau. Tapi daripada memikirkan hal yang mustahil untuk dijawab saat ini, lebih baik kita pulihkan tenaga kita dan segera pikirkan langkah selanjutnya." Aku menyeletuk sembari meluruskan kakiku yang sudah pegal sedari tadi. 

"Huh, kamu ini ditanya malah kayak begitu." 

"Maaf?" 

"Apa? Dari tadi saya tanya kamu cuman bisa mengelak saja, setidaknya coba kamu kasih penjelasan yang masuk akal walaupun hanya sedikit." Bu widya menyentak, memalingkan muka dariku.

Mendengar hal tersebut, Aku hanya bisa diam tertunduk. Bingung dengan situasi saat ini. Entah bagaimana nasib ibuku saat ini ditambah lagi situasi yang tidak masuk akal yang baru saja terjadi hari ini, yang membuatku hari ini ingin menangis dan menumpahkan seluruh hatinya di pelukan ibuku. Yeah, aku sendiri pun tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Bu Widya. Melihat Bu Widya yang kesakitan mungkin satu-satunya pelampiasan hanya itu, marah karena alasan sepele yang bahkan aku sendiri pun tau kalau kita berdua sama bingungnya dengan situasi saat ini.

......

Tak lama setelah aku dan Bu Widya beristirahat, terdengar suara raungan yang amat keras dari kejauhan.

"Sial! Monster-nya ternyata tidak cuma satu. Ayo, Bu! Mari bergegas pergi dari sini sebelum para monster menemukan kita!" seruku dengan panik. Namun sialnya saat aku hendak berdiri terlihat di depanku ada seekor monster yang muncul entah darimana asalnya. ‘Duh, kenapa harus sekarang sih?’ pikirku panik. 

"Ada ap−" dengan reflek aku langsung membekap mulut si ibu sembari mengisyaratkan untuk diam, bisa gawat kalau kami sampai ketahuan.

"Sstt ... jangan berisik, tetap diam. Ada monster di depan kita," bisikku dengan raut wajah cemas. Untungnya saja monster tersebut tidak bisa melihat kami. Tubuh monster itu kurus dan tingginya sekitar 5 meter dan parahnya lagi dia mempunyai tiga tangan dan dua kaki. Aku curiga kalau itu monster itu merupakan tipe monster dengan kecepatan yang mengikuti arah suara.

Sial, kalau disini terus kita tidak akan bisa bertahan lama. ‘Bagaimana ini? Ayolah berpikir... Sial kurasa tidak ada pilihan lain, di situasi ini mau tak mau aku yang harus menjadi umpan. Uh, apakah ini akhir dari hidupku?’ pikirku dalam perenunganku. Melihat Bu Widya yang sedang menahan kesakitan aku jadi merasa iba, teringat akan ibuku yang selalu memasang wajah tegar di situasi yang sulit. Dan pada akhirnya aku membulatkan tekad untuk melakukan tindakan yang nekat, yang bahkan untuk seumur hidupku tidak akan terulang lagi. Yah, lelaki memang harus berkorban, kan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status