14Aku terpaksa kembali ke kamar dan mandi sekalian, agar tidak dikatakan mirip hantu lagi. Memakai baju dan bawahan yang sekiranya menyerap keringat, karena aktivitas yang menguras tenaga. Aneh, baju-bajuku tak sesesak dulu lagi. Ada ruang lebih longgar baik di bagian ketiak dan dada. Juga di pinggang dan pinggul. Pokoknya tak seketat dulu. Kuikat rambut panjang yang mengembang seperti kepala singa ini. Kemudian dikepang sampai ujung dengan rapi. Agar dia tak ketakutan seperti melihat hantu lagi. Sekarang aku sudah rapi, bahkan wajah lebar dan penuh jerawat ini terekspos dengan jelas karena tidak ada lagi rambut yang keluar dari ikatannya. Aku berusaha sampai lebih cepat di kamar Tuan Sultan. Entah perintah apa yang ingin ia berikan saat ini. “Apa yang harus saya kerjakan, Tuan?” tanyaku begitu sampai di hadapannya. “Kenapa begitu lama?” tanyanya dengan wajah merengut. “Saya mandi dulu, Tuan.”“Ambilkan aku air minum, aku haus!” perintahnya tanpa melihat wajahku. “Air minum?
15“Ana, cepat ke ruang makan! Aku tunggu di sana!”Tangan yang akan meraih gagang pintu pun hanya menggantung di udara, saat suara itu terdengar tiba-tiba. Aku mengedarkan pandang ke seluruh sudut ruangan bagian atas. Apa di sini ada kamera CCTV? Kenapa dia seolah tahu kalau aku ingin pergi?Oh, aku lupa dia punya Indera Lesmana ketujuh. Dia bisa tahu isi hatiku bahkan dari jarak jauh. Ya, aku yakin itu karena tak mendapati ada kamera di mana pun. “Aku hitung mundur dalam hitungan sepuluh! Kalau kau tiba tepat waktu, aku akan memberimu makanan enak!”Makanan enak? Mataku berbinar. “Sepuluh ... sembilan ... del....”“Aku datang Tuan Sultan.....” Kulempar ransel ke atas ranjang, kemudian membuka pintu kamar dan berlari ke arah ruang makan yang tidak begitu jauh dari kamar. Aku tiba saat hitungan lelaki itu tiba di angka dua. Dengan napas terengah, aku berdiri berbatas meja dengannya. Terlihat Tuan Sultan duduk seperti biasa di kursi rodanya dengan wajah datar seperti biasa. Di sa
16Akhirnya aku bisa tidur nyenyak malam ini. Selain karena tubuh yang lelah luar biasa, Tuan Sultan juga memberiku sekotak es krim rasa buah-buahan. Sesuai janjinya, ia memberiku makanan. Walaupun hanya sekotak es krim, lumayanlah buat mood booster. Moodku kembali. Semangatku juga kembali. Aku akan bertahan di sini, setidaknya sampai kontrak kerja itu berakhir. Apalagi gaji yang akan kudapat lumayan besar setiap bulannya. Sepuluh juta. Bukankah aku berencana mengambil lagi apa hakku yang dirampas Yuni? Dengan bantuan seorang pengacara yang akan kubayar dengan gaji dari Tuan Sultan nanti, aku yakin bisa merebut hakku lagi. Satu lagi yang kulupakan. Apa Arman sudah mengurus perceraian kami? Aku takut ia tidak melakukannya. Lalu, bagaimana dengan statusku nanti? Apa aku harus menjadi janda tanpa surat? Janda bodong? Enak sekali dia kalau menikah lagi tanpa menguras dulu perceraian kami. Dia bisa dengan mudah menikah lagi. Sement5 aku akan kesulitan bila suatu saat bertemu jodoh, sed
17“Kenapa kau masuk saat aku masih tidur, hah? Apa kau sedang menyusun rencana untuk memperkosaku lagi saat aku sedang tidur?” Tuan Sultan berteriak lagi. Tidak terima dituduh seperti itu, aku berbalik seraya mengangkat tangan. Ingin membantah, akan tetapi suaranya yang menggelegar, membuat tubuh ini berbalik lagi ke arah dinding. “Siapa yang menyuruhmu berbalik, hah? Apa kau sengaja ingin melihat auratku?”Ya Tuhan... menyesal kenapa tadi aku masuk, kalau tahu akan seperti ini. Padahal menunggu saja sampai dia memanggil. “Ambilkan kursi rodaku!” perintahnya lagi dengan suara tidak sekeras tadi. Aku baru akan berbalik untuk mengambil kursi roda saat lagi-lagi perintah lain menyusul. “Jalan miring! Jangan menoleh ke arahku!”Aku mengikuti perintahnya. Jalan sambil miring-miring seperti kepiting untuk sampai di tempat kursi rodanya yang lumayan jauh dari ranjang. Seribet ini menjadi pelayan Tuan Sultan. Seribet ini untuk mendapat uang sepuluh juta. Dapat. Aku sudah memegang hande
18Aku mencari yang bernama Marini di bawah. Menanyakan kepada siapa pun yang pertama kutemui. Tak lupa menanyakan nama dia yang pertama kutemui itu. Aku tak ingin Tuan Sultan menyebut diri ini tidak pintar lagi. Akan kucoba bersosialisasi dengan siapa pun agar aku betah dan tahan bekerja di sini. Walaupun Tuanku orang yang sangat tidak bersahabat, tetapi bila aku bisa dekat dengan teman-teman di sini, bukankah itu akan membantu membuat suasana tidak membosankan. Dari pelayan yang kutanya, akhirnya aku tahu kalau Marini adalah pelayan yang sejak awal mengajariku segala hal tentang kebiasaan Tuan Sultan. Dia wanita berusia empat puluhan dengan tubuh kurus dan rambut dipotong pendek di atas tengkuk. Katanya dia kepala pelayan perempuan. Marini memberiku satu stel baju yang lumayan pas di tubuh ini. Padahal sebelum dipakai terlihat kecil. Bukan baju baru, tetapi entah bekas siapa. Namun yang pasti, dengan baju ini aku tidak terlihat seperti seorang pelayan. Terlalu bagus dan berkelas
19Laksana sebuah pertunjukan, kini semua orang berkumpul mengelilingiku yang kelojotan kepanasan. OG yang aku tabrak terlihat panik. Berbagai celoteh aneh keluar dari mulutnya dengan nyaring dan tanpa jeda. Mungkin ia latah. Parahnya, ia terus saja menyebut nama kemaluan milik wanita. Berkali-kali tak mau berhenti. Rasa bersalah tersirat jelas di wajah itu. Dia membantu mengelap punggungku dengan lap motif kotak-kotak yang tersampir di pundaknya. Lengkaplah sudah tontonan ini. Aku yang kelojotan karena kepanasan, dan dia yang mengelap punggung ini dengan mulut latahnya yang tidak bisa diam. Aku diam saat menyadari begitu banyak orang menonton kami. Pandangan ini terfokus ke arah Arman dan wanita yang bersamanya. Cemburu? Big no! Hanya saja, aku ingin statusku jelas dulu sebelum ia menggandeng wanita mana pun. “Bola.” Terdengar Arman bergumam. Matanya memicing menatapku dari ujung rambut hingga kaki. Wanita di sampingnya menatap Arman heran. “Kamu kenal dia?” tanyanya dengan t
20“Apa kau tidak dengar? Tolong ambilkan minuman untuk kami!” Cindy mengulang perintah dengan gaya sok anggun, tetapi sangat menyebalkan. “Kami ini calon majikanmu juga. Aku sebentar lagi akan menjadi istri Sultan. Papaku akan menjadi ayah mertua Sultan. Jadi, cepat ambilkan minuman untuk calon majikanmu!” Lagi dia memerintahku seenak jidatnya. Aku baru akan menjawab perintah yang diucapkan dengan angkuh tetapi sok elegan itu, saat pintu ruangan terbuka dari luar. Kemudian masuk Tuan Sultan dengan kursi rodanya didorong Pak Sam. “Maaf, Ana ini pelayan pribadiku. Hanya aku yang boleh memberi perintah untuknya. Dia bukan OG di sini, kalau Anda berdua mau minum, saya akan suruh sekretaris untuk membuatnya.” Tuan Sultan masuk dengan wajah datar dan bicara tegas. Kemudian berhenti di dekat meja kerjanya, dan langsung meraih gagang telepon. “Hera, tolong buatkan minuman untuk Tuan Rama dan putrinya. Langsung bawa ke ruanganku!” Tuan Sultan bicara tegas di telepon, sebelum berbalik meng
21Aku berjalan mengekori Pak Sam. Kami kembali ke ruang kerja Tuan Sultan. Saat tiba di depan meja sekretaris seksi tepat di samping pintu ruangan itu, aku berhenti. Kemudian memperhatikan wanita berambut sebahu yang dicat warna cokelat. Wajah wanita itu tertutup make up dengan rapi. Alisnya sempurna hasil sulam. Extension bulu mata lentik menaungi sepasang bola mata dengan soft lens warna cokelat juga. Seorang sekretaris memang harus sempurna. Atau memang dibuat sesempurna mungkin untuk menarik perhatian bos? Astaghfirullah, kenapa aku berburuk sangka? Padahal kalau pun benar. Itu bukan urusanku. Urusanku sebatas melayani Tuan Sultan. Namun, bila suatu saat ditakdirkan jadi sekretaris, aku tidak akan berdandan berlebihan seperti itu. Apalagi dengan rok yang hanya beberapa centi panjangnya. Jauh di atas lutut, sehingga memperlihatkan paha indah yang seharusnya hanya diperlihatkan untuk laki-laki yang berhak. Mimpiku terlalu jauh? Rasanya tidak. Bukankah dulu aku sekolah jurusan