Share

Sikap dingin Pak Darma

"Pak, sudahlah. Bapak kan, sudah janji sama Ibu, gak akan lagi mempermasalahkan status istri Roni. Dewi sudah jadi anak mantu kita Pak. Ibuk gak mau, Roni pergi lagi. Rumah ini sepi sekali, cuma ada kita disini." Bu Wati mulai merengek ke Pak Darma lagi.  

Bagaimanapun, cinta seorang Ibu memang mampu menghancurkan batu sekeras karang. Seperti Pak Darma, yang akhirnya melunak. Meskipun sikapnya masih dingin. 

"Kamu dengarkan Roni. Segitu sayang Ibumu denganmu, sampai dia rela membantah Bapak," kata Pak Darma langsung berlalu meninggalkan mereka yang masih terpaku. 

"Jangan diambil hati perkataan Bapak. Biarpun begitu, setiap hari Bapak memikirkan kamu Ron. Kadang sampai mengigau, kamu ingatkan, sejak kecil Bapak yang paling menyayangi kamu. Bapak seperti itu, karena malu saja dengan temannya. Karena kamu menolak untuk dijodohkan," jelas Bu Wati panjang lebar. 

Bu Wati takut, Roni terpengaruh dengan sikap Pak Darma. Dan akhirnya memilih pergi lagi dari rumah mereka. Bu Wati berusaha meredam emosi Roni yang juga keras hati. Bapak dan anak itu memang memiliki sifat yang tak jauh berbeda. 

"Buk, makan siang sudah siap," kata Bik Jum yang baru datang. 

"Iya, Bik. Sebentar lagi kami turun," sahut Bu Wati. Bik Jum langsung turun kembali, setelah memberitahu kalau tugasnya menyiapkan makan siang telah dilaksanakan dengan baik.

"Roni, akan berusaha Buk. Tapi kalau beberapa hari ini Bapak tetap tak bisa menerima pernikahan Roni. Kami akan pergi dari rumah ini!" tegas Roni. Dia tidak mengancam, tapi bersungguh-sungguh dalam ucapannya.

"Mas …." Dewi menggelengkan kepala begitu Roni menatapnya. Dewi ingin bilang, tak usah lagi dipermasalahkan kata-kata Bapaknya. Sepertinya Roni mengerti maksud Dewi, dia mengangguk pelan. 

Dewi tak ingin, karena membela dirinya, Roni sampai harus membangkang pada Bapak mertuanya. Bahkan Dewi siap berpisah dari Roni, seandainya Pak Darma masih saja keras hati seperti tadi. Dewi tak ingin, Roni menjadi anak yang durhaka. Apalagi mengingat, Roni adalah putra tunggal Pak Darma dan Bu Wati.

"Ya sudah, kita makan dulu. Pasti kalian juga capek, selesai makan langsung istirahat," ajak Bu Wati. Senyum sumringah terus mengembang dari bibirnya.

Dewi dan Roni mengikuti Bu Wati yang berjalan duluan menuruni anak tangga. Mata Dewi tak lepas dari Bu Wati. Dia sangat mengagumi Bu Wati yang terlihat cantik dan tubuhnya masih bugar. Di usianya yang tak lagi muda. Dewi sudah mengaguminya, saat pertama tadi melihatnya. Kalau boleh  disamakan, Bu Wati agak mirip artis Minati Atmanegara secara visual. 

Ternyata Pak Darma sudah lebih dulu duduk di meja makan. Wajahnya masih terlihat dingin, tanpa ekspresi. Bahkan saat Roni dan Dewi mulai duduk di hadapannya. Pak Darma menganggap, seakan tak ada orang yang bergabung di meja makan itu. Mereka makan tanpa obrolan, senyap. Rumah yang besar itu, jadi terasa sepi. Hanya terdengar suara denting sendok yang beradu dengan piring kaca. 

Selesai makan, Pak Darma langsung bangkit, berlalu ke arah luar rumah. Tanpa ada basa basi sedikitpun terhadap anak dan menantunya. Bahkan Bu Wati pun tak ditegurnya sama sekali. Tak tau kemana dia pergi. Bu Wati hanya menghela nafas panjang, melihat sikap suaminya yang terkadang kekanak-kanakan. Dewi masih merasa kikuk, karena baru pertama kali ini berada di rumah mertuanya. Dewi membantu bik Jum mengangkat piring dan gelas bekas makan. 

"Sudah Mbak, biar bibik saja." Bik Jum berusaha mencegah Dewi membantunya. 

"Gak papa Bik." Dewi tetap membantunya. 

"Biarin aja Bik, biar Dewi gak merasa kaku disini. Anggap saja rumah sendiri, ya Nak," kata Bu Wati lembut. Terlihat sangat keibuan.

"Habis itu istirahat saja dulu. Ibuk tinggal dulu ya, Ibuk mau lihat Bapak ke depan." 

Bu Wati langsung berlalu ke depan rumah menyusul Pak Darma. Langkahnya tampak tergesa-gesa seakan ada hal yang sangat penting, yang akan disampaikannya pada suaminya.

Selesai membantu Bik Jum membereskan meja makan dan mencuci piring yang kotor. Dewi dan Roni segera beranjak ke kamar mereka. Kamar Roni semasa masih melajang. Yang masih tetap bersih dan terawat, meski telah lama Roni tak tidur di sana.

Kamar itu cukup besar, bahkan lebih besar dari rumah kontrakan Dewi dan Roni. Jendelanya langsung mengarah ke arah samping rumah. Pandangan Dewi jadi leluasa melihat keluar. 

Dewi melihat dari balik tirai jendela, Pak Darma dan Bu Wati ada disana. Disamping rumah terdapat beberapa tanaman bunga hias yang lumayan mahal harganya. 'Ngapain ya Bapak dan Ibuk disitu?' batin Dewi.

Pak Darma dan Bu Wati, seperti sedang membicarakan sesuatu yang serius, terlihat raut wajah mereka yang tegang. Dewi berharap, kedua mertuanya tak melihatnya yang mengintip dari jendela yang tertutup tirai. Namun begitu, Dewi tetap bisa melihat mertuanya dengan jelas. 

Dewi sontak menyembunyikan tubuhnya, saat Pak Darma tiba-tiba mengalihkan pandangan ke arah jendela tempat Dewi berada sekarang. Jantung Dewi langsung berdebar kencang, berharap Pak Darma tak melihatnya mengintip mereka. Dia merasa sangat malu, kalau Pak Darma mengetahui hal itu.

"Kenapa Sayang?" tanya Roni yang baru keluar dari kamar mandi. Roni merasa heran melihat Dewi, yang masih kaku bersandar di dinding dekat jendela dengan nafas agak memburu. 

"Ng-nggak papa, Mas," jawab Dewi. Dewi langsung berjalan ke arah kamar mandi. Malu juga, kalau dia ketahuan mengintip mertuanya.

Roni merasa keheranan melihat sikap Dewi yang tampak gugup. Tak Dewi hiraukan, Dewi ingin mandi. Mereka menaiki angkutan umum tadi, berjejalan di dalamnya membuat tubuh Dewi terasa lengket. Setelah sampai di terminal, baru pak Agus, supir Pak Darma menjemput mereka. 

Dewi masih tak percaya, ternyata suaminya anak orang paling kaya di kampung itu. Selama ini, Roni tak bercerita banyak tentang keluarganya. Dewi mengenalnya, karena dia menjadi donatur tetap di panti asuhan tempat Dewi tinggal. 

Setelah Dewi dewasa, Dewi ikut mengasuh adik-adik yang senasib dengannya. Saat Dewi kecil, ada beberapa orangtua yang ingin mengadopsinya. Tapi menurut Bu Yanti, pemilik Panti, Dewi tak pernah mau. Selalu sembunyi, setiap ada orangtua yang ingin bertemu dengannya. Kalaupun Dewi mau, Dewi akan sakit di hari pertama tinggal bersama orangtua yang mengadopsinya. Dan akhirnya dikembalikan lagi ke panti. 

Kulit Dewi yang putih dan wajahnya yang menurut orang-orang terbilang manis, membuat banyak orangtua yang jatuh hati. Ingin Dewi jadi anak mereka. Tapi entah kenapa, hati Dewi tak ingin memiliki keluarga yang utuh. Bagi Dewi, Bu Yanti adalah Ibunya, dan semua yang ada di panti adalah keluarganya. 

"Sayang …." panggil Roni dari luar kamar mandi, menyadarkan Dewi dari lamunannya. 

★★★KARTIKA DEKA★★★

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status