Beranda / Thriller / PELUKAN BERDARAH / LAWAN YANG BERAT

Share

LAWAN YANG BERAT

Penulis: Ayuwine
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-04 18:59:13

Pukul delapan malam, pemotretan akhirnya selesai. Nayla berjalan lelah menuju mobil, langkahnya terasa berat namun tetap anggun. Begitu duduk di kursi pengemudi, ia menarik napas panjang, lalu meraih ponselnya dan langsung menekan nomor satu-satunya orang yang ia anggap keluarga Riko.

"Kak Riko, sudah cari tahu soal istrinya Arya Mahendra?" tanyanya pelan. Nada suaranya terdengar letih, tapi ada bara tak padam dalam setiap katanya.

Bagi Nayla, balas dendam ini bukan sekadar rencana. Ini adalah alasan ia dilahirkan. Membalaskan rasa sakit kedua orang tuanya adalah misi hidupnya. Ia tak peduli jika akhirnya harus kehilangan nyawa selama keadilan untuk keluarganya ditegakkan, semua akan setimpal.

Ia tahu betul siapa yang ia hadapi. Surya Mahendra bukan orang sembarangan. Selain rentenir kelas kakap, pria itu memiliki banyak cabang bisnis gelap yang dilindungi oleh para aparat. Polisi pun sering kali memilih bungkam, bahkan menutup-nutupi semua bukti kejahatan yang seharusnya membuka mata masyarakat.

Kini, dengan status besan dari seorang jenderal, Surya Mahendra seolah kebal hukum.

Dan Nayla tahu… ini akan menjadi misi hidup dan mati.

***

“Apa kamu kelelahan?” tanya Riko saat melihat Nayla baru saja pulang.

Nayla tak menjawab, hanya mengangguk pelan. Langkahnya lesu saat ia berjalan ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, ia keluar dengan pakaian bersih, lalu membenamkan wajah ke bantal di atas tempat tidur.

Menjadi model melelahkan. Harus berganti pakaian berkali-kali, tersenyum palsu di depan kamera hanya demi memuaskan mata orang lain. Tapi dari sinilah uang mengalir. Kekayaan dan status yang ia butuhkan untuk menjalankan misi balas dendamnya.

Riko menghampirinya, duduk di sisi ranjang. Tangannya terulur, mengelus lembut punggung Nayla. Gadis itu menoleh dengan wajah cemberut.

“Kak, sudahlah... aku capek,” ucapnya kesal.

Riko hanya terkekeh pelan, lalu membaringkan tubuhnya di samping Nayla.

“Sini,” bisiknya seraya menarik wajah Nayla ke dalam dekapannya.

Tubuh Riko tinggi dan tegap. Otot-ototnya kekar, parasnya tampan dengan sorot mata sipit yang membuat Nayla tak bisa berpaling. Hatinya bergetar, pesona lelaki itu seolah menelannya bulat-bulat.

Tidur di satu ranjang sudah menjadi hal biasa bagi mereka. Sejak kecil, Nayla dan Riko terbiasa berbagi ruang dalam keheningan malam bukan karena mereka saudara, tapi karena hanya satu sama lain yang mampu memberi rasa aman.

Yang patut diacungi jempol dari Nayla, meski ia menyimpan perasaan yang lebih dari sekadar saudara tiri, tak pernah sekalipun ia mau menyerahkan kehormatannya. Bukan karena tidak percaya, tapi karena ia ingin cinta mereka tetap punya harga.

Riko pun demikian. Ia mencintai Nayla dengan tenang tanpa menuntut, tanpa meminta lebih dari yang Nayla rela beri. Sebuah kecupan di pipi atau kening sudah cukup baginya. Itu bukan sekadar ungkapan kasih, tapi juga janji diam-diam: bahwa ia akan menunggu, seberapa lamapun Nayla butuh waktu untuk percaya sepenuhnya.

.

.

.

“Apa kamu ingin segera masuk ke dalam kehidupan Surya?” tanya Riko. Pagi itu, seperti biasa, mereka sarapan ala diner sederhana roti panggang dan kopi hitam, rutinitas yang entah sejak kapan menjadi momen paling tenang di hari mereka.

Nayla mengangguk penuh semangat. Tangannya menggenggam erat pisau selainya, mengiris roti dengan gerakan tegas. Tatapannya menusuk, penuh tekad.

“Aku ingin segera menghabisi satu per satu keluarga itu, Kak. Tiga belas tahun aku berlatih. Cukup sudah semua ini,” ucapnya, napasnya tersengal oleh gairah balas dendam.

Riko hanya mengangguk pelan. Namun matanya kosong, pikirannya jauh. Ada gelombang tak rela yang diam-diam menyeruak. Ia tahu waktunya bersama Nayla akan segera berkurang. Lalu bagaimana dengan malam-malam mereka yang sunyi tapi hangat? Bagaimana jika Nayla terlalu larut dalam perannya hingga melupakan siapa dirinya?

Nayla menatap Riko. Seolah bisa membaca isi hatinya, ia meraih tangan Riko yang menggenggam cangkir kopi, lalu memeluknya dengan kedua tangannya. Tatapan mereka terkunci bukan seperti saudara, tapi seperti sepasang kekasih yang terlalu lama menahan perasaan.

“Tenang saja, Kak,” bisik Nayla lembut, “Jika aku berhasil masuk ke rumah Surya, aku akan tetap menyempatkan datang... menginap... dan pulang padamu.”

***

“Itu dia…” bisik Nayla pelan, matanya menatap tajam ke arah perempuan yang sedang duduk santai di kursi salon.

Tiara—istri dari Arya Mahendra—tampak menikmati pijatan lembut dari pegawai salon saat rambutnya dicuci. Wajahnya rileks, tak menyadari ada bahaya yang sedang duduk tak jauh darinya.

Dengan langkah anggun namun penuh perhitungan, Nayla masuk ke dalam salon. Raut wajahnya tenang, tersenyum ramah, menyembunyikan niat gelap di balik sorot matanya.

Ia duduk tepat di sebelah Tiara, seolah-olah mereka hanya dua pelanggan biasa yang sedang memanjakan diri.

“Harumnya minyak rambut ini enak ya?” ucap Nayla ringan, membuka percakapan dengan suara yang lembut tapi tajam.

Tiara melirik sekilas, lalu tersenyum sopan. “Iya, favorit aku. Sudah lama langganan di sini.”

Nayla menoleh, memperhatikan wajah perempuan itu dari dekat. Kulitnya mulus, bibirnya merah alami wanita yang beruntung, pikir Nayla, namun keberuntungannya akan segera direnggut.

“Kamu cocok sekali pakai aroma ini. Lembut dan mewah,” puji Nayla, senyumnya manis namun menyimpan sesuatu.

Tiara tertawa kecil. “Terima kasih, kamu juga. Baru pertama ke sini?”

Nayla menatapnya dalam. “Iya... dan aku senang, karena hari ini aku bertemu seseorang yang begitu menarik.”

Mendengar ucapan itu, raut wajah Tiara berubah. Ada sesuatu dalam nada suara dan perkataan Nayla yang terasa ganjil terlalu manis, terlalu tepat sasaran.

Senyum yang semula tulus berubah kaku. Tiara tidak membalas dengan kata-kata, hanya menampilkan senyum tipis yang jelas terlihat dipaksakan.

Sesaat suasana menjadi hening di antara mereka. Hanya suara alat pengering rambut dan aroma minyak pijat yang menggantung di udara.

Setelah selesai, mereka kembali bertemu di kasir. Sekali lagi, Nayla menyapa Tiara dengan hangat. Tiara membalasnya ramah, tanpa sedikit pun rasa curiga.

“Benar kata perias itu... Tiara perempuan polos,” gumam Nayla dalam hati sambil menatap lembut wajah wanita di depannya.

Saat Nayla hendak melangkah pergi, tiba-tiba Tiara menghentikannya.

“Eh, tunggu...” serunya cepat.

Nayla spontan berhenti, menoleh, dan menyipitkan matanya penuh tanya.

“Kamu... model yang sering muncul di majalah itu, ya? Oh astaga, maafkan aku, aku benar-benar nggak sadar tadi!” ucap Tiara, tampak senang seperti bertemu selebriti.

Nayla tersenyum tak menyangka sambutan sehangat itu.

Wajah Tiara begitu polos, senyumnya begitu tulus.

"Ah, iya... kadang wajahku memang gampang dilupakan," balas Nayla dengan nada merendah, meski dalam hatinya bergolak.

Tiara tertawa kecil. “Bukan, bukan karena itu. Aku yang kurang update. Dunia model bukan duniaku banget.”

Nayla menatapnya lekat-lekat.

“Oh, ya? Padahal kamu punya wajah yang... sangat kamera-friendly,” ucapnya halus, memuji tapi sekaligus menyelidik.

Tiara tampak tersipu, membenahi anak rambut di pelipisnya.

“Kamu baik banget... Tapi aku terlalu pemalu untuk di depan kamera.”

“Ngomong-ngomong,” lanjut Tiara sambil merogoh tas, “Kamu punya waktu? Aku biasanya ngopi di seberang salon setelah treatment. Kalau kamu nggak buru-buru…”

Nayla pura-pura ragu sejenak, lalu mengangguk.

“Boleh. Lagipula aku belum sarapan.”

Tiara tertawa kecil. “Hebat, bisa kelihatan segar gitu padahal belum makan.”

Mereka keluar salon bersama, dua perempuan cantik berjalan berdampingan. Dari luar, tampak seperti dua teman baru.

Tapi di balik setiap senyum, setiap tatap, ada pisau yang sedang diasah.

“Semakin dekat aku padamu, semakin cepat kau akan jatuh,” batin Nayla.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • PELUKAN BERDARAH   end

    Dua minggu kemudian... Anjelin sudah sembuh dari sakitnya, walaupun kakinya masih diperban. Kini mereka sekeluarga sedang bersiap-siap untuk pindah lagi ke Amerika, tempat di mana Nayla akan mengembangkan kembali toko bunganya. Namun, di tengah kebahagiaan itu, Anjeli justru diliputi kesedihan. Ia merasa berat hati karena harus berpisah dengan Sahabat, sosok yang baru saja hadir dan memberi warna dalam hidupnya. “Ma, aku mau ketemu Diki...” rengek Anjeli sambil menahan tangis. Ia tidak bisa menerima kenyataan jika harus pergi tanpa berpamitan dengan Diki. Nayla dan Edward saling berpandangan. Hati mereka sama-sama terasa berat, tetapi mereka juga tidak ingin bersikap egois terhadap keinginan putrinya. Nayla tersenyum, lalu membungkuk hingga tinggi badannya sejajar dengan sang putri. Ia ingin benar-benar menatap mata Anjeli. “Sayang, kamu tahu nggak...” ucap Nayla lembut sambil mengusap pipi kecil putrinya, “ada loh kisah persahabatan yang benar-benar indah, bahkan romantis

  • PELUKAN BERDARAH   HARTA

    “Kenapa kamu bisa ikut campur urus hidup kami, padahal kita tak saling kenal?!” suara Edward bergetar menahan amarah, matanya menusuk ke arah Sindi. Belum sempat Sindi membuka mulut untuk membela diri, tiba-tiba Nayla berdiri. Ia melepaskan pelukan Diki dengan lembut, lalu melangkah maju dengan tatapan tajam penuh luka masa lalu. Matanya terpaku pada Arya, pria yang dulu pernah hadir dalam hidupnya. Hening sejenak… kemudian— PLAK! Satu tamparan keras mendarat di pipi Arya. Suara tamparan itu membuat ruang tunggu seketika membisu. Arya terkejut, tapi ia tidak melawan. Tangannya perlahan terangkat, memegang pipinya yang panas. Wajahnya menegang, tapi matanya sendu. Ia hanya bisa diam menerima amarah itu. “Hey! Berhenti! Jangan pegang suamiku!” teriak Sindi tiba-tiba. Suaranya lantang, penuh kecemburuan. Ia melangkah cepat, mencoba menghalangi Nayla, tak terima melihat wanita lain menyentuh Arya, meski dalam kemarahan. Suasana memanas, hampir tak terkendali. Edward yang m

  • PELUKAN BERDARAH   KEMARAHAN

    “Tolonggg…!” kini terdengar suara anak lelaki, melengking penuh ketakutan, memecah kesunyian malam yang mencekam. “Itu… itu Diki! Anakku!” teriak Sindi histeris, wajahnya pucat pasi saat mengenali suara putranya. Tanpa menunggu lagi, para orang tua itu langsung berlari lebih cepat menuju arah suara. Ranting-ranting patah diinjak, dedaunan bergesekan, dan napas mereka memburu seolah waktu tak memberi ampun. “Diki! Anjeli!” suara Nayla dan Arya bersahutan, saling tumpang tindih dengan detak jantung yang semakin kencang. Suara teriakan minta tolong itu terus terdengar, kadang melemah, kadang meninggi, seperti tanda anak-anak itu tengah berjuang dalam keadaan berbahaya. Malam semakin pekat, hanya cahaya senter yang bergoyang-goyang menerangi jalan. Diki yang melihat sekelebat cahaya dari kejauhan langsung menoleh. Wajahnya berbinar, harapan muncul di matanya. “Anjeli, bertahanlah di sini ya… aku lihat ada cahaya! Aku akan pergi sebentar, tolong bertahan,” ucapnya sambil beru

  • PELUKAN BERDARAH   TERSESAT

    Diki dan Anjeli berhenti melangkah. Mereka berdiri terpaku di tengah kebun yang sepi. Angin malam berembus, membuat dedaunan pisang bergesekan, suaranya menambah mencekam. “K-ke… kemana ayahmu, Diki?” suara Anjeli bergetar, hampir menangis. Ia memeluk erat lengan sahabatnya. Malam itu adalah pertama kalinya ia berada di kebun, jauh dari rumah, tanpa penerangan. Diki menggeleng pelan, wajahnya sama pucat. “Aku… aku nggak tahu…” bisiknya lirih. Jantung kecilnya berdegup kencang. Keduanya hanya anak SD, berdiri berdua di kegelapan kebun yang luas. Bayangan pepohonan tampak seperti sosok-sosok aneh, membuat mereka makin menciut. “Diki, aku takut…” isak Anjeli, air mata mulai mengalir. Diki menelan ludah, berusaha tegar meski lututnya gemetar. “Aku juga takut, Jel… tapi… kita nggak boleh diem di sini. Kita harus cari jalan keluar… atau nanti ibu datang…” suaranya mengecil, seakan menyadari betapa berbahayanya keadaan. “A-apa kamu tahu jalan keluarnya, Diki?” tanya Anjeli dengan

  • PELUKAN BERDARAH   DALAM BAHAYA

    Di sisi lain, di dalam kamar kecil itu, Anjeli dan Diki duduk berdua. Bagi Anjeli, ini pertama kalinya ia benar-benar masuk ke kamar sahabat barunya. Matanya berbinar, sekaligus terasa unik—kamar Diki dipenuhi kain tambalan di sana-sini, menutupi bagian dinding dan atap yang bolong. Meski sederhana, Anjeli merasa hangat berada di sana. “Anjeli… aku senang banget kamu mau datang ke sini. Ibu sampai masak khusus hari ini,” ucap Diki dengan senyum lebar. Suara itu memecah keheningan. Anjeli menoleh, mengerutkan dahi. “Memangnya… ibumu biasanya nggak pernah masak?” tanyanya polos. Diki mengangguk pelan. Kejujuran itu membuat suasana hening sesaat. Mata Anjeli menatapnya penuh iba. “Kalau kamu mau makan enak, ke rumahku saja, ya. Di sana selalu banyak makanan.” Diki terdiam sebentar, lalu tersenyum kecil. “Aku tahu, Anjeli. Kamu memang beruntung lahir di keluarga kaya raya.” Anjeli cepat-cepat menggeleng, menangkup tangan sahabatnya. “Jangan sedih, Diki. Kita kan sahabat. A

  • PELUKAN BERDARAH   TEMAN

    Kring… kring… kring… Suara bel sekolah berbunyi, tanda masuk kelas. Semua anak-anak berlarian masuk ke kelas masing-masing, termasuk Anjeli. Berbeda dengan teman-temannya, Anjeli berjalan santai menuju ruangannya. Saat ia masuk, dahinya berkerut. Matanya langsung tertuju pada Diki—teman yang sempat ia pukul beberapa waktu lalu—yang baru saja kembali masuk sekolah. Ingatan tiga hari lalu kembali muncul di benaknya. Saat ia berkunjung ke rumah Diki, ia melihat kondisi rumah temannya itu yang sederhana dan memprihatinkan. Sejak saat itu, Anjeli merasa iba. Perlahan, ia melangkah mendekati Diki yang tengah asyik menulis. Menyadari ada seseorang di depannya, Diki mendongak. “Anjeli?” tanyanya heran. Anjeli hanya tersenyum manis. Ia merogoh saku bajunya, lalu mengeluarkan sesuatu dan menyerahkannya pada Diki tanpa sepatah kata pun. “Apa ini? Aku nggak akan lagi meminta uang padamu,” ujar Diki tegas, menolak pemberian itu. Namun, Anjeli tetap diam. Dengan cepat, ia menyelipkan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status