Home / Thriller / PELUKAN BERDARAH / PEREMPUAN MANIS YANG TANGGUH

Share

PEREMPUAN MANIS YANG TANGGUH

Author: Ayuwine
last update Last Updated: 2025-07-06 18:54:06

"Di balas!" serunya kegirangan saat melihat akun I*******m-nya mendapat balasan dari seseorang yang baru saja ia kenal.

Arya, pria itu, menoleh dengan ekspresi datar, heran melihat istrinya.

"Ada apa?" tanyanya bingung.

"Ini loh, Mas... Aku tadi ke salon, terus ketemu sama model yang lagi populer banget itu. Dan tahu nggak? Aku beruntung banget, dia yang nyapa aku duluan!"

katanya bersemangat.

"Terus aku coba cari I*-nya, iseng-iseng aku chat... dan ternyata dibalas! Yeay!" Ia bersorak sambil terus mengetik balasan dengan penuh antusias, tak menoleh sedikit pun kearah suaminya.

"Siapa nama I*-nya emang? Modelnya terkenal?" tanya Arya, sedikit penasaran.

"Namanya Nayla Velinora, Mas!" jawab istrinya dengan antusias.

Ia lalu mendekat ke arah suaminya, memperlihatkan layar ponsel yang menampilkan sosok model terkenal itu.

Begitu melihat wajah perempuan di layar, mata Arya mendadak menyempit. wajah nya terkejutan tak sempat ia sembunyikan.

"Namanya... Nayla?" lirih Arya pelan, hampir seperti bisikan, namun cukup jelas terdengar oleh Tiara.

Tiara menoleh cepat, menatap heran ke arah suaminya.

"Kamu mengenalnya, Mas? Kenapa kaget begitu?" tanyanya curiga.

Mata Arya membulat sesaat, lalu ia cepat-cepat menggeleng pelan.

"Enggak, bukan begitu. Masa kamu nggak ingat?" Arya berusaha menutupi kegugupannya dengan senyum kaku.

Tiara menyipitkan matanya, semakin bingung. "Apa maksud mu mas?"

Arya menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab dengan suara rendah dan hati-hati.

"Dia... perempuan yang pernah aku tabrak, di depan Cafe Mentari, Sayang."

Tiara terbelalak, bibirnya membentuk huruf ‘O’.

"Astaga... iya ya!" serunya pelan, mengingat kejadian itu.

Baru sekarang ia menyadari kenapa wajah Nayla terasa tak asing saat pertama kali ia melihatnya di salon. Semua perlahan terangkai di benaknya tatapan singkat itu.

***

"Ada apa? Kenapa kamu senyum-senyum begitu? Jangan-jangan... kamu sudah berhasil memikat hatinya, ya?" goda Riko saat masuk ke kamar Nayla dan mendapati adiknya tersenyum sendiri di depan layar ponselnya.

Nayla mendongakkan kepala, mengalihkan pandangannya dari layar sambil tertawa kecil.

"Ini, Kak... lihat deh!" jawabnya penuh antusias, lalu menyodorkan ponsel ke arah Riko. "Baca ini pelan-pelan, ya. Seru banget!"

Riko mengambil ponsel itu dan mulai membaca dengan seksama percakapan antara Nayla dan Tiara. Alisnya terangkat pelan, ekspresinya berubah seiring baris demi baris terbaca.

"Jadi... kamu dekati istrinya dulu?" tanyanya pelan, nada suaranya campuran antara kaget dan kagum sedikit tak menyangka dengan rencana nayla.

Nayla tersenyum, matanya menatap Riko alis nya di naik turun kan.

"yap... cukup untuk masuk ke dalam hidup mereka," balasnya tenang, lalu merebahkan diri di kasur dengan ponsel masih di tangan. "Aku nggak nyari masalah, Kak. Tapi lihat perempuan itu yang memulai duluan... Tuhan ada di pihak kita."

"Bagus! Bahkan Kakak nggak kepikiran ke situ. Kamu cerdas, Sayang," balas Riko sambil mengacak rambut Nayla dengan gemas.

"Ini semua berkat Kakak juga," jawab Nayla sambil tersenyum manja, membuat Riko makin gemas melihat adik satu-satunya itu.

Mereka saling menatap. Satu detik... dua detik... Tatapan yang tak biasa. Hening itu menyisakan suara napas yang semakin terasa berat, makin dekat... hingga Riko perlahan mendekat.

Namun, Nayla dengan cepat mundur. Wajahnya tersipu, menyembunyikan kegugupan yang tak bisa ia kendalikan.

"Aduh, Kak! Aku mau beli jus dulu, yuk ke depan!" ucapnya tiba-tiba, mencoba mengalihkan suasana.

Ia bangkit cepat, hanya mengenakan celana pendek setengah paha dan kaos oversize, lalu berlari kecil ke arah pintu.

"Ayok, Kak!" teriaknya dari luar, suaranya riang seperti tak terjadi apa-apa.

Riko hanya tersenyum dari dalam kamar. Senyum yang campur aduk antara geli, bingung... dan tak mampu marah pada peri kecilnya.

__

Nayla menyeruput jus stroberinya dengan penuh kenikmatan.

"Ahk..." desahnya melengking pelan, refleks dari segarnya rasa buah itu.

Riko yang duduk di seberangnya tertawa kecil. "Seger banget, kayaknya."

Nayla mengangguk pelan sambil mengacungkan jempol ke arah wajah Riko, matanya menyipit lucu, seolah mengkonfirmasi bahwa itu memang top tier jus.

Riko lalu bangkit dari tempat duduk. Nayla mendongak, alisnya bertaut, bingung.

"Mau ke mana, Kak?" tanyanya.

"Rokok," jawab Riko santai sambil mengeluarkan sebatang dari bungkus di saku celananya dan menunjuk ke arah luar kedai.

Nayla mengangguk paham, tak berkata apa-apa. Riko berjalan pergi, meninggalkannya seorang diri di kedai kecil itu.

Beberapa menit berlalu. Suasana tetap hangat dan tenang… sampai suara berisik terdengar dari sekelompok pria yang baru saja datang.

Mereka tertawa keras, lalu salah satu dari mereka melirik ke arah Nayla.

"Witwiw… cantik banget, sih. Tapi kok sendirian?" goda salah satu pria, lalu dengan santainya duduk di samping Nayla tanpa permisi.

Wajah Nayla langsung berubah. Senyum manisnya hilang, berganti ekspresi dingin dan pandangan tajam menusuk.

Tangannya yang tadi santai memegang gelas, kini sedikit menegang.

"Maaf, tapi kursi ini sudah ada yang duduk. Pergilah ke tempat kosong lainnya," ucap Nayla datar. Suaranya berubah seratus persen dingin, tegas, dan tanpa basa-basi.

Ketiga pria itu tertawa nyaring. Tubuh-tubuh besar mereka penuh tato, seolah terbiasa menggertak. Bagi mereka, Nayla hanya gadis manis biasa yang duduk sendirian. Mudah.

Salah satu dari mereka lalu menjulurkan tangan, hendak menyentuh tangan Nayla yang tergeletak santai di atas meja.

Namun—

BRUK!

Dalam sekejap, Nayla memiting pergelangan tangan pria itu dengan gerakan cepat dan tepat, lalu mendorongnya kasar ke samping.

Tubuh si pria terhempas dan menghantam meja lain, membuat kursi terseret dan gelas-gelas jatuh berserak.

Dua pria lainnya mendadak bangkit kaget, tak menyangka gadis manis itu bisa bergerak seperti petarung terlatih. Sementara Nayla berdiri perlahan, matanya menatap mereka satu per satu tajam, tenang, dan tak gentar sedikit pun.

"Aku bilang... pergi."

Riko yang sedang merokok di luar langsung tersentak saat mendengar suara gaduh dari dalam kedai. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia segera membuang puntung rokok dan berlari masuk.

Begitu menjejakkan kaki di dalam, matanya membelalak.

Kursi berserakan, gelas pecah di lantai, dan seorang pria besar sedang meringis kesakitan di dekat meja. Di tengah kekacauan itu, Nayla berdiri tegak dengan ekspresi dingin, tak jauh dari dua pria bertato lain yang terlihat masih bingung ingin maju atau mundur.

"Nayla!" seru Riko, kaget dan panik sekaligus. Suaranya menggema di antara keheningan yang baru saja jatuh di ruangan.

Semua orang menoleh. Termasuk ketiga pria bertato itu.

Begitu mereka melihat wajah Riko dengan jelas, ekspresi mereka langsung berubah.

"Bos...!" seru salah satu dari mereka, suaranya tercekat.

Seisi ruangan sontak terdiam. Pengunjung lain yang tadinya menyaksikan dengan heran kini menatap Riko dengan mata membesar bingung dan penasaran siapa sebenarnya pria itu.

Nayla menoleh pelan ke arah Riko, lalu menyipitkan mata.

"...Bos?" ulangnya lirih, nyaris tak terdengar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PELUKAN BERDARAH   end

    Dua minggu kemudian... Anjelin sudah sembuh dari sakitnya, walaupun kakinya masih diperban. Kini mereka sekeluarga sedang bersiap-siap untuk pindah lagi ke Amerika, tempat di mana Nayla akan mengembangkan kembali toko bunganya. Namun, di tengah kebahagiaan itu, Anjeli justru diliputi kesedihan. Ia merasa berat hati karena harus berpisah dengan Sahabat, sosok yang baru saja hadir dan memberi warna dalam hidupnya. “Ma, aku mau ketemu Diki...” rengek Anjeli sambil menahan tangis. Ia tidak bisa menerima kenyataan jika harus pergi tanpa berpamitan dengan Diki. Nayla dan Edward saling berpandangan. Hati mereka sama-sama terasa berat, tetapi mereka juga tidak ingin bersikap egois terhadap keinginan putrinya. Nayla tersenyum, lalu membungkuk hingga tinggi badannya sejajar dengan sang putri. Ia ingin benar-benar menatap mata Anjeli. “Sayang, kamu tahu nggak...” ucap Nayla lembut sambil mengusap pipi kecil putrinya, “ada loh kisah persahabatan yang benar-benar indah, bahkan romantis

  • PELUKAN BERDARAH   HARTA

    “Kenapa kamu bisa ikut campur urus hidup kami, padahal kita tak saling kenal?!” suara Edward bergetar menahan amarah, matanya menusuk ke arah Sindi. Belum sempat Sindi membuka mulut untuk membela diri, tiba-tiba Nayla berdiri. Ia melepaskan pelukan Diki dengan lembut, lalu melangkah maju dengan tatapan tajam penuh luka masa lalu. Matanya terpaku pada Arya, pria yang dulu pernah hadir dalam hidupnya. Hening sejenak… kemudian— PLAK! Satu tamparan keras mendarat di pipi Arya. Suara tamparan itu membuat ruang tunggu seketika membisu. Arya terkejut, tapi ia tidak melawan. Tangannya perlahan terangkat, memegang pipinya yang panas. Wajahnya menegang, tapi matanya sendu. Ia hanya bisa diam menerima amarah itu. “Hey! Berhenti! Jangan pegang suamiku!” teriak Sindi tiba-tiba. Suaranya lantang, penuh kecemburuan. Ia melangkah cepat, mencoba menghalangi Nayla, tak terima melihat wanita lain menyentuh Arya, meski dalam kemarahan. Suasana memanas, hampir tak terkendali. Edward yang m

  • PELUKAN BERDARAH   KEMARAHAN

    “Tolonggg…!” kini terdengar suara anak lelaki, melengking penuh ketakutan, memecah kesunyian malam yang mencekam. “Itu… itu Diki! Anakku!” teriak Sindi histeris, wajahnya pucat pasi saat mengenali suara putranya. Tanpa menunggu lagi, para orang tua itu langsung berlari lebih cepat menuju arah suara. Ranting-ranting patah diinjak, dedaunan bergesekan, dan napas mereka memburu seolah waktu tak memberi ampun. “Diki! Anjeli!” suara Nayla dan Arya bersahutan, saling tumpang tindih dengan detak jantung yang semakin kencang. Suara teriakan minta tolong itu terus terdengar, kadang melemah, kadang meninggi, seperti tanda anak-anak itu tengah berjuang dalam keadaan berbahaya. Malam semakin pekat, hanya cahaya senter yang bergoyang-goyang menerangi jalan. Diki yang melihat sekelebat cahaya dari kejauhan langsung menoleh. Wajahnya berbinar, harapan muncul di matanya. “Anjeli, bertahanlah di sini ya… aku lihat ada cahaya! Aku akan pergi sebentar, tolong bertahan,” ucapnya sambil beru

  • PELUKAN BERDARAH   TERSESAT

    Diki dan Anjeli berhenti melangkah. Mereka berdiri terpaku di tengah kebun yang sepi. Angin malam berembus, membuat dedaunan pisang bergesekan, suaranya menambah mencekam. “K-ke… kemana ayahmu, Diki?” suara Anjeli bergetar, hampir menangis. Ia memeluk erat lengan sahabatnya. Malam itu adalah pertama kalinya ia berada di kebun, jauh dari rumah, tanpa penerangan. Diki menggeleng pelan, wajahnya sama pucat. “Aku… aku nggak tahu…” bisiknya lirih. Jantung kecilnya berdegup kencang. Keduanya hanya anak SD, berdiri berdua di kegelapan kebun yang luas. Bayangan pepohonan tampak seperti sosok-sosok aneh, membuat mereka makin menciut. “Diki, aku takut…” isak Anjeli, air mata mulai mengalir. Diki menelan ludah, berusaha tegar meski lututnya gemetar. “Aku juga takut, Jel… tapi… kita nggak boleh diem di sini. Kita harus cari jalan keluar… atau nanti ibu datang…” suaranya mengecil, seakan menyadari betapa berbahayanya keadaan. “A-apa kamu tahu jalan keluarnya, Diki?” tanya Anjeli dengan

  • PELUKAN BERDARAH   DALAM BAHAYA

    Di sisi lain, di dalam kamar kecil itu, Anjeli dan Diki duduk berdua. Bagi Anjeli, ini pertama kalinya ia benar-benar masuk ke kamar sahabat barunya. Matanya berbinar, sekaligus terasa unik—kamar Diki dipenuhi kain tambalan di sana-sini, menutupi bagian dinding dan atap yang bolong. Meski sederhana, Anjeli merasa hangat berada di sana. “Anjeli… aku senang banget kamu mau datang ke sini. Ibu sampai masak khusus hari ini,” ucap Diki dengan senyum lebar. Suara itu memecah keheningan. Anjeli menoleh, mengerutkan dahi. “Memangnya… ibumu biasanya nggak pernah masak?” tanyanya polos. Diki mengangguk pelan. Kejujuran itu membuat suasana hening sesaat. Mata Anjeli menatapnya penuh iba. “Kalau kamu mau makan enak, ke rumahku saja, ya. Di sana selalu banyak makanan.” Diki terdiam sebentar, lalu tersenyum kecil. “Aku tahu, Anjeli. Kamu memang beruntung lahir di keluarga kaya raya.” Anjeli cepat-cepat menggeleng, menangkup tangan sahabatnya. “Jangan sedih, Diki. Kita kan sahabat. A

  • PELUKAN BERDARAH   TEMAN

    Kring… kring… kring… Suara bel sekolah berbunyi, tanda masuk kelas. Semua anak-anak berlarian masuk ke kelas masing-masing, termasuk Anjeli. Berbeda dengan teman-temannya, Anjeli berjalan santai menuju ruangannya. Saat ia masuk, dahinya berkerut. Matanya langsung tertuju pada Diki—teman yang sempat ia pukul beberapa waktu lalu—yang baru saja kembali masuk sekolah. Ingatan tiga hari lalu kembali muncul di benaknya. Saat ia berkunjung ke rumah Diki, ia melihat kondisi rumah temannya itu yang sederhana dan memprihatinkan. Sejak saat itu, Anjeli merasa iba. Perlahan, ia melangkah mendekati Diki yang tengah asyik menulis. Menyadari ada seseorang di depannya, Diki mendongak. “Anjeli?” tanyanya heran. Anjeli hanya tersenyum manis. Ia merogoh saku bajunya, lalu mengeluarkan sesuatu dan menyerahkannya pada Diki tanpa sepatah kata pun. “Apa ini? Aku nggak akan lagi meminta uang padamu,” ujar Diki tegas, menolak pemberian itu. Namun, Anjeli tetap diam. Dengan cepat, ia menyelipkan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status