Pukul delapan malam, pemotretan akhirnya selesai. Nayla berjalan lelah menuju mobil, langkahnya terasa berat namun tetap anggun. Begitu duduk di kursi pengemudi, ia menarik napas panjang, lalu meraih ponselnya dan langsung menekan nomor satu-satunya orang yang ia anggap keluarga Riko.
"Kak Riko, sudah cari tahu soal istrinya Arya Mahendra?" tanyanya pelan. Nada suaranya terdengar letih, tapi ada bara tak padam dalam setiap katanya. Bagi Nayla, balas dendam ini bukan sekadar rencana. Ini adalah alasan ia dilahirkan. Membalaskan rasa sakit kedua orang tuanya adalah misi hidupnya. Ia tak peduli jika akhirnya harus kehilangan nyawa selama keadilan untuk keluarganya ditegakkan, semua akan setimpal. Ia tahu betul siapa yang ia hadapi. Surya Mahendra bukan orang sembarangan. Selain rentenir kelas kakap, pria itu memiliki banyak cabang bisnis gelap yang dilindungi oleh para aparat. Polisi pun sering kali memilih bungkam, bahkan menutup-nutupi semua bukti kejahatan yang seharusnya membuka mata masyarakat. Kini, dengan status besan dari seorang jenderal, Surya Mahendra seolah kebal hukum. Dan Nayla tahu… ini akan menjadi misi hidup dan mati. *** “Apa kamu kelelahan?” tanya Riko saat melihat Nayla baru saja pulang. Nayla tak menjawab, hanya mengangguk pelan. Langkahnya lesu saat ia berjalan ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, ia keluar dengan pakaian bersih, lalu membenamkan wajah ke bantal di atas tempat tidur. Menjadi model melelahkan. Harus berganti pakaian berkali-kali, tersenyum palsu di depan kamera hanya demi memuaskan mata orang lain. Tapi dari sinilah uang mengalir. Kekayaan dan status yang ia butuhkan untuk menjalankan misi balas dendamnya. Riko menghampirinya, duduk di sisi ranjang. Tangannya terulur, mengelus lembut punggung Nayla. Gadis itu menoleh dengan wajah cemberut. “Kak, sudahlah... aku capek,” ucapnya kesal. Riko hanya terkekeh pelan, lalu membaringkan tubuhnya di samping Nayla. “Sini,” bisiknya seraya menarik wajah Nayla ke dalam dekapannya. Tubuh Riko tinggi dan tegap. Otot-ototnya kekar, parasnya tampan dengan sorot mata sipit yang membuat Nayla tak bisa berpaling. Hatinya bergetar, pesona lelaki itu seolah menelannya bulat-bulat. Tidur di satu ranjang sudah menjadi hal biasa bagi mereka. Sejak kecil, Nayla dan Riko terbiasa berbagi ruang dalam keheningan malam bukan karena mereka saudara, tapi karena hanya satu sama lain yang mampu memberi rasa aman. Yang patut diacungi jempol dari Nayla, meski ia menyimpan perasaan yang lebih dari sekadar saudara tiri, tak pernah sekalipun ia mau menyerahkan kehormatannya. Bukan karena tidak percaya, tapi karena ia ingin cinta mereka tetap punya harga. Riko pun demikian. Ia mencintai Nayla dengan tenang tanpa menuntut, tanpa meminta lebih dari yang Nayla rela beri. Sebuah kecupan di pipi atau kening sudah cukup baginya. Itu bukan sekadar ungkapan kasih, tapi juga janji diam-diam: bahwa ia akan menunggu, seberapa lamapun Nayla butuh waktu untuk percaya sepenuhnya. . . . “Apa kamu ingin segera masuk ke dalam kehidupan Surya?” tanya Riko. Pagi itu, seperti biasa, mereka sarapan ala diner sederhana roti panggang dan kopi hitam, rutinitas yang entah sejak kapan menjadi momen paling tenang di hari mereka. Nayla mengangguk penuh semangat. Tangannya menggenggam erat pisau selainya, mengiris roti dengan gerakan tegas. Tatapannya menusuk, penuh tekad. “Aku ingin segera menghabisi satu per satu keluarga itu, Kak. Tiga belas tahun aku berlatih. Cukup sudah semua ini,” ucapnya, napasnya tersengal oleh gairah balas dendam. Riko hanya mengangguk pelan. Namun matanya kosong, pikirannya jauh. Ada gelombang tak rela yang diam-diam menyeruak. Ia tahu waktunya bersama Nayla akan segera berkurang. Lalu bagaimana dengan malam-malam mereka yang sunyi tapi hangat? Bagaimana jika Nayla terlalu larut dalam perannya hingga melupakan siapa dirinya? Nayla menatap Riko. Seolah bisa membaca isi hatinya, ia meraih tangan Riko yang menggenggam cangkir kopi, lalu memeluknya dengan kedua tangannya. Tatapan mereka terkunci bukan seperti saudara, tapi seperti sepasang kekasih yang terlalu lama menahan perasaan. “Tenang saja, Kak,” bisik Nayla lembut, “Jika aku berhasil masuk ke rumah Surya, aku akan tetap menyempatkan datang... menginap... dan pulang padamu.” *** “Itu dia…” bisik Nayla pelan, matanya menatap tajam ke arah perempuan yang sedang duduk santai di kursi salon. Tiara—istri dari Arya Mahendra—tampak menikmati pijatan lembut dari pegawai salon saat rambutnya dicuci. Wajahnya rileks, tak menyadari ada bahaya yang sedang duduk tak jauh darinya. Dengan langkah anggun namun penuh perhitungan, Nayla masuk ke dalam salon. Raut wajahnya tenang, tersenyum ramah, menyembunyikan niat gelap di balik sorot matanya. Ia duduk tepat di sebelah Tiara, seolah-olah mereka hanya dua pelanggan biasa yang sedang memanjakan diri. “Harumnya minyak rambut ini enak ya?” ucap Nayla ringan, membuka percakapan dengan suara yang lembut tapi tajam. Tiara melirik sekilas, lalu tersenyum sopan. “Iya, favorit aku. Sudah lama langganan di sini.” Nayla menoleh, memperhatikan wajah perempuan itu dari dekat. Kulitnya mulus, bibirnya merah alami wanita yang beruntung, pikir Nayla, namun keberuntungannya akan segera direnggut. “Kamu cocok sekali pakai aroma ini. Lembut dan mewah,” puji Nayla, senyumnya manis namun menyimpan sesuatu. Tiara tertawa kecil. “Terima kasih, kamu juga. Baru pertama ke sini?” Nayla menatapnya dalam. “Iya... dan aku senang, karena hari ini aku bertemu seseorang yang begitu menarik.” Mendengar ucapan itu, raut wajah Tiara berubah. Ada sesuatu dalam nada suara dan perkataan Nayla yang terasa ganjil terlalu manis, terlalu tepat sasaran. Senyum yang semula tulus berubah kaku. Tiara tidak membalas dengan kata-kata, hanya menampilkan senyum tipis yang jelas terlihat dipaksakan. Sesaat suasana menjadi hening di antara mereka. Hanya suara alat pengering rambut dan aroma minyak pijat yang menggantung di udara. Setelah selesai, mereka kembali bertemu di kasir. Sekali lagi, Nayla menyapa Tiara dengan hangat. Tiara membalasnya ramah, tanpa sedikit pun rasa curiga. “Benar kata perias itu... Tiara perempuan polos,” gumam Nayla dalam hati sambil menatap lembut wajah wanita di depannya. Saat Nayla hendak melangkah pergi, tiba-tiba Tiara menghentikannya. “Eh, tunggu...” serunya cepat. Nayla spontan berhenti, menoleh, dan menyipitkan matanya penuh tanya. “Kamu... model yang sering muncul di majalah itu, ya? Oh astaga, maafkan aku, aku benar-benar nggak sadar tadi!” ucap Tiara, tampak senang seperti bertemu selebriti. Nayla tersenyum tak menyangka sambutan sehangat itu. Wajah Tiara begitu polos, senyumnya begitu tulus. "Ah, iya... kadang wajahku memang gampang dilupakan," balas Nayla dengan nada merendah, meski dalam hatinya bergolak. Tiara tertawa kecil. “Bukan, bukan karena itu. Aku yang kurang update. Dunia model bukan duniaku banget.” Nayla menatapnya lekat-lekat. “Oh, ya? Padahal kamu punya wajah yang... sangat kamera-friendly,” ucapnya halus, memuji tapi sekaligus menyelidik. Tiara tampak tersipu, membenahi anak rambut di pelipisnya. “Kamu baik banget... Tapi aku terlalu pemalu untuk di depan kamera.” “Ngomong-ngomong,” lanjut Tiara sambil merogoh tas, “Kamu punya waktu? Aku biasanya ngopi di seberang salon setelah treatment. Kalau kamu nggak buru-buru…” Nayla pura-pura ragu sejenak, lalu mengangguk. “Boleh. Lagipula aku belum sarapan.” Tiara tertawa kecil. “Hebat, bisa kelihatan segar gitu padahal belum makan.” Mereka keluar salon bersama, dua perempuan cantik berjalan berdampingan. Dari luar, tampak seperti dua teman baru. Tapi di balik setiap senyum, setiap tatap, ada pisau yang sedang diasah. “Semakin dekat aku padamu, semakin cepat kau akan jatuh,” batin Nayla.Prok. Prok. Prok. Suara tepuk tangan menggema di seluruh studio. Lampu sorot menyorot panggung utama, tempat Nayla kini duduk anggun sebagai bintang tamu di salah satu stasiun televisi nasional. Sosoknya terlihat sempurna tenang, cerdas, dan memikat. Aura ketenangan dan pesona misteriusnya memikat perhatian siapa pun yang menonton. Di bangku penonton VIP, duduk seorang pria dengan tatapan tajam namun penuh kekaguman: Riko. Ia tampak santai, tapi matanya tak pernah lepas dari sosok Nayla di atas panggung. Dia bukan hanya kakak angkat. Bukan hanya pelindung. Riko telah menyimpan sesuatu sejak lama sebuah rasa yang tak pernah ia tunjukkan secara terang-terangan pada siapapun, Dingin, tertutup, dan seringkali terlihat tak peduli, namun hanya satu orang yang berhasil mengguncang lapisan es itu sejak dulu: Nayla. Menjaga gadis itu sejak kecil adalah tugas… sekaligus kutukan manis yang ia terima tanpa keluh. Ia tahu semakin lama ia bersamanya, semakin dalam rasa yang tumbuh. Tapi Nay
"Berapa kali Mama dan Papa bilang, Arya? Kenapa kamu nggak pernah dengar, sih? Apa susahnya menerima Tiara? Kenapa sekarang kamu tiba-tiba ingin dilayani segala?" omel Surya, sang Papa, dengan nada kesal dan heran melihat sikap putranya yang berubah. "Ya wajar dong, Pa!" bantah Arya, emosinya mulai naik. "Aku juga pengin ngerasain gimana rasanya dilayani istri sendiri. Bahkan pasangan miskin aja bisa dirajakan sama istrinya! Kenapa aku nggak bisa, padahal hartaku segunung?!" Ia menghela napas keras, menahan rasa jengkel yang memuncak. "Dia cuma bisa main ponsel, ke salon, dandan... itu aja. Aku muak, Pa. Perempuan seperti itu terlalu sering aku temui. Cantik, iya tapi kosong." Surya dan Vita saling berpandangan. Dalam hati, mereka tak sepenuhnya menyalahkan Arya. Ada benarnya juga apa yang dikatakan putra mereka. Tapi... mau bagaimana lagi? Kenyataan yang mereka hadapi adalah: perempuan yang dinikahkan dengan Arya bukan gadis biasa, melainkan anak jenderal manja, penuh tuntuta
Setelah seminggu mencoba mengakrabkan diri dengan Tiara yang memang tak memiliki teman ataupun sahabat Nayla akhirnya diterima dengan senang hati oleh gadis itu sebagai sahabatnya. Kini mereka sedang berada di sebuah restoran bintang lima. Tiara memesan ruangan VIP hanya untuk bisa mengobrol berdua dengan Nayla. Nayla cukup terkejut dan takjub dengan perlakuan itu, namun ia berusaha tidak memperlihatkannya. “Kenapa kamu melakukan semua ini, Tiara? Kita kan cuma akan ngobrol biasa, bukan membahas rahasia dunia,” tanya Nayla sambil tertawa kecil, bernada bercanda. Mendengar itu, Tiara ikut tertawa kecil. “Kamu tahu sendiri, kan? Aku nggak punya teman, apalagi sahabat. Jadi, aku benar-benar senang waktu kamu membalas pesanku dan mau jadi sahabatku,” jawabnya dengan senyum tulus yang tergambar di wajahnya. “Masa sih, Tiara? Kamu cantik, baik, dan... kamu anak jenderal. Siapa sih yang nggak mau berteman sama kamu?” tanya Nayla, namun kali ini nada suaranya sedikit menelisik ia ingi
Riko menatap tajam ke arah dua pria yang masih berdiri kaku. Langkahnya mantap, penuh wibawa, tubuhnya tegap seperti seorang komandan yang siap menghukum pasukan pemberontak. Kedua pria bertato itu gemetar. Ternyata mereka benar-benar salah orang. Salah sasaran. "Maaf, Bos! Maaf banget!" ucap salah satu dari mereka tergesa-gesa, wajahnya pucat pasi. Yang sebelumnya tersungkur di lantai kini bangkit dengan panik, langsung membungkuk dalam-dalam sambil memohon ampun. "Kami nggak tahu, Bos... sumpah, kami nggak tahu itu orangmu!" tambah yang satu lagi, suaranya parau penuh ketakutan. Riko tak menjawab mereka. Ia hanya menghentikan langkahnya, berdiri diam di tengah-tengah ruangan—auranya cukup membuat semua orang menahan napas. Lalu, suara lembut memecah ketegangan. "Kak?" tanya Nayla, bingung. Matanya menatap Riko, mencoba membaca sesuatu dari sorot matanya. Riko menoleh perlahan. Wajah yang tadinya setegas batu kini berubah. Pandangannya hangat, teduh… seolah hanya untu
"Di balas!" serunya kegirangan saat melihat akun Instagram-nya mendapat balasan dari seseorang yang baru saja ia kenal.Arya, pria itu, menoleh dengan ekspresi datar, heran melihat istrinya."Ada apa?" tanyanya bingung."Ini loh, Mas... Aku tadi ke salon, terus ketemu sama model yang lagi populer banget itu. Dan tahu nggak? Aku beruntung banget, dia yang nyapa aku duluan!" katanya bersemangat. "Terus aku coba cari IG-nya, iseng-iseng aku chat... dan ternyata dibalas! Yeay!" Ia bersorak sambil terus mengetik balasan dengan penuh antusias, tak menoleh sedikit pun kearah suaminya."Siapa nama IG-nya emang? Modelnya terkenal?" tanya Arya, sedikit penasaran."Namanya Nayla Velinora, Mas!" jawab istrinya dengan antusias.Ia lalu mendekat ke arah suaminya, memperlihatkan layar ponsel yang menampilkan sosok model terkenal itu.Begitu melihat wajah perempuan di layar, mata Arya mendadak menyempit. wajah nya terkejutan tak sempat ia sembunyikan."Namanya... Nayla?" lirih Arya pelan, hampir se
Pukul delapan malam, pemotretan akhirnya selesai. Nayla berjalan lelah menuju mobil, langkahnya terasa berat namun tetap anggun. Begitu duduk di kursi pengemudi, ia menarik napas panjang, lalu meraih ponselnya dan langsung menekan nomor satu-satunya orang yang ia anggap keluarga Riko. "Kak Riko, sudah cari tahu soal istrinya Arya Mahendra?" tanyanya pelan. Nada suaranya terdengar letih, tapi ada bara tak padam dalam setiap katanya. Bagi Nayla, balas dendam ini bukan sekadar rencana. Ini adalah alasan ia dilahirkan. Membalaskan rasa sakit kedua orang tuanya adalah misi hidupnya. Ia tak peduli jika akhirnya harus kehilangan nyawa selama keadilan untuk keluarganya ditegakkan, semua akan setimpal. Ia tahu betul siapa yang ia hadapi. Surya Mahendra bukan orang sembarangan. Selain rentenir kelas kakap, pria itu memiliki banyak cabang bisnis gelap yang dilindungi oleh para aparat. Polisi pun sering kali memilih bungkam, bahkan menutup-nutupi semua bukti kejahatan yang seharusnya membuk