Bab 33. KEMBALI KE TANAH KELAHIRAN.
Kedua lelaki berpenampilan sederhana yang berdiri di depan Wage melotot takjub dengan padangan terkunci pada sosok Lintang. Yang berusia muda terpesona pada kecantikan Lintang, sementara lelaki yang lebih tua terkesima setelah mendengar tentang siapa sebenarnya Lintang itu.
"Gusti! Sekarang aku ingat. Wajah Nyi Sinden...
Mbak Lintang ini ada kemiripan dengan Nyi Sinden, terutama bibir dan matanya. Tapi warna kulit Mbak Lintang jauh lebih bersih!"
"Nyi Sinden siapa to, Lik?" Lelaki yang lebih muda bertanya bingung, tapi pandangan matanya tak lepas dari paras ayu Lintang.
"Kamu gak bakalan tahu, Le! Di samping karena bukan asli dari desa ini, Nyi Sinden itu sudah meninggal....."
"Sudah meninggal belasan tahun lalu!" potong Wage cepat. Lelaki paruh baya yang berada di depannya mengangguk memahami isyarat tangan Wage yang be
Bab 34. RUMAH LAMA AYAH. Wanita paruh baya yang menyambut kedatangan mereka buru-buru undur diri ke belakang untuk menyiapkan suguhan bagi Lintang dan Wage. "Itu tadi adalah istri Kang Muji. Mereka menempati rumah ini sekaligus biar ada yang membersihkan dan merawat. Semenjak membeli rumah ini, aku baru dua kali datang ke sini." tutur Wage seraya membimbing Lintang untuk berkeliling melihat-lihat keadaan rumah besar itu. "Mas..?" "Heemm?" "Kalau ini dulunya adalah rumah ayah, berarti aku dilahirkan di sini?" "Tidak. Bukan di rumah ini!" "Bukan di rumah ini? Katanya ini rumah ayah." "Maksudku, ini adalah rumah istri Ki Narendra." "Ibuku?" Lintang kian bingung. "Ibumu adalah istri pertama Ki Narendra. Setelah kamu lahir, Ki Narendra berpisah dengan ibumu dan
Bab 35. INSIDEN DI SUNGAI Tiba di tepi sungai yang lumayan besar dengan aliran air jernih yang cukup kuat arusnya, dengan bebatuan gunung sebesar kerbau yang bersembulan di tengah sungai itu, Lintang dan Wage berjalan beriringan. Sesekali Wage membantu Lintang berjalan di atas batu sungai memegang erat tangannya agar tak terpeleset dan jatuh ke dalam air sungai yang berarus cukup deras itu. "Di aliran inilah, suatu pagi warga sekitar sini menemukan jasad ibumu diantara batu-batu sungai!" jelas Wage setelah mereka berdua berada di atas batu gunung berukuran lumayan besar sehingga dapat menampung mereka berdua. Sambil mencelupkan kedua kakinya di aliran air, Lintang memandang sekelilingnya. Terdiam beberapa waktu, mencoba membayangkan tentang kehebohan yang terjadi saat ibunya ditemukan dalam keadaan tewas di antara bebatuan sungai. Wage sengaja membiarkan
Bab 36. SOSOK LELAKI YANG SANGAT MENGGODA. Dalam perjalanan pulang ke kota, Wage sengaja mampir ke toko pakaian yang kebetulan mereka lewati. Setelah berdebat sebentar karena Lintang tidak mau turun dari mobil dengan hanya mengenakan daster yang dipinjamkan istri Kang Muji padanya, akhirnya Wage mengalah. Meskipun dengan paras kebingungan ia segera turun dan memasuki toko pakaian. Tak sampai sepuluh menit kemudian ia sudah kembali ke mobil dan menyerahkan kantong belanjaan pada Lintang. "Jangan rewel. Aku tidak pernah belanja pakaian perempuan. Itu tadi pemilik toko yang memilihkan. Jangan khawatir dengan warnanya, tapi aku tidak terlalu yakin dengan modelnya!" ujarnya seraya tancap gas mencari pom bensin terdekat. Untuk mengisi tangki bahan bakar, sekaligus mencarikan tempat untuk Lintang agar dapat berganti pakaian dengan yang lebih pantas.
Bab 37. SAAT SUASANA SYAHDU MEMBUATMU MEMPERMALUKAN DIRI SENDIRI. Lintang duduk mematung ditempatnya. Matanya tertuju di layar televisi yang tengah menayangkan adegan romantis film Hollywood. Sementara di sampingnya, Wage duduk dengan santai seraya menyandarkan punggungnya di lengan sofa. Entah kapan ia mengambil selimut tebal dari kamar tamu yang saat ini tiba-tiba saja sudah menyelimuti bagian bawah tubuh hingga ke dada. Di luar hujan turun kian deras disertai angin kencang dan kilat yang sesekali menyambar. "Dingin?" tanya Wage, Lintang mengangguk tanpa menoleh. Tatapan matanya masih tertuju ke layar kaca. "Kemarilah!" Tanpa menunggu jawaban, Wage segera menarik tubuh Lintang ke tengah pangkuannya sekaligus membawanya masuk kedalam selimut yang tengah menutupi tubuhnya. Seperti tersengat aliran listrik bertegangan ribuan volt, Lintang yang dari a
TERPERANGKAP PESONA SI MUNGIL.Di dalam kamar tamu, Wage merebahkan tubuhnya dengan pikiran tak keruan. Hanya berbaring gelisah tanpa mampu memejamkan mata.Kepalanya terasa berat oleh hasrat yang tak tersalurkan. Gelombang gairah yang tadi telah melambungkannya begitu tinggi dan berujung dengan terhempasnya ia dengan begitu kuat di kedalaman yang gelap dan dingin. Seperti sisa malam ini.Di luar hujan tinggal mencurahkan rintik kecil airnya saja, berikut hawa dingin yang membekukan tulang. Wage meringkuk di kasur berukuran besar hanya dengan mengenakan celana panjangnya saja.Ia tak sempat mencari kaus yang tadi ia kenakan sebelum Lintang menggoda dan menenggelamkan dirinya dalam kubangan hasrat yang begitu pekat. Membuatnya hilang kesadaran dalam seretan ombak erotis yang sangat menghipnotis.Akhirnya, disinilah ia, meringkuk sendiri dalam kesakitan yang mendera. Ra
NASEHAT YANG MENYESATKAN. Seperti biasa Lintang menyambut kedatangan Wage pada saat akan mengantarkannya ke klub, di teras rumah. "Aku tidak kerja malam ini, Mas!" ujar Lintang menjawab pertanyaan tak terucap dari Wage yang mengawasi pakaian yang ia kenakan malam ini. "Yah, mungkin kamu juga masih kaget dengan kejadian tadi. Apa kamu baik-baik saja? Aku tidak pamit padamu saat pergi dari sini tadi pagi. Maaf sudah membuat keributan. Apa ibu kost menegur kamu?" Lintang menggeleng, "beliau pasti mengerti ini hanya salah faham. Beliau hanya berpesan agar menyelesaikan semuanya secara baik-baik dan kalau bisa di luar saja agar tidak terjadi keributan lagi di sini. Malu dengan tetangga." "Yah, tentu saja. Dia tidak memberi pilihan tadi. Aku spontan memukulnya saat ia menampar kamu tadi. Maaf!" "Lupakan, Mas. Aku malas ngomongin dia!" putus Lintang sera
SAAT WANITA SOSIALITA BERKUMPUL. Wulansari segera mendatangi meja resepsionis. Hanya dengan menunjukkan kartu khusus yang ia miliki, seorang office boy segera mengantarkannya ke ruangan khusus yang sudah dipesan teman-temannya. Memasuki sebuah ruangan nyaman kedap suara berukuran lumayan luas yang dilengkapi perabotan mewah. Dua set sofa diletakkan di ruangan itu sesuai pesanan berikut satu set audio visual berukuran besar yang ditempatkan di salah satu dinding. Di dalam ruangan itu sudah menunggu hampir semua peserta. Mereka adalah wanita-wanita berusia sekitar 35 hingga 50 tahun dengan penampilan yang menunjukkan kelas sosial mereka. Meskipun mereka semua adalan perias-perias kondang, suami-suami mereka juga orang-orang yang berpenghasilan besar. Sebagian adalah para pengusaha ataupun pejabat. Maka tak heran jika acara arisan tersebut juga dijadikan ajang pamer kekayaan
BRONDONG TAMPAN ( TUMBAL ) ARISAN.Dengan langkah bergegas, Lilis segera menuju kamar yang ditunjukkan Fitri saat menyerahkan kunci kamar padanya saat namanya keluar sebagai penarik arisan.Sempat dilihatnya ekspresi kecewa yang diperlihatkan Tina saat ia menerima beberapa gepok uang arisan serta kunci kamar hotel sebagai tempat ia menikmati hadiah hiburannya."Waah, selamat menikmati hadiah hiburannya ya Jeng.. nanti kalau sudah, datang ke sini untuk ceritakan pengalamannya. Beneran kita tunggu di sini looh!Kita gak akan bubar sebelum selesai mendengar cerita panasmu nanti! Setuju gak yang lainnya? Nanti sambil nunggu saya putarkan video yang lain deh. Dijamin hot pokoknya. Semua artis di video itu saya kenal. Jadi kalau ada yang minat pengen senang-senang sama mereka bisa hubungi saya!"Dan di sinilah ia, berdiri tak sabar sekaligus deg-degan tepat di depan pintu k