Share

Keras hati

"Kalau Mas Roni yang pilih, gak mungkin salah. Gak mungkin Mas Roni asal-asalan pilih istri. Ibu pasti seneng punya mantu kayak Mbak Dewi." Bik Jum justru semakin membuat Dewi tersipu malu. 

"Bapak sama Ibu, ada Bik?" tanya Roni. Keadaan rumah memang sangat sepi. Itu sebabnya Roni bertanya. Diedarkannya pandangan ke sekeliling rumahnya, mencari sosok Bapak dan Ibunya. 

"Ada Mas, lagi di ruang keluarga. Sudah menunggu Mas Roni. Makanya Bapak sengaja nggak pergi ke kebun. Yuk, bibik antar," tawar bik Jum. 

"Gak usah Bik. Roni sendiri saja kesana," tolak Roni halus.

"Memang, Mas Roni tau tempatnya?" tanya bik Jum. 

Dewi merasa aneh mendengarnya. 'Bukankah ini rumah mas Roni, pasti mas Roni tau dimana letak ruang keluarga. Mas Roni baru setahun saja tak pulang, semenjak menikah denganku' batin Dewi.  

"Di tempat biasa kan, Bik?" Roni menjadi agak ragu. 

"Kan, Mas Roni tau kebiasaan Bapak. Ada saja bentuk rumah ini yang di ubah-ubah. Sekarang ruang keluarga ada di atas. Tempat yang biasa, udah jadi ruang makan," jelas bik Jum. 

"Oh iya, saya lupa Bik. Ya sudah saya ke atas langsung ya Bik. Bik, tolong bawakan tas ini ke kamar saya. Kamar saya masih di tempat biasa kan?" Roni menyodorkan tas yang berisi baju Dewi dan dirinya ke tangan bik Jum. Wanita itu menerimanya dengan senang hati. 

"Kalau kamar Mas Roni masih tetap di tempat yang dulu. Gak ada diubah sama sekali. Paling kalau Ibu mange, Ibu suka tidur di situ kalau siang," kata Bik Jum. Roni termangu mendengarnya, ternyata Ibunya begitu merindukannya. 

"Ya sudah, Mas Roni langsung ke atas saja. Bapak sama Ibu sudah nungguin dari tadi."

"Terima kasih, ya Bik."

Roni menggenggam erat jemari tangan Dewi yang dingin. Dewi sedang sangat nervous saat ini, sehingga membuat tangannya menjadi begitu dingin. Roni dan Dewi mulai melangkahkan kaki untuk masuk lebih lagi ke dalam rumah. Satu persatu anak tangga mereka naiki dengan perlahan. Sampai di atas mereka langsung melihat Bapak dan Ibu Roni sedang bercengkrama, menonton televisi. 

"Sudah sampai kamu Nak," sambut Ibu Roni, Bu Wati begitu melihat mereka. Bu Wati langsung bangkit mendekati Roni. Bu Wati memeluk hangat Roni. Binar bahagia terlihat dari matanya. Dia sangat merindukan Roni. Anak semata wayangnya.

"Ini, istrimu?" tanya Ibu Roni memastikan. 

"Iya Buk," jawab mas Roni. Dewi mencium tangan Ibu mertuanya. Ibu Roni memeluk Dewi. Dewi sangat terharu. Baru kali ini dia merasakan kehangatan pelukan seorang Ibu. 

"Ayune, mantuku," puji Bu Wati dengan senyum menghiasi bibirnya. Dia terus memandangi Dewi, seakan begitu mengagumi kecantikan menantunya itu. 

Bapak Roni masih terlihat asik menonton tivi, seakan tak perduli dengan kehadiran mereka. Roni kembali menggenggam tangan Dewi, membawa Dewi berjalan ke arah Bapaknya. 

"Pak," sapa Roni. Mengulurkan tangannya ingin bersalaman dan mencium punggung tangan Bapaknya. 

"Akhirnya kamu datang juga," kata Bapak Roni tanpa melihat ke arah mereka. Dia juga mengabaikan tangan Roni tanpa menyambutnya. Roni menarik tangannya kembali. 

Dewi  semakin mengeratkan genggaman tangan mereka. Jantungnya masih berdegup kencang. Deg-degan luar biasa, sedang melanda hati Dewi saat ini. 

"Kalau Bapak belum bisa menerima kami di sini. Kami akan pergi dari sini," kata Roni dengan tegas tapi berusaha tetap santun. 

Dia berbalik badan, ingin melangkah pergi. Dia merasa harga dirinya tercabik melihat sikap arogan Bapaknya. Apalagi hal itu terjadi di hadapan Dewi. Dewi hanya menurut saja kemana Roni melangkah. Apalagi tangan Roni begitu erat menggenggam tangannya. 

"Pak … Bapak kan, udah janji akan menerima dan merestui Roni juga istrinya," kata Ibu Roni yang sepertinya tak menyukai sikap Bapak Roni kepada mereka.

"Kamu juga. Sama saja keras kepalanya dengan Bapakmu. Apa gak bisa, salah satu dari kalian mengurangi ego sedikit saja!" Bu Wati memegang bahu Roni, mencecarnya dengan kalimat omelan khas seorang Ibu terhadap anaknya.

"Hehhhhh." Terdengar helaan nafas Pak Darma, Bapak Roni. 

"Sombong kamu," kata Pak Darma tanpa sedikitpun menoleh.

"Pak, anak baru datang jangan dimarahi. Nanti kalau Roni pergi lagi, bagaimana?"

"Ibu jangan terlalu memanjakannya."

"Bukan memanjakan, Pak. Roni anak kita satu-satunya, Ibu gak mau jauh lagi dari Roni. Apa Bapak gak merasa, rumah ini sepi sekali sekarang."

Dewi dan Roni hanya bisa berdiri mematung, melihat perdebatan Pak Darma dan Bu Wati. Tak tau harus bagaimana. Bila menurutkan ego, Roni ingin segera saja membawa Dewi kembali pergi dari rumah orangtuanya. Tapi kata-kata Ibunya juga benar. Haruskah dia menghadapi sikap keras kepala Bapaknya, dengan sikap keras kepalanya juga? 

"Bapak menerima kalian, hanya karena permintaan Ibu! Bapak masih kecewa sama kamu Roni. Kamu anak kami satu-satunya, pewaris tunggal harta kekayaan Bapak. Tapi kamu tak pernah mau mendengarkan Bapak!" Pak Darma berbicara dengan ketus. Terlihat masih menyimpan rasa kecewa yang sangat besar terhadap Roni. 

Pak Darma pernah menjodohkan Roni dengan anak temannya yang dianggap sederajat. Sebelum Roni dan Dewi menikah. Tapi Roni menolak, dan lebih memilih Dewi. Wajar saja Bapaknya masih marah. Dewi sangat memakluminya. Karena Roni sudah menceritakan semua pada Dewi.

"Maafkan Roni, Pak," ucap Roni lirih tanpa membalik badan melihat Bapaknya. 

"Tapi Bapak belum mengenal Dewi. Kepribadian Dewi seperti apa? Bagi Roni, memilih istri bukan perkara hartanya saja. Yang terutama tentang keimanannya. Dan Roni merasa nyaman bersama Dewi." 

"Tau apa kamu soal kenyamanan. Anak masih bau kencur saja, sok mau menasehati orang tua. Dasar kepala batu kamu!" 

"Sudah sudah! Sampai kapan kalian harus berdebat. Pak! Dewi sudah jadi mantu kita. Apalagi yang harus dipermasalahkan? Semua sudah terjadi. Apa Bapak mau nyuruh mereka pisah! Biar keluarga kita bertambah malu lagi!" Bu Wati berusaha menengahi perdebatan Bapak dan anak itu. 

Pak Darma gusar, dia mendengus dengan kasar lalu meninggalkan Roni, Dewi dan Bu Wati di ruang keluarga. Mukanya terus saja ditekuk. Hingga dia menuruni tangga rumah itu. Bu Wati hanya bisa menggeleng melihat tingkah suaminya.

"Maafkan Roni, Pak," kata Roni dengan semakin mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Dewi yang dingin. Pak Darma yang masih menuruni beberapa anak tangga, langsung menghentikan langkah kakinya. 

"Maafkan Roni tak bisa menerima jodoh yang Bapak pilihkan buat Roni. Buat Roni, menikah cukup sekali seumur hidup, dan itu harus dengan orang yang Roni cintai." Pak Darma mendengus mendengar perkataan mas Roni. 

"Bapak, mau apalagi? Bapak memang kecewa, kamu tak mau menurut perkataan Bapak. Tapi demi Ibumu, yang merengek setiap hari. Terpaksa Bapak menerima kalian," kata Pak Darma dengan angkuh. 

"Kalau Bapak belum bisa menerima Dewi sebagai istri Roni. Roni akan pergi dari sini. Roni tak butuh kekayaan ini, Roni hanya ingin menjalani sisa hidup Roni dengan istri yang Roni cintai." 

Dewi menatap Roni setelah mendengar perkataannya. Sebegitu besar cinta Roni padanya, hingga dia rela meninggalkan segala kemewahan, hanya demi Dewi, si gadis yatim piatu. 

"Hhh, sombong kamu!" Pak Darma membalik badan, mencebikkan bibirnya, seolah mengejek. 

"Pak, sudahlah. Bapak kan, sudah janji sama Ibu, gak akan lagi mempermasalahkan status istri Roni. Dewi sudah jadi anak mantu kita Pak. Ibuk gak mau, Roni pergi lagi. Rumah ini sepi sekali, cuma ada kita disini." Bu Wati mulai merengek ke Pak Darma lagi.  

★★★KARTIKA DEKA★★★

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status