"Yang, kita jalan kaki saja ya!" Roni berbicara dengan agak berteriak agar Dewi bisa mendengar.
"Iya." Dia juga menjawab dengan agak berteriak.
Tak mungkin mereka bertahan di tengah hujan deras seperti ini. Menunggu ada yang lewat pun rasanya sangat kecil kemungkinan. Siapa yang mau keluar rumah, saat cuaca buruk begini.
Roni terpaksa menuntun motornya. Beberapa kali Roni harus terjerembab. Jalannya sangat licin. Tapak sepatunya sudah dipenuhi lumpur, sehingga membuat langkahnya jadi berat.
Mereka diam saja sepanjang jalan, apa yang mau diobrolkan, saat begini? Bisa-bisa pita suara mereka rusak. Akibat teriak-teriak. Dewi sangat takut, dia memegang erat bagian belakang mantel hujan Roni
"Mas mau cari informasi dari Bulek Ipah. Bisa saja dia tau sesuatu. Selama ini pun, Bulek Ipah tak pernah bercerita kalau Mas punya dua orang kakak yang sudah meninggal. Apalagi Mas baru tau, kalau Mas bukan anak kandung Bapak sama Ibu. Banyak hal yang masih menjadi pertanyaan," papar Roni dengan pandangan menerawang.Dewi mengerti maksudnya. Bukan hanya Roni, Dewi pun sangat ingin tahu. Dewi merasa ada keterkaitan atas semua yang telah terjadi dengan dirinya. Dia masih mengingat kata-kata Pak Darma untuk mencari Bu Wiyah."Mas, kita cari Bu Wiyah yuk," ajak Dewi. Pandangan Roni langsung beralih pada istrinya.Roni menatap Dewi lekat, tepat di manik matanya. Dewi tak berani beradu pandang berlama-lama dengannya. Dia menunduk, menghindari tatapan Roni, yang seakan menyi
Siang ini Roni dan Dewi bersiap mau pulang ke kampung halaman Bu Wati. Rasa penasaran mereka tak bisa dibendung lagi. Banyak pertanyaan yang belum mereka temukan jawabannya. Sementara Pak Darma, orang yang seharusnya bisa mereka harapkan untuk memberi jawaban. Sedang dalam masa pengobatan di Pesantren. Mental Pak Darma sangat terguncang. Membuat Pak Darma belum bisa untuk diajak berkomunikasi dengan baik.Saat ini hanya satu tujuan mereka, Bu Ipah. Ya, siapa tau Bu Ipah bisa memberikan jawaban. Dewi masih merasa heran. Kenapa Bu Ipah tak pernah memberi tahu perihal kuburan Danu dan Suci kepadanya. Padahal dulu, saat dia masih remaja, dia sering menginap di rumah Bu Ipah."Mas, kamu yakin … kita naik motor ke kampung? Apa tak sebaiknya kita bawa mobil saja?" tanya Dewi. Tangannya sibuk memasukkan beberapa potong baju gant
"Hehhh, sampai kapan Bapak seperti itu?"[Sabar Bung. Banyak-banyak berdoa, semoga Allah segera mengembalikan kesadaran Pak Darma. Tadi kau bilang mau minta tolong, Bung. Minta tolong apa?]"Aku mau minta tolong, lihat-lihat rumahku untuk beberapa hari ini. Aku akan berangkat ke kampung siang ini. Ada hal yang harus aku urus."[Insha Allah, besok aku kesana. Masih ada sedikit pekerjaan di sini]"Apa gak bisa sore ini atau nanti malam Wan? Bik Jum takut ditinggal. Mungkin dia masih teringat kejadian kemaren."[Aku usahakan. Kalau nanti aku sudah selesai di sini. Aku langsung ke rumahmu]
Dewi memeluk erat pinggangnya. Takut jatuh dan mungkin dia takut akan suasana yang langsung menjadi gelap karena hujan. Roni terus saja melajukan motornya, jarak pandangnya pun jadi terbatas. Lampu motor sengaja disorot ke bawah, agar lebih jelas melihat jalan yang semakin tergenang air.Jlebb, tiba-tiba motornya terjerembab di lubang yang cukup dalam. Dewi langsung turun, untuk memudahkan motor keluar dari lubang. "Sial," umpat Roni, karena motornya malah mati. Padahal dia taksir masih setengah perjalanan yang mereka tempuh."Yang, kita jalan kaki saja ya!" Roni berbicara dengan agak berteriak agar Dewi bisa mendengar."Iya." Dia juga menjawab dengan agak berteriak.Tak mungkin mereka bertah
Roni mendengar ada yang memanggil namanya. Dia melihat ke belakang, melihat istrinya masih mengikutinya. "Kamu manggil Mas?" tanya Roni. Dewi yang ada di belakangnya hanya menggeleng. Mereka melanjutkan lagi perjalanan.Cepat-cepat Dewi yang asli berlari, berusaha menyusulnya, sambil terus menggaungkan nama suaminya. "Mas Roniiii!"Dewi melihat Roni menoleh ke belakang, tapi dia seperti tak melihat Dewi yang masih belum ada melewati gapura sawit. Dewi terus berusaha mengejar. Dewi merasa ada yang aneh, karena dia tak sampai-sampai. Dewi seperti berlari di tempat.Roni semakin jauh masuk ke dalam pemukiman warga. Dewi terus berteriak, hingga suaranya parau. "Ya Allah, kenapa suamiku tak mendengarku. Kenapa aku tak bisa keluar dari jalan ini." Dewi mulai menangis dan ketakutan
Sementara Dewi masih terjebak di dalam hutan sawit. Dia terus berusaha untuk bisa keluar, tapi tetap tak bisa. Gapura selamat datang yang sudah ada di depan matanya, seakan menjadi begitu jauh, saat dia semakin melangkah untuk mendekat."Ya Allah, ada apa ini? Kenapa aku terjebak di sini." Dewi mulai mengisak. Dia mulai kelelahan, dihenyakkan bokongnya begitu saja ke tanah yang becek."Ikut kami.""Sini.""Suamimu tak sayang lagi.""Dia pergi bersama orang lain."Dewi mendengar suara-suara berbisik. Suara itu jelas terdengar di telinganya. Karena hujan sudah reda, hanya tinggal gerimis kecil saja. Horor sekali tempat itu. Hari juga s
'Apa dia tak melihatku? Tidak mungkin! Sorot lampunya jelas menerangi wajahku tadi. Lagipula aku mengenakan mantel berwarna pink cerah. Kalau terkena lampu motornya, pasti langsung kelihatan. Kenapa dia bisa langsung melewati gapura itu?' Banyak tanya dan keanehan yang Dewi rasakan. Dia mulai merasa, tempatnya sekarang berada, ada sesuatu yang tak beres.Dewi terduduk lagi, air matanya merembes. Tak terbayang, dia harus terjebak di sini. Tak bisa keluar. Dia kebingungan harus berbuat apa lagi. Mungkin karena ini lah, makanya tadi siang, dia terus merasakan perasaannya ada yang mengganjal. Dia merasa sangat berat ingin pulang ke kampung Roni. Padahal dia sendiri yang ingin ikut."Dewiiii hehehehe.""Sini ikut kami."Dewi tak lagi menghiraukan s
Dewi mencoba melirik dengan ekor matanya ke arah belakang, jantungnya berpacu melebihi batas normal membuat dadanya bergerak naik turun mengikuti irama jantungnya yang berpacu dengan sangat kencang. Perlahan dia palingkan kepalanya untuk melihat ke belakang. Diabaikan, keringat yang mengalir di pelipisnya.Astaga, Dewi menutup mulutnya, dia langsung menjauh dengan merangkak. Tak mungkin untuk berlari, dengan kondisi kakinya yang terkilir. Dewi melihat makhluk dengan tubuh yang sangat besar sekali, ada di belakangnya. Makhluk itu sangat menyeramkan. Matanya merah, kulitnya hitam legam, hanya sinar bulan yang mengintip dari balik awan yang membantu Dewi memberi penerangan. Makhluk apa lagi itu, rambutnya acak-acakan dengan perut yang sangat buncit."Huahahahaha.""Hahahahaha "