MasukBAB, 06.
🌻 Suasana siang di gang sempit kawasan kontrakan itu awalnya begitu biasa. Angin membawa aroma kuah seblak dari ujung jalan, suara-suara anak kecil yang bermain bola plastik bersahutan, dan di teras rumah Bu Reni, tiga ibu sedang duduk melingkar sambil menikmati seblak dan juga teh manis dingin juga membicarakan hal-hal tidak jauh dari urusan orang. Namun tiba-tiba, suara mesin mobil mewah terdengar mendekat. Warna hitam mengilap dari bodinya membuat kepala semua orang spontan menoleh. Mobil itu berhenti tepat di depan rumah kecil berdinding hijau pucat milik Bu Dasimah. " Lho, itu bukan mobil murah, Bu. " Gumam Bu Reni sambil melongok dari kursinya. " Iya-iya...mobil orang kaya itu, " timpal Bu Sumi, matanya membulat penasaran. " Eh, bukannya itu rumah Bu Dasimah? " " Iya. Tapi siapa yang mau datang ke rumah kecil begitu pake mobil bagus gitu, ya?" sahut Bu Rina yang paling muda diantara mereka, nada suaranya meninggi setengah berbisik. Mereka terdiam sejenak, menunggu siapa yang keluar dari mobil itu. Pintu terbuka pelan, dan dari dalam muncul sosok perempuan dengan pakaian sederhana namun berwibawa- Aylin. " Ya Allah, itu si Aylin! " Bu Sumi menepuk lututnya keras. " Beneran Aylin?" Bu Reni menyipitkan mata, menatap lebih seksama. " Yang katanya nikah sama anak tunggal pengusaha itu? " " Iya, itu dia. Tapi..." Bu Rani mencondongkan badan, menurunkan suara menjadi lebih pelan dan penuh rahasia. " Kata budenya sendiri, pernikahan itu mendadak. Katanya...mereka ketahuan berdua di hotel." Bu Sumi membulatkan mata."Astaghfirullah...jadi beneran?" " Ya, makanya cepet-cepet dinikahkan," sambung Bu Reni dengan nada sok tahu. " Kalian pikir keluarga kaya mana yang mau ambil menantu dari orang kontrakan kalau bukan karena terpaksa?" " Eh tapi...ada juga yang bilang, " Bu Rina menimpali lagi dengan gaya khas penggosip sejati, " Aylin itu sekarang udah isi. Katanya udah dua bulan." Mereka saling pandang, menggeleng pelan sambil mendesah dramatis seolah menyesali nasib orang lain. Tapi mata mereka tetap lepas dari sosok Aylin yang kini menenteng tas kecil, menatap kontrakan lamanya dengan tatapan penuh rindu dan getir. Bu Dasimah, yang duduk di kursi rotan di teras rumah, tampak kaget sekaligus haru. " Lin...?" suaranya bergetar. Aylin tersenyum lembut, menunduk hormat lalu mendekat. " Iya, Bu...Aylin pulang." Namun dibalik keharuan itu, bisik-bisik di belakang pagar terus berputar seperti angin yang tak tahu arah. " Kasihan ibunya...pasti malu besar." " Ya tapi untung juga, dapat lelaki kaya." " Hmm...kaya pun kalau karena aib, tetap aja gak enak." Aylin mendengar samar-samar semua itu. Ia menarik napas dalam, menatap sekilas ke arah para tetangga yang berpura-pura sibuk tapi jelas menatapnya. Senyumnya tipis, matanya redup. Dalam hati ia hanya bergumam lirih. ' Biarlah mereka bicara. Aku tahu kebenarannya, dan itu cukup.' 🌻 Ruang tamu kontrakan itu terasa sempit dari biasanya. Dindingnya yang mengelupas, langit-langit yang berdebu, serta aroma kayu lembab menyatu dalam udara siang yang panas. Aylin duduk di rotan tua di dekat jendela, sementara ibunya, Bu Dasimah, bersandar di kursi sebelah, tubuhnya yang lemah diselimuti kain tipis. Dari luar, suara mobil hitam yang mengantar Aylin masih terlihat samar dari kaca jendela, sopir pribadinya masih duduk di mobil menunggu. Aylin menatap sekeliling ruangan yang dulu menjadi saksi bisu perjuangan hidupnya. Ada rasa haru yang menekan dadanya, namun juga tekad yang tumbuh kuat di dalam hati. Ia menggenggam tangan ibunya pelan. " Bu," ujarnya lembut. " Kalau Aylin sekarang punya banyak uang, ibu mau nggak ikut Aylin pindah dari sini? Aylin udah nemu rumah yang bagus, lebih luas, nyaman. Aylin mau ibu dan Raihan tinggal bareng Aylin disana. Biar nggak perlu hidup sempit lagi di kontrakan ini." Bu Dasimah menatap putrinya dalam diam, raut wajahnya menyimpan banyak pertanyaan. " Punya banyak uang?" ualangnya perlahan. " Lin, kamu baru kemarin menikah. Tapi sekarang, udah bicara soal uang, rumah, dan kemewahan. Uang sebanyak itu darimana, Nak?" Aylin menunduk, lalu tersenyum kecil. " Dari Athar, Bu. Suami Aylin." " Dari Athar?" Bu Dasimah memiringkan kepala, nadanya hati-hati. " Kamu yakin ini semua nggak berlebihan, Lin? Ibu tahu Athar anak orang berada, tapi ibu juga tahu gosip orang di luar sana...mereka bilang pernikahan kamu itu mendadak karena alasan yang buruk." Aylin menghela napas panjang, suaranya sedikit bergetar. " Ibu, biarin aja orang mau ngomong apa. Yang penting Aylin tahu apa yang sebenarnya terjadi." Ia menatap ibunya dengan mata jernih. " Athar menikahi Aylin memang karena terpaksa, calon istri yang sesungguhnya kabur disaat akad akan dilaksanakan. Lalu, Pak Ardian datang memohon kepada Aylin untuk menggantikan posisi perempuan itu, Pak Ardian ingin aku menyelamatkan nama baik keluarganya. Lalu dengan pertimbangan itu, Athar setuju menikahiku secara sah dimata agama dan juga negara." Bu Dasimah terdiam lama, seolah mencoba membaca ketulusan dari sorot mata anaknya. " Tapi ibu cuma takut, Lin." Katanya akhirnya. " Takut kamu tersakiti lagi. Dunia mereka itu...keras. Banyak mata yang memandang rendah hanya karena asalmu berbeda." Aylin menggenggam tangan ibunya erat. " Aylin tahu, Bu. Tapi Aylin juga gak mau terus hidup di bawah bisik-bisik orang. Aylin mau buktiin kalau pernikahan ini bukan karena aib, tapi karena takdir." Mata Bu Dasimah mulai berair. Ia menatap anak perempuannya yang kini tampak lebih dewasa, lebih kuat dari sebelumnya. " Kalau begitu..." katanya pelan, " kalau kamu yakin, ibu akan percaya. Tapi janji Lin- jangan pernah lupa dari mana kamu berasal." Aylin tersenyum, air matanya jatuh perlahan. " Aylin janji, Bu. Karena tempat ini, dan ibu...adalah alasan kenapa Aylin tetap kuat sampai sekarang." Angin siang yang membawa hawa panas masuk dari jendela, menggoyangkan tirai lusuh yang menari pelan. " Kalau begitu, Aylin pamit pulang dulu. Besok sore, Aylin akan datang lagi menjemput ibu dan Raihan. Nanti Aylin akan menyampaikan ini kepada Raihan agar dia bersiap. Aylin pamit, assalamualaikum..." ucap Aylin sembari mencium punggung tangan ibunya takzim. Ibu mengangguk sembari tersenyum hangat, " waalaikumsalam, hati-hati ya nak." 🌻 BERSAMBUNG...BAB, 60. 🌻 Akhir pekan itu tiba dengan hangat. Mentari bersinar lembut di langit, angin pantai menari di rambut Aylin yang dibiarkan tergerai. Athar memandangnya dari belakang kemudi, hatinya berdebar lebih kencang dari biasanya. Aylin, dengan senyum malu-malu dan pipi merona karena angin laut, tampak seperti gadis yang selalu membuatnya jatuh cinta- bukan hanya sebagai istri, tapi sebagai sahabat, teman, dan cinta sejatinya. Mereka berjalan beriringan di pasir, sepatu dilepas, kaki mereka menyentuh air yang dingin namun menyenangkan. Athar sesekali menggenggam tangan Aylin, perlahan, seolah takut memutuskan momen itu. Aylin menatapnya, matanya bersinar, dan di sana ada kepercayaan yang mendalam, sebuah rasa aman yang selama ini sulit ia temukan. "Lihat, Athar… ini indah," kata Aylin, menunjuk garis laut yang berkilau di bawah matahari. Athar tersenyum, memiringkan wajahnya mendekat, menatap mata Aylin. "Indah? Itu karena ada kamu di sini," bisiknya, hampir terdengar sebaga
BAB, 59. 🌻 Pukul sembilan pagi, ruang CEO dipenuhi cahaya hangat yang menembus jendela besar. Athar duduk di belakang mejanya, wajahnya cerah, hampir tidak seperti biasanya. Ada kelegaan yang tak bisa disembunyikan-hari ini, Aylin memilih untuk berhenti bekerja, fokus mengurus rumah tangga, dan Athar tahu itu adalah keputusan yang tepat baginya. Namun, di balik senyum itu, ada beban yang harus ia lepaskan. Gosip-gosip karyawan tentang Aylin-bahwa ia menikahi Athar demi uang sepuluh miliar-telah menyebar seperti api kecil yang siap membakar reputasi istrinya. Athar menatap sekilas ke luar jendela, menarik napas dalam, lalu berdiri. Langkahnya mantap ketika ia melangkah ke ruang pertemuan, di mana seluruh tim menunggu dengan rasa penasaran dan sedikit ketegangan. Suara Athar terdengar, tegas namun penuh emosi: "Aylin memilih untuk berhenti bekerja bukan karena alasan yang kalian dengar atau pikirkan. Semua gosip tentang uang, tentang motivasi pribadi-tidak ada yang benar." Ada he
BAB, 58.🌻Melody tertunduk sangat dalam, Athar menatapnya dengan tatapan rasa iba." Seperti yang kamu ketahui, kalau aku pergi karena Papah aku di kejar depkolektor waktu itu." Ucap Melody seraya mengangkat wajahnya dan menatap Athar," maaf, karena aku sudah meninggalkan kamu waktu akad." Athar tertunduk. Dulu memang Athar sangat kecewa, sangat merasa tidak bisa hidup jika tidak dengan Melody. Namun nyatanya, seiring berjalannya waktu, Aylin, gadis itu telah menyembuhkan lukanya secara perlahan." Tidak perlu ada yang di salahkan, Mel. Aku ngerti, anggap saja semuanya memang harus begini. Karena- ya...terjadi begitu saja." Athar balas menatap," aku harap, kamu bisa lebih bahagia." Melody tersenyum tulus, " aku akan pamit. Mungkin beberapa waktu ini- aku akan meninggalkan Indonesia. Ah, aku akan kerja di Taiwan bareng temen aku. Kalau begitu, sampaikan salam maafku kepada Aylin." Athar mengangguk tulus.~~~Malam itu, hujan turun tipis- hanya cukup untuk membuat udara dingin meny
BAB, 57.🌻Pipi Melody terasa panas..Suara tamparan itu masih menggema di telinganya, lebih nyaring dari detak jantungnya sendiri. Kepalanya sedikit menoleh ke samping, rambutnya jatuh menutupi wajah yang kini memucat. Ia berdiri terpaku di ruang tamu rumah yang dulu terasa hangat, kini pengap oleh bau keputusasaan." Papa tidak peduli dengan alasanmu!" hardik sang papa, napasnya tersengal. Matanya merah, bukan hanya oleh amarah, tapi juga oleh ketakutan yang terlalu lama ia pendam. " Kamu harus kembali ke Athar. Dia masih mencintaimu. Kamu bisa memperbaiki semuanya."Melody perlahan mengangkat wajahnya. Matanya berkaca-kaca, namun suaranya tetap bergetar tertahan. " Tidak, pah." Ia menggeleng pelan. " Aku tidak akan merusak hubungan Athar bersama istrinya. Aku sudah cukup menyakitinya...aku meninggalkan Athar di hari pernikahan kami. Luka itu...aku yang menorehkannya."Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Bayangan wajah Athar, tatapan hancur yang tak sempat ia jelaskan, kembali meng
BAB, 56. 🌻 Pagi itu, tepat pukul 07:17, rooftop gedung kantor masih di selimuti udara dingin sisa malam. Matahari baru saja naik, cahayanya pucat, menembus celah-celah gedung-gedung tinggi Jakarta. Kota belum sepenuhnya riuh- masih ada jeda sunyi sebelum hiruk pikuk di mulai. Aylin berdiri seorang diri disana. Kedua tangannya bersedekap, bukan karena dingin, melainkan karena dadanya terasa kosong dan berat. Angin pagi mengibaskan rambutnya, sementara matanya menatap lurus ke langit yang perlahan membiru. Malam tanpa tidur meninggalkan jejak di wajahnya- mata yang lelah, napas yang di tahan lama. Pintu rooftop terbuka pelan. Rayan berdiri di ambang pintu, tampak sedikit terkejut menemukan seseorang di sana sepagi ini. Jas kantornya masih rapi, kopi panas mengepul di tangannya. Langkahnya terhenti ketika menyadari siapa yang berdiri beberapa meter darinya. " Apa perkataan mereka barusan mengusikmu?" Aylin menoleh refleks. Terlihat Rayan kembali meneruskan langkahnya dan m
BAB, 55.🌻Athar berdiri beberapa detik di ambang ruang tengah, langkahnya tertahan oleh pemandangan yang tak ia duga akan membuat dadanya terasah sesak.Aylin duduk di ujung sofa, tubuhnya sedikit meringkuk. Satu tangannya menahan pipi kiri- pipi yang kini tampak lebih merah dan bengkak dibandingkan terakhir kali ia melihatnya di kantor. Rambutnya terurai asal, matanya kosong menatap lantai, seolah berusaha meyakinkan di bahwa semuanya baik-baik saja.Athar menghela napas pelan. Tanpa suara, ia mendekat." Ini.." Suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya saat ia menyodorkan alat kompres yang sudah berisi es batu, terbungkus kain tipis.Aylin tersentak kecil. Ia mendongak, kaget, lalu cepat-cepat meluruskan punggungnya. Tatapan mereka bertemu sesaat- cukup lama untuk membuat udara di antara mereka menegang, cukup singkat untuk Aylin kembali menunduk." Terima kasih..." ucapnya pelan, canggung.Athar tidak langsung melepaskan kompres itu. Tangannya masih tertahan di udara, jarak







