 LOGIN
LOGINBAB, 07.
🌻 Siang itu, matahari seperti tak mengenal ampun. Udara panas menekan kulit, membuat napas terasa berat. Namun Athar tidak peduli. Sudah hampir dua jam ia berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, mencari seseorang yang bahkan jejaknya pun seolah menghilang begitu saja-Melody. Ia baru saja turun dari mobil di depan sebuah rumah bercat abu-abu. Di teras, seorang perempuan muda- teman kuliah Melody menatapnya ragu. " Maaf, kak Athar...aku benar-benar nggak tahu Melody ke mana. Terakhir kali kami ngobrol itu, seminggu sebelum hari pernikahan kalian," ujar perempuan itu pelan, menunduk. Athar menarik napas panjang, menatap tanah beberapa detik sebelum akhirnya berkata lirih, " Dia gak pernah cerita apa pun? Tentang masalah, atau... sesuatu yang membuatnya pergi begitu saja?" Perempuan itu menggeleng. " Tidak. Justru dia kelihatan bahagia waktu itu. Kami bahkan sempat bercanda soal gaun nikahnya." Jawaban itu justru menambah berat di dada Athar. Ia mengucapkan terima kasih singkat, lalu melangkah kembali ke mobil. Begitu pintu tertutup, ia bersandar lemah di kursi, menatap kosong ke depan. " Tuan muda, kita lanjut kemana?" tanya sopir pribadinya hati-hati. Athar terdiam sejenak. " Kerumah Dina. Dia juga teman Melody 'kan? Coba kita kesana." Mobil kembali melaju, melewati jalanan kota yang panas berdebu. Disetiap pemberhentian, jawaban yang ia dapat selalu sama- tidak tahu, tidak mendengar, tidak melihat. Sorenya mulai menua ketika ponselnya berdering. " Bagaimana? Ada kabar?" suara Athar terdengar cemas. Di seberang, salah satu orang kepercayaannya menjawab, " belum tuan muda. Kami sudah tanya ke semua teman lamanya. Ada yang bilang non Melody sempat menjual beberapa barang pribadinya beberapa hari sebelum pernikahan, tapi setelah itu...non Melody hilang begitu saja." Athar terdiam lama. Matanya memejam, rahangnya mengeras menahan emosi. " Terus cari. Jangan berhenti sampai kalian tahu dia di mana." Sambungan terputus, dan hanya suara mesin mobil yang terdengar mengisi keheningan. Di balik kaca, bayangan dirinya tampak redup- seorang pria kehilangan arah, bukan karena kehilangan harta atau nama, tapi karena kehilangan alasan dari sebuah kepergian yang tak sempat dijelaskan. 🌻 Sore itu, pukul lima tepat, aroma tumis bawang mulai memenuhi udara dapur rumah besar itu. Aylin, dengan celemek putih yang sudah sedikit kotor, tampak sibuk memotong bawang dan mengaduk tumisan kangkung belacan di atas wajan panas. Sesekali ia mengusap keringat di pelipisnya, sambil memeriksa ikan kembung goreng yang baru saja ia angkat. " Bi, kira-kira tuan muda sama ayah mertua pulangnya jam berapa, ya?" tanya Aylin sembari menata piring-piring di meja makan. Bi Jumina, yang sedang mengelap meja, menoleh dan tersenyum. " Kok, manggilnya tuan muda sih? non Aylin kan istrinya tuan muda. Panggil saja Mas, atau suami gitu..." Aylin gagu, " ah...aku... rasanya belum terbiasa kalau harus manggil dia dengan panggilan Mas." Bi Jumina mengerti, pernikahan mereka bak jebakan batman yang nyatanya mereka sama-sama tidak saling mengenal satu sama lain. " Biasanya tuan muda pulang sekitar jam enam sore. Tapi kalau tuan Ardian, beliau agak malam. Soalnya ya...begitu, sepulang kerja beliau pasti menyempatkan diri untuk pergi ke makam istrinya." Aylin kagum dengan kesetiaan ayah mertuanya terhadap almarhumah istrinya. " Senang ya, di cintai begitu setia oleh pasangan sendiri." " Tuan muda pasti seperti itu, Non. Non Aylin harus sabar menghadapi tuan muda. Pasti suatu saat, tuan muda akan mengerti dengan takdir yang sudah di gariskan." Aylin tahu, dirinya bukanlah siapa-siapa di rumah ini. Bahkan pernikahan itu terjadi begitu saja. Akan tetapi bagi Aylin, sekecil apapun kebaikan yang bisa ia lakukan, setidaknya itu bentuk rasa terima kasihnya. Keluarga ini telah menolongnya dari garis kemiskinan, karena pernikahan ini ia bisa memberikan rumah nyaman untuk berteduh bagi adik dan ibunya. Bahkan, ia pun sekarang tidak lagi khawatir jika ibunya akan berobat. Uang dengan nilai sepuluh miliar itu amat sangat banyak bagi dirinya. Waktu berjalan cepat. Jarum jam sudah menunjuk ke angka enam lewat sedikit ketika suara mobil terdengar di halaman depan. Aylin buru-buru melepas celemeknya dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Ia melangkahkan menuju ruang tamu, tepat saat Athar masuk dengan langkah berat. Wajah lelaki itu tampak letih, mata sayunya menyiratkan beban yang belum juga reda. Jasnya sudah ia lepas, dan tangan kirinya memijat pelipis seolah menahan pusing yang tak kunjung pergi. " Selamat datang, Mas Athar," sapa Aylin pelan mencoba ramah. " Aku sudah menyiapkan makan malam. Kalau mas mau makan malam dulu sebelum ayah...." Athar menatapnya sejenak, tatapan datar yang sulit terbaca. Suara napasnya berat sebelum akhirnya ia menjawab, dingin," Lo gak perlu repot-repot masak segala. Gue gak minta." Aylin diam, lalu menatap wajah suaminya. " Aku cuma mau berbuat baik, Mas. Lagi pula, Bi Jumina bilang Mas-" " Gak usah manggil gue dengan sebutan Mas segala. " Ucapnya tak suka, Athar menatap Aylin. " Aylin, barusan gue denger dari Pak Hasan. Kalau Lo baru aja beli rumah di kawasan tak jauh dari perumahan ini. Dapet uang dari mana Lo?" " Eh?" gumam Aylin gagu. " Ayah mertua..., dia mengirimkan uang janjinya..." " Apa Lo pikir dengan bersikap baik ke gue ini...Lo bisa dengan gampangnya masuk kedalam kehidupan gue?" Aylin menatapnya, bingung. " Maksud Mas?" Atahr tersenyum miring, getir. " Lo nikah sama gue karena uang sepuluh miliar itu 'kan? itu artinya karena UANG! Lo tahu kan sebutan yang pantas buat Lo apa? CEWEK MATRE!" Kata-kata itu menusuk, membuat dada Aylin terasa sesak. Ia ingin membantah, tapi apa yang di ucapkan Athar barusan adalah benar adanya. Kalau ia setuju menikah dengan Athar karena uang sepuluh miliar itu. Tapi... andai Athar tahu, sejak ia masuk SMa ia sudah memiliki rasa cinta terhadap Athar. Namun, Aylin menyembunyikan perasaannya itu sekian lama. Hingga pada akhirnya takdir kembali mempertemukan mereka kembali. Athar berjalan melewatinya, menatap meja makan yang tertata rapi dengan lauk-lauk sederhana. Ia menghela napas panjang, suaranya lebih rendah namun tetap tajam. " Semua orang punya alasan, Aylin. Gue juga tahu Lo punya alasan itu. Tapi jangan pura-pura peduli, apalagi bertingkah seperti istri yang baik. Jadi jangan pernah berharap lebih." 🌻 BERSAMBUNG...
BAB,08. 🌻 Malam itu ruang makan keluarga Ardian tampak lebih hangat dari biasanya. Lampu gantung kristal di langit-langit memantulkan cahaya lembut ke meja makan panjang yang tertata rapi. Di atasnya, tersaji makanan rumahan sederhana berupa sop ayam hangat, ikan gurame goreng, sambal terasi, dan sepiring tahu tempe goreng yang baru saja diangkat dari penggorengan. Pak Ardian yang biasanya pulang larut karena urusan kantor, malam itu sudah duduk di kursinya pukul tujuh. Wajahnya tampak lebih santai, meski tetap memancarkan wibawa seorang pemimpin. Di sisi kanan, Athar makan dalam diam, sementara Aylin duduk bersebrangan, tampak berhati-hati dalam setiap gerakannya. Awalnya hanya terdengar suara sendok dan garpu beradu di piring. Sampai akhirnya Pak Ardian menatap putra semata wayangnya dan berucap pelan, " ayah berpikir, mungkin sudah waktunya kamu punya sekretaris pribadi, Athar." Athar menghentikan gerakan tangannya, lalu menatap ayahnya dengan kening sedikit berkerut. "
BAB, 07. 🌻 Siang itu, matahari seperti tak mengenal ampun. Udara panas menekan kulit, membuat napas terasa berat. Namun Athar tidak peduli. Sudah hampir dua jam ia berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, mencari seseorang yang bahkan jejaknya pun seolah menghilang begitu saja-Melody. Ia baru saja turun dari mobil di depan sebuah rumah bercat abu-abu. Di teras, seorang perempuan muda- teman kuliah Melody menatapnya ragu. " Maaf, kak Athar...aku benar-benar nggak tahu Melody ke mana. Terakhir kali kami ngobrol itu, seminggu sebelum hari pernikahan kalian," ujar perempuan itu pelan, menunduk. Athar menarik napas panjang, menatap tanah beberapa detik sebelum akhirnya berkata lirih, " Dia gak pernah cerita apa pun? Tentang masalah, atau... sesuatu yang membuatnya pergi begitu saja?" Perempuan itu menggeleng. " Tidak. Justru dia kelihatan bahagia waktu itu. Kami bahkan sempat bercanda soal gaun nikahnya." Jawaban itu justru menambah berat di dada Athar. Ia mengucapkan te
BAB, 06. 🌻 Suasana siang di gang sempit kawasan kontrakan itu awalnya begitu biasa. Angin membawa aroma kuah seblak dari ujung jalan, suara-suara anak kecil yang bermain bola plastik bersahutan, dan di teras rumah Bu Reni, tiga ibu sedang duduk melingkar sambil menikmati seblak dan juga teh manis dingin juga membicarakan hal-hal tidak jauh dari urusan orang. Namun tiba-tiba, suara mesin mobil mewah terdengar mendekat. Warna hitam mengilap dari bodinya membuat kepala semua orang spontan menoleh. Mobil itu berhenti tepat di depan rumah kecil berdinding hijau pucat milik Bu Dasimah. " Lho, itu bukan mobil murah, Bu. " Gumam Bu Reni sambil melongok dari kursinya. " Iya-iya...mobil orang kaya itu, " timpal Bu Sumi, matanya membulat penasaran. " Eh, bukannya itu rumah Bu Dasimah? " " Iya. Tapi siapa yang mau datang ke rumah kecil begitu pake mobil bagus gitu, ya?" sahut Bu Rina yang paling muda diantara mereka, nada suaranya meninggi setengah berbisik. Mereka terdiam sejenak,
BAB, 05. 🌻 Pagi itu menyapa dengan lembut- langit Jakarta berwarna biru muda, dihiasi sinar mentari yang menetes hangat di sela jendela kaca rumah besar keluarga Ardian. Suara burung gereja terdengar samar, kalah oleh gemuruh kendaraan di kejauhan. Namun di dapur yang harum oleh aroma tumisan bawang dan nasi hangat, suasana terasa begitu damai. Aylin berdiri di depan kompor dengan apron lusuh yang dipinjam dari Bi Jumina. Tangannya cekatan mengaduk wajan, bibirnya menyenandungkan nada kecil yang hampir tenggelam oleh desir uap panas. Hari ini ia menyiapkan sarapan- bukan roti panggang dan susu hangat seperti biasanya, tapi nasi putih hangat, telur dadar keemasan, sambal goreng tempe, dan sup bening yang mengeluarkan wangi menenangkan. “Non Aylin, ndak usah repot-repot. Biasanya cuma roti sama susu aja, kok,” ucap Bi Jumina dari meja makan, suaranya penuh kekhawatiran sekaligus kagum. Aylin menoleh, tersenyum lembut. “Saya terbiasa makan nasi, Bi. Kalau belum makan nasi rasa
BAB, 04. 🌻 Aylin melangkahkan kakinya perlahan menaiki anak tangga yang menghubungkan lantai satu dengan kamar tidur milik suami dadakannya. Setiap langkah terasa berat, seperti membawa segunung keraguan dan rasa asing yang menyesakkan dada. Begitu sampai di depan pintu kamar, Aylin berhenti. Jemarinya sempat ragu, tapi akhirnya ia mengetuk pintu dua kali dengan lembut. Sunyi. Ia berniat mengetuk sekali lagi ketika sebuah suara dari belakang mengejutkannya. " Non, itu kamarnya Tuan muda. Nggak usah di ketuk segala, " ujar seorang wanita tua bertubuh gempal sambil tersenyum lebar. Di tangannya, ia membawa nampan berisi dua gelas susu hangat yang masih terlihat kepulan asap tipis. Aylin menoleh cepat. Wanita itu tampak ramah, dengan wajah bulat dan sorot mata yang hidup. " Saya Bi Jumina, " katanya kemudian, " pengurus rumah tangga disini. Dulu, ikut sama almarhumah ibu Tuan muda dari Jawa Tengah." Nada suaranya terdengar hangat tapi menggoda, seolah mengerti betul bagaima
BAB, 03. 🌻 Aylin Zahira Anindya adalah sosok perempuan berusia dua puluh tujuh tahun yang hidupnya diwarnai perjuangan dan kesederhanaan. Sejak ayahnya meninggal beberapa tahun lalu, ia tinggal bersama sang ibu yang kini sakit-sakitan karena riwayat lambung yang sudah parah, serta adik laki-lakinya, Raihan, di sebuah kontrakan kecil di sudut kota Jakarta. Setiap pagi, Aylin berangkat lebih awal menuju tempat kerjanya sebagai asisten perias pengantin. Upahnya tidak besar, namun cukup untuk membayar uang kontrakan dan sedikit kebutuhan rumah tangga. Sementara itu, Raihan bekerja sebagai supir angkot, berkeliling jalanan panas dan macet ibu kota demi membawa pulang uang yang pas untuk makan sehari-hari mereka bertiga. Meskipun hidup dalam keterbatasan, Aylin tetap menjadi perempuan kuat, cerdas dan juga berparas cantik. Sifatnya yang lembut dan penuh kasih membuat siapa pun yang mengenalnya merasa nyaman. Ia jarang mengeluh, bahkan ketika lelah menekan pundaknya, ia masih mampu








