Share

[6] Padahal, Belum Satu Hari

“Lol, lo beneran?”

Melisa turut prihatin atas patah hati terbesar sahabatnya. Lolita menyukai kakak tingkat mereka sejak memasuki dunia perkuliahan.

Kala itu si Ketua BEMU saat ini belum memiliki jabatan yang penting. Dia hanyalah salah satu panitia OSPEK di dalam grup kecil yang mempertemukan dirinya dengan Lolita.

Ada satu peristiwa yang membuat sahabatnya jatuh hati, dan peristiwa itulah yang mungkin membekas pada benak Lolita.

“Kalau kata orang jaman dulu, Lol. Sebelum bendera kuning ada di depan rumah, tandanya lo masih punya kesempatan.”

“Ck, Mel! Lo nggak denger tadi Bang Adnan bilang apaan?” Decak Lolita santai, seolah dirinya baik-baik saja.

“Udahlah! Cinta nggak harus memiliki kok. Gue nggak sebebal itu, Mel! Gue bukan tipenya, dia sendiri yang bilang.”

“Lol, huhuhu!”

Melisa mengulurkan lengannya, merangkul tubuh Lolita dari samping.

“Tragis banget kisah cinta lo, Lolai! Kenapa nggak dari satu tahun lalu aja Bang Adnan ngomong begitu sih. Sia-sia parah kegoblokan lo selama ini, hiks!”

Lolita mencebikkan bibirnya. “Lo jangan ngata-ngatain gue dong, Mel. Mana belasungkawanya? Gue lagi patah hati ini,” gerutunya, menagih tenggang rasa pada sang sahabat sejati.

“Kan lo nggak metong, Lol! Ngapain pake belasungkawa segala coba! Kejadian ini malah harus kita rayain, Ogeb! Akhirnya setelah sekian purnama, sohib gue waras, hehehehe.”

The Fuck!” Maki Lolita. Sempat-sempatnya Melisa terkekeh di atas penderitaannya. Mana meminta diadakan perayaan. Hatinya loh, sedang berduka cita.

“Gue traktir di kantin fakultas aja yak?! Tapinya ke Bang Argam dulu. Gue nggak punya duit, Mel! Tinggal recehan buat beli nasi kucing di depan komplek.”

“Nelangsa banget sih idup lo, Lol! Sadar nggak sih, kalau itu semua gara-gara Bang Adnan?”

Jika saja Lolita mau membuka lebar-lebar kelopak matanya, gadis itu tentu akan lebih awal menyadari benarnya kalimat Melisa.

Semuanya memang dikarenakan Adnan. Pemuda itu selalu menjadi alasan pada setiap terpotongnya uang saku miliknya.

“Coba lo nggak segala bucin sampe melet Bang Adnan, duit jajan lo yang kepotong bakalan bisa buat traktir temen sekelas, Lol!”

“Lah, iya juga yak, Mel! Gue ternyata bego banget yak selama ini.” Gumam Lolita. Keduanya berbincang sembari melangkahkan kaki. Berniat mencari Argam ditempat biasanya anak itu berkumpul bersama teman-teman organisasinya.

“Lo nyadarnya kenapa telat banget dah, Lol! Kelakuan lo selama ini bener-bener diluar nurul yak.”

“Butuh Elsa nggak sih kita?”

Astajim, Lolai!! Patah hati sih, patah hati. Tapi jangan ajakin anak orang sesat dong! Anggur merah nggak baik buat perawan kayak kita.”

Dan sepanjang perjalanan, kedua gadis itu berceloteh kesana-kemari. Membicarakan hal-hal random sampai keduanya tiba di dekat pintu ruang BEM, yang lokasinya berada tak jauh dari fakultas psikologi mereka.

“Lolita tuh!”

“Bahaha, Anjir! Denger-denger si Lolita dikasih lampu ijo ya, Bro, sama nyokap lo?”

“Kesini pasti mau mepet lo nih, Nan. Siapin mental, Nan. Siapa tahu lo bakal dipelet lagi.”

Suara-Suara sumbang menyambut kedatangan Lolita dan Melisa. Mereka yang sedang bersama Adnan bahkan tak mau repot, untuk menurunkan volume suara mereka. Berghibah-ria seolah orang yang mereka bicarakan, merupakan sosok tak kasat mata.

“Lol,” Melisa mencekal lengan Lolita, “lo yakin mau nyari Bang Argam didalem? Chat aja udah. Suruh dia yang keluar.”

Lolita menghela napasnya yang berat. “Lo tunggu sini aja, Mel. Biar gue yang masuk. Jam segini Bang Argam pasti molor lagi.”

Kakak yang sedikit tidak Lolita cintai itu memang selalu berangkat pagi. Pukul berapa pun jam kuliah dan kegiatan organisasinya dimulai, pukul tujuh pasti sudah melesatkan kuda besinya.

Meski demikian, bukan berarti Argam adalah orang yang rajin. Pemuda itu hanya berpindah tempat tidur. Jika berada di rumah, mami mereka pasti akan mengomel sepanjang jalur rel kereta api.

“Nggak, Lol! Gue temenin. Pokoknya susah, seneng, kita harus bareng. Lagian gue udah biasa kok kalau harus ada di situasi yang malu-maluin bareng lo.”

“Sialan!” Umpat Lolita membuat Melisa menyengir kuda.

Keduanya melanjutkan langkah, mengaktifkan tombol budek sementara agar misi menemui Argam berhasil dijalankan.

“Eh, Neng Loli. Mau nyamperin Bang Adnan ya?” Goda salah satu teman terdekat Adnan.

Di kampus, siapa yang tidak mengetahui jika Lolita sangat tergila-gila pada Adnan. Gadis itu selalu mencari cara untuk bisa mendapatkan perhatian si Ketua BEM Universitas.

Bukan hanya satu kali Lolita menyambangi Adnan ke ruang BEM Universitas. Tepatnya hampir setiap hari dan itu ditujukan khusus demi Adnan seorang. Padahal kakak kandung Lolita— Argam, juga menjabat sebagai salah satu orang penting di puncak organisasi kampus.

Sorry Bang! Bisa minggir, nggak?! Lo ngalangin jalan gue!”

“Duh, maaf, Lol! Jadi nggak bisa liat wajah Babang Ganteng yak?!” Pemuda yang menggoda Lolita itu lantas menyingkir, memberikan akses agar Lolita dapat bertatap muka dengan idola kesayangannya.

Namun yang terjadi tidak seperti biasanya— Anggapan bahwa Lolita ingin menemui adnan dipatahkan oleh terus melangkahnya kaki-kaki jenjang gadis itu.

Yah, gadis itu benar-benar hanya ingin menggunakan jalanan yang tertutup oleh Adnan dan teman-temannya. Ia bahkan tak melirik Adnan walau satu detik lamanya. Pandangannya lurus, tak berbelok pada si Ketua BEM yang berdiri bersandarkan dinding beton.

“Njir, doi kesini kagak buat ketemu lo, Bro. Tumben banget.” Ucap sahabat terdekat Adnan, Farhan.

“Jinnya udah ilang kali,” sahutan dari sahabat Adnan yang lain menggema.

“Halah! Mana ada, Nan! Strategi ini namanya! After dapet lampu ijo dari Tante Tiana, dia sok jual mahal,” papar Tama dengan asumsinya untuk menyanggah sahutan Nando.

“Lo nggak inget, dia ngejar-ngejar si Adnan dari kapan? MABA, Coy! Ya kali mendadak nggak suka! Gue sih nggak percaya ya, kalau dia tiba-tiba nggak naksir Adnan lagi!” timpalnya, menyampaikan apa yang dirinya pikirkan atas perubahan Lolita.

“Bener sih! Rada aneh juga kalau mendadak doi dingin gitu ke Adnan.”

Ditengah pembahasan seputar Lolita, Adnan diam termenung. Ia yang selama ini tak pernah memperhatikan Lolita, sempat memusatkan perhatiannya pada wajah gadis itu.

‘Dia marah?’ batin Adnan, menyuarakan penilaiannya atas ekspresi Lolita di dalam hati.

Mungkin kah dirinya sudah sangat keterlaluan?

Apakah kata-katanya sudah menyakiti gadis itu, sampai untuk meliriknya pun, Lolita tak sudi?!

Bukan kah ia hanya meminta Lolita untuk berhenti bertingkah memuakkan? Tapi mengapa gadis itu justru bertindak berlebihan, bertingkah seolah-olah mereka tidak saling mengenal sebelumnya.

“Nan, Adnan!”

Lambaian tangan yang dilakukan oleh Nand di depan mata Adnan, membuatnya tersadar dari lamunan.

“Mikirin apa lo? Jangan bilang, lo lagi mikirin si Lolita?!” Tebak Nando, diikuti oleh tatapan ingin tahu kedua sahabat Adnan yang lainnya.

“Ngaco lo! Gue lagi mikir, si Richi lama banget ke toiletnya. Bentar lagi kita ada kelas. Bisa-bisa kita telat gara-gara nungguin tuh anak.” Dusta Adnan, tak ingin mengaku.

“Kirain, Bro! Siapa tau kan, lo ngerasa kehilangan. Tiap hari doi nempel kayak parasit, jadi pas nggak ada, lo mendadak something’s wrong gitu. Wkwkwk!” Nando meledakkan tawa, diikuti oleh Tama dan Farhan.

Kalimat panjang Nando itu dibalas dengusan oleh Adnan. Ia yakin tidak akan merasakan seperti apa yang Nando katakan.

Mulai detik ini, hidupnya akan terbebas dari segala bentuk perilaku menyimpang Lolita. Ia mana mungkin merasa kehilangan untuk sesuatu yang bahkan dianggap ada saja, tidak.

“Awas aja ya, Lol! Gue sumpahin lo berdua mencret kalau ngibulin gue!”

“Yeee! Bertiga dong! Kan Loli ngajakin Bang Richi juga. Masa dia selamet sendirian sih, Bang?!”

Samar-samar telinga Adnan menangkap pembicaraan Lolita dan Argam. Suara itu juga dilapisi oleh tawa seseorang yang Adnan kenali pemiliknya.

“Nggak bisa Lol, kalau sekarang. Gue kelas bentar lagi.”

“Lo nyusul aja abis kelas, Bang. Hari ini gue sama Melisa pengen ngerayain kembalinya otak gue.”

“Heh! yang lo pake pesta duit gue, kenapa gue nggak diajakin?!” Protes Argam.

Kini pemilik suara-suara yang merasuk ke gendang telinga Adnan mulai terlihat batang hidungnya.

Benar saja, di antara suara-suara tersebut, Richi sahabatnya, ikut berada diantara Lolita dan lawan bicaranya.

“Ngajakin Abang mah bikin bengkak pengeluaran. Temen-temen Abang kan banyak. Miskin loh, ntar, Bang!” Ujar Lolita. “Loli gini kan buat menghemat uang saku Abang.” Alibinya sebelum mencium pipi Argam.

Thanks supply duit jajannya Abang Gadun. Nanti malem ya?” Sebelah matanya mengerling, jenaka. “Bang Richi, jangan lupa nanti yak,” Lolita melambaikan tangannya, berdad-ria sebelum mengajak Melisa untuk hengkang.

Sekali lagi, gadis itu hanya melewati Adnan dan kumpulannya. Tidak ada sapaan, apalagi binar damba.

‘Harus sejauh ini berubahnya? Belom sehari padahal!’

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status