Li Feng berdiri di tengah hutan yang gelap. Tidak ada suara angin, tidak ada burung yang berkicau. Semuanya terasa sepi, sunyi, seperti dunia yang membeku, menghentikan waktu untuk memberi ruang bagi ketakutan yang bergejolak dalam hati. Tangan kanannya, yang dulunya memegang Pedang Naga Langit dengan penuh kekuatan, kini terkulai lesu di samping tubuhnya yang lelah. Kekuatan yang pernah ada dalam dirinya, yang memampukannya menghadapi musuh-musuh terberat, kini menghilang, tak tersisa.
Tubuhnya lemah. Setiap langkah terasa berat, seperti beban dunia yang menekan punggungnya. Tidak ada lagi energi mistik yang mengalir melalui tubuhnya, tidak ada lagi aliran chi yang menguatkan setiap gerakannya. Ia bukan lagi Li Feng sang pendekar, bukan lagi penjaga pedang legendaris. Ia hanyalah manusia biasa—manusia yang tidak memiliki apa-apa selain kenangan akan kekuatan yang hilang. Di hadapannya, Mei Yue berdiri, wajahnya pucat namun penuh keyakinan. Mata merekaAngin musim gugur berembus lembut di atas perbukitan yang mengelilingi Desa Ping An. Daun-daun berwarna merah bata dan kuning keemasan berguguran seperti serpihan langit yang terjatuh perlahan, menyelimuti tanah dengan nuansa hangat sekaligus muram. Langit menjingga, mentari mulai bersembunyi di balik cakrawala, meninggalkan bias cahaya lembut yang menari di wajah para pemuda desa yang berkumpul di lapangan utama. Li Feng berdiri di tengah kerumunan itu, tanpa pedang di punggungnya, tanpa baju zirah, hanya dengan jubah sederhana berwarna kelabu yang berkibar tertiup angin. Sorot matanya tajam, namun damai. Matanya tidak lagi menyimpan amarah, hanya harapan. “Dengarkan baik-baik!” serunya dengan suara lantang, memecah keheningan senja. “Kita mungkin tidak memiliki tenaga dalam, kita mungkin tidak memiliki senjata sakti seperti para pendekar besar… tetapi kita punya sesuatu yang jauh lebih kuat—tekad dan keberanian!” Beberapa pemuda menundu
Li Feng berdiri di puncak bukit, matanya menatap lekat pada horizon yang membentang. Di sana, di bawah awan kelabu yang menggantung berat, kota pertama yang jatuh ke tangan Penerus Pedang Kegelapan terhampar. Kota yang selama ini menjadi garis depan pertahanan Kekaisaran kini hanya tinggal puing-puing dan kehancuran. Keheningan yang mencekam menyelimuti kawasan itu, seakan seluruh dunia sedang menahan napas, menunggu kehancuran yang lebih besar. Dulu, tempat ini penuh kehidupan. Pasar yang ramai, suara pedagang yang memanggil pembeli, dan rumah-rumah yang berdiri kokoh, kini telah berubah menjadi lautan abu dan reruntuhan. Api yang tak terpadamkan membakar sisa-sisa bangunan yang hancur, menghanguskan semuanya, bahkan harapan yang pernah ada. Li Feng menggenggam tangannya, bukan karena dinginnya udara, tapi karena ada sesuatu yang lebih beku di dalam dadanya. Hatinya, yang dulunya penuh dengan semangat dan keyakinan, kini terasa rapuh dan ha
Li Feng berdiri di tengah hutan yang gelap. Tidak ada suara angin, tidak ada burung yang berkicau. Semuanya terasa sepi, sunyi, seperti dunia yang membeku, menghentikan waktu untuk memberi ruang bagi ketakutan yang bergejolak dalam hati. Tangan kanannya, yang dulunya memegang Pedang Naga Langit dengan penuh kekuatan, kini terkulai lesu di samping tubuhnya yang lelah. Kekuatan yang pernah ada dalam dirinya, yang memampukannya menghadapi musuh-musuh terberat, kini menghilang, tak tersisa. Tubuhnya lemah. Setiap langkah terasa berat, seperti beban dunia yang menekan punggungnya. Tidak ada lagi energi mistik yang mengalir melalui tubuhnya, tidak ada lagi aliran chi yang menguatkan setiap gerakannya. Ia bukan lagi Li Feng sang pendekar, bukan lagi penjaga pedang legendaris. Ia hanyalah manusia biasa—manusia yang tidak memiliki apa-apa selain kenangan akan kekuatan yang hilang. Di hadapannya, Mei Yue berdiri, wajahnya pucat namun penuh keyakinan. Mata mereka
Li Feng menatap pedang itu, mata penuh perjuangan dan keputusasaan. Pedang Naga Langit, senjata yang telah mengubah hidupnya, kini berada di tangannya. Kekuatan dan kutukannya, yang begitu lama menguasai jiwanya, bersatu dalam senjata ini. Seperti kilatan petir, ingatan tentang perjalanan panjangnya—pertempuran demi pertempuran, pengkhianatan, dan pengorbanan—terpancar jelas di matanya. Mei Yue terbaring di hadapannya, kristal beku yang dulunya adalah tubuh yang penuh jiwa dan harapan. Kini, ia hanya sebuah kenangan yang terperangkap dalam tubuh yang beku. Kristal itu mengkilap di bawah cahaya Pedang Naga Langit, seolah-olah memantulkan dunia yang telah hancur. Keringat menetes di pelipis Li Feng. Ia tahu keputusan ini adalah yang paling sulit dalam hidupnya. Tidak ada jalan kembali. Pedang Naga Langit bersinar dengan cahaya biru yang dingin, seakan menyadari apa yang akan terjadi. “Aku tidak bisa melakukan ini,” bisik Li Feng dengan suara hampir tak te
Li Feng memandangi tubuh Mei Yue yang kini tergeletak tak bergerak, beku seperti patung es. Wajahnya yang dulu penuh dengan kehidupan dan harapan kini terbungkus dalam lapisan kristal bening yang dingin. Namun, meski tubuhnya telah menjadi kristal, air mata yang menetes dari matanya masih terperangkap dalam bentuk kristal hidup—sebuah kenangan yang tak akan pernah pudar, selamanya terjaga dalam bentuk yang abadi. "Mei Yue..." Li Feng berbisik, suara itu berat dengan rasa sakit yang tak terungkapkan. Setiap helaan napasnya terasa seperti beban dunia yang tertumpuk di dada. Ia menatap wajah Mei Yue yang kini seperti tenggelam dalam tidur panjang, seolah waktu telah berhenti. Namun, ia tahu—ini bukanlah tidur. Ini adalah akhir dari segalanya, atau mungkin hanya awal dari sesuatu yang lebih besar, lebih gelap. Langit malam di atas mereka tak menunjukkan tanda-tanda kedamaian. Angin dingin bertiup kencang, seperti menangis bersama Li Feng. Sekeli
Langit memerah. Fajar menembus kabut tipis di lembah Wanshou. Di ujung tebing batu, tempat sunyi yang dahulu menjadi tanah pelatihan terakhir almarhum Guru Mo Jing, berdiri seorang pria dalam diam—Li Feng. Tubuhnya diam, tapi dadanya bergemuruh. “Kau mewarisi lebih dari sekadar jurus,” kata-kata terakhir sang guru terus menggema di benaknya. “Kau... mewarisi semangat.” Angin berembus pelan. Namun setiap tiupan seolah membawa bisikan masa lalu. Suara langkah kaki para murid yang telah tiada. Seruan tawa Mei Yue saat dulu mereka berlatih bersama. Tangisan senyap dari dirinya yang tak sanggup menyelamatkan mereka semua. “Maaf...” bisiknya lirih. “Aku terlalu lambat... terlalu lemah...” Tapi di balik suaranya yang pecah, ada bara yang tak padam. Dari balik kabut, suara langkah mendekat. Pelan. Tapi pasti. Seorang anak muda muncul. Bocah remaja berusia tak lebih dari lima belas tahun. Paka
Hening. Begitu heningnya ruang refleksi itu, hingga napas Li Feng sendiri terdengar seperti lolongan jiwa-jiwa terbuang. Di hadapannya, Mei Yue duduk lemah bersimpuh, dirantai oleh cahaya yang bukan berasal dari dunia ini. Rantai itu berkilauan bagai air, namun beratnya melebihi beban seribu kutukan. Cermin-cermin di sekeliling memantulkan bayangan luka—setiap dosa, setiap kegagalan, setiap keputusan yang pernah mereka sesali. “Li Feng…” suara itu lirih, retak, nyaris tak terdengar. Tapi bagi Li Feng, suara itu lebih nyaring dari guntur di langit. “Aku tak bisa keluar… kecuali kau membunuhku.” “Apa…?” Li Feng bergetar. Tangannya mencengkeram sarung pedangnya, lalu lepas lagi. Kakinya goyah. “Jangan… jangan katakan begitu.” Mei Yue tersenyum. Tipis. Pahit. “Kau tahu aku tak bohong. Ruang ini… ini bukan sekadar penjara. Ini adalah hukuman. Aku melihat semuanya, Li Feng. Setiap hari. Aku melihat kematianku berulang. Aku meliha
Pantulan yang Terlupakan Langkah kaki mereka bergema pelan di lorong batu yang lembab, membelah keheningan pekat di ruang bawah tanah Istana Giok Tua. Dinding di sekeliling ditumbuhi lumut, dan hawa dingin menusuk hingga ke tulang. Tidak ada nyala obor, tidak ada cahaya bulan, namun entah mengapa Li Feng dapat melihat jalannya dengan jelas—seolah-olah kegelapan itu sendiri memberi ruang baginya untuk lewat. Ling’er mengekor di belakang, napasnya bergetar halus, penuh kekhawatiran. “Feng-ge… kau yakin ini tempatnya?” Li Feng tidak menjawab. Matanya tertumbuk pada sesuatu di ujung ruangan—sebuah cermin perak raksasa berdiri tegak, dikelilingi oleh kabut hitam yang terus berputar seperti asap dari api yang tak padam. Permukaannya tak memantulkan apa pun, hanya kekosongan. Begitu kakinya melangkah lebih dekat, kabut menyusut. Suasana berubah. Bukan hanya dingin yang menyentuh kulitnya—tetapi juga rasa sesak, seperti ada tangan
“Mei Yue…?” Suara itu nyaris tercekat di tenggorokan Li Feng saat ia menatap sosok di hadapannya. Matanya menyipit, mencoba mengusir keraguan yang menggumpal seperti kabut dingin di dalam hatinya. Di ujung arena Api dan Salju itu, berdiri seorang perempuan dengan gaun putih robek yang tampak melambai-lambai ditiup angin dingin. Rambut panjangnya basah dan kusut, menempel di wajah pucatnya. Tapi… mata itu… tatapan itu… Ah! “Itu kau… atau bukan?” gumam Li Feng, satu langkah maju. Tapi langkahnya goyah. Nafasnya terengah, tubuhnya masih bergetar karena suhu ekstrem arena yang telah ia lewati. Tapi bukan itu yang membuatnya ragu. Itu tatapan yang tidak wajar. Terlalu tenang. Terlalu… kosong. “Li Feng…” ucap sosok itu. Suaranya lembut, seperti bisikan di malam yang sunyi. “Kau datang juga…” Brak! Jantung Li Feng seperti dilempar keluar dari dadanya. “Tidak… Kau bukan dia!” serunya tiba-tiba. Ia mencabut Pedang Nag