“Haahh… haahh…!”
Napas Li Feng memburu. Bajunya robek, kulitnya hangus di beberapa tempat, dan darah menetes dari sudut bibirnya. Langit di atasnya hitam pekat, bukan karena malam, tapi karena asap yang membumbung tinggi dari benteng kayu yang terbakar hebat. Benteng Pingyuan. Api berkobar ke segala arah. "Gila... ini neraka," desisnya. “Li Feng! Ke kiri!” teriak Putri Ling’er dari balik reruntuhan. Brak! Sebuah balok terbakar jatuh hanya beberapa jengkal dari tempat Li Feng berdiri. Panasnya menyengat kulit, membuat keringatnya mendidih di atas luka-luka terbuka. Dan di tengah kobaran api itu… berdiri sosok tinggi besar, tubuhnya dilapisi baju perang kehitaman, dan tatapannya tajam bagaikan pisau. Jenderal Raksasa dari Negeri Timur: Wei Long. Musuh baru yang bahkan lebih mengerikan dari Jenderal Zhao. "Aku sudah dengar tentangmu, Li F"Apa ini… neraka?" gumam Li Feng, suara seraknya tenggelam di antara asap hitam dan nyala api yang masih berkobar.Udara masih berbau daging terbakar. Tanah di bawahnya retak-retak, basah oleh darah dan air hujan yang baru saja reda. Sisa-sisa benteng kayu yang terbakar menjadi puing-puing hitam yang berserakan. Pasukan dari negeri seberang telah dipukul mundur. Tapi harga yang dibayar… ah, terlalu mahal.Li Feng berdiri tertatih di atas reruntuhan menara pengawas, tubuhnya penuh luka. Bajunya robek di banyak tempat, dan di baliknya, kulitnya memar, berdarah, dan kotor. Pedang Naga Langit di tangannya… nyaris tidak bercahaya. Tenaganya hampir habis. Tapi lebih dari itu—jiwanya terkuras."Jenderal Li! Anda tak apa-apa?" seruan seorang prajurit membuatnya menoleh. Suaranya lemah, tapi cukup untuk membuatnya sadar bahwa ia belum sendirian. Masih ada yang selamat. Masih ada yang menggantungkan harapan padanya."Ang… angkat yang terluka! Jangan biarkan
Hening. Itulah yang pertama kali dirasakan Li Feng saat menatap hamparan tanah luas di perbatasan selatan Kekaisaran. Tapi di balik keheningan itu… ah, jantungnya berdetak lebih cepat. Bukan karena angin musim semi yang mengalir dari pegunungan, tapi karena ia tahu—ini hanya ketenangan sebelum badai. “Li Feng,” suara berat itu datang dari sosok bertopeng yang berdiri di sampingnya, pendekar misterius dari negeri seberang yang kemarin malam menyatakan diri sebagai sekutu. “Ya?” Li Feng tak menoleh, tatapannya masih terpaku ke garis cakrawala. Kabut tipis mulai turun, menyelimuti tanah yang akan segera dipenuhi darah. “Pasukan utama dari Kerajaan Timur Laut telah bergerak. Mereka tidak hanya datang untuk mengambil perbatasan. Mereka ingin menaklukkan seluruh kekaisaranmu.” Hah! Li Feng menghela napas. “Kuharap kau bergurau.” “Sayangnya tidak.” Diam. Tak ada suara lagi selain deru a
“Li Feng! Tunggu—!” Suara teriakan itu tertinggal jauh di belakang, tersapu angin malam yang menggigit. Langkah-langkah kuda memacu deras di jalanan berbatu, membelah kabut tipis yang menyelimuti perbukitan selatan kekaisaran. Di bawah cahaya bulan separuh, wajah Li Feng terlihat letih, mata penuh bayang-bayang kenangan. Tangannya menggenggam erat tali kekang, seolah jika ia melepaskannya, maka seluruh ingatan tentang siapa dirinya akan ikut tercerai-berai. “Haah… haah…” napasnya berat, bukan karena kelelahan fisik, tetapi karena beban yang tak kasatmata. Perang telah meledak ke segala penjuru, dan meski kemenangannya di beberapa medan telah menjadi buah bibir para jenderal, hatinya justru makin terasa hampa. "Aku… harus kembali," gumamnya lirih, seperti mengingatkan diri sendiri. "Kembali ke tempat semuanya dimulai…" Tiga hari perjalanan, dan akhirnya ia tiba di gerbang kota tua itu. Tianxiang.
Angin malam menyapu lembut daun-daun plum di halaman belakang Kedai Tianxiang. Aroma wangi dari sup rebusan khas musim gugur perlahan menguar dari dapur, bercampur dengan bayang-bayang nostalgia yang belum usai. Li Feng berdiri diam di bawah pohon tua itu—tempat ia dulu sering duduk diam sambil mencuci piring dan mendengarkan nyanyian kecil Xiao Lan. “Ah…” napasnya mengembus lirih. “Sudah sejauh ini aku melangkah.” Langkah kaki ringan terdengar mendekat. Xiao Lan datang membawa secangkir teh panas, matanya lembut seperti biasanya. Tapi ada sesuatu yang berbeda malam ini. Matanya, meski tersenyum, menyembunyikan kekhawatiran yang dalam. “Kau kembali untuk tinggal?” tanyanya pelan. Li Feng menatap teh itu sejenak, lalu menggeleng. “Tidak. Hanya... ingin mengingat.” Ia menatap meja kayu tempat pertama kali ia duduk sebagai pelayan. “Tempat ini… seperti akar. Aku tak bisa mencabutnya dari hatiku.” Sebelum Xiao La
Angin malam meniupkan udara dingin ke sela-sela jubah Li Feng. Ia berdiri di balkon belakang istana, memandangi langit malam yang diselimuti awan tipis. Di tangannya, selembar perkamen kuno tergenggam erat—peta yang baru saja diserahkan oleh Kaisar sendiri. Peta Harta Karun Kekaisaran. “Ini… sungguh tak masuk akal,” gumam Li Feng sambil menatap lekuk-lekuk gambar yang sudah nyaris pudar. Di dalam ruang rahasia istana, Kaisar telah memanggilnya secara pribadi. Tak ada saksi. Tak ada pengawal. Hanya suara pelan Kaisar dan tatapan matanya yang seakan penuh beban bertahun-tahun. “Li Feng… ini bukan sekadar misi. Ini adalah takdir yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di ujung utara kekaisaran, tersembunyi senjata yang bahkan Pedang Naga Langit tak mampu menandingi. Tapi untuk menemukannya… kau harus membaca peta ini dengan hati, bukan hanya mata.” Dan kini, ia memegang warisan itu. Tapi—hah—apa benar ia siap menanggung beb
Angin menggigit menusuk kulit, mencambuk wajah seperti cambuk tak kasat mata yang kejam. Salju turun tiada henti, memburamkan pandangan dan menutupi jejak langkah siapa pun yang berani melintasi Pegunungan Salju Beiwan. Di sinilah Li Feng berlari. Napasnya membeku, tubuhnya dilumuri darah beku dan keringat dingin. Di tangan kirinya tergenggam erat peta kuno yang kini basah oleh salju, dan di tangan kanannya... ya, Pedang Naga Langit yang tak pernah benar-benar diam. "Hah... hah... Astaga... apakah mereka tidak akan berhenti memburuku?!" desah Li Feng, matanya memelototi lereng putih di belakangnya. Dari kejauhan, suara kaki kuda menginjak salju bergema seperti genderang perang. Pasukan negeri seberang, berjumlah puluhan, mengejar tanpa henti. Mereka telah mengetahui bahwa Li Feng memegang peta menuju salah satu senjata legendaris Kekaisaran — Tombak Awan Emas. Senjata yang, jika digabungkan dengan Pedang Naga Langit, akan membentuk kekuatan yang cukup u
Salju masih turun deras, menutupi jejak kaki yang memanjang di antara tebing-tebing tajam Pegunungan Salju Utara. Nafas Li Feng mengepul di udara dingin, matanya menyipit menatap gerbang batu raksasa yang berdiri sunyi di tengah kabut. "Huh... jadi ini tempatnya," gumamnya pelan, menggenggam erat peta lusuh di tangannya. Garis-garis kasar di peta itu mengarah tepat ke gerbang batu yang tertutup ukiran naga bersisik perak. Tak salah lagi—di balik gerbang itu tersembunyi senjata legendaris yang selama ini dicarinya. Tapi... ada yang aneh. "Kenapa... terasa seperti sedang diawasi?" bisiknya, tengkuknya meremang. Tiba-tiba— "WUSHH!" Anak panah melesat, nyaris menghantam pundaknya! Li Feng berguling ke samping, lalu mencabut pedangnya. "Siapa di sana?! Tunjukkan dirimu!" Tak ada jawaban. Tapi dari balik kabut, siluet-siluet muncul perlahan—tubuh-tubuh berjubah hitam dengan simbol naga
Hawa dingin menusuk tulang. Salju berjatuhan seperti abu kematian dari langit kelabu. Di hadapan Li Feng terbentang altar batu kuno dengan pahatan naga yang seakan bernapas. Di atasnya, tergeletak sebuah peti kayu gelap, ditutup segel emas yang berkilau samar. Namun, di antara Li Feng dan peti itu, berdiri seorang pemuda berjubah ungu, rambutnya diikat tinggi, dan matanya menyorot tajam bak pedang yang terhunus. "Kau tak berhak menyentuh senjata suci klan kami," suara pemuda itu dingin, nyaris tanpa emosi, tapi justru itulah yang membuatnya terasa berbahaya. Li Feng menggenggam gagang pedangnya. Hatinya masih diguncang peristiwa sebelumnya—bentrokan dengan para tetua klan yang mencoba menghalangi langkahnya. Banyak darah tertumpah. Tapi bukan itu yang mengusik pikirannya, melainkan kenyataan bahwa orang-orang ini bersumpah menjaga senjata itu demi melindungi dunia... dan sekarang ia akan merebutnya. "Aku tidak datang untuk merampas," ujar
Malam itu, langit di atas ibu kota menggantung berat, seolah menahan ribuan jeritan yang tak pernah diucapkan. Kabut tipis menyelimuti jalan-jalan batu, membuat istana megah di kejauhan tampak seperti bayangan raksasa yang menyamar di balik dunia nyata. Li Feng menarik napas dalam-dalam. Sial… pikirnya. Setiap langkah yang ia ambil di atas tanah kekaisaran kini terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Tidak ada lagi tempat yang aman. Tidak ada lagi wajah yang bisa dipercayai. "Kau yakin mau melakukan ini?" suara Mei Yue, pelan seperti desir angin, membelah kebisuan malam. Li Feng menoleh. Mata perempuan itu bersinar dalam temaram lentera jauh di belakang mereka. Ada ketegangan, ada keraguan. Tapi yang paling kuat… ada ketakutan. Bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuknya — untuk Li Feng. "Huh," Li Feng mendengus, setengah tersenyum getir. "Kalau bukan aku, siapa lagi?" Tanpa menunggu jawaban, ia melangka
Langit abu-abu menggantung berat di atas reruntuhan Tianxiang, seakan langit sendiri menangisi kota yang pernah bersinar seperti permata di tengah kekaisaran. Angin membawa debu dan bau darah, menusuk ke dalam lubuk jiwa mereka yang masih bertahan. Li Feng berdiri diam, memegang gulungan kuno erat-erat di tangannya, seolah-olah kertas tua itu adalah satu-satunya jangkar yang mengikatnya pada kenyataan. "Sumpah Kaisar Pertama..." gumamnya lirih, matanya yang merah menatap kosong ke depan. "Shen Lu... negeri yang sudah lama dikabarkan lenyap... ternyata belum pernah benar-benar hilang..." Di sampingnya, Mei Yue memandang dengan tatapan gelap, seakan hatinya tahu lebih banyak daripada apa yang berani ia katakan. Akhirnya, ia menarik napas dalam-dalam, lalu berbisik, “Li Feng, kita harus berbicara. Sekarang.” Li Feng mengangguk tanpa suara. Keduanya bergegas ke sebuah bangunan setengah roboh — bekas rumah seorang saudagar, kini hanya kerangka
Angin malam menusuk kulit, bagai jarum-jarum halus yang menari di sepanjang reruntuhan Kota Tianxiang. Asap membubung ke langit gelap, dan di antara puing-puing, Li Feng berlutut dengan tubuh menggigil, memeluk tubuh rapuh Putri Ling’er. “Ling’er…” suaranya serak, hampir tak terdengar. Putri itu menggenggam tangan Li Feng, lalu — dengan napas tersengal — menyerahkan sebuah gulungan tua, warnanya pudar, talinya nyaris rapuh. "Ini... rahasia... takdir kita," bisiknya. "Bawa... gulungan ini... ke tempat yang aman, Li Feng... Demi kita semua..." Dan kemudian—duk!—kepalanya terkulai di pelukan Li Feng. Li Feng menahan napas. “T-tidak… Tidak! Jangan tinggalkan aku!” Ia mengguncang tubuh Ling’er, matanya memanas, suara di dadanya bergemuruh seperti badai. "Aaaaaargh!" pekiknya, membebaskan kemarahan, kepedihan, dan penyesalan dalam satu teriakan panjang yang menggetarkan udara. Namun, t
Api masih membara di mana-mana. Langit di atas Kota Tianxiang bukan lagi biru — melainkan merah darah, seperti dewa-dewa marah menumpahkan kemarahan mereka ke bumi. Debu dan asap membuat napas terasa berat. Setiap langkah terasa seolah melangkah ke dalam dunia yang baru saja dilahirkan kembali… lewat penderitaan. "Li... Feng..." Suara itu... lemah, serak. Hampir tak terdengar di tengah gemuruh bangunan yang runtuh. Tapi bagi Li Feng, suara itu lebih nyaring daripada semua guntur di dunia ini. "Aku di sini!" teriak Li Feng dengan panik, berlutut di sisi tubuh rapuh Putri Ling'er yang tergeletak di atas reruntuhan bata dan kayu. "Ya Tian... ya Langit..." gumamnya. Luka di tubuh Ling’er begitu parah—darah mengalir di sudut bibirnya, dan kulitnya lebih pucat dari salju. Tapi matanya... mata itu masih mencari-cari dirinya. Masih hidup. Li Feng meraih tangan Ling’er yang gemetar, mengangkat tubuhnya
Angin malam menerpa keras, membawa bau logam darah dan asap terbakar ke setiap sudut kota. "Sialan... Apa ini?!" Li Feng terhuyung beberapa langkah ke belakang, matanya membelalak saat melihat lautan api melalap jalanan utama Kota Tianxiang. Gedung-gedung kayu runtuh satu demi satu, jeritan manusia, ringkik kuda, dan dentang senjata saling bertubrukan di udara, menciptakan kekacauan yang mencekik. "Tidak mungkin..." bisiknya. Hanya dalam semalam, kota megah itu — yang dulunya penuh hingar-bingar pedagang dan rakyat yang bercanda riang — berubah menjadi neraka di bumi. "Li Feng!" Teriakan Mei Yue mengembalikannya ke dunia nyata. Wanita itu berlari mendekat, wajahnya dipenuhi abu dan darah — entah darah siapa. "Pasukan asing! Mereka menyerang!" serunya, napas memburu. "Kita harus segera keluar dari sini sebelum—" BOOM! Ledakan keras mengguncang tanah. Dari kejauhan, sebuah menara pengawas runtuh, meng
"Tidak mungkin..." bisik Li Feng, suaranya nyaris tak terdengar di tengah kesunyian Hutan Terlarang. Bayangan-bayangan makhluk hitam yang tadinya mengepung mereka telah lenyap, sirna bersama alunan nyanyian kuno Mei Yue. Namun, yang tersisa bukanlah ketenangan—melainkan kekacauan yang menggerogoti batin mereka. Mei Yue berdiri terpaku, matanya membelalak, bibirnya bergetar. "Aku..." katanya dengan suara serak. "Aku tak pernah tahu... bahwa ibuku..." Li Feng mengatupkan kedua tangan, mencoba menahan getaran di dadanya. Sial! Dunia terasa seakan terbalik. Seluruh perjalanan mereka, seluruh pertarungan mereka, semuanya—ternyata terikat pada sesuatu yang lebih besar, lebih kelam daripada yang pernah ia bayangkan. "Aku harus tahu lebih banyak," katanya tegas, langkahnya tertatih mendekati Mei Yue. "Kau... kau harus memberitahuku semua!" Mei Yue menggeleng perlahan. "Aku... aku hanya i
Kabut hitam itu... astaga, seperti lautan tak berujung, bergulung dari segala penjuru. Li Feng menggenggam erat Pedang Naga Langit di tangannya yang gemetar. Tubuhnya penuh luka gores, nafasnya memburu. "Li Feng!" seru Mei Yue, matanya membelalak ngeri. "Kita harus menyanyikan lagu itu... atau kita mati di sini!" Li Feng mengayunkan pedangnya, membelah satu makhluk hitam. Namun, sialan, tubuh itu tak hancur — malah membentuk diri kembali seperti asap pekat! "T-tidak mungkin...," desah Li Feng, mundur selangkah, lalu dua langkah. Makhluk-makhluk itu mendekat dengan gerakan aneh, seperti boneka-boneka yang digerakkan oleh tali tak kasatmata. "Apa maksudmu lagu? Lagu apa?!" raung Li Feng, kebingungan di tengah kekacauan. Mei Yue menggigit bibirnya, wajahnya pucat. Lalu, dengan suara yang bergetar, ia mulai bersenandung. Nada itu... oh! Nada itu seperti desir angin di padang gurun, sedih, mera
Kabut tipis menggantung rendah di atas pepohonan raksasa, melilit batang-batang tua yang menghitam bagai jari-jari kematian. Udara di Hutan Terlarang terasa berat, seolah setiap helai napas yang dihirup membawa serta beban seribu arwah yang belum tenang. "Huff... tempat ini..." Mei Yue menarik napas pendek, mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Terasa... salah." Li Feng menggenggam gagang Pedang Naga Langit lebih erat. "Aku tahu," katanya serak. "Tapi kita tak punya pilihan lain." Di balik suara burung hantu yang sesekali mengerik aneh, terdengar bunyi gemerisik—seperti sesuatu yang merayap perlahan di antara semak-semak. Li Feng menghentikan langkah. Mei Yue mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk diam. Tiba-tiba—SRRAK!—sebuah bayangan melintas cepat di depan mereka. "Siapa itu?!" seru Li Feng sambil bersiap bertarung. Tak ada jawaban. Hanya keheningan... lalu suara bisikan. Seolah-olah
Li Feng duduk di sudut sebuah rumah sederhana di sebuah desa terpencil, memandangi hutan yang menghitam di kejauhan. Sesekali angin malam yang dingin membawa kabut tipis, menambah kesan sunyi dan mencekam. Mei Yue duduk di hadapannya, wajahnya keras, namun di balik matanya, Li Feng bisa merasakan ada sesuatu yang tersembunyi — seakan-akan dia menanggung beban yang tak terungkapkan. "Kita tak bisa terus bersembunyi selamanya," Li Feng berkata pelan, matanya tajam menatap jalan setapak yang mengarah ke desa. "Kau tahu itu." Mei Yue menghela napas panjang, kemudian mengangguk pelan. "Aku tahu. Tapi sebelum kita melangkah lebih jauh, kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini." Li Feng terdiam. Kehidupan yang ia kenal telah berubah. Segalanya terasa begitu rumit. Kutukan Pedang Naga Langit yang menghantuinya, serta misteri yang terus mengungkapkan lapisan-lapisan kelam dari masa lalu. Tak hanya itu, keberadaan Mei Yue yang entah kena