Hening.
Itulah suara pertama yang menyambut Li Feng saat ia membuka matanya. Tapi bukan keheningan biasa. Ini adalah keheningan yang menelan, membungkam, membekukan—seakan seluruh dunia menahan napas. “Ngh… Di mana ini…?” gumamnya, matanya menyipit menatap sekeliling. Tak ada langit. Tak ada tanah. Hanya kabut kelabu yang tak berujung, menggulung seperti awan mati. Udara dingin menusuk tulangnya, tetapi tak ada angin. Yang ada hanyalah tekanan—tekanan yang menindih tubuh dan jiwanya. Baru saja ia melewati latihan yang hampir membunuhnya. Tubuhnya remuk, jiwa terkoyak. Tapi ia bertahan. Bertahan demi ibunya, demi tanah kelahirannya… dan demi dirinya sendiri. Tapi sekarang? “Apakah aku… mati?” tanyanya, suara bergetar. Tiba-tiba… suara langkah terdengar. Tap… tap… tap… Li Feng menoleh cepat. Jantungnya berdetak kencang. Dari balik kabut, muncul sesosok bayangan. Langkahnya mantap,Langit yang semula berwarna merah darah kini mulai memudar. Waktu terasa melambat, seperti terperangkap dalam ruang yang tak bisa diukur. Li Feng berdiri di tengah pusaran kegelapan yang mengancam untuk merobek dunia ini. Seiring dengan hembusan angin yang membawa aroma kehancuran, ia menyadari bahwa ini adalah akhir dari segala sesuatu yang pernah ia kenal. Ia sudah jauh melangkah—tak ada jalan kembali. Dalam diam, ia memandang Mei Yue, yang kini berdiri di sisi lainnya, matanya dipenuhi dengan rasa takut dan kehilangan yang dalam. “Li Feng…” Mei Yue memanggil dengan suara tergetar, namun ada keteguhan yang tercermin di baliknya. “Apa kau benar-benar akan melakukan ini? Apa kau benar-benar akan meninggalkan kita semua?” Li Feng menatap Mei Yue, seakan ingin menyampaikan begitu banyak hal dalam satu tatapan. Tapi kata-kata terasa tak cukup. Ia hanya bisa tersenyum, senyuman yang penuh kepedihan. "Aku berjanji untuk mengakhiri ini. Dan itu berarti… aku h
Langit telah berubah warna. Merah darah mengoyak cakrawala, seolah-olah dunia sedang menangis. Asap dan abu beterbangan menari bersama reruntuhan. Jeritan manusia tak lagi terdengar, bukan karena tak ada yang berteriak, tapi karena dunia telah menjadi terlalu sunyi untuk mendengarkannya. Li Feng berdiri di tengah medan pertempuran, tubuhnya berlumur darah, tapi tak semuanya miliknya. Mei Yue di sampingnya, wajahnya tak lagi penuh amarah, tapi… ketakutan. Bukan karena Tian Xuan, bukan karena ribuan iblis yang berdiri di baliknya, tapi karena senyuman di wajah Li Feng yang ia tahu… bukan senyum kemenangan. “Jadi… akhirnya begini, ya?” suara Li Feng nyaris seperti bisikan angin. Mei Yue menggenggam lengan bajunya. “Kau tak harus melakukannya. Kita bisa cari cara lain. Tian Yi, dia masih di sana. Dia belum kalah!” “Bukan tentang kalah atau menang.” Li Feng menatap awan kelam yang bergulung di atas ibu kota. “Ini tentang apa yan
Langit Menyimpan Rahasia Udara malam menyisakan bau darah dan abu. Kota Xiangluan baru saja melewati malam yang sunyi namun mengguncangkan: serangan kelompok bayangan yang memporakporandakan gerbang timur dan menghilang tanpa jejak. Di atas tembok kota, seorang pemuda berselimut mantel hitam berdiri menatap bintang-bintang yang tertutup awan. Angin dingin menampar wajahnya, tapi matanya justru menyala oleh semangat yang sukar dijelaskan. Tian Yi menarik napas panjang. "Sudah sepuluh tahun... dan aku masih belum tahu siapa aku sebenarnya..." Tangannya menggenggam liontin batu giok yang tergantung di lehernya—batu yang dulu ditemukan di samping tubuhnya saat ia terbangun tanpa ingatan, di kaki gunung Qingshan. Sejak saat itu, ia belajar silat di perguruan Gunung Seribu Awan, menjelajahi negeri demi mencari potongan ingatan, dan kini berdiri di hadapan dunia yang dilanda perang dan misteri. Suara langkah ringan
Hari-hari setelah pertempuran di dimensi tanpa waktu itu, Tian Yi mendapati dirinya dalam perjalanan panjang menuju takdir yang tak pernah ia duga. Dalam keheningan malam, ketika angin berhembus dingin dan pemandangan di sekelilingnya tampak kabur, ia berlatih dengan tekun. Langit yang dipenuhi awan tebal seolah menjadi saksi bisu atas kesendirian yang ia rasakan dalam hatinya. Satu lengan yang hilang, menggantungkan beban berat dalam setiap gerakan. Dengan semangat yang tak pernah pudar, Tian Yi berusaha mengatasi kekurangannya. Setiap latihan yang dilakukannya adalah untuk mengisi kekosongan, untuk mengembalikan kehormatan yang telah hilang dalam dirinya. Begitu banyak hal yang masih membebani pikirannya—pedang naga langit, kegelapan yang terus mengintai, dan pertarungan tak berkesudahan dengan bayangan masa lalu. "Tian Yi, apakah kau merasa cukup?" suara Li Feng, yang kini hanya bergema dalam pikirannya, berbisik perlahan. "Hanya dengan satu tangan,
Tian Yi terjatuh dalam keheningan dimensi tak dikenal. Dunia di sekelilingnya berguncang hebat, seolah-olah seluruh alam semesta sedang terhuyung. Pedang Naga Langit yang terpasang di tangannya bergetar, seakan merasakan kegelisahan hati pemiliknya. Semua yang terjadi begitu cepat, namun demikian dalam. Ia nyaris saja terbunuh oleh serangan Tian Xuan yang berubah menjadi makhluk kegelapan abadi. Namun, keberadaan pedang itu, yang semula begitu menakutkan, kini seakan meresap ke dalam jiwanya, menawarkan sebuah harapan samar. Namun harapan itu bukan tanpa pengorbanan. Suara Li Feng... suara yang telah lama menghilang, tiba-tiba terdengar jelas dalam benaknya. Bisikan halus yang seolah menyusup melalui celah-celah dimensi yang gelap. "Jangan biarkan kegelapan menguasai hatimu, Tian Yi. Keberanian terletak dalam keteguhanmu untuk tetap percaya... meski dalam keadaan terburuk." Tian Yi merasakan darahnya mendidih, seolah setiap kata yang diuc
Di tengah keheningan dimensi yang tak bernama itu, waktu tampak berhenti. Li Feng dan Tian Yi masih terperangkap dalam ruang yang tak terikat oleh hukum alam. Dinding-dinding dimensi ini berkilau dengan warna gelap yang bergerak, seolah hidup, seolah menelan segala harapan yang mereka miliki. Keduanya, seakan berada di persimpangan takdir yang tak dapat dihindari. Tian Xuan, kini berubah menjadi makhluk yang jauh lebih mengerikan, menatap dengan mata yang memancarkan cahaya merah terang. Di belakangnya, bayangan besar yang hampir tampak seperti seekor naga, menggeliat di udara, menyebar kegelapan yang lebih pekat dari malam. “Aku... lebih dari sekadar salinan. Aku adalah yang seharusnya menjadi pewaris Pedang Naga Langit. Aku, Tian Xuan, adalah bagian dari takdirmu yang sesungguhnya,” suara itu menggema di dalam dimensi, seakan berasal dari segala penjuru. Tian Yi terengah-engah, berdiri tegak meskipun tubuhnya hampir tak mampu bertahan lagi. Pedang di