Home / Thriller / PELUKAN BERDARAH / RASA SAKIT SEORANG IBU

Share

RASA SAKIT SEORANG IBU

Author: Ayuwine
last update Last Updated: 2025-09-03 07:05:35

Edward memberi isyarat dengan jarinya: tiga… dua… satu.

Mereka mulai bergerak dari sisi timur, tepat seperti rencana.

Riko berjongkok, tubuhnya menempel di dinding luar. Matanya tajam mengamati seorang penjaga yang sedang mondar-mandir sambil merokok. Begitu pria itu menoleh ke arah lain, Edward melangkah cepat dari bayangan, menutup mulutnya dengan tangan, lalu menghantam tengkuknya dengan keras. Tubuh penjaga itu ambruk tak berdaya, diseret ke balik semak.

Riko mengangguk, wajahnya tegang tapi bersemangat. “Satu selesai.”

Mereka melangkah lagi, mengendap di antara gelapnya pepohonan. Setiap kali ada penjaga lewat, Edward atau Riko menyergap dari belakang—menekuk lengan, mencekik dengan cepat, atau meninju titik vital. Satu demi satu tumbang tanpa suara.

Suasana semakin menegangkan. Lampu sorot di halaman berputar, CCTV berkelip merah di sudut tembok. Mereka harus menunggu waktu yang pas, menahan napas setiap kali cahaya hampir mengenai tubuh mereka.

“Pelan… jangan terbur
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • PELUKAN BERDARAH   ANJELI

    Beberapa tahun kemudian… Seorang gadis kecil berlarian riang di taman, ditemani pengasuhnya. Gadis cantik itu, dengan wajah manis, hidung mungil, dan mata sipit, tertawa terbahak-bahak saat melihat sang pengasuh kewalahan mengejarnya dengan napas tersengal. “Ya ampun, Anjeli… jangan begitu, kasihan! Jangan suka mengerjai orang tua,” seru Nayla sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah putrinya yang super aktif. Mendengar teguran itu, Anjeli sontak terdiam. Bibir mungilnya mengerucut, lalu ia menunduk pelan. “Maafin aku, Bibi…” ucapnya lirih kepada sang pengasuh. Melihat itu, Nayla langsung tersenyum manis, hatinya luluh seketika. Siang itu, keluarga kecil itu berkumpul di meja makan rumah mewah yang berhasil Edward beli dengan kerja kerasnya. Mereka menikmati sarapan bersama dengan suasana hangat. “Papa, kapan kita liburan?” tanya Anjeli tiba-tiba, di sela suapannya. Edward menoleh pada putrinya. Senyum lembut tersungging di wajahnya, rambutnya yang mulai beruban t

  • PELUKAN BERDARAH   SAAT SEMUA HARUS DI PILIH

    Nayla masih terisak. Ia tak menyangka, pernikahan kakaknya bisa kandas—apalagi usianya baru dua minggu. “Ini salahku… kenapa aku kukuh datang ke sini dan nggak mendengarkanmu,” isaknya kembali pecah saat mengingat kata-kata itu kepada suaminya. “Aku sudah bilang padamu, Nay. Kamu dalam bahaya. Tapi kamu egois, dan ini akibatnya,” ucap Edward dengan nada tegas. Ia sengaja mengingatkan istrinya, agar kelak Nayla mau mendengar nasihat suaminya. Mendengar itu, Nayla memejamkan mata. Rasanya sangat sakit, tapi ia tahu semua ucapan Edward ada benarnya. Pintu rumah sakit tiba-tiba terbuka. Di sana terlihat Riko, memegang tangan Tama dengan paksa. Nayla terbelalak. Apa lagi ini? batinnya gelisah. Ia merasa, segalanya tidak baik-baik saja. Ruangan itu mendadak hening. Suasana menjadi tegang, dingin menusuk. Nayla ingin membuka suara, namun tenggorokannya terasa terkunci. “Nayla… tolong jelaskan pada istriku. Kita tidak ada apa-apa. Kita hanya sebatas adik dan kakak saja,” ucap

  • PELUKAN BERDARAH   RASA SAKIT TAMA

    Di rumah sakit, Edward masih sabar menyuapi Nayla. Meski harus membujuk berkali-kali, akhirnya Nayla menyerah dan makan demi janin yang dikandungnya. Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka. Keduanya menoleh. Wajah Nayla sempat berbinar ketika melihat kakak iparnya datang. Namun senyum itu seketika luntur saat ia menyadari wajah kakak iparnya itu basah oleh air mata, dan di tangannya ada koper yang diseret dengan lemah. Ruangan mendadak hening. Udara terasa tegang dan canggung. Tama melangkah semakin dekat tanpa ekspresi. “Kak…” lirih Nayla pelan. Tatapan Tama menancap dalam pada Nayla—sorot matanya penuh kebencian bercampur kesedihan. “Ada apa, Kak? Kakak mau ke mana?” tanya Nayla bingung, matanya melirik ke arah koper. “Puas kamu, Nay? Puas?!” suara Tama akhirnya pecah. Nadanya bergetar, penuh rasa sakit. Nayla mengerutkan dahi. Ia benar-benar tak mengerti apa maksud perkataan kakak iparnya itu. Di hadapan Nayla dan Edward, tangis Tama akhirnya pecah. Ia terisak, meski

  • PELUKAN BERDARAH   BARU DUA MINGGU

    “Ingat pulang ternyata?” sindir Tama saat membuka pintu, suaranya datar namun tajam. Riko hanya berdiri terpaku, menatap istrinya dengan wajah penuh rasa bersalah. “Maafin aku ya, Tama…” ucapnya lirih, meski terdengar tak sepenuhnya tulus. Tama mendengus, dadanya naik turun menahan amarah. Ia ingin meluapkan segalanya, namun tatapannya jatuh pada wajah Riko yang tampak lesu dan kelelahan. Dengan berat hati, ia memilih menahan diri. Tanpa sepatah kata pun, Tama berbalik ke dapur, menghangatkan masakan sisa pagi. Riko melangkah pelan ke kamar mandi, membiarkan air dingin membasuh tubuhnya yang penat. Setelah itu, ia duduk di meja makan. Aroma hangat masakan langsung menyambutnya. Tanpa menunggu, ia mengambil nasi dan lauk, menyendok rakus seakan perutnya sudah lama kosong. Beberapa saat kemudian, Tama datang setelah mencuci tangan. Tatapannya dingin mengarah ke Riko yang sedang makan tanpa menunggunya. Bibirnya menyungging sinis. “Seperti orang kelaparan…” ucapnya dengan nada

  • PELUKAN BERDARAH   KESEMPATAN HIDUP

    "Ibu... Ayah?..." ucap Nayla terbata-bata dengan wajah terkejut. Ia menoleh ke sekeliling—semuanya serba putih. Wajahnya pucat pasi, panik tak karuan. Ia meraung, memanggil-manggil kedua orang tuanya. Suaranya pecah, penuh kerinduan yang tak terbendung. Di ujung cahaya, dua sosok perlahan muncul. Mereka mengenakan baju putih, langkahnya lembut seakan melayang. Nayla terdiam, matanya membesar, tak percaya dengan apa yang ia lihat. "Naak..." panggil sang ibu dengan suara selembut embun pagi. Nayla tergerak ingin menghampiri, namun tiba-tiba tangan ayahnya terangkat, menghentikan langkahnya. "Berhenti, Nak... ini belum waktumu," ujar sang ayah tegas namun penuh kasih. "Tuhan masih memberimu kesempatan... hidup lebih baik lagi." Sang ibu menambahkan, wajahnya bersinar damai, "Lupakan dendam itu, Nak. Lupakan masa lalu yang kelam. Semua sudah menjadi takdirmu..." Nayla menggeleng keras, air matanya jatuh deras. "Tidak, Bu... aku ikut kalian. Aku rindu... aku rindu sekali..." ta

  • PELUKAN BERDARAH   HATI YANG TERLUKA

    Hari berganti, sinar matahari pagi menembus kaca rumah sakit, tapi suasana di ruang ICU tetap saja mencekam. Nayla masih tak kunjung sadar. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya lemah hanya bergantung pada selang infus dan alat medis. Dokter keluar dari ruangan dengan wajah serius. Riko dan Edward yang menunggu di luar langsung berdiri menyambut. “Bagaimana, Dok?” tanya Edward dengan suara bergetar. Dokter menghela napas panjang. “Kondisi ibu dan bayinya sangat kritis. Bayinya butuh nutrisi yang tidak bisa hanya mengandalkan infusan. Kalau Nayla tidak segera sadar dalam waktu dekat… kemungkinan besar janin di dalam kandungannya tidak akan bertahan.” Riko merasakan lututnya lemas, ia hampir terjatuh jika tidak segera bersandar ke dinding. Edward menunduk, kedua tangannya mengepal erat, mencoba menahan rasa putus asa yang semakin menghantam. “Tidak… tidak, Dok… tolong lakukan apa pun, lakukan segalanya!” Edward mendekat, matanya berkaca-kaca. “Kau tidak tahu… bayi itu adalah har

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status