18Aku mencari yang bernama Marini di bawah. Menanyakan kepada siapa pun yang pertama kutemui. Tak lupa menanyakan nama dia yang pertama kutemui itu. Aku tak ingin Tuan Sultan menyebut diri ini tidak pintar lagi. Akan kucoba bersosialisasi dengan siapa pun agar aku betah dan tahan bekerja di sini. Walaupun Tuanku orang yang sangat tidak bersahabat, tetapi bila aku bisa dekat dengan teman-teman di sini, bukankah itu akan membantu membuat suasana tidak membosankan. Dari pelayan yang kutanya, akhirnya aku tahu kalau Marini adalah pelayan yang sejak awal mengajariku segala hal tentang kebiasaan Tuan Sultan. Dia wanita berusia empat puluhan dengan tubuh kurus dan rambut dipotong pendek di atas tengkuk. Katanya dia kepala pelayan perempuan. Marini memberiku satu stel baju yang lumayan pas di tubuh ini. Padahal sebelum dipakai terlihat kecil. Bukan baju baru, tetapi entah bekas siapa. Namun yang pasti, dengan baju ini aku tidak terlihat seperti seorang pelayan. Terlalu bagus dan berkelas
19Laksana sebuah pertunjukan, kini semua orang berkumpul mengelilingiku yang kelojotan kepanasan. OG yang aku tabrak terlihat panik. Berbagai celoteh aneh keluar dari mulutnya dengan nyaring dan tanpa jeda. Mungkin ia latah. Parahnya, ia terus saja menyebut nama kemaluan milik wanita. Berkali-kali tak mau berhenti. Rasa bersalah tersirat jelas di wajah itu. Dia membantu mengelap punggungku dengan lap motif kotak-kotak yang tersampir di pundaknya. Lengkaplah sudah tontonan ini. Aku yang kelojotan karena kepanasan, dan dia yang mengelap punggung ini dengan mulut latahnya yang tidak bisa diam. Aku diam saat menyadari begitu banyak orang menonton kami. Pandangan ini terfokus ke arah Arman dan wanita yang bersamanya. Cemburu? Big no! Hanya saja, aku ingin statusku jelas dulu sebelum ia menggandeng wanita mana pun. “Bola.” Terdengar Arman bergumam. Matanya memicing menatapku dari ujung rambut hingga kaki. Wanita di sampingnya menatap Arman heran. “Kamu kenal dia?” tanyanya dengan t
20“Apa kau tidak dengar? Tolong ambilkan minuman untuk kami!” Cindy mengulang perintah dengan gaya sok anggun, tetapi sangat menyebalkan. “Kami ini calon majikanmu juga. Aku sebentar lagi akan menjadi istri Sultan. Papaku akan menjadi ayah mertua Sultan. Jadi, cepat ambilkan minuman untuk calon majikanmu!” Lagi dia memerintahku seenak jidatnya. Aku baru akan menjawab perintah yang diucapkan dengan angkuh tetapi sok elegan itu, saat pintu ruangan terbuka dari luar. Kemudian masuk Tuan Sultan dengan kursi rodanya didorong Pak Sam. “Maaf, Ana ini pelayan pribadiku. Hanya aku yang boleh memberi perintah untuknya. Dia bukan OG di sini, kalau Anda berdua mau minum, saya akan suruh sekretaris untuk membuatnya.” Tuan Sultan masuk dengan wajah datar dan bicara tegas. Kemudian berhenti di dekat meja kerjanya, dan langsung meraih gagang telepon. “Hera, tolong buatkan minuman untuk Tuan Rama dan putrinya. Langsung bawa ke ruanganku!” Tuan Sultan bicara tegas di telepon, sebelum berbalik meng
21Aku berjalan mengekori Pak Sam. Kami kembali ke ruang kerja Tuan Sultan. Saat tiba di depan meja sekretaris seksi tepat di samping pintu ruangan itu, aku berhenti. Kemudian memperhatikan wanita berambut sebahu yang dicat warna cokelat. Wajah wanita itu tertutup make up dengan rapi. Alisnya sempurna hasil sulam. Extension bulu mata lentik menaungi sepasang bola mata dengan soft lens warna cokelat juga. Seorang sekretaris memang harus sempurna. Atau memang dibuat sesempurna mungkin untuk menarik perhatian bos? Astaghfirullah, kenapa aku berburuk sangka? Padahal kalau pun benar. Itu bukan urusanku. Urusanku sebatas melayani Tuan Sultan. Namun, bila suatu saat ditakdirkan jadi sekretaris, aku tidak akan berdandan berlebihan seperti itu. Apalagi dengan rok yang hanya beberapa centi panjangnya. Jauh di atas lutut, sehingga memperlihatkan paha indah yang seharusnya hanya diperlihatkan untuk laki-laki yang berhak. Mimpiku terlalu jauh? Rasanya tidak. Bukankah dulu aku sekolah jurusan
22Sejak hari itu aku bekerja dengan giat. Tidak banyak mengeluh, meratap, apalagi menangis. Semua perintah Tuan Sultan kujalani dengan ikhlas. Apa pun kulakukan tanpa banyak bicara. Kuniatkan saja untuk ibadah, bukankah semua pekerjaan bernilai pahala bila dilakukan dengan ikhlas? Naik-turun tangga berkali-kali dalam sehari, kulakoni dengan hati riang. Juga naik turun kursi untuk mengganti tirai jendela dua hari sekali. Anggap saja olahraga gratis. Aku tidak perlu datang ke sanggar aerobik, tempat fitness, atau membayar seorang instruktur untuk melatihku. Hasilnya? Sangat luar biasa. Selama sebulan bekerja, berat badanku sudah berkurang sangat banyak. Terlebih di sini hanya disediakan makanan sehat sesuai arahan ahli gizi yang dibayar Tuan Sultan. Dan setiap hari, aku hanya makan apa yang dimakan tuanku itu. Praktis aku tidak pernah lagi bertemu makanan kesukaan. Mi instan, gorengan, makanan bersantan, cake, minuman manis, camilan kemasan, snack-snack gurih, keripik-keripik. Poko
23Selain berat badan yang sudah turun banyak, satu lagi pencapaian membanggakan yang kudapat selama sebulan ini. Setiap kali ikut Tuan Sultan ke kantornya, aku selalu curi-curi kesempatan untuk mempelajari tugas seorang sekretaris. Dari Hera sekretaris seksi Tuan Sultan? Tentu bukan. Dia bahkan masih bersikap angkuh hingga kini. Padahal aku sudah sering ikut ke kantor dan bertemu dengannya. Mungkin karena statusku yang hanya pelayan, dia jadi memandang remeh. Lagi-lagi aku bertekad dalam hati, akan kutunjukkan kepada wanita seksi itu jika suatu saat aku bisa lebih baik darinya. Walaupun entah kapan. Jalan yang kupilih untuk mempelajari tugas seorang sekretaris adalah... aku memohon -mohon kepada Pak Sam agar mengajariku. Kupasang wajah sememelas mungkin. Kukeluarkan suara semenyedihkan mungkin agar ia kasihan dan mau mengajariku. Berhasil. Pak Sam mau mengajariku dengan suka rela. Awalnya ia mengajariku tugas-tugas dasar secara garis besar. Kemudian memberiku tugas ringan untuk
24Aku mematung sempurna. Bahkan untuk beberapa lama, tak dapat berkata-kata. Sementara lelaki yang sedang memakai dasi sedikit tersentak sebelum wajahnya kembali datar seperti biasa. Kedua tangannya kini berpegangan ke pinggiran lemari. “Untunglah kau cepat datang Ana. Tolong ambilkan kursi rodaku,” ucapnya dengan nada seperti biasa. Tidak ada gugup sama sekali. “Tadi aku berlatih berjalan. Tak menyangka bisa sampai sini walaupun lama dan tertatih-tatih. Saat ingin kembali ke kursi roda, aku baru sadar telah meninggalkan benda itu jauh,” lanjutnya seraya ingin menggapai kursi roda yang letaknya memang jauh. Kedua kakinya terlihat ditekuk dan gemetar. “Cepat Ana! Atau aku akan jatuh. Nanti kau juga yang repot memapahku!” Suara tegurannya meninggi karena aku masih juga mematung dalam kekagetan. Kulihat kakinya semakin gemetar. Gegas kuberlari mengambil kursi roda dan mendekatkan dengan bokongnya. Dia duduk dengan hati-hati. Tangannya masih berpegangan ke pinggiran lemari. “Kenapa
25Aku memandang ke arah Pak Sam untuk meminta pendapat. Karena sejatinya aku masih meragukan kemampuan diri ini. Setelah lelaki yang menurutku lebih baik hatinya dari bosku itu mengangguk, baru aku berani menerima tantangan Tuan Sultan. Ingat satu juta, Viola. Kamu bisa pesan bakso atau seblak. Oh, bukan hanya itu motivasiku. Aku ingin membuktikan kepada Arman, kalau aku tidak sebodoh dan seburuk yang ia pikir. Akan kubuktikan aku bisa! Dengan bantuan Pak Sam tentu saja. Karena untuk seorang amatir sepertiku, tidak mungkin semua akan seperfect yang diharapkan tanpa bantuan orang lain. Setelah mendorong kursi roda Tuan Sultan hingga di depan meja kerjanya, aku kembali keluar. Ke meja Hera. Di sana sudah menunggu Pak Sam yang akan mengajariku berbagai hal. “Jadi saya harus mulai dari mana, Pak?” tanyaku langsung begitu kami berhadapan. “Lihat jadwal untuk Bos yang sudah dibuat Hera. Kau lihat jam berapa rapatnya. Lalu lihat siapa saja yang harus datang. Hubungi mereka satu per sa