"Di balas!" serunya kegirangan saat melihat akun I*******m-nya mendapat balasan dari seseorang yang baru saja ia kenal.
Arya, pria itu, menoleh dengan ekspresi datar, heran melihat istrinya. "Ada apa?" tanyanya bingung. "Ini loh, Mas... Aku tadi ke salon, terus ketemu sama model yang lagi populer banget itu. Dan tahu nggak? Aku beruntung banget, dia yang nyapa aku duluan!" katanya bersemangat. "Terus aku coba cari I*-nya, iseng-iseng aku chat... dan ternyata dibalas! Yeay!" Ia bersorak sambil terus mengetik balasan dengan penuh antusias, tak menoleh sedikit pun kearah suaminya. "Siapa nama I*-nya emang? Modelnya terkenal?" tanya Arya, sedikit penasaran. "Namanya Nayla Velinora, Mas!" jawab istrinya dengan antusias. Ia lalu mendekat ke arah suaminya, memperlihatkan layar ponsel yang menampilkan sosok model terkenal itu. Begitu melihat wajah perempuan di layar, mata Arya mendadak menyempit. wajah nya terkejutan tak sempat ia sembunyikan. "Namanya... Nayla?" lirih Arya pelan, hampir seperti bisikan, namun cukup jelas terdengar oleh Tiara. Tiara menoleh cepat, menatap heran ke arah suaminya. "Kamu mengenalnya, Mas? Kenapa kaget begitu?" tanyanya curiga. Mata Arya membulat sesaat, lalu ia cepat-cepat menggeleng pelan. "Enggak, bukan begitu. Masa kamu nggak ingat?" Arya berusaha menutupi kegugupannya dengan senyum kaku. Tiara menyipitkan matanya, semakin bingung. "Apa maksud mu mas?" Arya menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab dengan suara rendah dan hati-hati. "Dia... perempuan yang pernah aku tabrak, di depan Cafe Mentari, Sayang." Tiara terbelalak, bibirnya membentuk huruf ‘O’. "Astaga... iya ya!" serunya pelan, mengingat kejadian itu. Baru sekarang ia menyadari kenapa wajah Nayla terasa tak asing saat pertama kali ia melihatnya di salon. Semua perlahan terangkai di benaknya tatapan singkat itu. *** "Ada apa? Kenapa kamu senyum-senyum begitu? Jangan-jangan... kamu sudah berhasil memikat hatinya, ya?" goda Riko saat masuk ke kamar Nayla dan mendapati adiknya tersenyum sendiri di depan layar ponselnya. Nayla mendongakkan kepala, mengalihkan pandangannya dari layar sambil tertawa kecil. "Ini, Kak... lihat deh!" jawabnya penuh antusias, lalu menyodorkan ponsel ke arah Riko. "Baca ini pelan-pelan, ya. Seru banget!" Riko mengambil ponsel itu dan mulai membaca dengan seksama percakapan antara Nayla dan Tiara. Alisnya terangkat pelan, ekspresinya berubah seiring baris demi baris terbaca. "Jadi... kamu dekati istrinya dulu?" tanyanya pelan, nada suaranya campuran antara kaget dan kagum sedikit tak menyangka dengan rencana nayla. Nayla tersenyum, matanya menatap Riko alis nya di naik turun kan. "yap... cukup untuk masuk ke dalam hidup mereka," balasnya tenang, lalu merebahkan diri di kasur dengan ponsel masih di tangan. "Aku nggak nyari masalah, Kak. Tapi lihat perempuan itu yang memulai duluan... Tuhan ada di pihak kita." "Bagus! Bahkan Kakak nggak kepikiran ke situ. Kamu cerdas, Sayang," balas Riko sambil mengacak rambut Nayla dengan gemas. "Ini semua berkat Kakak juga," jawab Nayla sambil tersenyum manja, membuat Riko makin gemas melihat adik satu-satunya itu. Mereka saling menatap. Satu detik... dua detik... Tatapan yang tak biasa. Hening itu menyisakan suara napas yang semakin terasa berat, makin dekat... hingga Riko perlahan mendekat. Namun, Nayla dengan cepat mundur. Wajahnya tersipu, menyembunyikan kegugupan yang tak bisa ia kendalikan. "Aduh, Kak! Aku mau beli jus dulu, yuk ke depan!" ucapnya tiba-tiba, mencoba mengalihkan suasana. Ia bangkit cepat, hanya mengenakan celana pendek setengah paha dan kaos oversize, lalu berlari kecil ke arah pintu. "Ayok, Kak!" teriaknya dari luar, suaranya riang seperti tak terjadi apa-apa. Riko hanya tersenyum dari dalam kamar. Senyum yang campur aduk antara geli, bingung... dan tak mampu marah pada peri kecilnya. __ Nayla menyeruput jus stroberinya dengan penuh kenikmatan. "Ahk..." desahnya melengking pelan, refleks dari segarnya rasa buah itu. Riko yang duduk di seberangnya tertawa kecil. "Seger banget, kayaknya." Nayla mengangguk pelan sambil mengacungkan jempol ke arah wajah Riko, matanya menyipit lucu, seolah mengkonfirmasi bahwa itu memang top tier jus. Riko lalu bangkit dari tempat duduk. Nayla mendongak, alisnya bertaut, bingung. "Mau ke mana, Kak?" tanyanya. "Rokok," jawab Riko santai sambil mengeluarkan sebatang dari bungkus di saku celananya dan menunjuk ke arah luar kedai. Nayla mengangguk paham, tak berkata apa-apa. Riko berjalan pergi, meninggalkannya seorang diri di kedai kecil itu. Beberapa menit berlalu. Suasana tetap hangat dan tenang… sampai suara berisik terdengar dari sekelompok pria yang baru saja datang. Mereka tertawa keras, lalu salah satu dari mereka melirik ke arah Nayla. "Witwiw… cantik banget, sih. Tapi kok sendirian?" goda salah satu pria, lalu dengan santainya duduk di samping Nayla tanpa permisi. Wajah Nayla langsung berubah. Senyum manisnya hilang, berganti ekspresi dingin dan pandangan tajam menusuk. Tangannya yang tadi santai memegang gelas, kini sedikit menegang. "Maaf, tapi kursi ini sudah ada yang duduk. Pergilah ke tempat kosong lainnya," ucap Nayla datar. Suaranya berubah seratus persen dingin, tegas, dan tanpa basa-basi. Ketiga pria itu tertawa nyaring. Tubuh-tubuh besar mereka penuh tato, seolah terbiasa menggertak. Bagi mereka, Nayla hanya gadis manis biasa yang duduk sendirian. Mudah. Salah satu dari mereka lalu menjulurkan tangan, hendak menyentuh tangan Nayla yang tergeletak santai di atas meja. Namun— BRUK! Dalam sekejap, Nayla memiting pergelangan tangan pria itu dengan gerakan cepat dan tepat, lalu mendorongnya kasar ke samping. Tubuh si pria terhempas dan menghantam meja lain, membuat kursi terseret dan gelas-gelas jatuh berserak. Dua pria lainnya mendadak bangkit kaget, tak menyangka gadis manis itu bisa bergerak seperti petarung terlatih. Sementara Nayla berdiri perlahan, matanya menatap mereka satu per satu tajam, tenang, dan tak gentar sedikit pun. "Aku bilang... pergi." Riko yang sedang merokok di luar langsung tersentak saat mendengar suara gaduh dari dalam kedai. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia segera membuang puntung rokok dan berlari masuk. Begitu menjejakkan kaki di dalam, matanya membelalak. Kursi berserakan, gelas pecah di lantai, dan seorang pria besar sedang meringis kesakitan di dekat meja. Di tengah kekacauan itu, Nayla berdiri tegak dengan ekspresi dingin, tak jauh dari dua pria bertato lain yang terlihat masih bingung ingin maju atau mundur. "Nayla!" seru Riko, kaget dan panik sekaligus. Suaranya menggema di antara keheningan yang baru saja jatuh di ruangan. Semua orang menoleh. Termasuk ketiga pria bertato itu. Begitu mereka melihat wajah Riko dengan jelas, ekspresi mereka langsung berubah. "Bos...!" seru salah satu dari mereka, suaranya tercekat. Seisi ruangan sontak terdiam. Pengunjung lain yang tadinya menyaksikan dengan heran kini menatap Riko dengan mata membesar bingung dan penasaran siapa sebenarnya pria itu. Nayla menoleh pelan ke arah Riko, lalu menyipitkan mata. "...Bos?" ulangnya lirih, nyaris tak terdengar.Prok. Prok. Prok. Suara tepuk tangan menggema di seluruh studio. Lampu sorot menyorot panggung utama, tempat Nayla kini duduk anggun sebagai bintang tamu di salah satu stasiun televisi nasional. Sosoknya terlihat sempurna tenang, cerdas, dan memikat. Aura ketenangan dan pesona misteriusnya memikat perhatian siapa pun yang menonton. Di bangku penonton VIP, duduk seorang pria dengan tatapan tajam namun penuh kekaguman: Riko. Ia tampak santai, tapi matanya tak pernah lepas dari sosok Nayla di atas panggung. Dia bukan hanya kakak angkat. Bukan hanya pelindung. Riko telah menyimpan sesuatu sejak lama sebuah rasa yang tak pernah ia tunjukkan secara terang-terangan pada siapapun, Dingin, tertutup, dan seringkali terlihat tak peduli, namun hanya satu orang yang berhasil mengguncang lapisan es itu sejak dulu: Nayla. Menjaga gadis itu sejak kecil adalah tugas… sekaligus kutukan manis yang ia terima tanpa keluh. Ia tahu semakin lama ia bersamanya, semakin dalam rasa yang tumbuh. Tapi Nay
"Berapa kali Mama dan Papa bilang, Arya? Kenapa kamu nggak pernah dengar, sih? Apa susahnya menerima Tiara? Kenapa sekarang kamu tiba-tiba ingin dilayani segala?" omel Surya, sang Papa, dengan nada kesal dan heran melihat sikap putranya yang berubah. "Ya wajar dong, Pa!" bantah Arya, emosinya mulai naik. "Aku juga pengin ngerasain gimana rasanya dilayani istri sendiri. Bahkan pasangan miskin aja bisa dirajakan sama istrinya! Kenapa aku nggak bisa, padahal hartaku segunung?!" Ia menghela napas keras, menahan rasa jengkel yang memuncak. "Dia cuma bisa main ponsel, ke salon, dandan... itu aja. Aku muak, Pa. Perempuan seperti itu terlalu sering aku temui. Cantik, iya tapi kosong." Surya dan Vita saling berpandangan. Dalam hati, mereka tak sepenuhnya menyalahkan Arya. Ada benarnya juga apa yang dikatakan putra mereka. Tapi... mau bagaimana lagi? Kenyataan yang mereka hadapi adalah: perempuan yang dinikahkan dengan Arya bukan gadis biasa, melainkan anak jenderal manja, penuh tuntuta
Setelah seminggu mencoba mengakrabkan diri dengan Tiara yang memang tak memiliki teman ataupun sahabat Nayla akhirnya diterima dengan senang hati oleh gadis itu sebagai sahabatnya. Kini mereka sedang berada di sebuah restoran bintang lima. Tiara memesan ruangan VIP hanya untuk bisa mengobrol berdua dengan Nayla. Nayla cukup terkejut dan takjub dengan perlakuan itu, namun ia berusaha tidak memperlihatkannya. “Kenapa kamu melakukan semua ini, Tiara? Kita kan cuma akan ngobrol biasa, bukan membahas rahasia dunia,” tanya Nayla sambil tertawa kecil, bernada bercanda. Mendengar itu, Tiara ikut tertawa kecil. “Kamu tahu sendiri, kan? Aku nggak punya teman, apalagi sahabat. Jadi, aku benar-benar senang waktu kamu membalas pesanku dan mau jadi sahabatku,” jawabnya dengan senyum tulus yang tergambar di wajahnya. “Masa sih, Tiara? Kamu cantik, baik, dan... kamu anak jenderal. Siapa sih yang nggak mau berteman sama kamu?” tanya Nayla, namun kali ini nada suaranya sedikit menelisik ia ingi
Riko menatap tajam ke arah dua pria yang masih berdiri kaku. Langkahnya mantap, penuh wibawa, tubuhnya tegap seperti seorang komandan yang siap menghukum pasukan pemberontak. Kedua pria bertato itu gemetar. Ternyata mereka benar-benar salah orang. Salah sasaran. "Maaf, Bos! Maaf banget!" ucap salah satu dari mereka tergesa-gesa, wajahnya pucat pasi. Yang sebelumnya tersungkur di lantai kini bangkit dengan panik, langsung membungkuk dalam-dalam sambil memohon ampun. "Kami nggak tahu, Bos... sumpah, kami nggak tahu itu orangmu!" tambah yang satu lagi, suaranya parau penuh ketakutan. Riko tak menjawab mereka. Ia hanya menghentikan langkahnya, berdiri diam di tengah-tengah ruangan—auranya cukup membuat semua orang menahan napas. Lalu, suara lembut memecah ketegangan. "Kak?" tanya Nayla, bingung. Matanya menatap Riko, mencoba membaca sesuatu dari sorot matanya. Riko menoleh perlahan. Wajah yang tadinya setegas batu kini berubah. Pandangannya hangat, teduh… seolah hanya untu
"Di balas!" serunya kegirangan saat melihat akun Instagram-nya mendapat balasan dari seseorang yang baru saja ia kenal.Arya, pria itu, menoleh dengan ekspresi datar, heran melihat istrinya."Ada apa?" tanyanya bingung."Ini loh, Mas... Aku tadi ke salon, terus ketemu sama model yang lagi populer banget itu. Dan tahu nggak? Aku beruntung banget, dia yang nyapa aku duluan!" katanya bersemangat. "Terus aku coba cari IG-nya, iseng-iseng aku chat... dan ternyata dibalas! Yeay!" Ia bersorak sambil terus mengetik balasan dengan penuh antusias, tak menoleh sedikit pun kearah suaminya."Siapa nama IG-nya emang? Modelnya terkenal?" tanya Arya, sedikit penasaran."Namanya Nayla Velinora, Mas!" jawab istrinya dengan antusias.Ia lalu mendekat ke arah suaminya, memperlihatkan layar ponsel yang menampilkan sosok model terkenal itu.Begitu melihat wajah perempuan di layar, mata Arya mendadak menyempit. wajah nya terkejutan tak sempat ia sembunyikan."Namanya... Nayla?" lirih Arya pelan, hampir se
Pukul delapan malam, pemotretan akhirnya selesai. Nayla berjalan lelah menuju mobil, langkahnya terasa berat namun tetap anggun. Begitu duduk di kursi pengemudi, ia menarik napas panjang, lalu meraih ponselnya dan langsung menekan nomor satu-satunya orang yang ia anggap keluarga Riko. "Kak Riko, sudah cari tahu soal istrinya Arya Mahendra?" tanyanya pelan. Nada suaranya terdengar letih, tapi ada bara tak padam dalam setiap katanya. Bagi Nayla, balas dendam ini bukan sekadar rencana. Ini adalah alasan ia dilahirkan. Membalaskan rasa sakit kedua orang tuanya adalah misi hidupnya. Ia tak peduli jika akhirnya harus kehilangan nyawa selama keadilan untuk keluarganya ditegakkan, semua akan setimpal. Ia tahu betul siapa yang ia hadapi. Surya Mahendra bukan orang sembarangan. Selain rentenir kelas kakap, pria itu memiliki banyak cabang bisnis gelap yang dilindungi oleh para aparat. Polisi pun sering kali memilih bungkam, bahkan menutup-nutupi semua bukti kejahatan yang seharusnya membuk