Bab 23. TERLEMPAR KEMBALI PADA KISAH MASA LALU
"Kapankah terakhir kali aku bisa merasakan pelukan Ayah? Maksudku sebelum kita terpisah?" tanya Lintang seraya menikmati kehangatan kasih sayang lewat pelukan ayahnya.
"Sudah sangat lama sekali, Sayang! Terakhir kali Ayah menggendong dirimu adalah saat Ayah mengantarkan kamu dan nenek pindah ke Wonorejo. Saat itu kamu masih berusia sekitar satu tahun. Tubuhmu sangat mungil dan cantik, tapi suaramu kencang sekali saat menangis!" bisik Ki Narendra dengan suara parau. Rengkuhan tangannya di bahu Lintang semakin erat. Keharuan begitu membuncah memenuhi hatinya.
Pertanyaan putrinya membuatnya terseret kembali pada kisah masa lalu.
Saat itu, bertahun-tahun lalu...
Laporan Wage kecil yang memergoki perbuatan Wulansari yang telah membunuh teman lelakinya di sungai telah membuka mata hatinya dan membuatnya menarik kesimpulan tentang
Bab 24. MENIKMATI LIMPAHAN KASIH SAYANG. Ki Narendra tersenyum simpul saat melihat Lintang nyaris tertidur dalam rengkuhan tangannya, saat mendengarkan kisah masa lalu yang ia ceritakan. Mereka berdua tengah berdiri berdampingan di bawah pohon mangga yang cukup rindang. Elusan angin sepoi-sepoi semakin mendatangkan rasa kantuknya. Mungkin ia bangun terlalu pagi tadi. Wage mengatakan padanya bahwa Lintang sampai di tempat indekosnya sekitar jam 3 dini hari. Sementara ia datang menjemputnya tepat jam 8 saat teman kost putrinya itu mengatakan bahwa Lintang sudah bangun sejak tadi. "Sebaiknya kamu istirahat dulu di kamar. Mari ayah tunjukkan letak kamarmu. Semua sudah ayah siapkan!" Ki Narendra menuntun Lintang masuk lagi ke dalam rumah lewat pintu samping. Tanpa membantah, karena memang Lintang sudah tidak mampu lagi membuka kelopak matanya yang terasa berat. Setengah terp
Bab 25. MALAIKAT KIRIMAN AYAH. Lintang langsung membulatkan bola matanya setelah mengenali dua orang lelaki yang kini berdiri berjajar di teras rumah untuk menyambut kedatangan mereka. "Mas Wage?" Wage hanya menarik sedikit ujung bibirnya seraya membukakan pintu mobil untuk Lintang dan mempersilahkan gadis yang tengah memandangnya bingung itu untuk keluar dari dalam mobil. "Hehehe, selamat datang di rumah kami, Mbak Lintang!" sela Pak Jun yang langsung menggandeng tangan halus Lintang menuju teras. Membiarkan Wage yang masih terdiam menahan pintu mobil yang terbuka. Masih memandang Wage dengan sorot mata kebingungan, Lintang mengikuti langkah Pak Jun. "Ini rumah Wage, Lintang! Wage dan Pak Jun ini yang selalu setia membantu ayah. Mereka ini orang-orang kepercayaan Ayah." "Jadi selama ini, Mas Wage yang ditugaskan ayah untuk mendampingi saya?" tany
Bab 26. MALAM PANAS DI KAMAR WULANSARI Lewat tengah malam, suasana jalan raya yang berada di depan tempat tinggal pasangan Ki Dalang Narendra dan Wulansari sudah mulai lengang. Tak terdengar satupun suara kendaraan melintas. Apalagi sejak sore gerimis rapat membasahi kota yang terbilang cukup ramai membuat hawa malam itu terasa lebih dingin dan basah dari biasanya. Membuat semua orang lebih memilih tetap berada di dalam kenyamanan rumah masing-masing. Namun demikian, suasana dingin di luar sangat berbanding terbalik dengan keadaan di dalam kamar pribadi Wulansari. Bersama Jaya sang sopir pribadi, mereka berlomba-lomba membuat suasana menjadi begitu panas. Menari erotis di atas tubuh pasangan, saling memberi kepuasan di atas ranjang. Saling beradu kelihaian. Wulansari yang sedang terbaring di atas ranjang empuk membiarkan Jaya memuaskan hasratnya. Dalam keada
Bab 27. MISI PENDEKATAN. Lintang segera menyelesaikan aksi panggungnya dengan penuh semangat setelah pandangan matanya tak lepas pada sosok maskulin yang telah menantinya di salah satu meja tamu yang berada di sudut lantai dansa. Gempita sorakan pengunjung tak lagi dapat menahannya untuk bertahan sedikit lebih lama di atas panggung. Dengan melempar senyum semringah ia segera berpamitan untuk undur diri. Setengah jam berikutnya, ia sudah siap meninggalkan HAPPY night POPPY melalui pintu belakang. Di sana, lelaki berpenampilan maskulin itu sudah menantinya. "Tunggu sebentar!" pinta Lintang sebelum melesat lincah ke arah area parkir samping ruko. Dirgantara hanya mengangguk dan melangkah perlahan membuntuti Lintang. Beberapa meter dari tempatnya berdiri ia melihat Lintang sedang berbicara dengan seorang lelaki tinggi bertubuh kekar dalam balutan jeans dan jaket kulit
Bab 28. GADIS IDAMAN Sinar matahari pagi menyorot lembut menerobos kaca jendela kamar yang entah sejak kapan tirainya terbuka. Biasnya jatuh tepat di sebagian wajah dan tubuh Lintang yang masih tergolek di atas ranjang berukuran sedang. Malas-malasan Lintang mulai membuka matanya. Memfokuskan diri dan mengingat dimana saat ini ia berada. Ia ingat, dini hari tadi, saat hari masih sangat gelap ia dan Dirgantara tiba di sebuah rumah mewah berlantai dua yang dibangun di lereng sebuah pegunungan. Mengetahui keadaannya yang terlihat sudah tidak dapat lagi menahan kantuk, Dirgantara langsung mengantarkannya ke sebuah kamar tamu dan menyuruhnya untuk segera tidur begitu mereka tiba. Tanpa banyak protes, ia pun segera merebahkan tubuhnya setelah sebelumnya meletakkan tasnya secara sembarangan di atas meja rias. Ia bahkan tak mau repot-repot masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka ataupun k
Bab 29. MAIN HATI. Setelah menikmati menu sarapan sederhana yang sudah tersaji di meja makan, Dirgantara mengajak Lintang untuk berkeliling melihat-lihat rumah peristirahatan mewah sang Bupati. Berjalan perlahan bergandengan tangan, keduanya menyusuri jalan setapak berlapis kerikil batu alam berwarna putih yang membelah taman belakang. Beberapa tanaman hias diletakkan bergerombol dalam pot-pot keramik. Matahari jam delapan pagi mulai terasa hangat membelai kulit. "Bagaimana menurutmu, Lin?" "Bagus, dan mewah tentunya." jawab Lintang kalem. Sebelah tangannya menyentuh lembut ujung daun bunga Asoka yang menjuntai keluar dari jalur pertumbuhannya terlihat mengkilap dengan warnanya yang segar. "Aku lebih suka menyebutnya asri. Ini memang digunakan sebagai rumah peristirahatan keluarga. Kau tahu pekerjaan ayahku benar-benar membutuhkan perhatian
Bab 30. KECEMBURUAN YANG MEMBAKAR. Lintang terperangah ketika pandangan matanya menangkap sebuah Wrangler berwarna hitam yang berhenti di depan pagar rumah kostnya petang itu. Terutama pada sosok gagah yang masih duduk terlihat begitu jumawa walau tanpa sengaja mengesankan sikap itu di balik kemudinya. "Wah, mobil baru ya Mas Wage?" "Ya, gimana? Kamu suka?" "Suka! Mas Wage kelihatan tambah gagah loh!" ujar Lintang setelah berada di samping mobil. "Ayo, sudah siap belum? Aku antar kamu ke HAPPY night POPPY!" Lintang masih mematung sementara tangannya mengelus body mobil dengan sorot penuh kekaguman. "Ayo Lintang, cepat bersiap! Mau berangkat kerja gak?" "Eh iya, tunggu sebentar Mas. Aku ambil tasku dulu yaa.." Tanpa menunggu jawaban Wage, Lintang langsung melesat masuk kembali ke dalam rumah.
Bab 31. SIASAT MENEBARKAN JERAT Dirgantara berjalan terseok menuju pintu rumahnya setelah mendengar gedoran cukup keras di hari yang terbilang masih pagi itu. Matanya bahkan masih setengah terpejam menahan kantuk yang masih menggelayut. Benar-benar sebuah kejutan yang tidak ia harapkan saat melihat sosok langsing yang berdiri di depan pintu rumahnya. "Gendis? Apa yang kau lakukan disini?" tanyanya kaget setelah mengetahui siapa yang telah mengganggu kenyamanan tidurnya pagi ini dengan gedoran pintu yang sangat keras. "Waduh maaf Mas, aku tidak tahu kalau kamu masih tidur di jam..." Gendis melirik jam tangan mungil berantai emas yang melingkari pergelangan tangannya dengan gerakan dibuat-buat, "...tujuh!" "Aku baru tidur jam empat subuh tadi!" sungut Dirgantara seraya melangkah menuju bangku teras tanpa mengacuhkan keberadaan Gendis yan