MasukDewa Maut melihat dengan mata kepala sendiri, kecepatan Bayangan itu tidak bisa diatasi dengan kekuatan, hanya dengan kecerdikan dan kecepatan absolut.
Dewa Maut menggunakan Ajian Sukma Yama untuk menenangkan pikirannya secara instan.Dunia di sekitarnya melambat. Dia melihat jalur enam Bayangan itu secara jelas.Cepat, tapi lurus.Setiap Bayangan selalu melesat dalam garis lurus yang paling efisien menuju posisinya. Mereka adalah peluru yang hanya tahu cara menembak lurus.Akal Dewa Maut pun muncul.Dia memiliki Asta Pawana, kecepatan yang bahkan melampaui peluru yang melesat.Dia bisa mengendalikan gerakannya dengan presisi yang sempurna, sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh enam Bayangan yang terprogram itu.Dia memutuskan untuk menggunakan dirinya sendiri sebagai umpan dan pusat tabrakan.Saat Bayangan Keenam meluncur dari utara, Dewa Maut tidak menghindar. Dia menunggu hingga Bayangan itu berjaraDewa Maut menyilangkan tangan di dada. Aura Lima Elemennya berdenyut, menunjukkan ketidakpedulian yang dingin.“Aku sudah memberitahumu, Mangunjaya. Dipasena sudah mati. Ketiadaan terdengar jauh lebih menarik daripada keberadaan yang penuh kepalsuan,” balas Dewa Maut. “Kau mencoba mengalihkan perhatianku dengan cerita hantu. Kau mencoba menakutiku. Kau tidak mengerti. Ketakutan sudah tidak ada lagi di diriku.”“Aku tidak mencoba menakutimu,” kata Mangunjaya. “Aku mencoba memberimu jalan keluar. Aku tahu kau ingin mengakhiri ini. Aku akan memberikannya padamu. Aku akan bertarung denganmu, dan jika aku kalah, ambillah kekuatanku. Tetapi jangan pergi ke Rembong tanpa mengetahui apa yang akan kau hadapi. Kekosongan itu akan memakanmu.”Dewa Maut tersenyum, kali ini senyumnya adalah janji kehancuran.“Kau terlalu banyak bicara, Guru. Kau menunda yang tak terhindarkan. Kau mencoba memanipulasi aku dengan janji kekuatan baru. Sayangnya, aku tidak lagi te
Mangunjaya memejamkan mata sejenak, rasa sakit terlihat jelas di wajahnya, bukan karena ketakutan, tetapi karena penyesalan.“Aku tidak pernah meragukan kekuatanmu, Dipasena. Aku meragukan hatimu. Ketika aku melihatmu di sini, aku melihat kegagalan terbesarku,” ucap Mangunjaya, suaranya penuh kesedihan.“Kegagalanmu? Kau menyebut kekuatan mutlak sebagai kegagalan?” Dewa Maut tertawa kecil, suara yang lebih menyeramkan daripada raungan.“Kekuatan tanpanya tujuan yang benar adalah kekosongan, Nak. Dan kau telah menjadi kekosongan yang bergerak,” balas Mangunjaya.“Aku telah menunggu. Aku tidak akan lari. Tetapi sebelum duel ini dimulai, aku ingin kau dengarkan baik-baik. Aku tidak melawanmu untuk tatanan dunia persilatan. Aku melawanmu untuk menyelamatkan sisa jiwamu, dan untuk melindungi murid-muridku.”Dewa Maut melangkah maju. Hanya satu langkah, tetapi tanah di antara mereka retak, seolah-olah bumi itu sendiri tidak mampu menahan tekana
Dewa Maut menyadari dengan perhitungan dingin: Argasura telah mengirim pesan kepada Mangunjaya.Anggrawati pasti tahu rencana itu dan mencoba mencegatnya, atau mencoba memperingatkan gurunya.Jati Sakti. Tempat di mana ia dibesarkan, tempat di mana Dipasena mati.Dewa Maut mengubah arah. Rembong adalah target berikutnya, tetapi Mangunjaya adalah penutupan terakhir dari masa lalunya.Ia membutuhkan Mangunjaya untuk mengakhiri babak ini sepenuhnya. Dan mungkin, Mangunjaya tahu lebih banyak tentang ‘Kekosongan’ Rembong daripada yang ia kira.“Mangunjaya,” bisik Dewa Maut, “waktunya untuk pulang.”Ia tidak menggunakan Lima Pintu untuk melipat jarak, melainkan melepaskan Prana Angin yang murni, mendorongnya dengan kecepatan luar biasa menuju utara.Ia ingin Mangunjaya merasakan kedatangannya. Ia ingin semua orang di Jati Sakti tahu bahwa Dewa Maut sedang dalam perjalanan.Perjalanan ke Jati Sakti memakan waktu tiga h
Argasura terhuyung mundur. Rasa sakitnya bukan hanya fisik, tetapi juga spiritual.Prana Logam yang ia kumpulkan selama ratusan tahun, yang ia yakini sebagai elemen paling murni dan stabil kedua setelah Bumi, kini telah dirusak oleh fusi yang tidak stabil dan liar.“Kau… kau menggunakan ketidaksempurnaan untuk mengalahkan kesempurnaan!” teriak Argasura, suaranya dipenuhi keterkejutan dan kemarahan.Ia mencoba menarik Prana dari bijih besi terdekat, tetapi bijih besi itu kini lembek dan berkarat, tidak mampu memberikan resonansi yang bersih.Dewa Maut berdiri tegak di tengah ngarai yang kini dipenuhi kabut panas. Ia tidak menunjukkan ekspresi kemenangan, hanya kekosongan yang dingin.“Tidak ada kesempurnaan,” jawab Dewa Maut, melangkah mendekat. “Hanya ada kekuatan yang lebih besar. Logammu bergantung pada kekerasan. Kau tidak fleksibel, Argasura. Dan Logam Cermin adalah keangkuhanmu. Kau yakin kekuatanku akan menjadi kelemahanku, tetapi k
Prana Logam murninya kini terjalin dengan Prana Bumi di sekitarnya, menciptakan perisai reflektif yang nyaris tak terlihat.Beberapa saat kemudian, ia merasakan lonjakan Prana yang mendekat dari timur laut.Kecepatan Dewa Maut luar biasa, menggunakan Lima Pintu untuk melipat jarak, tetapi ada sedikit ketidakstabilan dalam putaran Angin/Airnya.Kelelahan emosional Anggrawati telah meninggalkan jejak.“Dia datang,” Argasura berbisik. “Dia bergegas menuju Rembong, yakin bahwa aku tidak penting.”Argasura berdiri tegak, membiarkan Logam Cerminnya menutupi seluruh tubuhnya, membuatnya tampak seperti patung yang terbuat dari kristal gelap.Ia adalah cermin yang menunggu gambaran untuk dipantulkan.Tiba-tiba, udara di tengah ngarai bergetar hebat.Sebuah distorsi ruang muncul, bukan portal yang bersih dan tajam seperti biasanya, melainkan sedikit bergetar, bukti bahwa Dewa Maut sedang bergerak dengan kecepatan yang ter
“Jika kau memilih jalan ini, aku akan menjadi bayangan yang mengawasimu, Dewa Maut. Aku akan memantau setiap langkahmu, dan jika kau melanggar batas kemanusiaan terakhir, aku akan berada di sana.” lanjut Anggrawati mDewa Maut tidak melihat ke belakang. Ia hanya mengangkat tangannya dan membuka salah satu Lima Pintu, sebuah portal kecil yang memancarkan Prana Kegelapan dan Angin.“Aku tidak peduli,” katanya, nadanya datar. “Dewa Maut tidak memiliki batas. Dan jika kau menghalangi jalanku lagi, aku akan memadamkan Cahaya Murni di dalam dirimu, sama seperti aku memadamkan lonceng itu.”Ia melangkah menuju portal itu.Anggrawati bangkit, air matanya kering. Ia kini telah kehilangan segalanya: gurunya, kekasihnya, dan harapannya.Yang tersisa hanyalah resolusi moral yang dingin. Ia melihat portal itu menutup, dan Dewa Maut menghilang.Tiba-tiba, ia mendengar suara gemerisik dari pohon-pohon di atasnya. Seseorang telah mengawasinya.







