Dua hari sudah berlalu. dan kini Tama terdiam di depan pintu dengan ragu. Ia tahu, ia tak bisa terus begini. Semua harus diperbaiki, bagaimanapun caranya. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan, seolah berharap rasa gugup itu ikut pergi bersama hembusannya. Tangannya terkepal, terangkat ke udara— Tok... tok... tok... Namun, tak ada jawaban. Pintu tetap tertutup rapat. Tama meringis, diam sejenak, matanya tak lepas dari pintu yang tak kunjung terbuka. Beberapa detik ia terjebak dalam hening, sampai akhirnya kesadaran menohoknya. “Astaga… kegugupan ini membuatku lupa,” gumamnya lirih, menatap bel rumah yang menempel manis di samping pintu. Tama menekan bel itu perlahan, seolah takut bel berbunyi terlalu keras. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Hingga— Kreeet. Pintu terbuka dari dalam. Tama menoleh, lalu seketika tubuhnya membeku. Nayla. Dialah yang muncul di ambang pintu. Wajahnya masih tampak bengkak dan memar, membuat dada Tama sesak. Namun,
Flashback Tama berlari sekuat tenaga, air matanya menetes deras tanpa henti. Jantungnya berdegup kencang, seolah ingin meledak bersama rasa malu yang menyesakkan dada. Bruk! Pintu rumah terbuka dengan hentakan keras. Kedua orang tuanya sontak menoleh. Ali dan Vita saling bertatapan, terkejut sekaligus heran melihat wajah putri mereka yang pucat dan berantakan. Ali melangkah mendekat, pandangannya tajam penuh tanya. Namun sebelum sempat berkata banyak, tubuh Tama sudah merosot lemah ke lantai. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, bahunya berguncang menahan tangis. “Aku malu, Ayah…” suaranya parau, nyaris tak terdengar. “Semua hanya salah paham. Dia bukan selingkuhannya… dia adiknya.” Vita terbelalak, wajahnya berubah pucat. “Apa?” teriaknya tak percaya. Sang ibu menutup mulutnya dengan tangan, napasnya memburu. “Astaga… ini bencana, Tama.” Panik melanda. Vita mendekat, suaranya meninggi, “Kau harus segera kembali pada Riko. Minta maaflah. Aku yakin dia akan memaafka
“Aku… aku tidak tahu kalau dia Nayla,” ucap Tama terbata, suaranya bergetar. Air matanya jatuh, seolah berharap Riko akan luluh. Namun tiba-tiba suara lemah terdengar memecah keheningan. “Kenapa… kamu tadi begitu lantang bicara bahasa Inggris?” sela Nayla dengan napas tersengal. Wajahnya pucat, dada terasa perih akibat tendangan brutal yang baru saja diterimanya. “Sekarang… kenapa beralih ke bahasa Indonesia?” Kata-kata itu membuat ruangan seolah membeku. Semua mata tertuju pada Tama. Tama tercekat. Tubuhnya gemetar, wajahnya memerah menahan malu. Perlahan kepalanya tertunduk, seakan tak sanggup menatap siapapun lagi. Sementara itu, semua orang di ruangan menatap dengan penuh keheranan. Bisik-bisik mulai terdengar di antara mereka, pasalnya tak satu pun dari mereka yang mengerti bahasa yang baru saja digunakan. “Bicara apa mereka?” tanya seorang pria berjas, dengan alis terangkat bingung. “Apa mereka sedang berbicara bahasa Indonesia?” sambung yang lain dalam bahasa Ingg
Restoran kantor malam itu dipenuhi cahaya hangat dan suara riuh. Para karyawan berkumpul, saling bercengkerama, menunggu acara inti dimulai. Hari ini memang istimewa — Riko baru saja meraih jabatan tinggi berkat kerja kerasnya yang luar biasa. Semua mata menunggu kedatangan nya, menanti sambutan dan juga… perkenalan orang-orang terdekatnya. Suasana semakin meriah ketika terdengar bisik-bisik, “Katanya Riko bakal bawa kekasihnya malam ini.” “Dan adiknya juga, ya? Dari Amerika, kan?” Beberapa orang bahkan sudah menyiapkan kamera ponsel, tak sabar mengabadikan momen tersebut. Di panggung kecil dekat podium, MC acara tersenyum sambil memegang mikrofon. “Malam ini bukan hanya perayaan promosi Pak Riko, tetapi juga perkenalan keluarga beliau. Mari kita nantikan kedatangannya!” Sorak sorai dan tepuk tangan pun terdengar. Namun di sisi lain kota, di sebuah mobil yang melaju menuju restoran itu, Nayla duduk dengan wajah pucat penuh luka. Tangannya masih terkunci oleh cengkeraman dua
Keempat perempuan itu masuk begitu saja tanpa aba-aba. Pintu ditutup keras, bahkan terkunci dari dalam. “Eh, apaan ini?! Kok dikunci?!” Nayla terperanjat, wajahnya berubah panik. “Kalian siapa sih? Gak sopan banget masuk rumah orang seenaknya!” Namun belum sempat Nayla mendekat, suara bentakan menggelegar. “Kamu yang siapa?! Beraninya masuk rumah orang, hah?!” Nayla terdiam, jantungnya berdegup keras. Tatapannya segera tertuju pada sosok gadis di depan — Tama. Ya, dialah Tama, yang datang bersama tiga temannya. Tama berdiri dengan wajah memerah karena marah. Matanya tajam menatap Nayla. Sejak menerima kabar dari ibunya beserta foto yang memperlihatkan pelukan Nayla dan Riko, Tama tak bisa lagi menahan diri. Ia langsung memutuskan untuk mendatangi rumah Riko, ingin membuktikan dengan matanya sendiri. Dan ternyata… apa yang ia lihat sekarang sama persis seperti yang ibunya katakan. Nayla yang baru saja datang, tinggal di rumah yang sama, bahkan terlihat begitu santai sea
"Benarkah, Mas?" tanya Tama memastikan, terdengar antusias. "Iya, Sayang. Dia akan datang pukul empat sore. Tolong temani dulu ya sebelum aku pulang kerja," jawab Riko. "Iya, Sayang, tentu," balas Tama sambil mengangguk dan tersenyum lebar, seolah tak sabar. "Ya sudah, aku tutup ya, Sayang. Love you." Mendengar itu, Tama tersipu malu. Ia menggenggam ponselnya yang sudah mati. "Ada apa, Tam?" tanya sang ibu, memecah lamunan putrinya. Tama menoleh. "Ih, kepo!" ejeknya sambil menjulurkan lidah, lalu berlari kecil. Melihat itu, Vita tersenyum kecil dan menggeleng pelan. "Anak itu..." gumamnya. Di dalam kamar, Tama menatap bayangan dirinya di cermin. Pipi merahnya masih terlihat jelas, bahkan semakin memanas tiap kali mengingat suara Riko yang barusan pamit. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, lalu terjatuh ke atas ranjang sambil berguling-guling. “Jam empat sore… duh, masih lama banget!” gerutunya sambil menatap jam dinding. Jarum pendek masih setia menunjuk angka