Angin malam berhembus tajam di puncak Gunung Esmeralda. Di bawah sinar bulan yang pucat, bayangan para pendekar terpantul di atas es yang membeku. Li Feng berdiri tegak dengan napas memburu, matanya tajam menatap sosok di depannya—pengkhianat di antara mereka.
"Sialan!" gumam Li Feng, tangannya menggenggam gagang pedangnya erat. Di hadapannya, Guo Ren, seorang pendekar yang selama ini ia percaya, berdiri dengan senyum licik. Di tangannya, Pedang Naga Langit bergetar, seolah menolak disentuh oleh orang yang tidak layak. Cahaya biru samar memancar dari bilahnya, memberikan hawa dingin yang menusuk. "Aku tidak ingin melakukan ini, Li Feng," kata Guo Ren dengan suara datar. "Tapi aku tidak punya pilihan. Pedang ini bukan untukmu—aku lebih pantas memilikinya!" Li Feng menggeram, merasakan kemarahan membakar dadanya. "Kau mengkhianati kami semua demi ambisimu sendiri?" Guo Ren menyeringai. "Ambisi? Ini bukan hanyaAngin malam berhembus dingin di puncak Gunung Esmeralda. Aroma tanah basah bercampur dengan sisa asap dupa yang perlahan menghilang di antara batu-batu kuno kuil. Dalam cahaya remang obor yang menari-nari, Li Feng berdiri diam, napasnya tertahan. Tangannya masih menggenggam erat Pedang Naga Langit, pedang legendaris yang baru saja ia cabut dari singgasananya di altar batu. Saat pedang itu keluar sepenuhnya dari sarungnya yang berlumut, kilatan biru kehijauan berpendar dari bilahnya, menyapu seluruh ruangan dengan cahaya mistis. Energi aneh menjalar dari pedang ke tubuh Li Feng, masuk melalui tangannya, merayap ke lengannya, lalu menyebar ke seluruh tubuhnya seperti ular berbisa yang merayap di dalam darahnya. "Ahh...!" Li Feng menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyerang. Sesuatu merasuk ke dalam dirinya. Suara bisikan-bisikan samar mulai memenuhi pikirannya—suara yang asing, namun seakan berasal
Dinginnya angin malam membelai wajah Li Feng saat ia menatap pedang di tangannya. Pedang Naga Langit berkilauan di bawah sinar bulan, pantulan cahayanya seperti mata naga yang sedang mengawasi mangsanya. Tapi ada sesuatu yang aneh. Pedang ini… terasa hidup. "Kenapa pedang ini terasa begitu berat?" gumamnya sambil mengerutkan dahi. Li Feng menghela napas panjang, berusaha mengabaikan perasaan aneh yang menyelimuti hatinya. Namun, seiring waktu berlalu, sesuatu mulai mengusik pikirannya. Setiap kali ia menutup mata, ia melihat bayangan merah, seperti darah yang mengalir deras, membanjiri tanah di sekelilingnya. Ia mendengar bisikan—suara yang samar namun menusuk relung pikirannya. “Kau haus darah, bukan?” Seketika Li Feng terbangun dari tidurnya, napasnya memburu, keringat dingin membasahi dahinya. Pandangannya mengarah ke pedang yang tergeletak di sampingnya. Jari-jarinya gemetar saat menyentuh gagangnya. "Apa
Langit mendung menyambut perjalanan Li Feng kembali ke ibu kota. Sore yang kelabu, dengan awan gelap menggantung di atas, seakan mencerminkan suasana hatinya. Dari kejauhan, dia bisa melihat kemegahan ibu kota kekaisaran yang berdiri tegak, sebuah kota yang penuh dengan ambisi, intrik, dan rahasia. Namun, bagi Li Feng, ibu kota kini terasa seperti sebuah dunia asing—sebuah dunia yang sudah tidak lagi mengenalnya, seperti sebuah medan pertempuran yang akan menguji kesetiaannya, keberaniannya, dan kepercayaan dirinya. Saat kuda yang ditungganginya melaju cepat menuju gerbang kota, Li Feng merasakan pandangan yang penuh penghormatan dari beberapa orang yang melihatnya. Para prajurit, penduduk biasa, bahkan pedagang yang biasa mengabaikannya kini menatapnya dengan mata penuh rasa kagum. Namun, di balik tatapan itu, Li Feng tahu ada bahaya yang lebih besar menantinya. Ia bisa merasakannya di setiap langkah yang ia ambil. "Li Feng! Li Feng!" suara keras meman
Cahaya lilin berkelip di dalam kamar mewah yang dipenuhi aroma obat-obatan. Putri Ling’er terbaring di atas ranjang berselimut sutra, wajahnya masih pucat meski napasnya sudah lebih teratur. Di sudut ruangan, seorang tabib istana menutup kotak obatnya dengan ekspresi lega. "Putri sudah stabil, luka-lukanya tidak membahayakan nyawa," ujar sang tabib kepada seorang pelayan yang berdiri di dekat pintu. Di luar kamar, Li Feng bersandar di dinding, tangannya terkepal. Malam yang mencekam itu masih membekas dalam pikirannya—serangan yang hampir merenggut nyawa Putri Ling’er dan jebakan yang nyaris menjeratnya dalam permainan politik yang busuk. Kilau emas dan merah darah menghiasi balairung istana. Para pejabat berdiri berjajar dengan pakaian formal mereka, wajah mereka beragam—ada yang tersenyum tulus, ada yang menatap penuh kecemburuan, dan ada pula yang mengintai dengan niat tersembunyi. Li Feng melangkah dengan langkah tegap, pakaiannya mas
Li Feng berdiri di tengah aula istana yang sunyi, dikelilingi tatapan tajam para pejabat tinggi. Tuduhan yang menimpanya begitu berat—pengkhianatan, konspirasi melawan Kaisar, dan ambisi pribadi yang mengancam kestabilan kekaisaran. Darahnya masih berceceran di lengan jubahnya akibat pertempuran sebelumnya, tetapi rasa sakit itu tak sebanding dengan tekanan yang kini ia hadapi. Mata Kaisar menatapnya dengan dingin, penuh keraguan. Jenderal Zhao tersenyum tipis, puas melihat Li Feng dalam posisi terjepit. "Yang Mulia," katanya dengan nada penuh kepalsuan, "Li Feng telah menunjukkan keberanian di medan perang, tetapi juga kesombongan. Bagaimana mungkin seorang prajurit rendahan tiba-tiba menjadi pahlawan yang disanjung? Tidakkah Yang Mulia merasa ada yang tidak beres di sini?" Bisikan-bisikan terdengar di antara pejabat istana. Beberapa dari mereka sudah lama iri pada Li Feng, seorang rakyat biasa yang tiba-tiba naik pangkat begitu cepat.
Langit senja di ibu kota membentang seperti kanvas merah darah, seolah memberi pertanda akan datangnya badai besar. Di dalam istana kekaisaran, suasana tegang menguasai ruangan pertemuan. Para pejabat berdiri di sisi kiri dan kanan, sementara di atas singgasananya, Kaisar menatap tajam ke arah Li Feng. Li Feng berdiri tegap di hadapan Kaisar, wajahnya tetap tenang meski dadanya bergemuruh. Pedang Naga Langit tersarung di pinggangnya, terasa berat bukan hanya karena bobotnya, tetapi juga karena kutukan yang masih samar-samar berbisik di benaknya. “Li Feng,” suara Kaisar menggema di dalam ruangan. “Kau telah membawa pulang Pedang Naga Langit, tetapi tugasmu belum selesai.” Li Feng menunduk hormat. “Hamba siap menjalankan perintah Baginda.” Kaisar menghela napas pelan, lalu menatap para pejabatnya. “Pemberontakan Serigala Hitam semakin menjadi-jadi di perbatasan barat. Panglima Wu dan pasukannya telah kalah telak. Kota benteng
Matahari mulai merangkak turun di ufuk barat, mewarnai langit dengan semburat jingga keemasan. Angin sore berembus pelan, menggoyangkan bendera-bendera perang yang berkibar di seluruh perkemahan. Pasukan berkumpul di sana, sebagian sedang mengasah pedang mereka, sementara yang lain duduk melingkar, membahas strategi pertempuran yang akan datang. Li Feng berdiri di tepi bukit kecil, memandangi pemandangan di bawahnya. Sorot matanya tajam, tetapi hatinya berdebar. Perasaan aneh menyelinap dalam dirinya—campuran kegembiraan, kecemasan, dan rasa tanggung jawab yang semakin besar. Seorang prajurit bergegas mendekat, wajahnya penuh keringat. "Tuan Li Feng," katanya sambil membungkuk hormat. "Panglima Wei memanggil Anda ke tenda utama. Ada pertemuan penting." Li Feng mengangguk. Tanpa berkata-kata, ia melangkah mengikuti prajurit itu. Sepanjang jalan, tatapan para prajurit lain tertuju padanya. Ada yang penuh hormat, ada pula yang menyiratkan ke
Pagi itu, kabut tipis menyelimuti Lembah Berdarah, memberikan suasana yang mencekam. Li Feng memimpin pasukannya dengan langkah mantap, mata tajamnya mengamati setiap sudut lembah yang sempit dan berliku. Panglima Wei berjalan di sampingnya, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tak tersembunyi. "Li Feng, lembah ini memiliki reputasi buruk. Banyak pasukan yang hilang tanpa jejak di sini," kata Panglima Wei dengan suara rendah. "Benar, Panglima. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Kita harus melewati lembah ini untuk mencapai benteng musuh sebelum mereka menyadari keberadaan kita," jawab Li Feng tegas. Saat mereka melangkah lebih dalam ke lembah, suara burung dan hewan hutan perlahan menghilang, digantikan oleh keheningan yang menekan. Tiba-tiba, terdengar suara gemerisik dari atas tebing. "Berhenti!" perintah Li Feng sambil mengangkat tangan. Pasukannya segera berhenti, mata mereka mencari-cari sumber suara.
Li Feng terengah-engah, napasnya terputus-putus, matanya terbelalak seiring dengan pelan terbukanya rahasia yang paling kelam dari pertempuran yang tak kunjung berakhir. Di hadapannya, Jenderal Bayangan, musuh yang selama ini mengancam kehidupannya, berdiri tegak. Wajah yang terungkap setelah topeng itu terkelupas, membuat dunia terasa berputar. Ternyata, wajah yang tertangkap oleh matanya adalah wajahnya sendiri. Li Feng mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar, seolah mencari pegangan. Tetapi, betapa pun ia mencoba untuk menegaskan apa yang dilihatnya, kenyataan itu tetap mengguncang jiwanya. Apa yang baru saja terjadi? Jenderal Bayangan, pria yang telah mengorbankan begitu banyak dalam peperangan ini, ternyata… sama seperti dirinya. "B-Bukan mungkin," Li Feng bergumam pada dirinya sendiri. Tangan yang memegang Pedang Naga Langit terasa lebih berat dari biasanya. Ia hampir tidak bisa mengendalikan pikirannya yang berkecamuk, yang se
Li Feng berdiri dengan napas terengah-engah di tengah medan perang yang terbakar. Api masih menyala di sekelilingnya, melahap sisa-sisa pasukan yang kalah dan menimbulkan asap pekat yang mengaburkan pandangan. Namun, segala kekacauan ini tidak lagi menghalangi pandangannya. Semua perhatiannya tertuju pada satu sosok, yang berdiri di hadapannya, seperti bayangan yang tak bisa disentuh oleh api. Jenderal Bayangan. “Ha!” Li Feng mengangkat Pedang Naga Langit, menghunusnya ke udara. Setiap kilatan pedang itu menciptakan cahaya yang bersinar lebih terang dari api yang menghanguskan tanah. Di hadapannya, Jenderal Bayangan berdiri dengan tenang, matanya yang tersembunyi di balik topeng perak memancarkan aura dingin, tak bisa dibaca. “Mereka bilang kau tak akan bisa menembus pertahananku,” kata Jenderal Bayangan dengan suara serak yang menggema di telinga Li Feng. “Namun kau terus datang. Keterampilanmu memang luar biasa, tetapi kau belum cukup kuat.”
Lembah Tujuh Langit telah menjadi saksi bisu dari ribuan pertarungan legendaris. Terkubur dalam sejarah panjang yang berabad-abad, tempat ini terkenal sebagai medan yang hanya bisa ditaklukkan oleh mereka yang benar-benar memiliki jiwa seorang pendekar. Namun, saat ini, tanah yang dipenuhi dengan aura kekuatan tersebut terasa semakin sunyi dan mencekam. Hanya ada dua pasukan yang mengisi kesunyian itu, satu pasukan yang terdesak, dan satu lagi yang datang dengan harapan untuk merenggut kehidupan mereka. Li Feng berdiri di bibir jurang yang menatap lembah yang terhampar luas di bawah kakinya. Hanya ada tiga ribu prajurit yang tersisa di pihaknya—pasukan yang tersisa setelah bertahan melawan serangan pasukan Shen Lu yang tak kenal ampun. Angin malam yang dingin berdesir melalui rambutnya, menciptakan ketenangan yang seolah bertentangan dengan pertempuran yang sudah di depan mata. “Bai,” panggilnya, suaranya sedikit tercekat, “Apakah kau yakin ini satu-satunya cara?”
Lembah Tujuh Langit—tempat yang dikenal sebagai tanah suci bagi para pendekar sejati—menjadi saksi dari perjuangan yang semakin mendekati garis akhir. Di sini, Li Feng berdiri tegak di samping Jenderal Bai, memandang lurus ke depan dengan tatapan tajam yang tak terhalang. Di belakang mereka, tiga ribu pasukan yang tersisa, masing-masing dengan wajah yang penuh keteguhan, namun tak bisa menutupi ketegangan yang terasa di udara. "Jenderal Bai," suara Li Feng menggema di antara batu-batu besar yang mengelilingi lembah. "Ini adalah satu-satunya tempat di mana kita bisa bertahan." Jenderal Bai mengangguk perlahan, meski raut wajahnya penuh kerut mendalam, seolah beban sejarah masa lalunya kembali menghantui setiap langkah yang ia ambil. "Tujuh Langit... tempat ini menyimpan banyak rahasia," jawabnya, suaranya serak. "Dan aku tidak yakin kita akan keluar dari sini hidup-hidup." Li Feng merasakan beratnya kata-kata itu, namun ia tahu bahwa pilih
Li Feng berdiri tegap di hadapan gua yang gelap. Udara di sekitar Padang Asin ini terasa lebih berat dari biasanya. Angin yang seharusnya menyegarkan malah menambah kesan angker, menggulung sepi yang semakin menyesakkan. Pikirannya berkelana, meraba ke segala arah, berusaha menyusun kata-kata yang tepat untuk menyentuh hati seorang pria yang telah terasing begitu lama—Jenderal Bai. Dia adalah satu-satunya orang yang bisa mengubah arah pertempuran yang akan datang. Bai, yang dulu dikenal sebagai Jenderal Perang terkuat, kini tinggal bayangannya sendiri, seolah terlupakan oleh dunia. Namun, ada satu hal yang Li Feng tahu pasti: hanya Bai yang bisa menghentikan pasukan Shen Lu yang datang bagaikan badai, menggulung semua yang ada di hadapannya. Li Feng melangkah memasuki gua, diikuti oleh Putri Ling’er yang setia. Setiap langkahnya terasa semakin berat. Mereka mendekati tempat di mana Bai mengasingkan diri, tempat di mana dia memilih untuk melupakan semua
Li Feng menatap horizon dengan pandangan kosong. Langit yang kelabu, penuh dengan awan mendung, seakan menggambarkan beratnya perjalanan yang harus dilalui. Di depan matanya, medan perang semakin mendekat, dan Shen Lu dengan pasukannya yang tak terhentikan hampir mencapai gerbang ibu kota. Namun, Li Feng tahu bahwa ada satu harapan terakhir yang bisa mencegah kehancuran. “Jenderal Bai... di mana dia?” pikirnya, menggenggam erat Pedang Naga Langit yang ada di tangannya. Pedang itu masih terbalut energi gelap yang terus-menerus mengalir ke dalam tubuhnya, mengingatkannya akan kutukan yang kerap mengganggu. Namun, ia sudah terbiasa dengan rasa sakit itu—lebih baik rasa sakit itu daripada kehilangan segalanya. Dari dalam kedalamannya, suara Putri Ling’er terngiang, mengingatkannya pada kata-kata terakhir mereka sebelum berpisah. “Kamu bisa menghadapinya, Li Feng. Tak peduli betapa beratnya jalan ini, kamu harus menemukan jalan keluarnya. Jangan biarkan peda
Angin malam berdesir di antara pilar-pilar Istana Selatan, membawa aroma darah yang masih hangat. Li Feng berdiri mematung. Di hadapannya, tubuh Perdana Menteri Gao tergeletak tak bernyawa, darah mengalir perlahan dari luka di lehernya — merah pekat di atas lantai batu putih yang bersih. "Guru..." gumamnya lirih, hampir seperti bisikan yang hilang tertiup angin. Ia mengepalkan tinjunya, gemetar. "Mengapa harus begini...?!" Di tangan Gao yang membeku, sebuah gulungan kecil tampak tersembunyi, hampir terlewatkan jika Li Feng tidak memperhatikannya dengan saksama. Dengan langkah berat, seolah setiap gerakan menambah beban di pundaknya, ia berlutut dan mengambil gulungan itu. Kulitnya sudah rapuh, nyaris retak di setiap sudutnya, seperti usianya yang sudah terlalu tua untuk membawa rahasia besar. Li Feng menarik napas dalam-dalam. Srek! Ia membuka gulungan itu perlahan, takut bahwa sedikit saja kecerobohan akan m
Langkah-langkah itu terdengar menggema di lorong panjang Istana Timur, seirama dengan detak jantung Li Feng yang berdentam di telinganya. “Hah... hah...” Napasnya berat, tapi matanya tetap tajam, menusuk kegelapan seperti pedang yang terhunus. Bayangan Perdana Menteri Gao sudah tampak di depan. Tubuh tua itu berdiri tenang, seolah-olah telah menunggunya sejak lama. Sebuah senyum getir melintas di wajah keriput itu, penuh kelelahan... dan penyesalan. "Li Feng..." Gao mengangguk pelan, suaranya serak. "Akhirnya kau datang." Li Feng berhenti beberapa langkah di depannya. Tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya. "Mengapa, Guru...?" suaranya pecah, setengah berteriak, setengah memohon. "Mengapa Anda... Anda yang dulu mengajarkan saya tentang kehormatan, tentang kesetiaan pada negeri ini... malah berkhianat?!" Perdana Menteri Gao menghela napas panjang. "Kesetiaan?" Ia terkekeh pahit. "Apa itu kesetiaan, anak muda? Pada siapa ka
Malam itu, langit di atas ibu kota menggantung berat, seolah menahan ribuan jeritan yang tak pernah diucapkan. Kabut tipis menyelimuti jalan-jalan batu, membuat istana megah di kejauhan tampak seperti bayangan raksasa yang menyamar di balik dunia nyata. Li Feng menarik napas dalam-dalam. Sial… pikirnya. Setiap langkah yang ia ambil di atas tanah kekaisaran kini terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Tidak ada lagi tempat yang aman. Tidak ada lagi wajah yang bisa dipercayai. "Kau yakin mau melakukan ini?" suara Mei Yue, pelan seperti desir angin, membelah kebisuan malam. Li Feng menoleh. Mata perempuan itu bersinar dalam temaram lentera jauh di belakang mereka. Ada ketegangan, ada keraguan. Tapi yang paling kuat… ada ketakutan. Bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuknya — untuk Li Feng. "Huh," Li Feng mendengus, setengah tersenyum getir. "Kalau bukan aku, siapa lagi?" Tanpa menunggu jawaban, ia melangka