Part 7
“A-apa maksud Anda, Tuan?” Aku merasakan wajah ini panas. Kaki ini bahkan mundur.“Kau tidak menderita gangguan telinga, bukan?” Tuan Sultan menyipitkan mata. Kepalanya sedikit condong.“Aku tidak mau mempunyai pelayan yang memiliki gangguan pendengaran, karena aku tidak akan mengulang-ngulang perintah!”“Ma-af, Tuan. A-apa saya tidak salah dengar, kalau Anda meminta saya memandikan Anda?” Aku meyakinkan pendengaran ini.“Tentu saja tidak! Aku memang mencari pelayan yang bisa mengurus segala sesuatunya, karena aku tidak bisa berjalan. Termasuk mandi dan mengganti bajuku.”Aku menganga mendengar ucapannya. Pekerjaan macam apa ini?Salahku memang tak menanyakan apa saja tugasku dari awal. Main ikut-ikut saja tes untuk pekerjaan ini.“Kalau kau tidak mau melanjutkan pekerjaan ini, aku akan segera mencari penggantimu. Mumpung masih banyak yang mengantre. Dan kau, silakan pergi dari sini!”Mulutku semakin menganga. Kalimat ancaman itu begitu menakutkan. Aku tidak mau kehilangan kesempatan ini. Namun juga tidak mungkin harus memandikan Tuan Sultan. Aku....“Sam....” Tuan Sultan memutar roda kursinya menuju pintu seraya memanggil pria ber-jas tadi.“Anda mau apa, Tuan?” Aku panik, takut ia ingin membatalkan pekerjaanku, dan itu artinya nasibku dipertanyakan di luar sana.“Sa-ya akan memandikan Anda, Tuan Sultan!” Akhirnya kalimat itu terucap sebelum dia memanggil orang kepercayaannya.Dia berbalik. Masih dengan wajah datar. Tanpa ekspresi atau merasa menang.Akhirnya aku mendorong kursi roda Tuan Sultan ke arah pintu di dalam ruangan yang ia sebut pintu kamar mandi. Entahlah, apa yang aku rasakan saat ini. Anggap saja aku bekerja menjadi pengasuh bayi, dan yang akan kumandikan ini seorang bayi.Profesional saja Viola! Ini pekerjaan! Kau akan mendapat gaji dengan ini, dan yang terpenting kau aman dari Yuni di sini.Aku terus meyakinkan diri, hingga kami tiba di sebuah ruangan yang rasanya sayang ruangan semewah ini hanya sebuah kamar mandi. Bahkan luasnya lebih dari tiga kali lapangan Volly.“Bengong lagi?” Pertanyaan Tuan Sultan menyentakku. Aku memang melamun. Lebih tepatnya mengagumi kamar mandi ini. Benar-benar kamar mandi seorang sultan.“Ba-bagaimana Anda biasanya mandi, Tuan?” Aku gugup. Benar-benar gugup. Berada di dalam kamar mandi hanya berdua dengan Tuan Sultan, membuatku gugup bukan main.Bagaimana pun, aku wanita normal, dan Tuan Sultan lelaki dewasa. Bagaimana kalau ... ah, berpikir apa ini. Gegas aku menggeleng. Membuang jauh-jauh pikiran buruk.“Buka dulu bajuku! Bagaimana aku akan mandi kalau masih berpakaian lengkap seperti ini?”Ya Tuhan, beginikah menjadi seorang sultan? Bahkan lepas baju saja harus menyuruh. Padahal ia bisa melakukannya sendiri. Bukankah yang lumpuh hanya kakinya?Namun, kembali ke pemikiran awal. Aku di sini untuk bekerja. Masa tidak mau hanya membuka baju majikan. Sementara di rumah Arman, aku bekerja siang malam tanpa dapat gaji. Hanya kerja rodi tanpa penghargaan sedikit pun.Ingat Viola, kau akan mengumpulkan uang. Untuk membayar seorang pengacara mungkin. Agar kau bisa mengambil hakmu dari Yuni.Dengan menahan napas dan memusatkan konsentrasi agar tidak terpengaruh pikiran kotor, jari-jariku mulai membuka kancing kemeja Tuan Sultan. Sedikit gemetar, itu yang dirasakan tangan ini, karenanya agak lama dapat membuka semua kancing itu.Lalu saat semua kancing sudah terbuka, dan kemeja itu sudah lepas dari tubuhnya, aku dapat melihat apa yang selalu dibanggakan para pria untuk menarik perhatian wanita dengan tubuh mereka.Otot-otot yang mencuat dan liat. Perut kotak-kotak seperti roti sobek kesukaanku, pokoknya tubuh yang tanpa lemak sama sekali.Aku mengernyit heran. Bagaimana bisa seseorang yang tidak bisa berjalan memiliki tubuh sebagus itu? Tubuh yang selalu diolah dengan rutin dan konsisten. Apa walau dengan kaki lumpuh, ia tetap berolahraga?“Apa hobimu memang melamun?”Aku gelagapan saat suara Tuan Sultan terdengar lagi. Ya, aku memang melamun. Menjalani pekerjaan aneh seperti ini, siapa yang tidak shock?Setelah selesai dengan kemejanya, kini yang terberat dan tentu memerlukan kesiapan mental dan hati. Aku harus melepas celana panjangnya.Ya Tuhan, maafkan hambamu ini. Mungkin sebentar lagi mataku akan ternoda. Semoga ini tidak menjadi dosa. Semoga aku kuat. Aku hanya menjalankan pekerjaan. Tidak lebih.Suara-suara dalam hatiku terus saja berisik. Saling menguatkan dan menerka-nerka apa yang akan kurasakan setelah kain penutup tubuh bagian bawahnya terbuka nanti.Dengan tangan lebih gemetar dan berkeringat, aku mulai melepas gesper lelaki yang tidak ingin aku lihat wajahnya. Takut.Lalu, saat resleting itu hampir saja terbuka, tiba-tiba saja dia menyentak tanganku dengan kasar. Kemudian memundurkan kursi rodanya menjauhiku.“Keluar dari sini!” usirnya seraya membelakangiku.Tentu saja aku terperangah. Kenapa dia mengusirku? Apa salahku? Apa tangan gemetar saat membuka pakaian majikan sebuah kesalahan?“Keluar dari sini!” Dia mengusirku lagi masih dengan duduk membelakangi.Aku masih mematung di sini. Tidak tahu kesalahan apa yang kuperbuat hingga tiba-tiba saja dia menolak untuk kumandikan.“Kenapa masih di sana? Keluar dari kamar mandiku, Ana!”Deg!Aku terperanjat bukan main.Ana? Dia memanggilku Ana? Itu ... panggilan seseorang di masa lalu dan aku sudah tak pernah mendengarnya lagi sejak lama.Part 8“Ke-napa Anda memanggil saya dengan nama itu, Tuan?” Aku bertanya pelan. Ingatanku langsung terbang ke masa di mana aku dan dia yang selalu memanggilku dengan nama itu, duduk berdua di bawah pohon. Kami menikmati salad bekalku dari mangkuk yang sama, sebelum murid-murid lain datang dan membully kami dengan menyebut dua angka nol menggelinding. Karena tubuh kami sama-sama besar. Ya, saat itu memang hanya dia temanku di sekolah. Mungkin karena nasib kami sama. Sama-sama bertubuh subur dan menjadi bahan perundungan. Dialah satu-satunya orang yang memanggilku dengan nama Ana. “Namamu Viola Anastasya, bukan?” Lelaki berkursi roda itu bertanya setelah hening beberapa saat. Suaranya menarikku dari lamunan. Sementara posisinya tetap membelakangiku, hingga tak dapat tertangkap mimik wajahnya. “Apa salah bila aku memanggilmu dengan nama Ana? Bukankah itu namamu juga?”Aku mengerjap. Dia benar, Ana namaku juga. Hanya saja, aneh rasanya orang yang baru saja bertemu langsung memanggilk
Part 9Aku menyusuri lorong dengan bingung. Semua pintu tampak mirip. Jadi, tidak tahu apa ini jalan yang tadi kulalui atau bukan. Sekejap aku menyesali kenapa tadi tidak mengingat dengan seksama ruangan mana, juga benda apa saja dilewati saat menuju ke kamar itu. Aku hanya meraba-raba, hingga tiba di sebuah persimpangan lorong. Bingung? Tentu saja. Kenapa rumah ini begitu besar? Dan ada banyak kamar dengan pintu serupa? Aku mencari peruntungan dengan permainan cap cip cup kembang kuncup karena bingung. Lalu saat telunjuk ini menunjukkan lorong yang ada di sebelah kanan, aku mengikuti saja suara hati. Keberuntungan berpihak padaku, lorong yang kupilih ternyata tidak salah. Aku tiba di ujung tangga yang akan membawa diri ini ke dapur di lantai bawah. Waktu lima menit sudah berkurang banyak karena tadi bingung mencari jalan. Kaki besarku meniti anak tangga dengan setengah berlari untuk mencapai lantai bawah. Beruntung di sana ada seorang pelayan sedang mengelap guci antik. Dia memba
10Akhirnya dengan sangat terpaksa, aku menyuapi bayi besar itu perlahan. Bayi besar yang sangat menjengkelkan. Andai aku tidak takut Yuni memburuku di luar sana, niscaya aku sudah kabur dan meninggalkan pekerjaan aneh ini. Kusuapi dia tanpa kata. Hanya tangan yang bekerja. Tunggu! Aku mengamati wajah yang sebenarnya akan sangat tampan kalau saja tidak selalu memerintah yang aneh-aneh tanpa senyum itu. Namun, bukan itu yang menjadi perhatianku. Gerakan mulutnya yang sedang mengunyah makananlah yang menarik perhatianku. Gerakan itu ... seperti gerakan mulut seseorang dari masa lalu yang sangat kuakrabi. Ya, sama persis seperti itu gerakannya bila sedang mengunyah. Siapa Tuan Sultan ini sebenarnya? Apa aku mengenalnya? Aku terus memperhatikan wajahnya. “Apa yang kau lalukan?!” teguran dengan suara tinggi membuatku terjengkit kaget. Ternyata tanpa sadar, aku memajukan wajah hingga jarak kami sangat dekat. Tuan Sultan menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Kepalanya menggele
11Aku masih kaget dengan semua yang terjadi. Tubuhku berada di atas tubuh Tuan Sultan dengan wajah kami saling menempel, dan ... bibir menyatu. Awalnya lelaki itu juga diam. Mungkin karena kaget semua terjadi begitu cepat. Namun, tak lama ia meronta. Tangannya mendorong wajahku agar menjauh dari wajahnya. Mulutnya langsung menyemburkan omelan dan sumpah serapah. Ia juga berteriak memanggil siapa pun yang bisa menolong kami. “Apa kau sudah gila? Apa yang kau lakukan, hah? Menyingkir dariku! Tubuhmu sangat berat. Aku bisa mati kehabisan napas!” Tuan Sultan terus mengomel dengan satu tangan menahan agar wajahku tak jatuh lagi di atas wajahnya. Lalu tangan lainnya mencari sesuatu yang bisa menolong kami. Aku? Jangan kira aku menikmati posisi ini atau bukan tidak mau menyingkir. Namun, tubuhku yang terlalu berat membuatku sulit untuk keluar dari kursi roda ini. Aku berusaha untuk berguling ke samping tetapi kursi roda tetap meringkus tubuhku, hingga kami seolah berpelukan dengan pos
Part 12Aku mendorong kursi roda Tuan Sultan mengikuti arah berjalan Pak Sam. Ya. Pak Sam. Aku memanggil begitu untuk menghormatinya, walaupun dilihat dari segi usia, pria itu berumur tak jauh dariku. Paling juga sama dengan Tuan Sultan, yang juga masih muda. Kami masuk ke dalam lift yang akan membawa ke lantai bawah. Aku baru tahu kalau di rumah ini ada lift. Letaknya tak jauh dari kamar Tuan Sultan. Lalu, kalau ada lift, kenapa aku harus repot-repot naik-turun tangga setiap saat? Tinggal naik lift saja. Bukankah lebih cepat dan efektif? “Jangan pernah berpikir untuk naik lift ini, bila tidak sedang bersamaku!”Apa? Lagi-lagi dia tahu isi hatiku. Apakah selain otoriter, menjengkelkan, dia juga seorang cenayang? “Lift ini hanya di khususkan untukku. Pelayan mana pun tidak boleh memakainya selain bersamaku atau atas perintahku!” Dia menegaskan. “Kenapa begitu Tuan?” Rasa penasaran mendorongku untuk bertanya. “Karena kalian punya kaki yang sehat, normal, dan lengkap. Kalau mau n
13Pak Sam membantu Tuan Sultan berbaring di ranjang. Dia menjadi sangat pendiam sejak pertemuan dengan wanita cantik tadi. Tidak lagi menyuruh ini itu, atau sekadar membaca isi hatiku. Aku membantu Pak Sam menutup selimut hingga dada Tuan Sultan. Lelaki itu memejam, wajahnya terlihat lelah. “Kau juga lebih baik istirahat saja, mumpung bos tidur.” Pak Sam menghampiriku yang ingin membereskan piring dan peralatan makan yang tadi belum sempat kubereskan. “Benarkan, Pak?” Aku antusias. “Ya, mumpung bos tidur. Tapi kau sudah harus bangun sebelum bos bangun. Agar bila dia mencarimu, kau tidak gelagapan.”“Berapa lama biasanya Tuan Sultan tidur? Aku akan menyetting alarm agar tidak terlambat.”“Tidak ada batasan waktu, bisa lama, bisa juga bangun cepat.”“Kalau begitu, bagaimana aku bisa tahu tidak akan terlambat?”“Pintar-pintar kau sajalah, sudah untung aku beri kau kelonggaran.” Pak Sam tampak kesal melihatku banyak bertanya, hingga aku memutuskan diam. Membereskan peralatan makan da
14Aku terpaksa kembali ke kamar dan mandi sekalian, agar tidak dikatakan mirip hantu lagi. Memakai baju dan bawahan yang sekiranya menyerap keringat, karena aktivitas yang menguras tenaga. Aneh, baju-bajuku tak sesesak dulu lagi. Ada ruang lebih longgar baik di bagian ketiak dan dada. Juga di pinggang dan pinggul. Pokoknya tak seketat dulu. Kuikat rambut panjang yang mengembang seperti kepala singa ini. Kemudian dikepang sampai ujung dengan rapi. Agar dia tak ketakutan seperti melihat hantu lagi. Sekarang aku sudah rapi, bahkan wajah lebar dan penuh jerawat ini terekspos dengan jelas karena tidak ada lagi rambut yang keluar dari ikatannya. Aku berusaha sampai lebih cepat di kamar Tuan Sultan. Entah perintah apa yang ingin ia berikan saat ini. “Apa yang harus saya kerjakan, Tuan?” tanyaku begitu sampai di hadapannya. “Kenapa begitu lama?” tanyanya dengan wajah merengut. “Saya mandi dulu, Tuan.”“Ambilkan aku air minum, aku haus!” perintahnya tanpa melihat wajahku. “Air minum?
15“Ana, cepat ke ruang makan! Aku tunggu di sana!”Tangan yang akan meraih gagang pintu pun hanya menggantung di udara, saat suara itu terdengar tiba-tiba. Aku mengedarkan pandang ke seluruh sudut ruangan bagian atas. Apa di sini ada kamera CCTV? Kenapa dia seolah tahu kalau aku ingin pergi?Oh, aku lupa dia punya Indera Lesmana ketujuh. Dia bisa tahu isi hatiku bahkan dari jarak jauh. Ya, aku yakin itu karena tak mendapati ada kamera di mana pun. “Aku hitung mundur dalam hitungan sepuluh! Kalau kau tiba tepat waktu, aku akan memberimu makanan enak!”Makanan enak? Mataku berbinar. “Sepuluh ... sembilan ... del....”“Aku datang Tuan Sultan.....” Kulempar ransel ke atas ranjang, kemudian membuka pintu kamar dan berlari ke arah ruang makan yang tidak begitu jauh dari kamar. Aku tiba saat hitungan lelaki itu tiba di angka dua. Dengan napas terengah, aku berdiri berbatas meja dengannya. Terlihat Tuan Sultan duduk seperti biasa di kursi rodanya dengan wajah datar seperti biasa. Di sa