Share

LE BERNARDIN

Author: Ayuwine
last update Last Updated: 2025-08-22 07:18:47

Malam itu, mereka berdua larut dalam obrolan panjang. Waktu terus berjalan, tapi tak ada yang berniat tidur.

Nayla terlalu takut membiarkan pikirannya kosong—terlalu banyak bayangan gelap yang bisa datang. Sedangkan Edward… ia terlihat menikmati percakapan itu, seakan tak ingin malam berakhir.

Hingga akhirnya, Edward membuka sesuatu yang membuat Nayla terdiam.

“Kamu tahu…” suaranya terdengar berat, “…di Indonesia, sepupuku sedang mengalami gangguan mental. Aku ingin pulang… tapi aku tak bisa.”

Nayla spontan menoleh, menatap wajah Edward penuh tanya.

“Kenapa?”

Pria itu menghela napas panjang, matanya menerawang seakan kembali ke masa lalu.

“Aku dibesarkan oleh pamanku. Kedua orang tuaku meninggal, meninggalkan harta yang cukup banyak. Waktu kecil aku tak tahu apa-apa… tapi setelah remaja, aku baru sadar. Pamanku dan keluarganya mengambil semua harta orang tuaku, dan membiarkanku kelaparan. Aku sendirian.”

Nayla terdiam, hatinya tersentuh.

“Tapi ada satu orang yang tak pernah b
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • PELUKAN BERDARAH   CEMBURU BERLEBIHAN

    Flashback Tama berlari sekuat tenaga, air matanya menetes deras tanpa henti. Jantungnya berdegup kencang, seolah ingin meledak bersama rasa malu yang menyesakkan dada. Bruk! Pintu rumah terbuka dengan hentakan keras. Kedua orang tuanya sontak menoleh. Ali dan Vita saling bertatapan, terkejut sekaligus heran melihat wajah putri mereka yang pucat dan berantakan. Ali melangkah mendekat, pandangannya tajam penuh tanya. Namun sebelum sempat berkata banyak, tubuh Tama sudah merosot lemah ke lantai. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, bahunya berguncang menahan tangis. “Aku malu, Ayah…” suaranya parau, nyaris tak terdengar. “Semua hanya salah paham. Dia bukan selingkuhannya… dia adiknya.” Vita terbelalak, wajahnya berubah pucat. “Apa?” teriaknya tak percaya. Sang ibu menutup mulutnya dengan tangan, napasnya memburu. “Astaga… ini bencana, Tama.” Panik melanda. Vita mendekat, suaranya meninggi, “Kau harus segera kembali pada Riko. Minta maaflah. Aku yakin dia akan memaafka

  • PELUKAN BERDARAH   TAMA

    “Aku… aku tidak tahu kalau dia Nayla,” ucap Tama terbata, suaranya bergetar. Air matanya jatuh, seolah berharap Riko akan luluh. Namun tiba-tiba suara lemah terdengar memecah keheningan. “Kenapa… kamu tadi begitu lantang bicara bahasa Inggris?” sela Nayla dengan napas tersengal. Wajahnya pucat, dada terasa perih akibat tendangan brutal yang baru saja diterimanya. “Sekarang… kenapa beralih ke bahasa Indonesia?” Kata-kata itu membuat ruangan seolah membeku. Semua mata tertuju pada Tama. Tama tercekat. Tubuhnya gemetar, wajahnya memerah menahan malu. Perlahan kepalanya tertunduk, seakan tak sanggup menatap siapapun lagi. Sementara itu, semua orang di ruangan menatap dengan penuh keheranan. Bisik-bisik mulai terdengar di antara mereka, pasalnya tak satu pun dari mereka yang mengerti bahasa yang baru saja digunakan. “Bicara apa mereka?” tanya seorang pria berjas, dengan alis terangkat bingung. “Apa mereka sedang berbicara bahasa Indonesia?” sambung yang lain dalam bahasa Ingg

  • PELUKAN BERDARAH   DI HADAPAN SEMUA ORANG

    Restoran kantor malam itu dipenuhi cahaya hangat dan suara riuh. Para karyawan berkumpul, saling bercengkerama, menunggu acara inti dimulai. Hari ini memang istimewa — Riko baru saja meraih jabatan tinggi berkat kerja kerasnya yang luar biasa. Semua mata menunggu kedatangan nya, menanti sambutan dan juga… perkenalan orang-orang terdekatnya. Suasana semakin meriah ketika terdengar bisik-bisik, “Katanya Riko bakal bawa kekasihnya malam ini.” “Dan adiknya juga, ya? Dari Amerika, kan?” Beberapa orang bahkan sudah menyiapkan kamera ponsel, tak sabar mengabadikan momen tersebut. Di panggung kecil dekat podium, MC acara tersenyum sambil memegang mikrofon. “Malam ini bukan hanya perayaan promosi Pak Riko, tetapi juga perkenalan keluarga beliau. Mari kita nantikan kedatangannya!” Sorak sorai dan tepuk tangan pun terdengar. Namun di sisi lain kota, di sebuah mobil yang melaju menuju restoran itu, Nayla duduk dengan wajah pucat penuh luka. Tangannya masih terkunci oleh cengkeraman dua

  • PELUKAN BERDARAH   SAUDARA ATAU PELAKOR

    Keempat perempuan itu masuk begitu saja tanpa aba-aba. Pintu ditutup keras, bahkan terkunci dari dalam. “Eh, apaan ini?! Kok dikunci?!” Nayla terperanjat, wajahnya berubah panik. “Kalian siapa sih? Gak sopan banget masuk rumah orang seenaknya!” Namun belum sempat Nayla mendekat, suara bentakan menggelegar. “Kamu yang siapa?! Beraninya masuk rumah orang, hah?!” Nayla terdiam, jantungnya berdegup keras. Tatapannya segera tertuju pada sosok gadis di depan — Tama. Ya, dialah Tama, yang datang bersama tiga temannya. Tama berdiri dengan wajah memerah karena marah. Matanya tajam menatap Nayla. Sejak menerima kabar dari ibunya beserta foto yang memperlihatkan pelukan Nayla dan Riko, Tama tak bisa lagi menahan diri. Ia langsung memutuskan untuk mendatangi rumah Riko, ingin membuktikan dengan matanya sendiri. Dan ternyata… apa yang ia lihat sekarang sama persis seperti yang ibunya katakan. Nayla yang baru saja datang, tinggal di rumah yang sama, bahkan terlihat begitu santai sea

  • PELUKAN BERDARAH   SALAH PAHAM YANG MEMATIKAN

    "Benarkah, Mas?" tanya Tama memastikan, terdengar antusias. "Iya, Sayang. Dia akan datang pukul empat sore. Tolong temani dulu ya sebelum aku pulang kerja," jawab Riko. "Iya, Sayang, tentu," balas Tama sambil mengangguk dan tersenyum lebar, seolah tak sabar. "Ya sudah, aku tutup ya, Sayang. Love you." Mendengar itu, Tama tersipu malu. Ia menggenggam ponselnya yang sudah mati. "Ada apa, Tam?" tanya sang ibu, memecah lamunan putrinya. Tama menoleh. "Ih, kepo!" ejeknya sambil menjulurkan lidah, lalu berlari kecil. Melihat itu, Vita tersenyum kecil dan menggeleng pelan. "Anak itu..." gumamnya. Di dalam kamar, Tama menatap bayangan dirinya di cermin. Pipi merahnya masih terlihat jelas, bahkan semakin memanas tiap kali mengingat suara Riko yang barusan pamit. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, lalu terjatuh ke atas ranjang sambil berguling-guling. “Jam empat sore… duh, masih lama banget!” gerutunya sambil menatap jam dinding. Jarum pendek masih setia menunjuk angka

  • PELUKAN BERDARAH   HONGKONG-AMERIKA

    Setelah makan malam usai, suasana rumah mulai hening. Namun ketika Riko hendak pamit, suara berat ayah Tama menahannya. “Tunggu dulu, Nak. Ayah ingin bicara serius denganmu,” ucap Ali, nadanya penuh wibawa dan keseriusan. Riko menoleh, lalu mengangguk sopan. Dengan langkah mantap, ia duduk kembali di ruang tamu, berhadapan dengan Ali dan Vita. Meski aura sang ayah terasa tegas, Riko tetap tenang—sikap tampannya menambah wibawa yang ia miliki. “Apa kamu akan selamanya tinggal di Hong Kong?” tanya Ali, menatap lurus ke arah Riko. Dengan suara tegas, Riko menjawab, “Tidak, Ayah. Di sini saya hanya sementara. Saya sedang menjalankan pekerjaan dan misi. Jika sudah selesai, saya akan kembali ke Amerika.” Jawaban itu membuat dada Tama berdegup kencang. Duduk tak jauh dari sana, ia menggenggam tangannya sendiri erat-erat, hatinya dipenuhi rasa waswas. Apa artinya… Riko akan meninggalkanku? batinnya gelisah. Ali dan Vita saling pandang, kecemasan jelas tergambar di wajah mereka. Lalu, Vi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status