Matahari baru saja beranjak dari peraduannya, menyinari atap-atap jerami yang basah oleh embun pagi. Desa Ping An masih terlelap dalam keheningan, kecuali satu tempat—balai desa, tempat para tetua berkumpul untuk membicarakan hal yang dianggap penting. Dan pagi ini, yang menjadi bahan pembicaraan mereka adalah seorang pemuda bernama Li Feng.
“Anak itu benar-benar keras kepala! Sudah tahu dirinya miskin, malah bermimpi tinggi!” seru salah satu tetua, wajahnya dipenuhi kerutan yang mencerminkan usianya yang telah senja. “Apa yang bisa diharapkan dari bocah seperti dia?” sahut yang lain, disambut anggukan dari para hadirin. “Ayahnya sudah mati di medan perang, ibunya sakit-sakitan, dan dia sendiri tidak punya keahlian apa pun selain menghabiskan nasi.” Di sudut ruangan, seorang pemuda berdiri dengan tangan mengepal. Wajahnya masih muda, tetapi sorot matanya tajam, penuh tekad yang belum goyah meski dihujani hinaan. Itulah Li Feng. “Aku tidak akan selamanya jadi orang miskin,” katanya, suaranya tenang namun bergetar. “Aku akan pergi ke ibu kota dan mengubah nasibku.” Tawa sinis memenuhi ruangan. “Ibu kota?” salah satu pria tua mendengus. “Apa kau berpikir hanya dengan pergi ke sana, kau bisa menjadi kaya? Kau tidak punya koneksi, tidak punya modal, bahkan tidak punya pendidikan. Kau hanya akan jadi budak, atau lebih buruk, mati di jalanan!” Li Feng menahan nafasnya. Ia tahu mereka tidak akan pernah percaya padanya. Baginya, desa ini seperti kurungan yang membatasi impian seseorang. Ia telah melihat banyak pemuda menghabiskan hidup mereka hanya dengan bertani, menerima nasib tanpa pernah mencoba mengubahnya. Tapi ia tidak mau seperti mereka. “Aku akan membuktikan kalau kalian salah,” katanya tegas, lalu berbalik pergi meninggalkan ruangan, diiringi tawa dan gumaman para tetua. Di luar, angin bertiup lembut, membawa suara gemerisik daun bambu yang tinggi menjulang di sekitar desa. Langkah kaki Li Feng terasa berat, bukan karena lelah, tetapi karena beban di hatinya. Saat ia hampir sampai di rumahnya yang sederhana, seseorang berdiri di depan pintu. Mie Lin seorang gadis desa yang tumbuh bersamanya. Mata gadis itu dipenuhi kekhawatiran. “Feng-ge… apa yang mereka katakan kali ini?” Li Feng tersenyum kecil, mencoba menenangkan gadis itu. “Hal yang sama seperti biasa. Tapi aku tidak peduli.” Mie Lin menggigit bibirnya. “Apa kau benar-benar akan pergi?” “Aku harus.” “Tapi… ibumu? Dia sedang sakit…” Li Feng terdiam. Inilah satu-satunya alasan yang membuatnya ragu. Ibunya, satu-satunya keluarga yang ia miliki, memang sedang sakit. Sejak ayahnya gugur di medan perang, mereka hidup dalam keterbatasan. Ia sudah berusaha bekerja keras, tetapi hasil panen kecil-kecilan dan pekerjaan serabutan tidak cukup untuk membiayai pengobatan ibunya. Mie Lin menggenggam lengan bajunya. “Aku tahu kau ingin mengubah nasib. Tapi kota itu berbahaya, Feng-ge. Aku hanya… tidak ingin kau berakhir buruk.” Li Feng menatap gadis itu dalam-dalam. Mie Lin selalu peduli padanya, lebih dari siapa pun di desa ini. Tapi ia tidak bisa tinggal diam selamanya. “Aku tidak akan gagal, Mie Lin.” Suaranya penuh keyakinan, seolah meyakinkan dirinya sendiri. Malam itu, Li Feng duduk di samping tempat tidur ibunya. Wajah perempuan itu pucat, tubuhnya tampak semakin kurus. Meski sakit, ia masih tersenyum lembut saat melihat putranya. “Kau tampak gelisah, Feng-er,” kata ibunya dengan suara lemah. “Apa yang terjadi?” Li Feng menggenggam tangan ibunya, mencoba menahan emosi. “Aku… aku ingin pergi ke ibu kota, Bu. Aku ingin mencari pekerjaan, mendapatkan uang, dan—” Ibunya menatapnya dalam diam, lalu tersenyum samar. “Kau ingin pergi, bukan?” Li Feng menundukkan kepala. Ia takut ibunya akan melarangnya. “Jika itu yang kau inginkan… pergilah.” Li Feng terkejut. “Tapi… bagaimana dengan Ibu?” Wanita itu terbatuk pelan, sebelum mengelus kepala putranya. “Ibu tidak akan selamanya ada di sisimu, Feng-er. Kau harus mengejar impianmu… dan jika itu berarti meninggalkan desa ini, maka lakukanlah.” Air mata hampir jatuh dari mata Li Feng, tetapi ia menahannya. Ia menggenggam tangan ibunya lebih erat. “Aku berjanji akan kembali. Aku akan membuat hidup kita lebih baik, Bu.” Ibunya tersenyum, tetapi di balik senyumnya tersimpan kesedihan yang tak terucapkan. Fajar menyingsing. Li Feng berdiri di depan rumahnya, membawa sebuah tas kain berisi beberapa pakaian lusuh dan sedikit bekal. Mie Lin datang dengan seikat roti kukus. “Bawa ini. Kau tidak tahu kapan kau bisa makan enak lagi.” Li Feng menerima roti itu dengan senyum kecil. “Terima kasih, Mie Lin.” Gadis itu menatapnya, seolah ingin mengingat setiap detail wajahnya sebelum ia pergi. “Berjanjilah… kau akan kembali.” “Aku pasti kembali.” Dengan langkah mantap, Li Feng berbalik dan berjalan menuju jalan setapak yang akan membawanya keluar dari desa. Dari kejauhan, beberapa orang desa melihatnya dengan tatapan sinis, menggelengkan kepala. “Bocah itu hanya akan pulang dengan kepala tertunduk,” gumam salah seorang tetua. Namun Li Feng tidak peduli. Angin pagi menerpa wajahnya saat ia melangkah lebih jauh, meninggalkan segala hinaan dan keraguan di belakangnya. Apa yang menunggunya di ibu kota, ia belum tahu. Tapi satu hal yang pasti… Ia tidak akan pernah kembali sebagai orang yang sama. Saat Li Feng berjalan di jalan setapak menuju ibu kota, bayangan seseorang mengintai dari balik pohon. Sepasang mata penuh niat jahat mengawasi setiap langkahnya. Sebuah suara rendah terdengar di udara. “Jadi… kau benar-benar pergi, bocah?” Sebuah senyum licik terbentuk di wajah pria itu. “Mari kita lihat… apakah kau bisa bertahan.”Li Shen berdiri di samping sebuah makam yang terlupakan oleh waktu. Angin pegunungan yang sejuk berhembus melalui sela-sela pohon tua, membawa aroma tanah basah dan daun yang jatuh. Matahari baru saja tenggelam di balik puncak gunung, mewarnai langit dengan rona merah jingga yang perlahan meredup. Desanya yang kecil dan sunyi tampak begitu damai, meskipun ada sesuatu yang berat menggantung di udara. Di hadapannya, sebuah makam yang sederhana terukir dengan tulisan tua yang hampir pudar. Tak ada upacara, tak ada pengawalan. Tidak ada yang datang untuk memberi penghormatan, kecuali Li Shen. Ia mengubur sisa-sisa pedang yang dulu begitu terkenal—Pedang Naga Langit. Pedang yang tak hanya menjadi simbol kekuatan, tetapi juga kutukan yang menimpa banyak jiwa. Kini, pedang itu hancur menjadi debu, seperti harapan yang sudah lama sirna. “Begini akhirnya,” Li Shen berbisik pada dirinya sendiri, suara hatinya begitu tenang namun penuh beban. "Tak ada yang tahu. T
Li Shen berdiri di tengah kehampaan yang dalam, menghadap Kaisar Tanpa Wajah yang kini hancur, hilang di udara yang rapuh. Sebuah kilatan terakhir pedang, sepotong debu yang melayang, dan suara angin yang membawa sisa-sisa keputusasaan. Dunia ini seolah menghela napas dalam diam, seakan-akan segala sesuatu berhenti bergerak sejenak. Tidak ada sorak sorai, tidak ada gemuruh, hanya kehampaan yang menggantung di antara mereka. Namun, meski Kaisar Tanpa Wajah telah lenyap, pedang yang digunakan Li Shen untuk menebasnya, hancur menjadi serpihan debu, tersebar di udara. Seperti sebuah takdir yang tak bisa dihindari, benda yang begitu kuat dan penuh sejarah itu sekarang hanya menjadi kenangan yang terbang dalam hembusan angin. Sungguh ironis, pikir Li Shen. Selama ini ia berjuang untuk mengekalkan keseimbangan, tetapi dengan setiap pedang yang diayunkan, ia juga menyentuh kehancuran. “Pedang ini…” Li Shen merasakan berat di hatinya. Ia menundukkan kepala, menc
Dunia terasa hening. Tidak ada suara gemuruh angin, tidak ada gerakan apapun. Di tengah kekosongan yang melingkupi mereka, hanya ada dua sosok yang berdiri saling berhadapan. Li Shen dan Kaisar Tanpa Wajah, dua entitas yang tak lagi sekedar manusia, bertempur di ruang yang tidak mengenal waktu, tempat yang seolah berada di antara dimensi, jauh dari segala bentuk kehidupan dan sorak-sorai. Di sini, tidak ada penonton, tidak ada penghormatan, hanya dua takdir yang akan bertubrukan. "Akankah kau menyerah?" Kaisar Tanpa Wajah bertanya, suaranya serak namun penuh kekuatan, menggema di seluruh ruang yang hampa. Tatapan matanya yang merah membara, tak ubahnya kobaran api yang siap melalap segala sesuatu di sekitarnya. "Takdirmu sudah jelas. Dunia ini sudah terkutuk sejak lama." Li Shen mengangkat pedangnya, Pedang Naga Langit, yang kini bersinar terang di tengah kegelapan. Pedang itu bukan sekedar senjata, tapi juga lambang dari harapan yang tak ingin padam. "
Li Shen berdiri di hadapan Gerbang Surga Ketiga, sebuah pintu raksasa yang tertutup rapat, seakan menantang dunia untuk mengungkapkan rahasia-rahasia gelap yang tersembunyi di baliknya. Cahaya suram menerobos dari sela-sela batu besar, menggelapkan seluruh tempat di sekelilingnya. Pintu itu, meskipun tampak tidak bergerak, terasa seperti sesuatu yang hidup, mengamati setiap langkah Li Shen dengan mata tak tampak. "Apa yang akan kamu pilih, Shen?" Suara Li Feng berbisik dalam angin, begitu familiar, namun tetap penuh dengan keheningan yang mendalam. Li Shen bisa merasakan kehadiran guru lamanya, meskipun hanya dalam bentuk bisikan yang lemah. Li Shen menarik napas dalam-dalam, matanya terfokus pada gerbang yang tak tampak berujung itu. Ia tahu apa yang harus ia lakukan—tidak hanya untuk menyelamatkan para jiwa yang terperangkap di sana, tetapi juga untuk masa depannya sendiri. "Ini saatnya," gumamnya, hampir tidak terdengar oleh angin yang berdesir di se
Di tengah sunyi malam yang berat, langit di atas Istana Langit diselimuti oleh kabut hitam tebal yang menggerakkan udara dengan lembut, seakan menandakan hadirnya malapetaka. Li Shen, dengan langkah mantap dan pandangan tajam, menginjakkan kaki di ruang yang penuh dengan kekuatan gelap yang luar biasa. Di hadapannya berdiri sosok yang telah lama hilang—Tian Xuan Reinkarnasi, yang kini menyebut dirinya Kaisar Tanpa Wajah. Li Shen merasakan perubahan yang begitu nyata. Kehadiran Kaisar Tanpa Wajah ini tidak hanya menggetarkan dimensi, tetapi juga membuat jantungnya berdegup lebih cepat. “Kau… bukan Tian Xuan yang dulu aku kenal,” Li Shen bergumam, suaranya penuh kebingungan dan ketegasan. “Apa yang telah kau lakukan padamu sendiri?” Kaisar Tanpa Wajah itu tertawa rendah, suara tawa yang kosong dan penuh keputusasaan. “Aku adalah wajah dari kegelapan yang menyelimuti dunia ini. Aku adalah bayangan dari segala keinginan yang tak terpuaskan. Dunia ini tak ak
Li Shen menatap matahari yang tenggelam di balik pegunungan, menciptakan rona keemasan yang mengalir di sepanjang lembah. Hening, seolah dunia ini sedang menanti. Di sekelilingnya, desiran angin berhembus pelan, membawa aroma tanah dan dedaunan yang basah. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Sebuah kekuatan yang mengintai, namun tak terlihat, menggelayut di udara. "Li Shen," suara itu terdengar di telinganya, lembut dan dalam, seolah datang dari jauh. "Sudah waktunya." Ia menoleh. Di hadapannya, ada tiga sosok yang muncul dari kabut tipis yang tiba-tiba muncul, masing-masing memiliki aura yang tak bisa disangkal. Seperti bayangan, mereka berdiri dalam diam yang memikat. Bai Long, sang Naga Putih, adalah sosok pertama yang menyapanya. Dengan tubuh yang tinggi dan ramping, putih bersih seperti salju, ia memancarkan kekuatan yang begitu murni dan tak tergoyahkan. "Li Shen," kata Bai Long, suaranya sejuk namun penuh tekanan, "Kamu telah sampa