Home / Romansa / PASUTRI MAGANG / PASUTRI MAGANG

Share

PASUTRI MAGANG

Author: Upik abu
last update Last Updated: 2025-10-18 11:48:21

BAB, 06.

🌻

Suasana siang di gang sempit kawasan kontrakan itu awalnya begitu biasa. Angin membawa aroma kuah seblak dari ujung jalan, suara-suara anak kecil yang bermain bola plastik bersahutan, dan di teras rumah Bu Reni, tiga ibu sedang duduk melingkar sambil menikmati seblak dan juga teh manis dingin juga membicarakan hal-hal tidak jauh dari urusan orang.

Namun tiba-tiba, suara mesin mobil mewah terdengar mendekat. Warna hitam mengilap dari bodinya membuat kepala semua orang spontan menoleh. Mobil itu berhenti tepat di depan rumah kecil berdinding hijau pucat milik Bu Dasimah.

" Lho, itu bukan mobil murah, Bu. " Gumam Bu Reni sambil melongok dari kursinya.

" Iya-iya...mobil orang kaya itu, " timpal Bu Sumi, matanya membulat penasaran. " Eh, bukannya itu rumah Bu Dasimah? "

" Iya. Tapi siapa yang mau datang ke rumah kecil begitu pake mobil bagus gitu, ya?" sahut Bu Rina yang paling muda diantara mereka, nada suaranya meninggi setengah berbisik.

Mereka terdiam sejenak, menunggu siapa yang keluar dari mobil itu. Pintu terbuka pelan, dan dari dalam muncul sosok perempuan dengan pakaian sederhana namun berwibawa- Aylin.

" Ya Allah, itu si Aylin! " Bu Sumi menepuk lututnya keras.

" Beneran Aylin?" Bu Reni menyipitkan mata, menatap lebih seksama. " Yang katanya nikah sama anak tunggal pengusaha itu? "

" Iya, itu dia. Tapi..." Bu Rani mencondongkan badan, menurunkan suara menjadi lebih pelan dan penuh rahasia. " Kata budenya sendiri, pernikahan itu mendadak. Katanya...mereka ketahuan berdua di hotel."

Bu Sumi membulatkan mata."Astaghfirullah...jadi beneran?"

" Ya, makanya cepet-cepet dinikahkan," sambung Bu Reni dengan nada sok tahu. " Kalian pikir keluarga kaya mana yang mau ambil menantu dari orang kontrakan kalau bukan karena terpaksa?"

" Eh tapi...ada juga yang bilang, " Bu Rina menimpali lagi dengan gaya khas penggosip sejati, " Aylin itu sekarang udah isi. Katanya udah dua bulan."

Mereka saling pandang, menggeleng pelan sambil mendesah dramatis seolah menyesali nasib orang lain. Tapi mata mereka tetap lepas dari sosok Aylin yang kini menenteng tas kecil, menatap kontrakan lamanya dengan tatapan penuh rindu dan getir.

Bu Dasimah, yang duduk di kursi rotan di teras rumah, tampak kaget sekaligus haru. " Lin...?" suaranya bergetar.

Aylin tersenyum lembut, menunduk hormat lalu mendekat. " Iya, Bu...Aylin pulang."

Namun dibalik keharuan itu, bisik-bisik di belakang pagar terus berputar seperti angin yang tak tahu arah.

" Kasihan ibunya...pasti malu besar."

" Ya tapi untung juga, dapat lelaki kaya."

" Hmm...kaya pun kalau karena aib, tetap aja gak enak."

Aylin mendengar samar-samar semua itu. Ia menarik napas dalam, menatap sekilas ke arah para tetangga yang berpura-pura sibuk tapi jelas menatapnya. Senyumnya tipis, matanya redup.

Dalam hati ia hanya bergumam lirih. ' Biarlah mereka bicara. Aku tahu kebenarannya, dan itu cukup.'

🌻

Ruang tamu kontrakan itu terasa sempit dari biasanya. Dindingnya yang mengelupas, langit-langit yang berdebu, serta aroma kayu lembab menyatu dalam udara siang yang panas. Aylin duduk di rotan tua di dekat jendela, sementara ibunya, Bu Dasimah, bersandar di kursi sebelah, tubuhnya yang lemah diselimuti kain tipis. Dari luar, suara mobil hitam yang mengantar Aylin masih terlihat samar dari kaca jendela, sopir pribadinya masih duduk di mobil menunggu.

Aylin menatap sekeliling ruangan yang dulu menjadi saksi bisu perjuangan hidupnya. Ada rasa haru yang menekan dadanya, namun juga tekad yang tumbuh kuat di dalam hati. Ia menggenggam tangan ibunya pelan.

" Bu," ujarnya lembut. " Kalau Aylin sekarang punya banyak uang, ibu mau nggak ikut Aylin pindah dari sini? Aylin udah nemu rumah yang bagus, lebih luas, nyaman. Aylin mau ibu dan Raihan tinggal bareng Aylin disana. Biar nggak perlu hidup sempit lagi di kontrakan ini."

Bu Dasimah menatap putrinya dalam diam, raut wajahnya menyimpan banyak pertanyaan.

" Punya banyak uang?" ualangnya perlahan.

" Lin, kamu baru kemarin menikah. Tapi sekarang, udah bicara soal uang, rumah, dan kemewahan. Uang sebanyak itu darimana, Nak?"

Aylin menunduk, lalu tersenyum kecil. " Dari Athar, Bu. Suami Aylin."

" Dari Athar?" Bu Dasimah memiringkan kepala, nadanya hati-hati. " Kamu yakin ini semua nggak berlebihan, Lin? Ibu tahu Athar anak orang berada, tapi ibu juga tahu gosip orang di luar sana...mereka bilang pernikahan kamu itu mendadak karena alasan yang buruk."

Aylin menghela napas panjang, suaranya sedikit bergetar.

" Ibu, biarin aja orang mau ngomong apa. Yang penting Aylin tahu apa yang sebenarnya terjadi." Ia menatap ibunya dengan mata jernih. " Athar menikahi Aylin memang karena terpaksa, calon istri yang sesungguhnya kabur disaat akad akan dilaksanakan. Lalu, Pak Ardian datang memohon kepada Aylin untuk menggantikan posisi perempuan itu, Pak Ardian ingin aku menyelamatkan nama baik keluarganya. Lalu dengan pertimbangan itu, Athar setuju menikahiku secara sah dimata agama dan juga negara."

Bu Dasimah terdiam lama, seolah mencoba membaca ketulusan dari sorot mata anaknya. " Tapi ibu cuma takut, Lin." Katanya akhirnya.

" Takut kamu tersakiti lagi. Dunia mereka itu...keras. Banyak mata yang memandang rendah hanya karena asalmu berbeda."

Aylin menggenggam tangan ibunya erat. " Aylin tahu, Bu. Tapi Aylin juga gak mau terus hidup di bawah bisik-bisik orang. Aylin mau buktiin kalau pernikahan ini bukan karena aib, tapi karena takdir."

Mata Bu Dasimah mulai berair. Ia menatap anak perempuannya yang kini tampak lebih dewasa, lebih kuat dari sebelumnya. " Kalau begitu..." katanya pelan, " kalau kamu yakin, ibu akan percaya. Tapi janji Lin- jangan pernah lupa dari mana kamu berasal."

Aylin tersenyum, air matanya jatuh perlahan. " Aylin janji, Bu. Karena tempat ini, dan ibu...adalah alasan kenapa Aylin tetap kuat sampai sekarang."

Angin siang yang membawa hawa panas masuk dari jendela, menggoyangkan tirai lusuh yang menari pelan.

" Kalau begitu, Aylin pamit pulang dulu. Besok sore, Aylin akan datang lagi menjemput ibu dan Raihan. Nanti Aylin akan menyampaikan ini kepada Raihan agar dia bersiap. Aylin pamit, assalamualaikum..." ucap Aylin sembari mencium punggung tangan ibunya takzim.

Ibu mengangguk sembari tersenyum hangat, " waalaikumsalam, hati-hati ya nak."

🌻

BERSAMBUNG...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PASUTRI MAGANG    PASUTRI MAGANG

    BAB,08. 🌻 Malam itu ruang makan keluarga Ardian tampak lebih hangat dari biasanya. Lampu gantung kristal di langit-langit memantulkan cahaya lembut ke meja makan panjang yang tertata rapi. Di atasnya, tersaji makanan rumahan sederhana berupa sop ayam hangat, ikan gurame goreng, sambal terasi, dan sepiring tahu tempe goreng yang baru saja diangkat dari penggorengan. Pak Ardian yang biasanya pulang larut karena urusan kantor, malam itu sudah duduk di kursinya pukul tujuh. Wajahnya tampak lebih santai, meski tetap memancarkan wibawa seorang pemimpin. Di sisi kanan, Athar makan dalam diam, sementara Aylin duduk bersebrangan, tampak berhati-hati dalam setiap gerakannya. Awalnya hanya terdengar suara sendok dan garpu beradu di piring. Sampai akhirnya Pak Ardian menatap putra semata wayangnya dan berucap pelan, " ayah berpikir, mungkin sudah waktunya kamu punya sekretaris pribadi, Athar." Athar menghentikan gerakan tangannya, lalu menatap ayahnya dengan kening sedikit berkerut. "

  • PASUTRI MAGANG    PASUTRI MAGANG

    BAB, 07. 🌻 Siang itu, matahari seperti tak mengenal ampun. Udara panas menekan kulit, membuat napas terasa berat. Namun Athar tidak peduli. Sudah hampir dua jam ia berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, mencari seseorang yang bahkan jejaknya pun seolah menghilang begitu saja-Melody. Ia baru saja turun dari mobil di depan sebuah rumah bercat abu-abu. Di teras, seorang perempuan muda- teman kuliah Melody menatapnya ragu. " Maaf, kak Athar...aku benar-benar nggak tahu Melody ke mana. Terakhir kali kami ngobrol itu, seminggu sebelum hari pernikahan kalian," ujar perempuan itu pelan, menunduk. Athar menarik napas panjang, menatap tanah beberapa detik sebelum akhirnya berkata lirih, " Dia gak pernah cerita apa pun? Tentang masalah, atau... sesuatu yang membuatnya pergi begitu saja?" Perempuan itu menggeleng. " Tidak. Justru dia kelihatan bahagia waktu itu. Kami bahkan sempat bercanda soal gaun nikahnya." Jawaban itu justru menambah berat di dada Athar. Ia mengucapkan te

  • PASUTRI MAGANG    PASUTRI MAGANG

    BAB, 06. 🌻 Suasana siang di gang sempit kawasan kontrakan itu awalnya begitu biasa. Angin membawa aroma kuah seblak dari ujung jalan, suara-suara anak kecil yang bermain bola plastik bersahutan, dan di teras rumah Bu Reni, tiga ibu sedang duduk melingkar sambil menikmati seblak dan juga teh manis dingin juga membicarakan hal-hal tidak jauh dari urusan orang. Namun tiba-tiba, suara mesin mobil mewah terdengar mendekat. Warna hitam mengilap dari bodinya membuat kepala semua orang spontan menoleh. Mobil itu berhenti tepat di depan rumah kecil berdinding hijau pucat milik Bu Dasimah. " Lho, itu bukan mobil murah, Bu. " Gumam Bu Reni sambil melongok dari kursinya. " Iya-iya...mobil orang kaya itu, " timpal Bu Sumi, matanya membulat penasaran. " Eh, bukannya itu rumah Bu Dasimah? " " Iya. Tapi siapa yang mau datang ke rumah kecil begitu pake mobil bagus gitu, ya?" sahut Bu Rina yang paling muda diantara mereka, nada suaranya meninggi setengah berbisik. Mereka terdiam sejenak,

  • PASUTRI MAGANG    PASUTRI MAGANG

    BAB, 05. 🌻 Pagi itu menyapa dengan lembut- langit Jakarta berwarna biru muda, dihiasi sinar mentari yang menetes hangat di sela jendela kaca rumah besar keluarga Ardian. Suara burung gereja terdengar samar, kalah oleh gemuruh kendaraan di kejauhan. Namun di dapur yang harum oleh aroma tumisan bawang dan nasi hangat, suasana terasa begitu damai. Aylin berdiri di depan kompor dengan apron lusuh yang dipinjam dari Bi Jumina. Tangannya cekatan mengaduk wajan, bibirnya menyenandungkan nada kecil yang hampir tenggelam oleh desir uap panas. Hari ini ia menyiapkan sarapan- bukan roti panggang dan susu hangat seperti biasanya, tapi nasi putih hangat, telur dadar keemasan, sambal goreng tempe, dan sup bening yang mengeluarkan wangi menenangkan. “Non Aylin, ndak usah repot-repot. Biasanya cuma roti sama susu aja, kok,” ucap Bi Jumina dari meja makan, suaranya penuh kekhawatiran sekaligus kagum. Aylin menoleh, tersenyum lembut. “Saya terbiasa makan nasi, Bi. Kalau belum makan nasi rasa

  • PASUTRI MAGANG    PASUTRI MAGANG

    BAB, 04. 🌻 Aylin melangkahkan kakinya perlahan menaiki anak tangga yang menghubungkan lantai satu dengan kamar tidur milik suami dadakannya. Setiap langkah terasa berat, seperti membawa segunung keraguan dan rasa asing yang menyesakkan dada. Begitu sampai di depan pintu kamar, Aylin berhenti. Jemarinya sempat ragu, tapi akhirnya ia mengetuk pintu dua kali dengan lembut. Sunyi. Ia berniat mengetuk sekali lagi ketika sebuah suara dari belakang mengejutkannya. " Non, itu kamarnya Tuan muda. Nggak usah di ketuk segala, " ujar seorang wanita tua bertubuh gempal sambil tersenyum lebar. Di tangannya, ia membawa nampan berisi dua gelas susu hangat yang masih terlihat kepulan asap tipis. Aylin menoleh cepat. Wanita itu tampak ramah, dengan wajah bulat dan sorot mata yang hidup. " Saya Bi Jumina, " katanya kemudian, " pengurus rumah tangga disini. Dulu, ikut sama almarhumah ibu Tuan muda dari Jawa Tengah." Nada suaranya terdengar hangat tapi menggoda, seolah mengerti betul bagaima

  • PASUTRI MAGANG    PASUTRI MAGANG

    BAB, 03. 🌻 Aylin Zahira Anindya adalah sosok perempuan berusia dua puluh tujuh tahun yang hidupnya diwarnai perjuangan dan kesederhanaan. Sejak ayahnya meninggal beberapa tahun lalu, ia tinggal bersama sang ibu yang kini sakit-sakitan karena riwayat lambung yang sudah parah, serta adik laki-lakinya, Raihan, di sebuah kontrakan kecil di sudut kota Jakarta. Setiap pagi, Aylin berangkat lebih awal menuju tempat kerjanya sebagai asisten perias pengantin. Upahnya tidak besar, namun cukup untuk membayar uang kontrakan dan sedikit kebutuhan rumah tangga. Sementara itu, Raihan bekerja sebagai supir angkot, berkeliling jalanan panas dan macet ibu kota demi membawa pulang uang yang pas untuk makan sehari-hari mereka bertiga. Meskipun hidup dalam keterbatasan, Aylin tetap menjadi perempuan kuat, cerdas dan juga berparas cantik. Sifatnya yang lembut dan penuh kasih membuat siapa pun yang mengenalnya merasa nyaman. Ia jarang mengeluh, bahkan ketika lelah menekan pundaknya, ia masih mampu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status