Bab 28. GADIS IDAMAN
Sinar matahari pagi menyorot lembut menerobos kaca jendela kamar yang entah sejak kapan tirainya terbuka. Biasnya jatuh tepat di sebagian wajah dan tubuh Lintang yang masih tergolek di atas ranjang berukuran sedang.
Malas-malasan Lintang mulai membuka matanya. Memfokuskan diri dan mengingat dimana saat ini ia berada. Ia ingat, dini hari tadi, saat hari masih sangat gelap ia dan Dirgantara tiba di sebuah rumah mewah berlantai dua yang dibangun di lereng sebuah pegunungan.
Mengetahui keadaannya yang terlihat sudah tidak dapat lagi menahan kantuk, Dirgantara langsung mengantarkannya ke sebuah kamar tamu dan menyuruhnya untuk segera tidur begitu mereka tiba.
Tanpa banyak protes, ia pun segera merebahkan tubuhnya setelah sebelumnya meletakkan tasnya secara sembarangan di atas meja rias. Ia bahkan tak mau repot-repot masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka ataupun k
Bab 29. MAIN HATI. Setelah menikmati menu sarapan sederhana yang sudah tersaji di meja makan, Dirgantara mengajak Lintang untuk berkeliling melihat-lihat rumah peristirahatan mewah sang Bupati. Berjalan perlahan bergandengan tangan, keduanya menyusuri jalan setapak berlapis kerikil batu alam berwarna putih yang membelah taman belakang. Beberapa tanaman hias diletakkan bergerombol dalam pot-pot keramik. Matahari jam delapan pagi mulai terasa hangat membelai kulit. "Bagaimana menurutmu, Lin?" "Bagus, dan mewah tentunya." jawab Lintang kalem. Sebelah tangannya menyentuh lembut ujung daun bunga Asoka yang menjuntai keluar dari jalur pertumbuhannya terlihat mengkilap dengan warnanya yang segar. "Aku lebih suka menyebutnya asri. Ini memang digunakan sebagai rumah peristirahatan keluarga. Kau tahu pekerjaan ayahku benar-benar membutuhkan perhatian
Bab 30. KECEMBURUAN YANG MEMBAKAR. Lintang terperangah ketika pandangan matanya menangkap sebuah Wrangler berwarna hitam yang berhenti di depan pagar rumah kostnya petang itu. Terutama pada sosok gagah yang masih duduk terlihat begitu jumawa walau tanpa sengaja mengesankan sikap itu di balik kemudinya. "Wah, mobil baru ya Mas Wage?" "Ya, gimana? Kamu suka?" "Suka! Mas Wage kelihatan tambah gagah loh!" ujar Lintang setelah berada di samping mobil. "Ayo, sudah siap belum? Aku antar kamu ke HAPPY night POPPY!" Lintang masih mematung sementara tangannya mengelus body mobil dengan sorot penuh kekaguman. "Ayo Lintang, cepat bersiap! Mau berangkat kerja gak?" "Eh iya, tunggu sebentar Mas. Aku ambil tasku dulu yaa.." Tanpa menunggu jawaban Wage, Lintang langsung melesat masuk kembali ke dalam rumah.
Bab 31. SIASAT MENEBARKAN JERAT Dirgantara berjalan terseok menuju pintu rumahnya setelah mendengar gedoran cukup keras di hari yang terbilang masih pagi itu. Matanya bahkan masih setengah terpejam menahan kantuk yang masih menggelayut. Benar-benar sebuah kejutan yang tidak ia harapkan saat melihat sosok langsing yang berdiri di depan pintu rumahnya. "Gendis? Apa yang kau lakukan disini?" tanyanya kaget setelah mengetahui siapa yang telah mengganggu kenyamanan tidurnya pagi ini dengan gedoran pintu yang sangat keras. "Waduh maaf Mas, aku tidak tahu kalau kamu masih tidur di jam..." Gendis melirik jam tangan mungil berantai emas yang melingkari pergelangan tangannya dengan gerakan dibuat-buat, "...tujuh!" "Aku baru tidur jam empat subuh tadi!" sungut Dirgantara seraya melangkah menuju bangku teras tanpa mengacuhkan keberadaan Gendis yan
Bab 32. Liburan bersama Wage. Lintang segera masuk ke dalam Wrangler yang sudah terparkir menunggunya tepat di depan gang yang langsung menuju pintu karyawan nightclub's HAPPY night POPPY. "Mau langsung ke tempat kost atau pulang ke rumahmu? Besok waktu libur kerja kan?" tanya Wage saat melihat Lintang sudah duduk dengan nyaman di sampingnya. "Langsung ke rumah saja, Mas. Aku tadi sudah pamitan ibu kost kalau mau pulang ke rumah!" "Tidak membawa baju ganti?" "Di rumah sudah ada, banyak baju baru. Ayah sangat memanjakan aku. Beberapa setel baju masih belum terpakai, ayah sudah belanja baju baru lagi untukku!" ujar Lintang bangga. "Baguslah kalau begitu. Aku antar kamu ke rumah lalu segeralah beristirahat. Besok pagi sekitar jam tujuh aku akan datang menjemputmu. Kita akan liburan ke kampung halamanmu!" "Waaahh, senangny
Bab 33. KEMBALI KE TANAH KELAHIRAN. Kedua lelaki berpenampilan sederhana yang berdiri di depan Wage melotot takjub dengan padangan terkunci pada sosok Lintang. Yang berusia muda terpesona pada kecantikan Lintang, sementara lelaki yang lebih tua terkesima setelah mendengar tentang siapa sebenarnya Lintang itu. "Gusti! Sekarang aku ingat. Wajah Nyi Sinden... Mbak Lintang ini ada kemiripan dengan Nyi Sinden, terutama bibir dan matanya. Tapi warna kulit Mbak Lintang jauh lebih bersih!" "Nyi Sinden siapa to, Lik?" Lelaki yang lebih muda bertanya bingung, tapi pandangan matanya tak lepas dari paras ayu Lintang. "Kamu gak bakalan tahu, Le! Di samping karena bukan asli dari desa ini, Nyi Sinden itu sudah meninggal....." "Sudah meninggal belasan tahun lalu!" potong Wage cepat. Lelaki paruh baya yang berada di depannya mengangguk memahami isyarat tangan Wage yang be
Bab 34. RUMAH LAMA AYAH. Wanita paruh baya yang menyambut kedatangan mereka buru-buru undur diri ke belakang untuk menyiapkan suguhan bagi Lintang dan Wage. "Itu tadi adalah istri Kang Muji. Mereka menempati rumah ini sekaligus biar ada yang membersihkan dan merawat. Semenjak membeli rumah ini, aku baru dua kali datang ke sini." tutur Wage seraya membimbing Lintang untuk berkeliling melihat-lihat keadaan rumah besar itu. "Mas..?" "Heemm?" "Kalau ini dulunya adalah rumah ayah, berarti aku dilahirkan di sini?" "Tidak. Bukan di rumah ini!" "Bukan di rumah ini? Katanya ini rumah ayah." "Maksudku, ini adalah rumah istri Ki Narendra." "Ibuku?" Lintang kian bingung. "Ibumu adalah istri pertama Ki Narendra. Setelah kamu lahir, Ki Narendra berpisah dengan ibumu dan
Bab 35. INSIDEN DI SUNGAI Tiba di tepi sungai yang lumayan besar dengan aliran air jernih yang cukup kuat arusnya, dengan bebatuan gunung sebesar kerbau yang bersembulan di tengah sungai itu, Lintang dan Wage berjalan beriringan. Sesekali Wage membantu Lintang berjalan di atas batu sungai memegang erat tangannya agar tak terpeleset dan jatuh ke dalam air sungai yang berarus cukup deras itu. "Di aliran inilah, suatu pagi warga sekitar sini menemukan jasad ibumu diantara batu-batu sungai!" jelas Wage setelah mereka berdua berada di atas batu gunung berukuran lumayan besar sehingga dapat menampung mereka berdua. Sambil mencelupkan kedua kakinya di aliran air, Lintang memandang sekelilingnya. Terdiam beberapa waktu, mencoba membayangkan tentang kehebohan yang terjadi saat ibunya ditemukan dalam keadaan tewas di antara bebatuan sungai. Wage sengaja membiarkan
Bab 36. SOSOK LELAKI YANG SANGAT MENGGODA. Dalam perjalanan pulang ke kota, Wage sengaja mampir ke toko pakaian yang kebetulan mereka lewati. Setelah berdebat sebentar karena Lintang tidak mau turun dari mobil dengan hanya mengenakan daster yang dipinjamkan istri Kang Muji padanya, akhirnya Wage mengalah. Meskipun dengan paras kebingungan ia segera turun dan memasuki toko pakaian. Tak sampai sepuluh menit kemudian ia sudah kembali ke mobil dan menyerahkan kantong belanjaan pada Lintang. "Jangan rewel. Aku tidak pernah belanja pakaian perempuan. Itu tadi pemilik toko yang memilihkan. Jangan khawatir dengan warnanya, tapi aku tidak terlalu yakin dengan modelnya!" ujarnya seraya tancap gas mencari pom bensin terdekat. Untuk mengisi tangki bahan bakar, sekaligus mencarikan tempat untuk Lintang agar dapat berganti pakaian dengan yang lebih pantas.