Home / Pendekar / PEDANG NAGA LANGIT / Bab 2 - Perjalanan Menuju Ibu Kota

Share

Bab 2 - Perjalanan Menuju Ibu Kota

Author: Andi Iwa
last update Last Updated: 2025-03-05 01:44:42

Langit masih gelap saat Li Feng meninggalkan Desa Ping An. Udara pagi menusuk tulang, embun menggantung di ujung dedaunan, dan aroma tanah basah bercampur dengan harum kayu bakar yang masih menyala dari rumah-rumah warga. Ia melangkah mantap, meski hatinya masih berat meninggalkan ibunya yang sakit.

"Ibu, aku berjanji akan kembali dengan membawa kehormatan," bisiknya dalam hati.

Langkah kakinya terdengar di jalan berbatu yang mulai menjauh dari desa. Ia hanya membawa sebilah pisau kecil untuk berjaga-jaga, selembar kain yang membungkus beberapa potong roti kering, dan kantong kecil berisi koin perak yang ia kumpulkan dari bekerja di ladang. Itu saja bekalnya untuk perjalanan yang entah akan berakhir di mana.

Di Tepi Hutan Guangming

Setelah berjalan hampir seharian, Li Feng tiba di tepi Hutan Guangming. Hutan ini terkenal dengan jalurnya yang berliku dan rumor tentang bandit yang sering merampok para pelancong. Namun, tak ada jalan lain menuju ibu kota tanpa melewati tempat ini.

"Dalam tiga hari, aku bisa mencapai kota jika berjalan cepat," pikirnya.

Ia mengeratkan genggaman pada pisau kecilnya dan melangkah masuk. Hutan itu gelap meski matahari masih bersinar. Pepohonan tinggi menciptakan bayangan menyeramkan, dan suara burung hantu terdengar sayup di kejauhan. Li Feng tetap waspada, matanya menyapu setiap sudut jalur setapak yang ia lalui.

Namun, firasatnya tak salah. Baru beberapa ratus langkah, ia menangkap bayangan yang bergerak di antara pepohonan. Langkahnya terhenti.

"Dari mana bocah ini?" suara kasar terdengar dari arah kanan.

Dua pria bertubuh besar muncul dari balik semak-semak. Wajah mereka penuh bekas luka, pakaian mereka lusuh, dan masing-masing membawa belati panjang di tangan.

"Sepertinya dia punya sedikit uang. Bagaimana kalau kita buat perjalanannya lebih singkat?" pria pertama menyeringai.

Li Feng menghela napas dalam. Ia belum pernah menghadapi perampok sebelumnya, tapi satu hal yang ia pelajari sejak kecil—jangan pernah menunjukkan rasa takut.

"Aku tak punya banyak uang," jawabnya, mencoba tetap tenang. "Biarkan aku pergi, dan aku tak akan membuat masalah."

Pria kedua tertawa kasar. "Dengar itu? Anak ini pikir bisa menawar keselamatannya."

Salah satu dari mereka melangkah maju, mencoba merampas kantong koin di pinggang Li Feng. Tapi sebelum tangannya menyentuhnya, tubuh Li Feng bergerak cepat. Dengan refleks yang ia asah saat bertarung melawan anak-anak desa, ia menangkis tangan pria itu dan mundur beberapa langkah.

"Hei, anak ini lumayan gesit," pria pertama meludah ke tanah. "Tapi kita lihat seberapa lama dia bisa bertahan."

Li Feng tahu, bicara tak akan menyelesaikan ini. Jika ia ingin keluar hidup-hidup, ia harus bertarung.

Pertarungan di Hutan

Pria kedua melesat ke arahnya dengan belati terhunus. Li Feng menunggu hingga detik terakhir sebelum bergerak ke samping, menghindari serangan itu dengan gesit. Ia memanfaatkan momen itu untuk menyerang balik, menyodorkan lututnya ke perut pria itu.

"Ugh!" pria itu terhuyung ke belakang, tapi belum jatuh.

Pria pertama ikut menyerang. Kali ini ia mengayunkan belatinya dengan liar. Li Feng menunduk, merasa angin dingin dari senjata yang nyaris menyayat kulitnya. Ia melompat mundur, tapi pria kedua sudah pulih dan menyerangnya dari belakang.

Li Feng berputar cepat dan menendang ke arah lutut pria itu. Bunyi tulang berbenturan terdengar, dan pria itu jatuh tersungkur.

"Kurang ajar!" pria pertama menggeram dan melesat dengan belati terangkat tinggi.

Li Feng tak punya pilihan. Ia meraih sebatang kayu di tanah dan menggunakannya untuk menangkis serangan itu. Kayu itu patah, tapi cukup untuk menghentikan momentum lawannya.

Melihat celah, Li Feng menghantam kepala pria itu dengan sisa batang kayu yang masih ia pegang. Pukulan itu cukup keras hingga pria itu kehilangan keseimbangan dan jatuh ke tanah.

Pria kedua, yang masih berusaha bangkit, menatap Li Feng dengan ketakutan. Tanpa pikir panjang, ia menyeret rekannya dan berlari menjauh ke dalam hutan.

Napas Li Feng terengah. Tangannya gemetar karena adrenalin. Ini pertama kalinya ia bertarung serius, dan ia menang.

Namun, ia tahu ini baru permulaan.

Tiba di Kota

Setelah kejadian itu, Li Feng melanjutkan perjalanan tanpa gangguan. Dua hari kemudian, di pagi buta, ia akhirnya melihat gerbang besar yang menandakan ia telah sampai di ibu kota.

Kota itu jauh lebih megah dari yang ia bayangkan. Bangunan-bangunan tinggi berjajar rapi, atap-atapnya berhiaskan ukiran naga dan burung phoenix. Jalanan dipenuhi pedagang yang menjajakan barang dagangan mereka, dari kain sutra hingga rempah-rempah eksotis.

Namun, bagi seorang pendatang miskin seperti Li Feng, kehidupan di sini tak semudah kelihatannya.

Perutnya berbunyi. Ia sudah kehabisan bekal sejak kemarin, dan satu-satunya koin peraknya hanya cukup untuk satu kali makan. Ia harus segera mencari pekerjaan.

Saat matanya menyapu sekeliling, ia melihat sebuah kedai dengan papan kayu bertuliskan "Kedai Tianxiang". Aroma daging panggang yang lezat menggoda hidungnya, dan suara tawa pelanggan terdengar riuh dari dalam.

"Jika aku bisa bekerja di sini, setidaknya aku tidak akan kelaparan," pikirnya.

Dengan langkah mantap, Li Feng berjalan menuju kedai, tak menyadari bahwa keputusan ini akan mengubah hidupnya selamanya.

Apa yang menanti Li Feng di Kedai Tianxiang? Akankah ia diterima bekerja? Ataukah takdir lain yang menunggunya di ibu kota?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 210 – Saat Legenda Menjadi Manusia

    Li Shen berdiri di samping sebuah makam yang terlupakan oleh waktu. Angin pegunungan yang sejuk berhembus melalui sela-sela pohon tua, membawa aroma tanah basah dan daun yang jatuh. Matahari baru saja tenggelam di balik puncak gunung, mewarnai langit dengan rona merah jingga yang perlahan meredup. Desanya yang kecil dan sunyi tampak begitu damai, meskipun ada sesuatu yang berat menggantung di udara. Di hadapannya, sebuah makam yang sederhana terukir dengan tulisan tua yang hampir pudar. Tak ada upacara, tak ada pengawalan. Tidak ada yang datang untuk memberi penghormatan, kecuali Li Shen. Ia mengubur sisa-sisa pedang yang dulu begitu terkenal—Pedang Naga Langit. Pedang yang tak hanya menjadi simbol kekuatan, tetapi juga kutukan yang menimpa banyak jiwa. Kini, pedang itu hancur menjadi debu, seperti harapan yang sudah lama sirna. “Begini akhirnya,” Li Shen berbisik pada dirinya sendiri, suara hatinya begitu tenang namun penuh beban. "Tak ada yang tahu. T

  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 209 – Warisan yang Hidup dalam Jiwa

    Li Shen berdiri di tengah kehampaan yang dalam, menghadap Kaisar Tanpa Wajah yang kini hancur, hilang di udara yang rapuh. Sebuah kilatan terakhir pedang, sepotong debu yang melayang, dan suara angin yang membawa sisa-sisa keputusasaan. Dunia ini seolah menghela napas dalam diam, seakan-akan segala sesuatu berhenti bergerak sejenak. Tidak ada sorak sorai, tidak ada gemuruh, hanya kehampaan yang menggantung di antara mereka. Namun, meski Kaisar Tanpa Wajah telah lenyap, pedang yang digunakan Li Shen untuk menebasnya, hancur menjadi serpihan debu, tersebar di udara. Seperti sebuah takdir yang tak bisa dihindari, benda yang begitu kuat dan penuh sejarah itu sekarang hanya menjadi kenangan yang terbang dalam hembusan angin. Sungguh ironis, pikir Li Shen. Selama ini ia berjuang untuk mengekalkan keseimbangan, tetapi dengan setiap pedang yang diayunkan, ia juga menyentuh kehancuran. “Pedang ini…” Li Shen merasakan berat di hatinya. Ia menundukkan kepala, menc

  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 208 – Pertarungan Tanpa Penonton

    Dunia terasa hening. Tidak ada suara gemuruh angin, tidak ada gerakan apapun. Di tengah kekosongan yang melingkupi mereka, hanya ada dua sosok yang berdiri saling berhadapan. Li Shen dan Kaisar Tanpa Wajah, dua entitas yang tak lagi sekedar manusia, bertempur di ruang yang tidak mengenal waktu, tempat yang seolah berada di antara dimensi, jauh dari segala bentuk kehidupan dan sorak-sorai. Di sini, tidak ada penonton, tidak ada penghormatan, hanya dua takdir yang akan bertubrukan. "Akankah kau menyerah?" Kaisar Tanpa Wajah bertanya, suaranya serak namun penuh kekuatan, menggema di seluruh ruang yang hampa. Tatapan matanya yang merah membara, tak ubahnya kobaran api yang siap melalap segala sesuatu di sekitarnya. "Takdirmu sudah jelas. Dunia ini sudah terkutuk sejak lama." Li Shen mengangkat pedangnya, Pedang Naga Langit, yang kini bersinar terang di tengah kegelapan. Pedang itu bukan sekedar senjata, tapi juga lambang dari harapan yang tak ingin padam. "

  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 207 – Di Balik Gerbang Surga Ketiga

    Li Shen berdiri di hadapan Gerbang Surga Ketiga, sebuah pintu raksasa yang tertutup rapat, seakan menantang dunia untuk mengungkapkan rahasia-rahasia gelap yang tersembunyi di baliknya. Cahaya suram menerobos dari sela-sela batu besar, menggelapkan seluruh tempat di sekelilingnya. Pintu itu, meskipun tampak tidak bergerak, terasa seperti sesuatu yang hidup, mengamati setiap langkah Li Shen dengan mata tak tampak. "Apa yang akan kamu pilih, Shen?" Suara Li Feng berbisik dalam angin, begitu familiar, namun tetap penuh dengan keheningan yang mendalam. Li Shen bisa merasakan kehadiran guru lamanya, meskipun hanya dalam bentuk bisikan yang lemah. Li Shen menarik napas dalam-dalam, matanya terfokus pada gerbang yang tak tampak berujung itu. Ia tahu apa yang harus ia lakukan—tidak hanya untuk menyelamatkan para jiwa yang terperangkap di sana, tetapi juga untuk masa depannya sendiri. "Ini saatnya," gumamnya, hampir tidak terdengar oleh angin yang berdesir di se

  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 206 – Bangkitnya Kaisar Tanpa Wajah

    Di tengah sunyi malam yang berat, langit di atas Istana Langit diselimuti oleh kabut hitam tebal yang menggerakkan udara dengan lembut, seakan menandakan hadirnya malapetaka. Li Shen, dengan langkah mantap dan pandangan tajam, menginjakkan kaki di ruang yang penuh dengan kekuatan gelap yang luar biasa. Di hadapannya berdiri sosok yang telah lama hilang—Tian Xuan Reinkarnasi, yang kini menyebut dirinya Kaisar Tanpa Wajah. Li Shen merasakan perubahan yang begitu nyata. Kehadiran Kaisar Tanpa Wajah ini tidak hanya menggetarkan dimensi, tetapi juga membuat jantungnya berdegup lebih cepat. “Kau… bukan Tian Xuan yang dulu aku kenal,” Li Shen bergumam, suaranya penuh kebingungan dan ketegasan. “Apa yang telah kau lakukan padamu sendiri?” Kaisar Tanpa Wajah itu tertawa rendah, suara tawa yang kosong dan penuh keputusasaan. “Aku adalah wajah dari kegelapan yang menyelimuti dunia ini. Aku adalah bayangan dari segala keinginan yang tak terpuaskan. Dunia ini tak ak

  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 205 – Tiga Roh Pelindung Pedang

    Li Shen menatap matahari yang tenggelam di balik pegunungan, menciptakan rona keemasan yang mengalir di sepanjang lembah. Hening, seolah dunia ini sedang menanti. Di sekelilingnya, desiran angin berhembus pelan, membawa aroma tanah dan dedaunan yang basah. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Sebuah kekuatan yang mengintai, namun tak terlihat, menggelayut di udara. "Li Shen," suara itu terdengar di telinganya, lembut dan dalam, seolah datang dari jauh. "Sudah waktunya." Ia menoleh. Di hadapannya, ada tiga sosok yang muncul dari kabut tipis yang tiba-tiba muncul, masing-masing memiliki aura yang tak bisa disangkal. Seperti bayangan, mereka berdiri dalam diam yang memikat. Bai Long, sang Naga Putih, adalah sosok pertama yang menyapanya. Dengan tubuh yang tinggi dan ramping, putih bersih seperti salju, ia memancarkan kekuatan yang begitu murni dan tak tergoyahkan. "Li Shen," kata Bai Long, suaranya sejuk namun penuh tekanan, "Kamu telah sampa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status