Share

[7] Dia— yang Diam-Diam Mengintai

Lolita mendesah. Tubuhnya lesu, seperti sebuah robot yang kehabisan daya.

Satu hari bahkan belum berhasil dirinya lalui, tapi entah mengapa, ia merasa waktu disekitarnya melambat.

Pergerakan ini sangat berbeda ketika dirinya masih sering merecoki Adnan. Biasanya ia mengutuk jam digital di ponselnya, yang bergerak begitu cepat.

Fiuh! Berat ternyata, Bestie! Kapan sorenya ini?! Gue pengen balik, huhuhu!’

Lolita bosan. Kini ia menyadari betapa bodoh dirinya selama ini. Andai saja ia tak jatuh hati pada seorang Adnan, ia mungkin memiliki kegiatan yang berfaedah di kampus.

Contohnya saja, mengikuti salah satu organisasi fakultas, seperti apa yang dilakukan Melisa. Meskipun menjadi regu sorak dan tukang pembuat huru-hara, setidaknya hidupnya cukup berguna bagi Psikologinya tercinta.

“Kambing! Jangan-jangan, gue lagi yang selama ini dipelet. Makanya bisa bego nggak ada obat!” Gerutu Lolita. Ia melipat kedua tangannya di atas dada. Mencoba memikirkan kalimat yang keluar dari mulutnya.

“Wah, iya, sih! Bisa jadi!”

Tampang kuyunya berubah dengan cepat. Berekspresi selayaknya orang yang tengah berpikir keras.

“Ya kali gue yang selama ini anti cinta-cintaan, mendadak terkintil-kintil sama jelmaan Firaun!”

“Buahahaha!!” Seseorang terbahak dibelakang Lolita. Sejak Lolita bermonolog, sosok itu setia berdiri disana. Ia menantikan rangkaian kalimat-kalimat ajaib yang Lolita lontarkan.

“Bang Richi”

Lolita pun membekap mulutnya menggunakan kedua tangan.

Sial!

Ia baru saja mengata-ngatai Ketua BEM Universitas, sekaligus juga sahabat dari pemuda yang menyambanginya. Dan yang lebih parah, ia melayangkan fitnah keji tentang dunia perpeletan.

“Nih, es krim! Gue cariin di kantin, taunya lo nggak ada disana.”

“Duh, God!” Pekik Lolita, menepuk keningnya. “Si Melisa ba-tiba aja rapat, Bang. Mau ngabarin Abang tapi belum tukeran kontak.”

“Oh, jadi kode minta nomor ceritanya?” Richi kembali menyodorkan es krim ditangannya, karena Lolita tak kunjung menerima pemberiannya.

“Eh, nggak gitu ya!” Lolita membuang pandangannya ke samping. Gadis itu merasa malu. “Sumpah nggak ada maksud apa-apa, Bang Rich.” Terangnya, tak ingin Richi salah paham.

I know, I know. Terima dulu kali es krimnya, Lol. Keburu cair ntar.”

“Oh, iya, thanks, Bang..” Gagap Lolita, canggung.

“Biasa aja kali, Lol. Kayak sama siapa aja. Kita udah sering ketemu ini, waktu lo sering..”

“Stop! Nggak usah diingetin, Please!” Potong Lolita. Semua yang berkenaan dengan kebodohannya, Lolita tak ingin lagi mendengarnya.

“Jangan sebut-sebut nama dia juga ya, Bang. Pengen nonjok komuknya gue. Sayang aja gue nggak berani,” cengirnya di akhir kalimat.

“Oke.. Apa pun yang terjadi diantara kalian berdua, gue cuman bisa bilang, lo deserve better than him, Lol.”

Richi tak memungkiri betapa sempurnanya Adnan untuk menjadi seorang pemuda. Namun jika dirinya boleh jujur, sahabatnya itu sedikit tidak berperasaan.

Terlepas dari sikap Adnan yang baik hati pada Lolita, tapi tak seharusnya dia terus membuat Lolita mengejarnya jika dirinya sendiri tak menaruh hati.

“Sini biar nggak gabut gue comblangin ke anak-anak. Farhan baru putus tuh. Nando mayan lah, dia kalau udah bucin otaknya digadein ke Pegadaian.”

Lolita mengangkat sudut bibir kirinya.

“Nah, kalau Tama. Udah punya bokin sih dia. Cuman bisa aja kalau mau lo tikung. Anaknya agak murahan dia.”

Mendengar bagaimana Richi menurunkan pasaran salah satu sahabatnya, Lolita tertawa keras. Tawanya bahkan sampai bisa membuat anak-anak disekitar mereka, menatap ke arahnya.

“Kok lo nggak nawarin diri, Bang?” Canda Lolita.

“Gue?” Beo Richi sembari mengarahkan jari telunjuk pada dirinya sendiri.

Lolita menganggukkan kepalanya. Pada dasarnya, ia memang sosok yang mudah bergaul.

“Jangan lah! Gue cowok brengsek, Lol. Cewek baek-baek kayak lo, jangan sampe jatoh ke tangan buaya kayak gue.” Ucap Richi yang lantas mendapatkan tatapan aneh dari Lolita.

“Dih, masa buaya ngaku?”

“Yeee! Dibilangin! Gue kalau ketahuan Argam deketin lo, besok udah pindah Jeruk Purut. Temen doang gue yang alim, diri sendiri mah blangsak, Lol!”

Lolita terkekeh. Baru kali ini ia menemukan orang yang mengakui kebrengsekannya. Dibandingkan mereka yang berlindung pada kedok anak baik-baik, sosok seperti Richi inilah yang seharusnya diberikan sikap hormat.

Respect!” Lolita benar-benar mengangkat telapak tangannya pada pelipis, memberikan penghargaan tertinggi ala abdi negara pada pria yang berdiri di hadapannya.

Keduanya lalu tertawa, menertawakan kelakuan konyol mereka.

Tanpa keduanya sadari, pada sebuah sudut yang terhalang pepohonan, sosok Adnan terus memperhatikan. Pemuda itu tak beranjak, sejak menemukan sahabatnya menghampiri Lolita.

‘Cih! Belom sehari, udah pindah target?! Yakin beneran suka sama gue?” Ucap Adnan. Tangannya terkepal dikedua sisi tubuhnya. Ia tiba-tiba kesal untuk sesuatu yang dirinya tidak ketahui penyebabnya.

Hatinya tergerak untuk mengikuti Richi. Ia pikir pemuda itu akan berada di kantin, sesuai dengan apa yang dirinya dengar. Richi bahkan terlihat terburu-buru tadi.

Siapa sangka jika keduanya justru menghabiskan waktu hanya berdua. Di Tempat umum— dimana banyak mata melihat keakraban mereka.

Ibunya salah! Salah besar! Gadis seperti Lolita tidak pantas menjadi pendampingnya.

Mungkin inilah jawaban mengapa dirinya ingin mengikuti Richi. Semesta berniat menunjukkan sosok Lolita yang sebenarnya.

“Lolaaaaiiiii!!!”

Suara seseorang yang memanggil nama Lolita membuat Adnan menarik dirinya. Ia berlindung pada pohon yang besar, agar posisinya tidak diketahui.

Setelah memastikan semua aman, Adnan melangkahkan kaki. Meninggalkan tempat persembunyiannya.

“Melkadot! Lama bener sih! Es krim dari Bang Richi ampe meleleh, Anjrot!” Omel Lolita.

“Lah! Udah paling wat-wut ini, Neng! Gue aja kabur lewat jendela tadi.”

“Buset!!” Tanggap Lolita dan Richi bersamaan.

“Woi, Bang! Jatah es krim bagian gue mana? Loli doang yang dibeliin?” Tagih Melisa. “Nih es krim melehoy amat. Pada ngapain aja, Anjir! Mubazir kagak dimakan.”

“Tauk nih! Gue diajakin ghibah sama Bang Richi, Mel. Parah nih orang. Ntar nitip freezer Ibu kantin aja. Bagi dua. Bang Richi keknya lagi bokek, wkwkwk.”

“Oh, ternyata begini ya aslinya. Kirain lemah-lembut beneran.” Decak Richi, melirik si tersangka pemalsuan identitas.

“Lelembut kali dia mah, Bang. Sok-sokannya aja kalem depan Bang Ad.. Ups! Hampir kecep..”

“WEH!” Pekik Melisa. Ia baru teringat akan sesuatu ketika hampir menyebutkan nama makhluk ternista di kamus Lolita sekarang.

“Hampir aja gue lupa kan!” timpalnya.

“Apaan dah? Ampe kaget kita, Njrot!”

“Sumpah ya! Berani kesamber gledek nih gue!” Melisa mengacung-ngacungnya kedua jarinya, yang membentuk huruf ‘V,’ ke udara. “Gue tadi waktu turun tangga ngeliat Bang Ad-piiiip! Gue sensor, tenang! Jangan risau!”

SIALUN!” Geram dengan kelakuan sahabatnya, Lolita pun mendaratkan pukulan mesra hingga tubuh Melisa terhuyung.

“Manusia itu, di pojokan sana noh! Dipohon itu.” Ungkap Melisa sembari menunjuk lokasi dimana dirinya melihat eksistensi kakak tingkatnya.

“Ngapain Bang Ad-Njing! Disitu? Nyari semut?”

Bahu Richi bergetar, hebat. Pemuda itu menahan tawanya agar tak meledak. Sungguh sangat disayangkan, gadis selucu Lolita gagal berjodoh dengan sahabatnya. Coba saja mereka menjalin asmara, ia dan teman-temannya pasti terbebas dari stresnya tugas kampus dan organisasi.

“Subhanallah.. Ampe nyebut gue gara-gara lo berdua!” Ucap Richi menggelengkan kepala.

“Nggak kebakar kan, Bang?”

“Hampir, Lol! Hampir! Udah kecium nih bau-bau gosongnya!” Seloroh Richi.

Keseruan itu berakhir tatkala suara keroncongan diperut Melisa berbunyi.

“Bener-Bener dah si Melkadot! Nggak ada jaim-jaimnya! Di depan kating nih, Dot!”

“Mohon maaf, Nyisanak! Cacing diperut nggak kenal senioritas. Mari kita berpesta! Merayakan kembalinya otak pentium tiga lo!”

BERANG CUUUUT!” Teriak Lolita mengangkat tangan kanannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status