Di rumah sakit, Edward masih sabar menyuapi Nayla. Meski harus membujuk berkali-kali, akhirnya Nayla menyerah dan makan demi janin yang dikandungnya. Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka. Keduanya menoleh. Wajah Nayla sempat berbinar ketika melihat kakak iparnya datang. Namun senyum itu seketika luntur saat ia menyadari wajah kakak iparnya itu basah oleh air mata, dan di tangannya ada koper yang diseret dengan lemah. Ruangan mendadak hening. Udara terasa tegang dan canggung. Tama melangkah semakin dekat tanpa ekspresi. “Kak…” lirih Nayla pelan. Tatapan Tama menancap dalam pada Nayla—sorot matanya penuh kebencian bercampur kesedihan. “Ada apa, Kak? Kakak mau ke mana?” tanya Nayla bingung, matanya melirik ke arah koper. “Puas kamu, Nay? Puas?!” suara Tama akhirnya pecah. Nadanya bergetar, penuh rasa sakit. Nayla mengerutkan dahi. Ia benar-benar tak mengerti apa maksud perkataan kakak iparnya itu. Di hadapan Nayla dan Edward, tangis Tama akhirnya pecah. Ia terisak, meski
“Ingat pulang ternyata?” sindir Tama saat membuka pintu, suaranya datar namun tajam. Riko hanya berdiri terpaku, menatap istrinya dengan wajah penuh rasa bersalah. “Maafin aku ya, Tama…” ucapnya lirih, meski terdengar tak sepenuhnya tulus. Tama mendengus, dadanya naik turun menahan amarah. Ia ingin meluapkan segalanya, namun tatapannya jatuh pada wajah Riko yang tampak lesu dan kelelahan. Dengan berat hati, ia memilih menahan diri. Tanpa sepatah kata pun, Tama berbalik ke dapur, menghangatkan masakan sisa pagi. Riko melangkah pelan ke kamar mandi, membiarkan air dingin membasuh tubuhnya yang penat. Setelah itu, ia duduk di meja makan. Aroma hangat masakan langsung menyambutnya. Tanpa menunggu, ia mengambil nasi dan lauk, menyendok rakus seakan perutnya sudah lama kosong. Beberapa saat kemudian, Tama datang setelah mencuci tangan. Tatapannya dingin mengarah ke Riko yang sedang makan tanpa menunggunya. Bibirnya menyungging sinis. “Seperti orang kelaparan…” ucapnya dengan nada
"Ibu... Ayah?..." ucap Nayla terbata-bata dengan wajah terkejut. Ia menoleh ke sekeliling—semuanya serba putih. Wajahnya pucat pasi, panik tak karuan. Ia meraung, memanggil-manggil kedua orang tuanya. Suaranya pecah, penuh kerinduan yang tak terbendung. Di ujung cahaya, dua sosok perlahan muncul. Mereka mengenakan baju putih, langkahnya lembut seakan melayang. Nayla terdiam, matanya membesar, tak percaya dengan apa yang ia lihat. "Naak..." panggil sang ibu dengan suara selembut embun pagi. Nayla tergerak ingin menghampiri, namun tiba-tiba tangan ayahnya terangkat, menghentikan langkahnya. "Berhenti, Nak... ini belum waktumu," ujar sang ayah tegas namun penuh kasih. "Tuhan masih memberimu kesempatan... hidup lebih baik lagi." Sang ibu menambahkan, wajahnya bersinar damai, "Lupakan dendam itu, Nak. Lupakan masa lalu yang kelam. Semua sudah menjadi takdirmu..." Nayla menggeleng keras, air matanya jatuh deras. "Tidak, Bu... aku ikut kalian. Aku rindu... aku rindu sekali..." ta
Hari berganti, sinar matahari pagi menembus kaca rumah sakit, tapi suasana di ruang ICU tetap saja mencekam. Nayla masih tak kunjung sadar. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya lemah hanya bergantung pada selang infus dan alat medis. Dokter keluar dari ruangan dengan wajah serius. Riko dan Edward yang menunggu di luar langsung berdiri menyambut. “Bagaimana, Dok?” tanya Edward dengan suara bergetar. Dokter menghela napas panjang. “Kondisi ibu dan bayinya sangat kritis. Bayinya butuh nutrisi yang tidak bisa hanya mengandalkan infusan. Kalau Nayla tidak segera sadar dalam waktu dekat… kemungkinan besar janin di dalam kandungannya tidak akan bertahan.” Riko merasakan lututnya lemas, ia hampir terjatuh jika tidak segera bersandar ke dinding. Edward menunduk, kedua tangannya mengepal erat, mencoba menahan rasa putus asa yang semakin menghantam. “Tidak… tidak, Dok… tolong lakukan apa pun, lakukan segalanya!” Edward mendekat, matanya berkaca-kaca. “Kau tidak tahu… bayi itu adalah har
“Dan inilah balasannya, Nayla ini!” teriak Wike lagi, namun kali ini suaranya tidak lagi sekeras tadi. Nada itu melemah, getir, tatapannya perlahan jatuh pada tubuh Tiara yang sudah tak bernyawa. Ia tersenyum pahit, air matanya bercucuran. “Putriku yang malang… kenapa harus kamu yang mengalami semua ini? Aku dan ayahmu membesarkanmu dengan penuh kelembutan, dengan kasih sayang yang tak pernah berkurang…” Ruangan itu hening. Hanya isak tangis Wike yang terdengar. Riko dan Edward membeku, mereka tak sanggup mengeluarkan suara. Bahkan napas pun seakan tertahan. Riko menggenggam erat tangannya sendiri, hatinya digelayuti rasa bersalah. Ia benar-benar tak menyangka kalau Nayla akan sejauh itu, menyeret Tiara ke dalam rencana balas dendamnya. “Apa aku yang salah… karena tak bisa menghentikan Nayla sejak awal?” batinnya hancur. Wike kembali menatap Nayla dengan sorot penuh luka, suara parau tapi tegas, “Jika kamu bisa membalas dendam untuk kedua orang tuamu pada keluarga Surya Mahend
Saat pistol itu sudah terarah tepat ke Nayla, jari Wike mulai menarik pelatuknya. DOR! Suara tembakan menggema, mengguncang seluruh rumah. Edward dan Riko yang sedang bertarung di luar langsung terpaku. Gerakan mereka terhenti sepersekian detik, jantung keduanya serasa berhenti berdetak. Mata Edward melebar, wajahnya pucat. “Tidak…” desisnya lirih. Riko pun terdiam, namun segera saja amarahnya meledak. Keduanya kini bertarung membabi buta, menghajar siapa saja yang menghadang tanpa belas kasihan. Tinju dan tendangan mereka mendarat brutal, tubuh lawan berguguran satu demi satu. Dengan napas tersengal, mereka berlari ke arah sumber suara tembakan. Langkah mereka terburu-buru, jantung berdegup kencang tak karuan. Dalam kepalanya, Edward hanya ada satu bayangan: tubuh istrinya, Nayla, terkulai lemas berlumur darah. “Jangan… jangan… jangan… kumohon…” lirih Edward dengan suara bergetar. Air matanya hampir pecah, hatinya serasa diremas. Ia begitu lemas hanya dengan membaya